Refleksi Buku: Guru Sakti Karya Susanto Aji
Selama ini, saya mengira bahwa keberhasilan seorang pendidik bergantung sepenuhnya pada penguasaan materi dan metode pembelajaran. Makanya sering kali guru selalu di jejali oleh materi-materi yang bersifat teoritis saja. Namun, buku ini menyadarkan saya bahwa kunci utama keberhasilan seorang guru, justru terletak pada kualitas komunikasi yang ia bangun Bersama para peserta didiknya.
Melalui pendekatan Hypnotalking, penulis menyuguhkan 100 skrip komunikasi yang bukan hanya praktis, tetapi juga menyentuh sisi psikologis peserta didik. Di sinilah saya merasa “tertampar” secara positif. Betapa seringnya kita, sebagai guru, secara tidak sadar menggunakan kalimat-kalimat otoritatif yang justru menjauhkan murid dari semangat belajar. Padahal, dengan sedikit pengubahan sudut pandang dan pilihan kata, suasana kelas bisa berubah drastis menjadi lebih kondusif dan penuh makna.
Yang paling membekas bagi saya, bagaimana penulis menekankan pentingnya membangun koneksi emosional dan menyampaikan pesan dengan halus namun mengena.
Penulis memberikan contoh Gambaran seorang guru menghentikan Murid yang Ribut di Kelas.
Yang biasa dikatakan guru: “Diam, kalau masih berisik, saya hukum!”
Dengan Hypnotalking: “Dengar baik-baik… suara kalian tuh keren kalau dipakai buat bertanya atau berdiskusi. Coba deh, kalau kita bisa saling mendengar, pasti suasana kelas jadi lebih asik. Yuk, coba pelan-pelan hening, biar kita bisa ngobrol dengan lebih seru setelah ini.”
Teknik yang digunakan: Pacing & Leading, Embedded Commands & Reframing
- Pacing & Leading: Guru tidak langsung menyuruh murid diam, tetapi mengakui bahwa mereka suka berbicara (pacing), lalu mengajak mereka mendengar dulu agar suasana lebih seru (leading).
- Embedded Commands: Kalimat “Yuk, coba pelanpelan hening…” sugesti terselubung yang mengarahkan murid untuk diam tanpa merasa dipaksa.
- Reframing: Mengubah perspektif bahwa “diam” bukan berarti membosankan, melainkan cara agar diskusi lebih seru dan menarik.
Kalimat-kalimat sederhana seperti yang telah dicontohkan diatas, ternyata mampu menggugah kesadaran murid lebih dalam dibandingkan instruksi langsung yang cenderung otoriter. Saya belajar bahwa dalam dunia pendidikan, persuasi lebih kuat daripada paksaan.
Lebih dari sekadar buku teknik mengajar, Guru Sakti adalah ajakan reflektif untuk menata ulang paradigma komunikasi kita sebagai pendidik. Ini bukan hanya tentang apa yang disampaikan, tetapi bagaimana menyampaikannya dengan kasih, empati, dan ketulusan. Buku ini mengajarkan bahwa menjadi “guru yang sakti” bukan berarti memiliki kekuatan luar biasa, melainkan memiliki kemampuan untuk berbicara dengan hati dan menyentuh hati para peserta didik.
Saya yakin, jika pendekatan ini dipraktikkan secara konsisten, ruang kelas bukan lagi menjadi tempat yang penuh tekanan atas Pelajaran-pelajaran yang diberikan, melainkan ruang belajar yang menumbuhkan semangat, antusias, dan kepercayaan diri setiap peserta didik.
Satu kalimat yang sangat luar biasa dalam buku ini: “Mengajar itu seni, dan komunikasi adalah kuncinya.”
Bagi saya, buku ini penuh insight. Mudah-mudahan, Saya, Anda, dan kita semua yang menjadi pendidik, diberi kesadaran kea rah yang lebih mengutamakan komunikasi secara emosional Bersama peserta didiknya masing-masing.
Sehingga, terwujudlah Pendidikan Bermutu untuk Semua.
#2025kartunet20book
menarik sekali ya.