Sekolah Inklusi Perwujudan Semboyan Bhineka Tunggal Ika

Dalam berbagai pembicaraan sekolah inklusi menjadi satu topik menarik, baik itu dalam seminar, artikel-artikel, pemberitaan, hingga di kalangan para orang tua. Sebenarnya sekolah inklusi itu apa sih? Awalnya saya juga bertanya-tanya. Belum sekolah, kata inklusi itu sendiri menjadi pertanyaan di benak saya. Baru sekitar beberapa bulan yang lalu saya mengerti makna sekolah inklusi. Jawaban saya dapat dari seorang tunanetra bernama Setia Adi Purwanta yang menjadi pembicara dalam workshop Pendidikan Inklusi yang bertempat di ruang kelas Sekolah Luar Biasa (SLB) Bhakti Kencana II Jetak, Sendangtirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta pertengahan Desember lalu.

Pada dasarnya pendidikan inklusi mengacu pada istilah “keterbukaan” yang berusaha mengembalikannya pada falsafah negara kita “Bhineka Tunggal Ika.” Dengan cara menerapkan prinsip-prinsip pendidikan yang seharusnya diterapkan, seperti adanya peserta didik beraneka ragam yang tidak bisa disamakan, kesetaraan, non-diskriminatif, aksesibel (begaimana materi-materi harus dipelajari secara setara oleh peserta didik, sesuai porsi dan kemampuan siswa), memperhatikan potensi tumbuh kembang anak yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka, dan berperspektif gender (kesetaraan hak peserta didik perempuan).

Baca:  Man Jadda Wajada, Man Shabara Zhafira.

Kadangkala kita salah kaprah memaknai sekolah inklusi. Ketika sekolah sudah menerima siswa difabel, yang biasanya diartikan sebagai anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik sudah dikatakan sekolah inklusi. Dengan kata lain seakan makna sekolah inklusi dipersempit dengan penerimaan siswa-siswa difabel saja. Padahal makna pendidikan inklusi itu lebih luas lagi. Dalam sebuah artikel tertulis bahwa inklusi digunakan sebagai pendekatan untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka, mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang dengan berbagai perbedaan latar belakang, karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, budaya, dan lainnya.

Kekeliruan lain yaitu keterbukaan sekolah itu hanya menerima siswa yang memiliki kemampuan intelegensi. Padahal jika ditarik pada prinsip-prinsipnya setiap anak, entah itu memiliki atau kekurangan intelegensi berhak memasuki sekolah inklusi. Beberapa Sekolah umum maupun Menengah Kejuruan juga masih memberikan pembatasan syarat tinggi badan, bebas narkoba, dan tidak hamil bagi calon siswa. Entah itu memiliki latar belakang bermasalah atau tidak calon siswa tetap memiliki hak untuk bersekolah. Hal ini yang sejalan statement Salamanca “education for all,” meraih pendidikan adalah hak semua orang. Jika pembatasan-pembatasan ini masih diterapkan, mau sampai kapan pendidikan negeri ini mengajarkan ketidakadilan dengan cara membatasi hak-hak dasar orang lain?

Selain itu, menurut Setia Adi sekolah inklusi bukan hanya mencampurkan anak satu dengan anak lain, tapi juga memberikan fasilitas alam sekitar. Fasilitas tersebut berbentuk aksesibiltas sarana dan prasarana. Sarana bukan hanya alat-alat penunjang pendidikan, namun juga berbentuk perhatian tenaga pendidik dan keterbukaan teman-teman mereka. Pasca diturunkannya Perda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) no. 14 tahun 2012 mengenai implementasi pendidikan inklusi, dalam isi Perda menyebutkan sekolah-sekolah yang mempunyai anak difabel harus memenuhi persyaratan sarana dan tenaga pengajar, dalam waktu 2 tahun setelah dikeluarkan Perda tersebut.

Baca:  Kebijakan Yang Tak Bijak

Sekolah Inklusi Ajarkan Anak Hargai Perbedaan

Dulu, sewaktu sekolah di Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) keadaan teman-teman saya hampir sama. Biasanya mereka berasal dari daerah yang sama, memiliki bahasa yang sama, agama yang sama, dan kesamaan-kesamaan lainnya. Akhirnya dalam benak kami terbentuk pola pikir inilah dunia kami. Dunia kecil yang kami tinggali seakan-akan sudah merepresentasikan dunia secara keseluruhan. Hingga dalam beberapa tahun itu kami lupa bahwa ada teman-teman di luar sana yang memiliki perbedaan, seperti anak-anak jalanan, anak-anak berbeda suku, agama, ras, anak-anak yang sedang menjalani rehabilitasi, juga anak-anak yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB). Bahkan kala itu, kata SLB di daerah kami biasanya menjadi bahan olok-olokan antar teman. SLB identik dengan hal-hal yang berbau bodoh (baca: idiot) dan ketidak mampuan.

Dalam kurun waktu beberapa tahun itu saya tidak pernah “bersentuhan” secara langsung dengan teman-teman yang memiliki perbedaan fisik, agama, derah, dan latar belakang lainnya. Waktu itu seolah dunia aman-aman saja. Maksimal saya bisa melihat teman-teman saya itu melalui tayangan televisi. Barulah ketika memasuki Perguruan Tinggi saya melihat secara langsung mereka. Itu pun baru sebagian kecil, misal sebatas perbedaan fisik dan daerah. Kemudian lambat laun saya juga mengenal teman-teman dari agama lain, teman-teman yang memiliki budaya dan pemikiran berbeda. Penerimaan-penerimaan dan penyesuaian diri itu berjalan seiring dekatnya saya dengan mereka. Pemikiran sempit terdahulu yang menganggap dunia harus seragam mulai berubah dan tergeser dengan kenyataan bahwa ada perbedaan di luar wilayah kita yang ikut menghiasi dunia. Perbedaan yang biasanya tergabung dalam kelompok-kelompok minoritas itu juga memiliki hak yang sama dengan orang-orang pada umumnya. Namun, kadangkala mereka masih terpinggirkan.

Baca:  Sebuah Apologia

Kemudian saya berpikir, Andai dari dulu setiap sekolah memperbolehkan teman-teman kami yang berbeda itu ikut masuk dan duduk belajar bersama. Andai dulu di sekolah kami memiliki banyak teman-teman yang memiliki latar belakang berbeda. Pastilah saya dan teman-teman yang lain lebih memiliki pemikiran terbuka, tidak membeda-bedakan, dan tidak memandang sebelah mata mereka. Kami bisa saling membantu dan berteman satu sama lain. Saya juga menyayangkan, dalam sebuah diskusi ada seorang pengajar keberatan memasukan anak-anak berkebutuhan khusus ke sekolah umum karena katanya akan merepotkan dan guru susah mengajari mereka agar mampu mengikuti standar kompetensi yang ditetapkan pemerintah.

Lho, kok pendidikan terkesan kaku seperti itu? Bagaimana mau menanamkan jiwa humanis dan rasa saling menghargai pada siswa-siswa jika pemerintah dan gurunya saja seperti itu. Itu kan soal teknis saja. Saya lebih setuju dengan pernyataan Pak Setia Adi bahwa setiap anak memiliki porsi dan kemampuan yang berbeda, setiap anak bisa naik kelas dengan standar pencapaian yang mereka miliki masing-masing, setiap anak boleh sekolah. Janganlah jadikan sekolah itu lembaga “mengerikan” yang hanya mengedepankan anak agar pandai menghafal materi pelajaran dan berlomba-lomba menjadi nomor satu. Biarkanlah sekolah menjadi lembaga yang mengajarkan anak-anak tentang nilai-nilai kehidupan, tenggang rasa, berbudi luhur, berjiwa humanis, dan menghargai perbedaan orang lain (Iis).

Yogyakarta, 21 Maret 2015

Bagikan artikel ini
Iis E.
Iis E.

Penggembala Kata

www.silakandibuka.blogspot.co.id

Articles: 4

3 Comments

Leave a Reply