Sebuah Esensi dan Aksesori

Pagi cukup cerah, meski sang fajar tampak malu-malu memancarkan sinarnya, cahaya lembut pagi berpadu dengan dingin hingga menghasilkan embun. Para siswa, guru, dan pegawai di sekolah menengah atas favorit di kotaku, berarak memenuhi gedung yang kokoh ini. Mereka menyambut kedatangan keluarga baru, siswa-siswi baru yang dinyatakan lulus dan berhak mengenyam pendidikan di sekolah ini, Ada yang terlihat sederhana. Tetapi, ada pula yang terlihat seperti masyarakat urban yang berkelas, Bahkan terkadang mereka memilih teman, hanya bergaul sesamanya. Mungkin secara fisik mereka tampak sederhana tapi dalam pikiran mereka tersimpan angan yang begitu tinggi untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Bagaimanapun keanekaragaman itu, semua menyatu dalam sebuah kegiatan penyambutan Siswa Baru.  

Namaku Amanda Putria, aku berasal dari keluarga yang bisa dibilang berada. Aku anak satu-satunya orangtuaku, meski begitu aku bukanlah anak yang manja, yang apa-apa mesti orangtua. Sekarang aku sudah berusia 15 tahun yang duduk d kelas X. Hari ini adalah hari yang baru untukku belajar kimia, karena sewaktu di Sekolah Menengah Pertama (SMP) kimia, fisika, dan biologi termasuk dalam pelajaran IPA. Ternyata belajar kimia itu menyenangkan apalagi gurunya yang sangat ramah dan membaur dengan kami. Aku termasuk siswa yang berprestasi di bidang akademik terutama matematika. Banyak orang mengatakan Jika dia bisa dalam matematika otomatis dia akan bisa fisika dan kimia”. Ku kira itu hanya pepatah konyol, ternyata tidak. Malah aku berkesimpulan Jika sesorang bisa ilmu matematika, ilmu lainnya akan mudah untuk dipelajari”.

Tak terasa setelah beberapa bulan di sekolah, aku mulai bosan dengan suasana lingkunganku, aku mulai mencari berbagai kesibukan apalagi di zaman yang serba modern ini, siapa yang tidak kenal dengan Facebook, salah satu jaringan sosial di situs internet yang di ciptakan oleh Mark Zukerberg seorang mahasiswa Harvard University, situs yang menjadi candu di kalangan anak muda tak terkecuali aku.

Aku menikmati pertemanan dengan seorang laki-laki seusiaku di dunia maya, namanya Rio Pratama, kami saling berbagi cerita dalam segala hal, baik itu tentang sekolahku, maupun tentang keluargaku. Setiap pulang sekolah aku langsung mencari ponselku untuk membuka Facebook, aku hanya bisa online di rumah karena di sekolahku tidak diizinkan membawa ponsel, bagi yang ketahuan akan dikenakan poin 500, sedangkan batas maksimal poin adalah 1000. Hanya dua kali saja membawa ponsel ke sekolah bersiap lah untuk di Drop Out di sekolah. Meski begitu tetap saja ada beberapa siswa nakal yang membawa ponsel, asalkan cakap dalam berkilah saat diadakan razia ponsel yang dilakukan oleh OSIS sekolahku. Tentu saja aku tak mau ambil resiko mengorbankan pendidikan sekolah hanya demi sebuah ponsel.

Hari-hariku kuhabiskan bermain Facebook dan berhubungan dengan orang luar lewat dunia maya ini. Sangat mengasikkan memang di dunia maya kita bisa berintreraksi dan berbagi cerita tanpa batas, chatting dengan Rio Pratama dengan bahasa sesukaku, aku butuh teman untuk berbagi dan mengerti aku, setiap kali aku online selalu kutemui namanya semangatku langsung menggebu-gebu. Aku bercerita tentang apa saja yang aku alami setiap harinya. Mulai dari cerita guru matematikaku yang killer hingga ke sesuatu yang tak begitu berarti sekalipun. Aku dan Rio itu bagaikan orang yang sudah saling mengenal sangat lama, padahal baru beberapa pekan saja, diantara kami tercipta yang namanya “Take and Give, kadang ku berfikir tak ada orang yang begitu respect padaku selain dia, apakah mungkin aku mulai menyukai Rio, padahal kan aku belum pernah bertemu, bertatap muka dengannya atau istilah lainnya face to face, yah cinta itu buta, ia tak memandang jarak raga, akan tetapi ia hanya melihat hati si pemilik raga.

Hari yang tak ku duga, ternyata hari ini adalah hari ulangan biologi, aku tak tau apa yang terjadi nanti dengan nilaiku, aku terlalu sibuk dengan Facebook baruku, hingga aku lupa untuk belajar menghadapi ulangan ini.

”Oh tuhan..apa yang akan ku tulis sebagai jawaban dari test ini..” bagiku menyontek itu suatu hal yang memalukan, tapi apa boleh buat, dari pada nilaiku yang jadi taruhannya, untuk kali ini aku harus menebalkan mukaku dari kalimat mencontek itu. ku coba lirik jawaban Andin teman yang duduk di sebelahku. Detik demi detik berlalu hingga berganti menjadi menit, dan menitpun berlari menuju jam, hingga akhirnya waktu untuk menjawab test ini habis.

Setelah pengawas keluar dari ruangan kelasku, aku hanya terpaku lesu, berharap nilaiku tidak terlalu buruk. Aku sadar, aku telah mengabaikan pelajaranku untuk hal yang kurang bermanfaat. Aku harus mengubah nilaiku, mengejar ketertinggalanku, aku anak satu-satunya, aku tidak boleh mengecewakan orangtuaku.

Hari yang indah, untuk memulai hal yang baru, ku lihat di papan mading sekolahku “Lomba Menulis Cerpen”, awalnya aku tidak tertarik, tapi ku pikir-pikir tak ada salahnya aku gali bakatku di dunia sastra. Aku mulai mencorat-coret buku tulisku, dan menulis bayangan inspirasi yang ada di otakku, Sesuatu itu teman-teman, adalah sesuatu yang paling penting untuk ditemukan. Sisanya bonus. Kepalaku tidak bisa menjawabnya. Hanya hati yang tahu. Di titik pertemuan antara aku dan bara api yang membakar jiwaku itulah kabut kepenulisan akan meluruh dengan sendirinya. Aku seketika bisa membedakan mana yang penting dan mana yang tidak penting, mana yang esensi dan mana yang aksesori.

Satu modal pemikiran untuk bangsa kita, perubahan di negara ini tidak akan tercapai bila tidak kita mulai dari diri sendiri. Berpegang teguh pada pendirian dan rubahlah apa yang ada di dalam jangkauan tangan kita. Bila berjuta anak Indonesia ingin berubah, maka negara ini akan berubah. Kita tidak perlu mengamuk berkoar di jalan ingin merubah yang kita tidak bisa, tapi rubah apa yang bisa kita gapai dan pertahankanlah sistem edukasi yang berderajat.

Editor: Isti

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *