Satu dan Seribu

SATU DAN SERIBU

Ibukota Indonesia 21 Desember 1948. Di dalam rumah yang masih diterangi dengan lampu minyak, Abimanyu dan istrinya merasakan suasana mulai menegang. Apa yang terdengar dari dalam rumah itu hanyalah suara bisikan dari mereka berdua.

 

 

“Apa kau yakin akan mengikuti Jendral Soedirman melakukan hal itu Pak?”

 

 

“Ya. Aku sudah merenungkan hal ini dan menurutku ini adalah hal yang harus kulakukan”.

 

 

“Setelah perang gerilya ini selesai… aku, kamu, dan anak yang ada dalam perutmu pasti akan menghirup kemerdekaan yang seutuhnya,” ucap suami sembari mengusap perut istrinya.

 

 

“Abimanyu berjanjilah bahwa kami akan terus bersama dan hanya waktu yang bisa memisahkan kami!” Ucap Rahayu dengan menggenggam erat tangan suaminya.

 

 

Keesokan harinya, 22 Desember 1948 Jendral Soedirman dan para pasukannya bersama dengan Abimanyu langsung masuk ke dalam mobil dinas dengan bak terbuka mereka meninggalkan Yogyakarta menuju garis pantai selatan untuk melakukan perang gerilya. Dasar dari perang ini adalah dikarenakan Belanda telah mengingkari perjanjian gencatan senjata. Karena itu untuk memecahkan konsentrasi pasukan Belanda maka taktik gerilya yang merupakan serangan cepat, mendadak lalu menghilang, dan berpindah tempat. Dengan keberangkatan ini maka secara resmi perang gerilya dengan Belanda dimulai.

 

 

“Ingat! Kami harus melakukan serangan dengan cepat pada setiap pos yang dijaga lalu langsung menghilang ke dalam hutan,” bisik Jendral Soedirman namun tegas.

 

 

Semua orang mengangguk dan mulai memfokuskan pandangan mereka pada pos yang berada di kota Solo. Sekarang bahkan aku bisa merasakan nafas dari setiap teman yang berada di dekatku. Terutama nafas Jendral yang kondisi kesehatan paru-parunya mulai memburuk akhir-akhir ini. Sungguh kurasakan senjata yang kugenggam terasa sangat dingin. Berapa lama menit telah berlalu? Ataukah hanya beberapa detik yang telah berlalu? Entahlah waktu ini terasa seperti selamanya. Tepat saat aku menghelakan nafas—

 

 

“Sekarang!!”

 

 

Tepat Jendral memberikan sinyal kami semua berlari ke dalam pos. Kulihat ada seorang tentara dari Belanda sadar akan kedatangan kami dan mulai membunyikan lonceng. Segera kuangkat senjata dan mulai meletakkan nya di depan dada dan kufokuskan moncong senjatanya ke arah musuh, “Slap!!”.

 

 

Bagus senjata yang telah kuberikan peredam telah tepat mengenai kepalanya. Kuharap musuh belum menyadari keberadaan kami. Sayangnya, ternyata terdapat dua orang yang menjaga pos dan aku tak menyadarinya. Karena melihat serangan dari kami ia langsung membungkukan tubuhnya serendah mungkin dan berlari membunyikan lonceng.

 

 

“Tang tang tang tang!!!” *suara lonceng*

 

 

“Musuh!!” ucapnya menggunakan bahasa Belanda.

 

 

Buruk! Ketahuan. Aku harus segera membungkamnya. Tepat aku akan segera mengangkat senjataku kembali ternyata Tardi  yang tepat disebelahku telah menembakan pelurunya dan berhasil membungkamnya. Hanya selang beberapa detik telah banyak para tentara Belanda yang keluar dan mulai mengangkat senjatanya pada kami. Para warga yang mulai menyadari adanya serangan mulai berlari dan melindungi diri mereka dengan memasuki rumah.

 

 

“Menyebar!!”

Baca:  NALENDRA

 

 

Sebelum pelatuk dari senjata mereka ditekan, Jendral telah memberikan instruksi. Kami semua menyebar dan berlindung di gang.

 

 

“Drrrrt drrrrt drrrt!!” *Bunyi tembakan*

 

 

Uhh! Jadi bagaimana kami menyerang sekarang? Pikirku untuk kembali membalas serangannya. Tiba-tiba ada sosok bayangan yang melintas di tengah jalan dan langsung ditembaki oleh mereka.

 

 

Siapa itu? Sebelum diriku bertanya-tanya akan hal tersebut Tardi telah keluar dari persembunyiannya dan menyerang mereka dengan berlari ke dalam gang lain. Kulihat ternyata yang tadi musuh tembaki adalah beberapa batang kayu untuk penalih perhatian. Jadi hal seperti itu juga bisa digunakan. Kalau begitu aku akan seperti ini. Kulangkahkan kakiku dengan cepat namun hati-hati untuk lebih memasuki gang dan mencari jalan lain agar bisa berada dibelakang musuh. Jika tidak ada jalan lain maka setidaknya aku telah semakin mendekati mereka. Saat aku sibuk mencari jalan terdengar suara tembakan kembali. Dan ini lebih ramai dan keras dari yang sebelumnya.

 

 

Apa yang terjadi?! Adakah rekanku yang terserang?! Aku harus cepat. Syukurlah tak lama aku telah menemukan jalan yang mengarah di belakang tentara musuh sekamir di kanan belakang. Karena musuh sedang fokus menembak ia menyadari kehadiranku di dekatnya, Langsung saja kuhabiskan semua peluru yang ada di dalam senjata dan kembali memasuki gang.

 

 

“Semua mundur!!”

 

 

Instruksi dari Jendral terdengar kembali dan kami semua keluar secepat mungkin menuju hutan sejauh mungkin. Secepat masuk secepat keluar. Itulah yang ditekankan Jendral kami pada serangan ini. Nafasku mulai terengah-engah semakin aku menjauh dari tempat penyerangan kami sebelumnya. Semakin jauh semakin baik, dan semakin rimbun pepohonan semakin baik. Kami semua berhenti berlari saat kulihat pos tempat kami menyerang sebelumnya tak terlihat. Semua terengah-engah, tak ada satupun yang berbicara. Hanya terkadang mereka tersenyum bahwa menyadari serangan kami telah berhasil.

 

 

Beberapa bulan telah berlalu dan sungguh beruntung aku masih hidup dalam setiap serangan gerilya yang cepat. Dari menyusup dan menghilang, sabotase persenjataan, dan pelarian karena tempat persembunyian kami diketahui oleh musuh. Dan sekarang pada awal Februari Jendral kami mendapatkan laporan bahwa Belanda telah menyatakan propaganda jika Republik Indonesia telah tidak ada lagi. Dari hal itu Jendral menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna memutar balikan propaganda Belanda.

 

 

Usai diskusi masalah penyerangan yang terbuka pada Belanda, Tardi, teman dekatku mengajak berbicara, “Abimanyu, kudengar istrimu sedang hamil saat ini?”.

 

 

“Ya itu benar Tardi. Sekarang sudah berumur 3 bulan.”

 

 

“Saya yakin anakmu akan menjadi anak yang pemberani seperti Bapaknya,” ucapnya sembari tersenyum menenangkan.

 

 

“Saya juga memiliki keyakinan seperti itu. Bahkan saya mendapatkan inspirasi namanya dari keadaan perang ini, Tardi”

 

 

“Benarkah? Lalu siapa namanya? “

 

 

“Namanya—.”

 

 

Sebelum aku selesai mengatakan namanya, seorang yang ditugaskan untuk mengintai telah menerobos masuk ke dalam rumah dan memberikan laporan bahwa gudang senjata dari tentara musuh telah ditemukan. Mendengar hal tersebut raut muka kami langsung berubah menjadi serius dan menyuruh semua pasukan untuk bersiap.

 

 

Suasana masih gelap, hal ini dikarenakan matahari belum memunculkan dirinya dari timur, lalu aku bersembunyi dalam semak-semak, aku berusaha membuat diriku berbaur dengan semak dan pepohonan. Menurut laporan yang sebelumnya, gudang senjata musuh ada dalam tengah desa dekat dengan rumah lurah. Kuawasi dari sini tak ada penjaga di pos luar. Mungkin mereka masih tertidur. Kutarik nafas panjang dan kupegang saku kiriku. Ini adalah nama yang telah aku siapkan untuk anakku. Saat aku menyentuhnya sungguh perasaan dalam diriku mulai menghangat. Ini adalah anakku satu-satunya dan ia akan menjadikan ribuan kebahagian untuk orang lain. Aku yakin itu.

 

 

“Sssttt.”*suara siulan*

 

 

Mendengar suara itu kutengokan kepalaku ke kanan dan melihat Tardi memberikan kode jari telunjuk dan jari tengah yang ditumpuk. Itu merupakan kode yang artinya akan melakukan serangan berdua. Jadi kuanggukan kepalaku dan bersiap berlari bersamanya.

 

 

Tepat ketika Tardi memberikan sinyal maju kami berdua langsung berlari ke arah desa. Kulihat semakin dekat pos penjagaan memang kosong, Ini tak seperti biasanya pos penjagaan dibiarkan kosong. Setelah memasuki gerbang disana pun masih sepi dan kosong. Kami berdua langsung berhenti dan bersembunyi dekat pohon di depan gerbang. Kuberikan kode pada pasukan dibelakang kami bahwa kondisi aman lalu mereka keluar dan maju mendekati desa.

Baca:  INGATAN TENTANGMU JALAN PULANG YANG KUKENALI

 

 

Disaat itulah aku menyadari bahwa keanehan itu memang benar. Tepat disaat semua pasukan akan memasuki desa, pasukan musuh langsung keluar dari semak dan pepohonan yang posisinya lebih jauh dari kami. Otomatis dengan ini kami mulai terkepung dan jalan yang terbuka hanyalah untuk masuk ke dalam desa. Sontak kami semua lari dan bersembunyi ke dalam desa. Banyak suara tembakan telah berbunyi.

 

 

Apa yang terjadi? Apakah rencana kami telah bocor? Kenapa mereka bisa tahu jika kami akan menyerang? Kuharap Jendral baik-baik saja. Lebih baik aku langsung berlari menuju gudang senjata dan mendapatkan granat atau bahan peledak untuk membukakan jalan untuk melarikan diri. Berlari, telungkup, berjongkok, semua kulakukan agar pelarianku aman dan berhasil mencapai gudang senjata. Dan saat ini tibalah aku di depan rumah yang menurut pengintai adalah gudang senjata. Kucabut pisau dan langsung kurusak pintunya. Namun saat kubuka pintu yang kulihat adalah para gadis-gadis yang ketakutan dengan posisi kedua tangan terikat.

 

 

“Sial!!”

 

 

Tanpa sadar aku menggeram karena informasi yang diberikan pengintai salah. Tapi untuk saat ini lebih baik lepaskan saja ikatan mereka dan bertanya pada mereka. Kucabut kembali pisau di pinggangku dan memotong tali yang mengikat tangan mereka.

 

 

“Terimakasih… terimakasih…,” ucap mereka hampir bersamaan.

 

 

“Adakah dari kalian yang mengetahui gudang senjata disini?”

 

 

“Emm saya tahu, tempatnya ad—“

 

 

Saat itulah tentara musuh ada yang masuk dan langsung menembak. Aku langsung berbalik dan balas menembaknya sembari berlari ke balik meja, namun syukurlah tembakanku telah berhasil mengenainya. Aku langsung berdiri untuk kembali menanyakan gudang sejata pada gadis tadi, namun saat berdiri itu baru kusadari kakiku terasa panas menyengat. Kulihat kebawah dan disana di bagian betis kiriku nampak darah merembes keluar.

 

 

Nampaknya kakiku telah tertembak. Namun hal ini bukanlah apa-apa dibandingkan dengan kondisi Jendral. Ini bukanlah waktu untuk menyerah. Kuhampiri kembali gadis tadi sembari kuseret kaki kiriku karena mulai melemas. Melihatku, gadis itu menampakan wajah takut sekaligus khawatir. Namun dia langsung merobek lengan bajunya dan mengikatkan pada pahaku agar darahnya berhenti keluar.

 

 

“Jadi dimana gudang senjatanya?” tanyaku ditengah ia membelitkan kain pada pahaku.

 

 

“Tempat itu ada di dekat gerbang masuk desa. Rumah pertama sebelah utara.”

 

 

“Selamatkanlah diri kalian terlebih dahulu, saya mohon maaf karena tak bisa melindungi kalian sampai akhir, saya memiliki tugas yang harus dilakukan sekarang.”

 

 

Aku langsung berlari tanpa menunggu mereka menjawab. Sebelum keluar dari rumah tersebut kuintip kondisi sekamir dan masih terdengar banyak suara teriakan dan tembakan. Aku harus menyelinap dan melaporkan pada orang lain karena kami mendapatkan salah informasi. Kupaksakan kakiku brlari walaupun sembari terseret-seret. Ditengah pelarian aku melihat tardi bersembunyi di balik rumah warga. Kuhampiri dia dan kuberikan informasi yang baru saja kuterima. Dia sempat geram mendengarnya namun saat melihat aku berlari dengan terseret-seret dia langsung menyadari bahwa aku tertembak di kakiku. Namun aku menolak sarannya untuk aku keluar dan bristirahat. Bagaimanapun juga tak ada waktu untuk beristirahat jika taktik sabotase senjata ini saja tak berhasil.

 

 

Dengan pundak Tardi akhirnya aku dibantu dia untuk berjalan dan menyelinap. Banyak musuh telah kami berdua lawan. Sungguh memiliki teman saat kau melemah merupakan hal yang baik. Terkadang Tardi melepasku dan menembakan senjata pada musuh dan kutembakan juga peluruku pada musuh walaupun berdiri dengan satu kaki. Tak jauh dari pusak desa, kami bertemu dengan Jendral di atas tandunya dan melaporkan informasi yang kami dapat. Lalu akhirnya kami memutuskan jika aku dan Tardi yang akan menyelinap dan sebisa mungkin mencuri persenjataan mereka.

 

 

Dan akhirnya setelah menyelinap dan menyerang beberapa musuh yang kami temui, kami tiba di rumah yang menurut gadis sebelumnya mengatakan tempat ini adalah gudang senjata. Saat membuka pintu ternyata ini terkunci rapat dan terdapat beberapa gembok pula. Jadi aku dan Tardi mengeluarkan pisau kami dan merusak kunci dan gembok itu satu per satu. Satu gembok, dua gembok, tiga gemboj. Akhirnya setelah semua gembok dan kunci brhasil kami rusak dan membuka pintunya isi dari rumah itu terlihat.

Baca:  SUNYI

 

 

“Persenjataan ini bisa untuk meledekan satu desa kan?” gumam Tardi sembari menggelengkan kepalanya.

 

 

“Cepat Di! Kami harus bisa mengambil sebanyak mungkin alat peledak dan senjata ini.”

 

 

Tanpa pikir panjang langsung kukeluarkan karung yang kusimpan di belakang rompi dan membukanya lebar-lebar. Dengan bantuan Tardi kami berdua memasukan alat peledak terlebih dahulu lalu memasukan senjata. Di saat inilah kami mendengar ada beberapa tentara musuh berteriak tak jauh di belakang kami. Sontak kami berdua langsung membalikan badan cepat-cepat dan menyiapkan moncong senjata kami ke arah pintu. Bnamun sebelum suara itu semakin mendekat langsung saja kutembakan senjataku tepat di arah suara mereka berada. Melihat itu Tardi langsung mengguncangku.

 

 

“Hei mereka belum masuk kenapa kau tembak?!”

 

 

“Tak ada waktu untuk menunggu! Seharusnya peluru tadi menembus tembok kayu itu dan berhasil melumpuhkanntya. Cepat Di! Kembali masukan semua persenjataan ini!.”

 

 

Akhirnya hanya Tardi yang memasukan persenjataan itu dan aku mengawasi kondisi luar.

 

 

Selesai memasukan persenjataan sebanyak mungkin ke dalam karung lalu kami berdua menyelinap dan keluar kembali. Namun tempat saat kami keluar… sudah ada 4 orang yang melihat dan mulai mengejar. Dengan kakiku yang terluka seperti ini sudah jelas keberadaanku hanya menghambat pelariannya.

 

 

“Uhh Larilah tanpa diriku Di!”

 

 

“Apa yang kau katakan? Kami hanya harus berlari dan mencari bala bantuan.”

 

 

“Kakiku tak bisa kubawa untuk berlari. Lebih baik kau bawa lari sendiri dan bawa persenjataan itu. Saya yang akan menghambat pengejaran tentara musuh. Cepat!”

 

 

“Jangan bercanda! Kami berangkat bersama dan pulang juga akan bersama!!”

 

 

“Cepatlah ! atk ada waktu untuk brdebat! Kutitipkan ini dan kuambil satu peledak itu.”

 

 

Kuberikan kertas yang tersimpan di saku dada kiriku dan kuambil satu bahan peledak yang muncul di atas karung. Dan mengatakan , “Sampaikan salam terakhirku pada istriku,”.

 

 

Kudorong badan tardi dan langsung berlari kembali ke arah aku lari tadi. Kusembunyikan diriku di balik gerobag dan bersiap untuk memberikan serangan kejutan pada mereka. Demi kemenangan! Demi kemerdekaan! Demi—

 

 

***

Suara sorak sorai bahagia orang-orang saling bersahutan. Kabar bahwa serang 1 maret telah berhasil dan Indonesia telah mengakui bahwa Indonesia tidaklah negara yang kecil dan bahwa NKRI adalah satu dan NKRI adalah harga mati. Sungguh kebahgian itu bisa dirasakan oleh setiap orang dan seluruh rakyat Indonesia. Semua merasakannya termasuk seorang wanita ayu yang berperut buncit. Ia adalah Rahayu istri Abimanyu. Dengan kpercayaannya pda suaminya ia setia menunggu selalu menunggu dari kepulangan pria yang ia cintai. Tiga hari lima hari satu minggu ia menunggu kepulangannya namun sosok yang ia cintai tak kunjung datang. Hingga akhirnya di malam hari dimana ia sedang merenung sendirian di rumahnya.

 

 

“Tok tok tok.” *pintu diketuk*

 

 

Dengan hati yang bahagia rahayu berdiri dan berlari kecil untuk membukakan pintu rumahnya. Sayangnya orang yang berada di balik pintu bukanlah orang yang ia tunggu namun teman sekampungnya Tardi. Melihat wajah Rahayu yang nampak kecewa setelah melihat wajahnya Tardi hanya bisa tersenyum pahit dan menundukan kepalanya. Dengan diam Tardi memberikan secarik kertas pada Rahayu.

 

 

“Banyak yang akan saya padamu, namun kertas ini adalah harta Abimanyu yang ingin diberikannya padamu dan anak yang sedang kau kandung.”

 

 

Dengan jantung yang jantung yang semakin berdebar-debar Rahayu mengambil kertas itu dan membukanya. Dalam kertas putih yang nampak kotor dan hampir sobek itu, mungkin karena sering dibuka tutup Rahayu membukanya. Di dalamnya hanya tertulis tulisan singkat… anak yang akan menjadikan seribu kebahgiaan. Kresna.

 

 

Bagikan artikel ini
Alma Malik
Alma Malik
Articles: 1

41 Comments

Leave a Reply