Rembulan Kapak Tua

Hari ini bulan penuh. Lingkarnya menggelinding sepanjang meridian langit. Berjingkat-jingkat ia datang menelisik. Sinarnya ranum membisik. Menjelma bulu mata cantik yang mengerling pada setiap mata yang membidik. Memang harusnya ia cantik. Hanya saja bagi dusun ini, itu sama sekali tak baik. Pun tak patut untuk ditelik. 

***

Bulir-bulir embun luruh dari ujung daun, seumpama harpa, berbaris-baris titik air. Malam yang telah lalu mengirim pesan lewat uap. Seolah mendendang seruling; malam tadi sangat dingin. Malam purnama barangkali memang malam yang paling tiada ingin dicecap oleh warga dusun. Mengingat dusun itu pernah punya cerita buruk bersamanya.

Handaru menyingkap tirai di kamarnya. Sebelah matanya mengedip. Meresapi sinar matahari yang gesit mencelahi pori-pori kaca. Sebelah matanya lagi tak bergidik. Mati rasa. Tak mampu lagi menamai benda-benda. Tepatnya sejak tiga tahun lalu saat tak sengaja terkena kapak. Kini, yang ia punya hanya satu mata untuk mengenali cahaya.

Matahari merangkak lebih tinggi lagi. Para lelaki mulai beranjak menuju tebing. Hendak menyiangi miskin dengan tatih-tatih. Menukil hari dengan peluh. Berharap bermekaran kelopak-kelopak bunga kerja keras, untuk hidup yang tak lagi bias. Usai Handaru membersihkan diri dan mengambil peralatan, berangkat ia menuju tambang. Tambang batu kapur yang ditemurunkan leluhur, yang letaknya mengelilingi dusun.

Selalu ia menunggu saat-saat ini. Sebab dalam jalannya menuju tambang batu kapur, ia bisa bersua dengan seseorang. Meski tanpa sepengetahuan siapapun jua. Handaru memelankan langkah kakinya. Terdengar bunyi mengorek-ngorek tanah. Jalannya semakin pelan. Bunyi itu semakin jelas. Tak ia sadari, langkah kakinya berhenti. Kepalanya menoleh pada sebuah rumah di sebelah kiri. Ada seorang gadis cantik sedang menyapu gerinting ranting dan dedaunan kering di halaman rumahnya.

Handaru benar-benar tak menyadari langkahnya selalu terhenti dengan sendiri. Bahkan saat ia mencuri pandang berdetik-detik yang telah lewat dan juga sekarang. Bunyi mengorek-ngorek tanah berhenti. Rupanya si gadis baru saja menyadari ada yang sedang memandanginya sedari tadi. “Handaru? Hendak berangkat ke tam … “ Belum sempat kalimatnya dieja, Handaru sudah kelimpungan buru-buru pergi. Pura-pura tak peduli.

Langkah kaki Handaru lebih gegas dari sebelum ia berangkat tadi. Bukan apa-apa. Sebab bila terlihat oleh kakek si gadis, ia tak akan selamat.

Di tambang batu kapur, lelaki itu akhirnya segera mulai bekerja. Meski pikirannya masih tertinggal di depan halaman yang penuh dengan daun berguguran, di tengah-tengah suara mengorek tanah, di kedalaman bola mata gadis yang tadi memanggil namanya.  Gertak ia mengusir pikiran itu agar tak lagi berkelindan. 

Palu dan linggis yang tadi ia bawa mulai mengetuk-ngetuk dinding tebing. Mengeruknya menjadi ukuran kecil. Lelaki-lelaki lain mulai turut andil. Mencari sesuap nasi dari batu kapur barang secuil. Gergaji menggersik dinding. Gerodak-gerodak kerikil jatuh dari atas tebing.  Debu-debu putih menjelma tirai tipis. Dalam hati, lelaki itu berbicara pada dirinya sendiri, hari ini akan melelahkan seperti hari-hari kemarin.

Detik memetik dawai waktu. Matahari meninggi seperti tepat sejengkal di atas kepala para pekerja itu.  Peluh demi peluh membulir. Kubus batunya terasa utuh. Semakin keras linggis itu ia kayuh, batu itu tak jua runtuh. Sedetik ia berhenti. Menarik nafas. Mengerang pada lelah. Tapi yang baru saja dilihatnya, matahari seperti mengejeknya dari ketinggian. 

Handaru melinggis tebing lebih kuat. Lebih cengkeram dari cakar elang. Geram tak ingin diejek oleh matahari hanya karena lelah. Lebih kuat ia memecah tanah. Tak lama kemudian dinding itu akhirnya terbelah. Namun, yang terjadi di detik berikutnya adalah: tanah pijakannya turut terbelah. Posisinya yang hanya di tahan oleh sejengkal tanah tiba-tiba goyah. Tanah kapur itu gemeretak. Menghentak. Handaru menggapai-gapai bongkahan dinding batu.  Tak mujur, akhirnya tubuhnya terjatuh.

Tak tinggi memang. Kira-kira hanya satu setengah meter dari tanah. Para pekerja lain yang menyaksikannya bahkan acuh tak memperdulikannya. Terkesan seperti menjadikannya sebuah hiburan malah. “Apa yang kau lakukan, Nak?”

“Hahahaha, kau lupa? Matanya hanya satu, wajar kalau tanah retak itu terluput.” Suara pekerja lain menimpali.

“Hahahaha, kau benar! Seandainya itu lebih dalam pasti akan jauh lebih menghibur.”

Olok-olok itu entah mengapa tiba-tiba mengingatkannya pada satu masa. Kala sebuah kapak menggores mata kirinya. Tak banyak yang bisa ia ingat. Hanya satu yang pasti, setelah itu sebelah matanya tak lagi dapat meraba.

Seketika ia tersadar oleh tawa-tawa yang bergelak. Sahut-sahutan. Terdengar nyalang. Bahkan saat Handaru belum sempat bangkit dari jatuhnya. Tanpa ia sadar, lengannya tergores batu tajam. Tetes-tetes darah perlahan keluar dari kulitnya yang terluka.

***

Matahari beranjak pulang. Hari mulai gelap. Terdengar langkah kaki terseret-seret dari tambang. Itu Handaru. Ia hendak pulang. Ia berjalan pelan, seperti takut tersesat. Saat gelap, penglihatannya tak akan berguna banyak. Sebab satu matanya tak mampu lagi mengenali cahaya.

Dalam remang, ia tersentak. Dikejutkan bayangan punggung yang merenung. Pemilik punggung itu berbalik. Di tangannya terletak sebuah keranjang rotan. Batang-batang dedaunan menyembul dari dalamnya. Tampaknya ia baru kembali dari hutan.

Dalam cahaya abu-abu, Handaru bahkan mampu mengenali wajah itu. “Garini, apa yang kau lakukan di sini? Ini hampir gelap. Kau tahu  malam ini purnama, kan?”

“Aku tadi hanya ingin duduk sebentar di sini, tapi ternyata, melamun memang selalu membuat kita lupa waktu.” Gadis itu tersenyum. Selengkung senyum yang sama dengan senyum yang tadi pagi ia seduh saat bertemu lelaki itu.

“Kakekmu tidak akan terlalu senang mengetahui kau masih berkeliaran di senja menjelang purnama seperti ini. Cepat pulanglah.”

Gadis itu mengangguk. Hendak beranjak pulang. Namun, sekelebat ia melihat sebuah lengan yang berdarah kemerahan. “Kau terluka?” Garini mendekat. Hendak meraih lengan yang ia lihat.

Handaru mundur beberapa langkah ke belakang. Entah mengapa dengan begitu berat. “Aku tidak apa-apa.” Seraya ia menyembunyikan lengannya ke belakang.

“Tapi aku melihat lenganmu berdarah.”

“Tidak. Aku baik-baik saja. Cepat pulanglah, hari semakin gelap.”

“Setidaknya biarkan aku mengobatinya sebelum aku pulang.”

“Sudah kubilang aku tidak apa-apa. Cepat pulanglah!”

Garini mendekat. Meraih tangannya dengan paksa. “Kenapa kau selalu berpura-pura tidak terjadi apa-apa saat ada apa-apa denganmu?”

Handaru menarik lengannya. “Berhentilah bersikap seperti itu. Seolah-olah kau sangat mengenalku.”

“Aku memang mengenalmu!”

Sesaat tatapan mata mereka bertemu dalam detik yang membeku. Begitu dekat. Begitu lekat. Namun seketika Handaru memalingkan wajahnya. Tak mau Garini melihat dari dekat luka di lingkar matanya yang dikoyak kapak.

“Aku memang mengenalmu. Bahkan sejak kecil, aku satu-satunya orang yang paling memahamimu.” Tatapan mata Garini menantang hati lelaki yang ada di hadapannya itu.

Bayangan-bayangan masa lalu berselirak di pikiran Handaru. Bergulut-gulut ia melihat dirinya, Garini dan memori-memori bahagia. Dulu. Sebelum luka di lingkar matanya itu ia dapatkan. Dulu sebelum sebelah matanya tak lagi mampu meraba cahaya.

Garini masih terus menatap lelaki itu, “Apa yang terjadi padamu? Sejak tiga tahun lalu, kau sama sekali tak seperti dulu. Apa kau pikir hanya karena keterbatasanmu aku akan mengacuhkanmu?” Garini terhenti, “Apa kau pikir aku orang yang seperti itu?’

Yang ditanya bungkam. Seolah lupa caranya berbicara.

“Berhentilah berpura-pura seolah tak lagi mengenalku. Aku … ” suara Garini meredup, “Aku merindukanmu.”

“Aku mohon, Garini. Pulanglah sekarang juga. Demi tuhan, kakekmu tidak akan senang mendapatimu di sini. Apalagi,” Handaru terhenti, tak sanggup berucap lagi, “..Bersama denganku.”

Tiba-tiba langkah kaki penuh amarah datang meneriakkan suara, “Garini! Apa yang kau lakukan di sini?” suara itu terhenti begitu mendapati ternyata Garini tak sendiri, “Dan bersama lelaki ini?!” Telunjuknya menunjuk Handaru bagai tombak.

Garini hendak mundur, namun tangan kakeknya jauh lebih dulu menarik tubuh gadis itu. “Ayo kita pulang! Aku tidak berharap kau punya urusan dengan lelaki ini!”

Berderap-derap Garini di seret pergi. Kini, hanya tertinggal Handaru sendiri. Tiba-tiba terasa begitu sepi. Angin malam membisiki sunyi. Seolah merasakan sebuah hati yang tercaci.

***

“Dok dok dok!” Pintu rumah Handaru di gedor begitu keras.

 Pemilik rumah baru saja membukakan pintu, belum sempat ia mengenali sang tamu, wajahnya telah di hantam kepalan tangan yang marah. Sekali lagi pemilik tangan itu mendekat, Tubuh Handaru yang tersungkur di tanah tak bisa terlalu banyak melawan, sebuah bogem mentah kembali mendarat di wajahnya. Samar-samar dalam ketersungkurannya, Handaru mengenali pemilik kepalan tangan. Ketiga kali pukulan itu mendarat di mata kirinya. Tak apa, batin Handaru. Mata kirinya sudah mati sejak lama.    

“Aku tahu itu kau!” Pemilik pukulan itu menyuarakan gelegar amarah.

“Apa maksud Tuan?” Handaru menatap pemilik amarah. Kakek Garini berdiri dengan lantang meluapkan amarah padanya.

“Jangan berpura-pura lagi!”

Bersungut-sungut Handaru berusaha berdiri,  “Saya tidak mengerti.”

“Jangan dekati Garini lagi. Dan juga, segera pergi dari dusun ini!”

***

Bulan yang sabit adalah sendiri, sedang purnama adalah dua yang saling memiliki.

Sejak semalam-malam lalu, Handaru tahu, hatinya akan selalu nomaden. Berlarung di musim kesepian tak berkesudahan. Berkelana tanpa tahu kemana akhirnya akan tertambat. Ralat, ia tahu hatinya tak akan pernah bisa berlabuh di suatu tempat.

Di dekat pondok para penambang biasa beristirahat, ada seorang gadis menunggu. Di sini Handaru berjanji untuk bertemu. “Kau sudah lama menunggu?”

Garini menegakkan wajahnya, menatap sumber suara itu. Lalu, ia menggeleng lembut.

“Aku … aku hanya ingin bertanya satu hal padamu,” Handaru menatap wajah gadis itu lekat-lekat. Tak peduli luka di matanya akan terlihat jelas.

“Ada apa?”

“Apa … kau masih mencintaiku?” kalimat itu meluncur begitu saja, barangkali karena ia sangat ingin tahu.

Garini terkejut. Kedua alisnya menyatu.

Tampak sebuah jawaban bagi Handaru. “Aku tahu, perasaan memang bisa berubah setiap wak …”

“Selalu.”

“Hmm?” Handaru seketika mendapati bingung.

“Masih dan selalu.”

Kini semua lebih dari cukup bagi Handaru. Perlahan ia membelai wajah gadis itu. di kedalaman bola matanya selalu ia bisa mendapati keteduhan. Hangatnya adalah anugerah. Teduhnya adalah pengobat.

 Sesaat ia lupa akan tujuannya, lalu buru-buru ia menyingkirkan tangannya.  “Ini hampir gelap, purnama akan segera datang. Pulanglah ….” Handaru berbalik. Tanpa sepatah kata jua, ia  segera melenggang pergi.

“Handaru, kau hendak kemana?”

Handaru berhenti, “Memangnya aku bisa kemana? Mataku tak bersahabat dengan gelap,” sekerling senyum ia hantarkan untuk gadis itu, “Pulanglah.”

Dalam keremangan Handaru meneruskan langkahnya. Kabut malam mulai berdatangan. Samar-samar ia mulai tak terlihat. Garini masih terus memandangnya dari belakang. Hingga Handaru benar-benar menghilang.  

Di dusun, para orang tua bergegaran membawa anaknya masuk rumah. Pintu, jendela dan semua lubang ditutup rapat. Bahkan udara malam sekalipun tak diijinkan mendekat. Sebab purnama akan segera merapat. 

Bulan yang sabit adalah sendiri, sedang purnama adalah dua yang saling memiliki. Maka, mengetahui gadis itu masih mencintainya, telah menjadikannya lebih makna dari purnama. Hati yang rapuh itu kini telah tahu di mana harus tertambat. Meski tanpa temu yang merekat.

Rembulan semakin membulat. Purnama sempurna. Lelaki itu harus segera pergi. Sebab baru ia sadari rahasianya telah terbagi. Barangkali sejak tiga tahun lalu saat kapak yang kakek Garini gunakan untuk berburu mengenai matanya. Dalam wujud purnamanya; Serigala.

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *