Saputangan Putih

Semenjak aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) aku sudah merasakan apa itu yang dinamakan keindahan sebuah rasa yang timbul dari hati yang biasa disebut cinta, meskipun terkadang perasaan di usia yang masih seumur jagung itu sering dikatakan cinta monyet, dan mungkin perasaan itu hanya sebagian anak seumuranku yang mampu merasakanya, Aku termasuk anak yang lebih dahulu merasakan anugrah Tuhan yang tercitra lewat getaran cinta, rasa kangen, rasa berdebar, dan berbagai penyakit jatuh cinta dibandingkan dengan teman-teman sebayaku.

 

Saat itu Aku duduk dibangku kelas 2 Mts Al-Jamiiah, Sekolah yang tidak begitu jauh dari rumahku, Sekolah yang sederhana, Sekolah yang dalam kebisuanya secara tidak langsung telah menyimpan semua kenangan yang mungkin sulit kulupakan, tentang kenakalanku, tentang seragam putih biru, dan tentang sebongkah cinta yang kini mungkin masih kuingat, Sekolah itu juga telah mempertemukan Aku dengan seorang sahabat terbaiku,

 

Dia adalah sosok yang mampu membuatku merasa menjadi lelaki sempurna saat itu, pribadi yang mengenalkanku  arti sebuah kebersamaan, ketulusan kasih sayang dalam bingkai persahabatan, mungkin secara akal kelelakianku persahabatan ini tidak lazim untuk dijalani, karena kami memang berbeda jenis kelamin, sejak Aku duduk dibangku Sekolah Dasar, (SD) Aku lebih senang bersahabat dengan perempuan, meskipun hobi terfavoritku adalah Sepak Bola, entah mengapa ?, mungkin karena semasa ngidam dulu Ibuku menginginkan anak perempuan yang akan beliau lahirkan jadi Aku memiliki perasaan yang lebih dalam seperti perasaan yang dimiliki oleh kaum Hawa, meskipun anak peremuan yang bersahabat denganku selalu agak sedikit tomboy tetapi begitu indah kurasakan memiliki sahabat seorang perempuan.

 

Sosok itu adalah Ana Andiany, seorang gadis kurus berwajah agak elips, matanya bulet merona, rambutnya agak sedikit ikal, dagunya telor dipotong dua, kelahiran Jampang 5 Mei 1990, mungkin bisa dikatakan gadis ini adalah Kembang Desa di kampung dan sekolahanku, entah berapa banyak bocah seumuranku yang menaruh rasa simpati kepadanya.

 

Begitu banyak kenangan yang telah aku lewatkan bersamanya, meskipun kebersamaan kami sering disalah artikan orang banyak dan selalu menjadi spekulasi pembicaraan orang-orang, hanya karena Aku terlahir dari seorang Bapak dan Ibu yang paham akan Agama, seolah tidak disahkan oleh masyarakat ketika aku ingin mencari sebuah keabsahan kelelakianku layaknya bocah ingusan yang terobsesi kepada seorang perempuan, Aku pun meyadari posisiku saat itu, akhirnya kemesraan persahabatan kami hanya berlangsung di lingkungan sekolah saja, selepas itu kami menjalani kehidupan masing-masing.

 

***

 

Aku masih inigat ketika hujan gerimis tidak henti-hentinya terjun dilingkunganku, aku memutuskan menjemputnya untuk berangkat ke Sekolah Mts Al-Jamiiah, kami berdua memegang tiang payung secara bersamaan, gmerincik hujan mengiringi langkah kami untuk saling melindungi dari belaian mesra air hujan yang sesekali mengejar ingin menyentuh muka kami, payung yang bisu itu mengantarkanku kepada aliran getaran yang mungkin tidak layak aku menaruh rasa itu kepada sahabatku sendiri, keadaan yang menunjukan hanya satu payung yang kami gunakan, menambah keromantisanku bersamanya, dalam kelembutanya dibalik kerudung putih yang dia kenakan naluri perempuanya seorang Ana Andiany berkata bahwa aku adalah sahabat terbaiknya yang pernah dia miliki.

 

Dari semenjak itulah semua perhatianku sebagai seorang sahabat berganti menjadi perhatian seorang bocah ingusan yang mengharapkan bisa diterima cintanya oleh seseorang gadis yang dia cintai, Aku menyukai sahabatku sendiri dan itu lebih sulit bagiku untuk mengungkapkanya Aku khawatir ketika menyampaikan perasaan itu maka persahabatan yang selama ini kami rajut akan hancur hanya dengan seutas perkataan “aku mencintaimu”.

 

Lama kami menjalani persahabatan, entah berapa banyak kenakalan yang telah kami lakukan, entah berapa kali kami membolos sekolah hanya sekedar nonton konser atau  bertengger dipinggir lapangan bola menyaksikan kejuaraan 17 Agustus, sambil menikmati kopi hangat dan kacang goreng  buatan Ibu Sumi,  yang terasa berbeda jika Aku menikmatinya bersama  Ana Andiany.

 

Singkatnya hari Senin 13 Mei 2005, kami dan semua Wali Murid kelas tiga  diundang ke sekolah MTS Al-Jamiiah untuk menghadiri acara pelulusan, sekolah yang kurang lebih tiga tahun telah menemani kami dalam kedukaan dan kebahagiaan, dalam kepiluaan dan kebersamaan, raut wajah tegang yang tidak mampu disembunyikan terus saja menanungi 27 Siswa MTS  AL-Jamiiah termasuk kami berdua, perlahan satu persatu Wali Murid dan Guru-Guru mulai berdatangan, dan suasana haru biru pecah ketika mendengar pengumuman bahwa angkatan kami saat itu dinyatakan lulus 100 %, antara sadar dan tidak sadar, bahagia ataukah harus bersedih, pernyataan  tersebut secara otomatis akan mengantarkanku kepada sebuah kata perpisahan dengan sosok sahabat yang amat kucintai, Aku pernah membicarakan masalah ini jauh-jauh hari dengan Ana Andiany bahwa kami tidak ingin terpisahkan oleh seutaas tanda kelulusan tersebut.

 

Alhasil solusinya, kami bersepakat memilih melanjutkan ke sekolah yang sama, MAN Jampang Tengah adalah Sekolah tujuan kami, namun tuhan memang berkata lain dengan keinginan kami berdua, Aku terus melanjutkan misiku untuk menjadi seorang Jurnalis dan  bersekolah di MAN Jampang Tengah kemudian memilih jurusan Bahasa, dan Ana Andiany bersekolah di daerah Sagaranten, sekolah yang memang terjangkau dari rumahnya, dia memilih sekolah tersebut karena tidak diijinkan orang tuanya untuk ngekost, atau mengontrak rumah dan bersekolah ditempat yang sama denganku.

 

Kenyataan seperti itu tidak lantas memisahkan kebersamaan kami, meskipun kami berlainan Sekolah tetapi Aku dan Ana masih bisa bertemu karena jarak antara Sekolah kami hanya dpisahkan oleh tarif Bus 1000 rupiah saja, kami masih sering nonton konser bareng ke lapangan merdeka, nonton bola lagi, bolos sekolah lagi, maen PS bareng dan segala kenakalan-kenakalan masih sering kami lakukan. indah bukan main saat itu.

 

Hingga pada suatu keadaan Aku dipertemukan dengan seorang gadis yang sejurusan denganku, Jurusan Bahasa adalah sebuah keadaan yang mengenalkanku kepada sosok Nisa Rahma, gadis yang baik, lugu, badanya tegap, dan begitu kental akan ilmu keagamaan, dia merupakan keponakan dari Ustadz besar dilingkungan sekolahku.

 

Secara tidak langsung sosok Nisa sejenak menghilangkan sosok Ana Andiany yang kucintai bukan Ana Andiany sebagai sahabatku, akhirnya karena kebaikanya aku menerima apa yang dia inginkan untuk menjadi pacarku, meskipun aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa hati dan perasaanku hanya untuk sosok Ana Andiany, tetapi Aku mencoba untuk menjalani hubungan ini meskipun sangat menyakitkan bila sampai gadis lugu ini mengetahuinya, aku juga mengetahui bahwa Ana Andiany sudah menjalin hunungan dengan seorang Pria satu sekolahan denganya bernama Leo Prasetia, alasan itulah yang membuat aku menerima Nisa menjadi pacar, tepatnya menjadi pelampiasan kekesalanku terhadap Ana Andiany.

 

Singkatnya aku menjalani hubungan dengan Nisa, tidak begitu banyak keromantisan yang kudapatkan meskipun Nisa selalu berkata bahwa dia selalu merasa bahagia dengan hubungan ini, Aku memang dikenal seorang penyair yang suka memberikan kata-kata indah kepada setiap perempuan yang dekat denganku, alhasil sosok Nisa pun merasa terbuai dengan segala goretan tangan puisi yang sebenarnya puisi itu aku buat untuk sosok Ana Andiany, ketika aku hendak menjelaskanya dia selalu berkata bahwa aku tidak perlu repot-repot membuatkanya puisi, dengan aku menerima cintanya dia sudah merasa menjadi wanita sempurna.

 

Alasan itulah yang mendorong pikiran dan naluri kelelakianku untuk menjelaskan semua perasaanku kepadanya, hari itu tepatnya tiga bulan kami menjalani hubungan, aku mengungkapkan semua perasaan dan kebohonganku kepada gadis lugu tersebut, aku tidak ingin lagi menyakiti gadis belia tak berdosa ini dengan segala kebohongan yang kulakukan kepadanya selama ini, dibawah tangga sekolahan MAN Jampang Tengah, Aku menguraikan air mata seorang gadis tak bedosa itu lewat sebuah kata perpisahan, satu hal yang aku ingat dari kejadian tersebut ketika dia terisak menangisi pria tak berguna seperti Aku dan berkata,

 

sesakit apapun keadaanku saat ini masih jauh lebih banyak kebahagiaan yang telah kau berikan kepadaku, aku tidak pernah merasa menyesal mencintaimu, meskipun aku harus mencintai orang yang membohongiku”.

 

Mendengar perkataan tersebut naluri kelelakianku menjadi beku tidak mampu berbuat apa-apa, hanya termenung menyesali segala kebohongan yang telah Aku lakukan terhadap orang yang begitu tulus mencintaiku, aku tersungkur diantara kedua lututku menelaah langkah kecil gadis itu meniggalkanku.

 

Kejadian singkatku bersama Nisa Rahma memberikan pelajaran besar kepadaku tentang sebuah perlakuan jujur yang harus kita lakukan dalam semua keadaan, apalagi yang menyangkut hati dan perasaan aku tidak ingin lagi membohongi semua orang termasuk diriku sendiri karena begitu terpukulnya orang yang telah dibohongi apalagi yang membohongi kita adalah diri kita sendiri, aku harus mengatakan semua perasaanku kepada Ana Andiany apapun itu resikonya Aku tidak ingin menjadi orang yang menungu dan menunggu, apalagi harus menuggu jawaban yang tak pernah terungkap pertanyaanya, meskipun Aku menyadari bahwa Ana Andiany adalah sahabatku, resiko terbesar adalah kata perpisahan dari persahabatan ini.

 

Secepat waktu meneggelamkanku dalam keterprosokan, dan kemelut tanpa akhir, Aku dan  Ana Andiany dinyatakan lulus dari Sekolah kami masing-masing, Aku sudah merancang sebuah ide cemerlang bahwa setelah lulus Aku akan pergi merantau ke Jakarta untuk mencari Uang demi mewujudkan impianku untuk melamar Ana Andiany, hari itu Aku memutuskan untuk pulang  ke rumah, hanya membutuhkan waktu tiga jam saja untuk sampai dikediamanku, tepatnya sore yang cerah aku sampai di rumah, tidak menuggu lama sehabisnya Aku melakukan Shalat Ashar dan Shalat Hajat, agar semua perasaanku kepada Ana Andiany bisa tersampaikan hari ini, aku masih mengenakan baju seragam berangkat menuju rumahnya, hanya membutuhkan waktu lima menit saja jalan kaki Aku sudah sampai di teras depan rumahnnya Ana Andiany, seperti biasa pukulan dan cubitan manja meluncur dipundaku, kemudian dia memeluk Aku  dan berkata,

 

” Ternyata si bodoh ini bisa lulus juga,”.

 

Lama kami menikmati kebersamaan, saling bercerita tentang semua kenakalan yang pernah kami lakukan, tentang kebersaman payung hujan, tentang bolos sekolah, tentang nonton konser, tentang nonton kejuaraan Sepak Bola 17 Agustus, tentang nikmatnya kacang goreng Ibu Sumi, Aku merasa semakin tak karuan, haruskah Aku mengungkapnya hari ini, antara ya, tidak, ya, tidak, terus saja berkecamuk dalam benakku, Akhirnya Ana Andiany membuka pembicaran lebih serius dan berkata,

 

” Eh Le,, tunggu sebentar ya,,! aku punya sesuatu buat kamu ,”

 

Ana beranjak meninggalkanku dan berjalan masuk menuju kamarnya, Aku semakin bergetar dan penasaran, mungkinkah dia akan mengatakan perasan yang sama denganku, bahwa dia juga secara  diam-diam telah mencintaiku ?, peluh semakin memuncak bercucuran dari badanku, tidak lama kemudian dia keluar dari kamarnya dan memberikan sebuah Saputangan Putih berbentuk segi empat kemudian Aku bertanya,

 

”Apa ini Dy,,?”,

 

“Itu Saputangan buat kamu, kamu kan seneng sekali sepak bola, jadi kalau kamu keringetan kamu bisa mengusapnya dengan saputangan ini Le,, dan kamu bisa inget terus sama aku Le,,”

 

“Terus yang didalmnya apaan,,?, tanyaku penasaran”

 

“Itu adalah surat undangan pernikahanku, dua minggu lagi aku meningkah sama Leo,, Le,,,”!

 

“Kamu harus datang ya,,!”

 

Mendengar perkataan tersebut Aku tersungkur dan membatin, menahan segala kecamuk dalam diri, tak begitu banyak yang bisa Aku katakan saat itu, Aku hanya mengatakan kata selamat, dan membawa pulang sebongkah cinta yang sampai saat ini tak pernah dia ketahui, dan tak pernah bisa dia ketahui, akupun tidak menghadiri pesta pernikahanya dengan alasan aku sudah mendapat panggilan kerja di Jakarta, padahal Jakarta masih sesuatu yang tabu bagiku.

 

Hujan yang menyelimuti seluruh tubuhku, terasa bagaikan kobaran api yang mengikuti, menjeratku dan terus membakar segala naluri kelelakianku, mungkin ini adalah jawaban dari Tuhan tentang semua kegundahanku selama ini, tidak semua rasa cinta itu  mendapat kebahagian dengan cara dipersatukan, tetapi cinta yang hakiki dimana kita merasakan kebahagian yang sama dengan orang yang kita cintai, meskipun kebahagiaan yang kita rasakan cendrung berbeda dengan apa yang dia rasakan, saat itu Aku hanya percaya Tuhan tidak hanya mengenalkanku rasa sakit dari sebongkah cinta yang tak tersampaikan, tetapi Tuhan juga telah mengenalkanku rahasia keagungan dan keindahan dibalik mencintai seseorang.

 

“Aku percaya kebahagiaanmu akan menjadi kebahagiaku, walaupun kebahagiaanku adalah memiliki dan menjadikanmu pendamping hidupku untuk selamanya, mungkin sampai kapanpun aku tidak akan bisa mememukan lagi sosok yang sama dengan dirimu, tetapi aku merasa bangga pernah menjadi sosok yang berarti bagimu karena Aku hanya mampu membahagiakanmu lewat persahabatan ini”.

(Bogor,  5 Mei 2010,)

 

Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Last Updated on 11 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *