Saksi Senja

Diantara kerumunan itu aku berjalan, melangkah perlahan diantara riuh orang-orang yang mulai memasuki gedung dimana tempat ospek pertama kali dilaksanakan, dengan mengenakan kemeja putih bercelana hitam panjang dan sebuah Almamater, hal-halyang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan namun kini nyata adanya.

Bergegas aku mencari seorang temanku yang satu-satunya orang yang aku kenali dari ribuan orang yang berkumpul sebab kami berasaldari satu sekolah, setelah hampir memutari seluruh gedung aku tak kunjung bisa menemukannya, diujung kebingunganku tiba tiba ada seorang perempuan yang menepuk pundakku.
“permisi mas, apakah ada yang bisa saya bantu” ucap perempuan itu,
“oh iya mbak, saya sedang mencari seorang teman saya” balasku,
“kalau boleh tahu temannya jurusan apa?”,
“teman saya jurusan ekonomi, apakah mbak tahu barisan anak ekonomi ada disebelah mana ya?”,
“oalah Kebetulan saya juga ekonomi masnya bisa ikuti saya anak-anak ekonomi ada di tribun sebelah kiri atas”.

Tanpa berpikir kembali aku langsung melangkah mengikuti langkah-langkah seorang perempuan yang aku sendiri belum mengenalnya, tak lama benar saja aku sudah bisa menemukan temanku yang telah lebih dulu ada disana, lalu kami pun segera terlibat pembicaraan dan saling berkenalan dengan semua teman-teman satu jurusan termasuk dengan seorang perempuan yang tadi membantuku, ia bernama Fita.

Hari-hari perkenalan lingkungan kampus pun berlalu dan berlangsung dengan berbagai dialog, canda, tawa serta cerita yang tak dapat diurai dengan sebuah kata-kata. Hari-hari yang sangat mengesankan dalam perjalanan pertamaku di kota perantauan sebagai seorang mahasiswa, aku pun sudah mempunyai beberapa orang teman akrab meski sebelumnya kami tidak pernah bertemu tapi entah mengapa kami bisa begitu cair walau baru beberapa hari berkenalan.

Saat pertama masuk ke dalam kelas aku baru menyadari bahwa ternyata hampir 80% dari teman sekelasku adalah perempuan sedangkan laki-lakinya hanya beberapa orang saja, saat itu dosen belum kunjung datang ke kelas akhirnya kami sekelas sepakat untuk melakukan pemilihan ketua kelas dan karena laki-lakinya hanya sedikit sekelas sepakat bahwa semua laki yang ada harus siap jikalau nantinya dipilih menjadi ketua kelas, akhirnya terpilihlah temanku yang bernama samsudin.

Tanpa aku sadari ternyata sejak beberapa saat lamanya ada sepasang mata yang tak lepas memandangiku, sejenak aku menjadi gugup sebab aku memang tak terbiasa untuk dipandangi terus menerus segera aku membuang pandanganku kearah teman-temanku yang sedang sibuk menyusun kepengurusan kelas.

Selepas semua menjadi beres dan jam kuliah juga sudah tidak ada aku bersama teman-teman akrabku diantaranya Mirna, Rika, selfy, Ando dan termasuk Fita orang pertama yang aku kenal saat ospek, untuk pergi ke kantin. Kami bisa menjadi akrab karena saat ospek kami menjadi satu kelompok, meski aku seorang laki-laki namun mayoritas dari teman-temanku adalah seorang perempuan bagi banyak orang mungkin haltersebut terasa aneh tapi bagiku pertemanan tidak dapat diukur dari mereka perempuan atau laki-laki tetapi bagiku teman atau sahabat ialah bagaimana kita bisa merasa nyaman saat bersama.

Sebagai anak kuliahan yang pas pasan aku membeli sebungkus nasi dengan beberapa lauk sederhana seharga RP300 dan es gula aren sebagai penutupnya. Disela-sela obrolanku bersama teman-temanku kembali aku melihat seorang perempuan yang tadi selalu memandangiku saat dikelas tapi aku sendiri belumlah hafalsiapa namanya sontak saja aku bertanya pada Fita tentang perempuan itu, dan ternyata perempuan itu bernama anita yang sepintas lalu aku dapat menangkap ada sebuah isyarat yang dipancarkan melalui matanya.

Entah didorong oleh rasa penasaran atau apa hari-hari berikutnya aku juga jadi memperhatikan anita, dan rasa gugup itu selalu hadir saat sapaan anita datang. Sejak itu aku mencoba memberanikan diri untuk bisa lebih mengenAlanita lebih jauh dengan berkirim surat yang aku titipkan melalui Rika sebab aku masih malu jika harus mengirimkan langsung kepada anita, kebetulan karena Rika teman satu asramanya.

Sejak saat itu aku sangat sering berkirim surat dengan anita setelah surat pertamaku mendapat respon yang cukup hangat, dan sejak itu pula aku sudah tidak lagi menggunakan perantara dAlam menyampaikan pesan-pesan tertulisku kepada anita. Rasa yang selama ini belum pernah muncul mulai timbul kepermukaan hatiku “mungkinkah ini adalah cinta? Atau hanya sebuah kilauan sesaat sebab dalam hal ini sungguh aku tak mempunyai pengalaman,” gumamku dalam hati.

Ditengah rasaku yang mulai ngelantur tiba-tiba aku ingin sekali berjalan-jalan untuk sekedar melihat-lihat suasana kota sebab aku selama ini hanya tinggal di sebuah desa kecil yang lebih sering aku habiskan waktuku bersama hewan-hewan ternak untuk membantu orangtuaku mencukupi kebutuhan sehari-hari. Setelah membersihkan diri aku pun bergegas untuk berjalan ke taman Kota yang sering juga disebut Alun-Alun yang jaraknya tidak seberapa jauh dari kosan tempatku tinggal.

Jalanan tampak cukup lengang hanya ada becak dan bemo yang bersliweran mengantar penumpang, serta beberapa kendaraan pribadi. Tanpa sengaja aku bertemu Fita yang ternyata juga berada di Alun-Alun bersama selfy, “hai Fit!” sapaku sambil tersenyum, “Eh Aldi kebetulan sekali kita bertemu ada yang ingin aku sampaikan” sahut Fita, “ada apa Fit?”, “jurusan kita minggu depan ada diklat Alam dan kita diminta untuk surve tempat”, kata Fita sambil berjalan mendekatiku bersama selfy,”oh, kapan kita bisa surve?”, “besok ya sehabis kuliah” ujar Fita kembali.

Selepas itu kami pergi ketengah Alun-Alun sambil bercerita banyak hal sambil menikmati senja seiring menghilangnya sang surya, diantara semua sahabat dan temanku Fita adalah sosok yang paling sering menjadi teman bincangku sebab ia selalu dapat membangun suasana menjadi hidup dan jujur untuk mengatakan apa adanya tanpa memasang sebuah topeng-topeng kepalsuan.

Waktu yang berlalu tak terasa telah membawaku menginjak pada tahun ketiga di kota perantauan, sesekali aku hanya bisa mengirimkan surat ke kampung halaman untuk berkabar pada orangtua tentang keadaanku, terkadang rasa rindu begitu bergejolak namun aku hanya bisa mengirim rindu itu lewat sepucuk surat yang sering kutulis menjelang tidurku. Sering kali aku teringat akan janjiku sendiri bahwa aku tidak akan pulang sebelum aku bisa sukses terkecuali ada hal-hal yang memang mengharuskanku untuk pulang.

Suatu ketika muncul keinginanku untuk mengutarakan rasa yang beberapa belakangan bergejolak disanubari tapi ada sebuah keraguan yang menyelimuti, rasa yang belum pernah ada kini hadir dan menyapa. Lagi-lagi kepada Fita aku mampu bercerita,

“lakukanlah bilamana kamu sudah merasa mantap untuk mengutarakannya aku mendukung sepenuhnya sepertinya ia pun menyimpan rasa yang sama” ucap Fita dengan tingkahnya yang selalu ceria”.
Perlahan namun pasti keberanian itu berkobar didAlam hatiku “kamu memang sahabat terbaiku Fit” Ujarku.

Setelah pembicaraanku bersama Fita saat itu butuh beberapa hari berselang buatku benar-benar membulatkan tekat untuk mengutarakan rasaku pada anita, hari itu bersama jingganya aku duduk menunggu di taman kampus namun setelah beberapa saat berlalu seperti tidak ada tanda-tanda kedatangannya, “tak biasanya ia seperti ini jika memang ia tak bisa kenapa harus tidak mengabari sebelumnya?” tanyaku di dalam hati. Baru saja aku akan beranjak dari tempatku duduk karena aku merasa tidak ada guna lagi aku menunggu, tiba-tiba ada sesosok perempuan yang berjAlan mendekat sempat aku mengira bahwa itu adalah anita, namun ternyata dia ialah Rika yang ditangannya seperti membawa sesuatu.
“maaf Aldi jika kamu telah menunggu terlalu lama ditempat ini, aku sebenarnya kemari hanya untuk meneruskan pesan anita yang ditulisnya melalui sepucuk seurat ini, aku sendiri tidak tahu mengapa ia tidak menyampaikannya secara langsung,”
“apakah anita tidak menyampaikan sesuatu kepadamu?” tanyaku penasaran,
“tidak hanya saja akhir-akhir ini ia nampak murung”,
“baiklah kalau begitu aku bawa surat ini pulang saja dan terima kasih karena telah menghantarkan surat ini” balasku dengan masih menyimpan rasa penasaran.

Aku berjalan gontai meninggalkan taman kampus bersama Rika yang sudah lebih dahulu melangkah dan saat tiba disebuah tikungan kami pun mengambil arah yang berbeda bersama temaram sinar rembulan aku melangkah perlahan keluar melalui gerbang samping yang masih terbuka. Dengan rasa penasaran yang tinggi aku berhenti disebuah tepi jalan kecil untuk membuka surat yang dititipkan anita pada rika,

***
Al, sebelumnya aku minta maaf karena tidak dapat menemuimu sebab aku tak mampu melihatmu bersedih setelah aku bercerita apa yang sesungguhnya terjadi, malam ini aku harus kembali ke kampung halaman karena baru tadi aku mendapat kabar kalau ibuku telah meninggal karena sakit dan telah beberapa hari koma.

Selain itu aku ingin menyampaikan hal lain, sebenarnya sejak pertama aku melihat dan mengenalmu aku telah tertarik padamu namun aku selalu teringat ibuku yang saat sakit telah menjodohkanku dengan seorang laki-laki dimana ibuku telah menitipkan diriku jikalau nanti ibuku harus pergi sebab ayahku juga yang sudah mendahului pergi sedari aku masih kecil,kami pun sebenarnya sudah sempat bertunangan meski sebenarnya laki-laki itu bukan pilihanku tapi karena aku ingin melanjutkan jenjang pendidikanku akhirnya aku meminta untuk tidak menikah terlebih dahulu.

Namun kini ibuku telah benar-benar pergi dan beberapa waktu yang lalu sebelum aku berangkat untuk berkuliah ibuku sempat mengatakan kalau beliau sebenarnya ingin melihat aku menikah sebelum beliau pergi, namun waktu itu aku merasa aku belum siap dan lagi sebenarnya aku tidak mencintai laki-laki pilihan ibuku aku belum bisa mengabulkannya, sampai pada akhirnya aku bertemu denganmu dan rasa itu datang begitu saja tetapi kini segAlanya sangat cepat berubah ibuku telah tiada dan pernikahanku akan segera digelar bersama laki-laki pilihannya berdasarkan surat wasiat yang ditulis ibuku.

Aku benar-benar meminta maaf jikalau telah sangat mengecewakanmu nampaknya rasaku ini hanya menjadi perjalanan sesaat yang harus aku kubur dalam-dalam. Aku sangat malu untuk mengutarakan ini sebanarnya namun aku hanya tak ingin menyakitimu lebih jauh nantinya.
***

Ada rasa sesak menyeruak dalam dadaku setelah membaca isi surat, entah mengapa kakiku seperti terpaku tak mampu melangkah lagi, berita itu seperti kilat petir yang menyambar diatas kepAlaku, kurasakan ada yang basah dikedua mataku

“apakah yang sebanarnya aku rasakan ini? untuk apa airmata yang keluar ini?” tanya hatiku.

Sejenak aku terbawa oleh derasnya arus perasan yang tak menentu, tiba-tiba aku sudah berlari menuju kosan dan terbaring lemas diatas kasur, temaram rembulan dan cahaya bintang malam itu seperti menjadi saksi apa yang kurasakan, nyanyian itu tak lagi merdu segAla terasa sumbang menyakitkan. Saat kubuka mataku ternyata pagi sudah menjelang ternyata aku telah tertidur, semAlam perlahan kumengingat apa yang aku Alami semua seperti mimpi dan aku masih menaruh harapan jika apa yang aku Alami semlam adalah sebuah mimpi, dengan bergegas aku membersihkan diri sebelum akhirnya aku berangkat ke kampus.

Setibanya aku di kelas aku mencoba mencari anita tetapi dari semua yang hadir aku tidak menemukan sosok anita, aku pun mencoba bertanya pada Rika dan Rika hanya mengatakan kalau semAlam anita pulang karena ibunya meninggal justru Rika yang menjadi balik bertanya tentang isi surat yang ia sampaikan padaku sore kemarin namun aku belum bisa menceritakan apa isi surat tersebut. Arus gejolak itu kembali mengAlir diseluruh Alam pikiranku “ternyata apa yang aku Alami bukanlah sebuah mimpi, benarkah semua ini?” kembali aku bertanya di dalam hati.

Disaat pembelajaran berlangsung hari itu aku tak bisa fokus bahkan aku lebih sering melamun sampai-sampai aku tidak sadar jika jam kuliah telah usai, lamunanku buyar ketika Fita tiba-tiba sudah berdiri dihadapanku,
“apakah kamu sedang sakit? Sedari tadi kamu terlihat sangat murung” tanya Fita,
“ada yang ingin aku ceritakan Fit tetapi aku sangat malu jika harus bercerita disini jika kamu tidak ada kesibukan sore nanti aku tunggu di Alun-Alun Kota” balasku kepada Fita,
“yasudah kalau begitu kebetulan sore nanti aku tidak ada acara jadi aku susul kamu saja ke Alun-Alun”,
“terima kasih Fit”.

Sore itu aku telah duduk menunggu Fita di Alun-Alun Kota, dan tak lama kemudian Fita pun datang menyusul dengan gayanya yang sangat khas dimataku sosok Fita selalu membuat siapapun yang memandangnya bisa tersenyum. Tak lama setelahnya aku dan dia sudah terlibat obrolan panjang, dimana aku ceritakan semua apa yang sebenarnya terjadi, sejenak kita hanya bisa hening tanpa suara.
“Aku dapat memahami apa yang kamu rasakan saat ini” suara Fita memecah keheningan, “namun semua hal tersebut jangan sampai membuatmu harus jatuh dan tak bisa bangkit lagi segala yang terjadi pastilah membawa hikmah” tutur Fita kembali.
Kata-kata Fita itu seperti membangunkanku dari lamunan panjang, kembali aku teringat akan janjiku sendiri yang telah aku bawa sejak sebelum aku berangkat dari desa kelahiran untuk merantau menimba ilmu di bangku kuliah.
“Terima kasih Fit atas segala waktu dan kata-katamu yang membuatku menemukan asa yang sempat hilang, aku memang masih sangat tidak berpengalaman dalam menghadapi hal semacam ini sebab selama ini aku belum pernah sekAlinya menjAlin hubungan khusus dengan seorang perempuan, aku hanya pemuda desa yang hanya banyak menghabiskan waktuku membantu orangtua di ladang maupun berternak selepas sekolah untuk mencukupi kebutuhan hidup, aku bisa sampai ketempat ini pun karena adanya bantuan beasiswa” ujarku kepada Fita yang sangat setia dalam mendengar setiap ceritaku.

Hari-hari terus berlalu menggilas setiap peristiwa, luka ini tak lagi mencengkram relung hati. Senyum yang sempat hilang kini sudah kembali bersama diAlog senja hari yang dengan jingganya selalu menghiburku disebuah sudut taman Kota, berteman dawai gitar yang kulantunkan bersama lagu dan puisi. Tak terasa akhir smester sudah semakin dekat, pagi itu tiba-tiba saja aku menemukan sepucuk surat yang diselipkan pada kotak pos didepan rumah tempatku kos yang ditujukan buatku namun tidak ada nama pengirimnya, “tak biasanya aku mendapat surat tanpa nama seperti ini” ucapku lirih, tanpa berpikir panjang aku langsung membuka kiriman surat. Setelah aku membuka isi surat ternyata yang ditulis adalah sebuah puisi yang intinya dapat kutangkap tentang perasannya kepadaku “mungkinkah ini dari anita” tanyaku dalam hati, “namun buat apa semua ini bukankah ia telah bahagia bersama suaminya” gumamku mencoba mencampakan arus perasaan yang pernah ada. Tanpa berlama-lama lagi aku langsung melangkah pergi ke kampus.

Ingatanku tentang anita memang terkadang masih muncul apAlagi ketika aku sedang berada di taman kampus tepatku sering bersamanya diwaktu lAlu, meski aku sudah berusaha untuk melupakan anita tetapi sosoknya terkadang masih berkelebat d dalam bayang. Selepas jam kuliah usai, aku seperti biasa pergi ke kantin bersama teman-teman, dengan sebungkus nasi pecel seharga RP250 dan segelas ,s kelapa sudah cukup mengusir rasa lapar. Saat aku berjalan meninggalkan kantin untuk pulang disebuah tikungan salah satu gedung kampus aku bertemu Fita yang sedang berbicara dengan seorang laki-laki dan dia pun mengenalkan laki-laki itu yang disebutnya sebagai teman sewaktu SMA-nya dulu bernama Edo, namun anehnya ada perasaan asing di dalam benaku saat kulihat Fita bersama Edo tetapi aku hanya menyimpan diam gejolak itu dan aku meminta diri untuk pulang meneruskan langkahku pada Fita. Sesampainya di kamar aku masih tidak habis mengerti mengapa aku merasa tidak nyaman melihat Fita bersama Edo “apakah aku cemburu?” tanyaku pada kesendirian “bukankah Fita hanya sahabatku dan tidak lebih!” tanyaku dalam hati kembali. Sejak itu aku berusaha untuk mengabaikan semua gejolak yang aku rasakan, tetapi semakin aku mencoba entah mengapa rasa itu semakin tumbuh dengan tak terbendung sampai pada akhirnya aku mencoba memberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang tengah kurasakan pada Fita walau ada rasa takut dan malu kalau-kalau Fita nantinya tak dapat menerima apa yang kuungkapkan, akhirnya melalui temanku Mirna yang tinggAlnya satu tempat dengan Fita aku titipkan sebuah pesan lewat sepucuk surat agar Fita datang ke taman Kota.

Sore itu bersama sang surya yang perlahan mulai kembali keperaduannya aku duduk sambil memainkan gitarku seperti yang telah biasa kulakukan sembari menunggu Fita, dan samar-samar aku dapat mengenAli sosok perempuan yang melangkah mendekat dari kejauhan, benar saja perempuan itu ialah Fita. Ada sebuah desir aneh didadaku saat sosok itu sudah semakin dekat,
“maafkan aku jikalau kamu telah menunggu lama Al”,
“tidak apa-apa Fit”,
“mengapa kamu mengundangku kemari Al? tak biasanya kamu mengajaku secara tidak langsung seperti ini?” tanya Fita yang mengambil duduk tepat dihadapanku.
“Maafkan aku Fit, aku hanya ingin mengatakan sesuatu padamu yang mungkin kamu nantinya tidak berkenan”ucapku sambil menatap mata Fita perlahan,
“apakah itu Al?” tanya Fita kembali dengan penasaran.
“Selama ini sebenarnya aku menyimpan gejolak perasaan yang aku sendiri tak tahu mengapa bisa sampai hadir, maafkan jika kiranya aku merusak persahabatan kita yang telah kita jalin sejak awalkita bertemu tapi aku juga tidak bisa jika harus memendam rasa ini terus menerus meski aku sangat malu untuk mengatakannya tapi aku harus mengatakan ini ”.
Sejenak Fita hanya bisa terdiam mendengar kata-kata yang baru saja kuucapkan,
“setelah sekian lama kita bersama aku baru menyadari kalau kamulah perempuan yang kucari selama ini maukah kamu menemani hidupku hingga tutup usiaku? Maafkan aku jika kiranya kata-kataku ini merusak jalinan persahabatan kita yang sudah kita jalin sejak awal pertemuan kita”,
“aku tidak pernah menyangka kalau hari ini kamu ternyata mengungkapkan hal tersebut,jika saja kamu tahu sebenarnya sudah sejak lama aku menyimpan perasaan padamu Al, namun aku hanya menyimpannya sebab aku tahu kalau kamu sangat mencintai anita meski pada akhirnya kalian tidak bersama, sampai aku sempat menumpahkan segAla rasaku itu kedAlam sebuah puisi” balas Fita yang dikedua matanya muncul butiran kecil yang kemudian membasahi pipinya.
“Benarkah itu? Maafkan aku Fita jika selama ini aku terlalu terbawa oleh perasaanku kepada anita sampai-sampai aku tidak menyadari kalau sesungguhnya aku telah salah memilih, bersama senja jingganya kali ini izinkanlah aku melamarmu untuk menjadi pendamping hidupku dan setelah ujian sidang nanti aku akan datang ke orangtuamu apakah kamu bersedia?”
tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Fita selain hanya sebuah isyarat anggukan namun hal itu sudah mewakili serta cukup buatku untuk meyakinkan diri jika perempuan yang kini sedang duduk tepat dihadapanku ini adalah belahan jiwa sejatiku.

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

Oleh Ngurah Arisandi

Saya adalah seorang difabel netra yang senang dengan dunia kreatifitas, saya menjadi difabel sejak usia 8 tahun karena gangguan di mata dan gagalnya oprasi yang saya jalani. Namun semua itu tak mampu memadamkan semangat saya untuk selalu berkreatifitas.

3 komentar

  1. Terima kasih sudah ikut berkontribusi. Sedikit masukan. Agar memperhatikan pengetikan. Banyak salah ketik akan mengganggu pembaca. Selain itu, perhatikan pula tata letak atau pengorganisasian antar paragraf. Buat yang efisien dan memudahkan untuk dibaca. Tetap semangat dan terus produktif berkarya ya 🙂

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *