Selesai dengan Perang

Jakarta – Beberapa pekan terakhir,  media tanah air di penuhi oleh berita-berita yang berisi tentang kekerasan.  Sebut saja peristiwa bentrokan yang terjadi antara pelajar SMAN  6 Jakarta dengan para wartawan (19/09). Juga peristiwa perusakan patung yang di lakukan sekelompok warga sebagai sikap protes terhadap Bupatinya yang membangun patung dengan APBN di Purwakarta. Sebelumnya kita juga sempat melihat peristiwa kerusuhan di Ambon yang membuat kota itu lumpuh beberapa hari lamanya. 

 

Peristiwa-peristiwa tersebut seolah memberi kesan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang beringas. Bukan hanya rakyat nya. Bahkan wakil-wakil mereka di DPR pun sempat tertangkap kamera memperagakan aksi serupa dengan melemparkan botol dan gelas bekas air mineral kepada ketua sidang saat sidang paripurna berlangsung, kejadian itu berbuntut kericuhan di ruang sidang yang akhir nya di saksikan oleh seluruh warga negara Indonesia. 

 

Sekilas kesan yang didapatkan dari beberapa kejadian di atas seolah-olah bangsa kita adalah bangsa yang gemar dengan hal-hal yang berbau kekerasan. Sepertinya benar apa yang di katakan oleh seorang sosiolog. Bahwa tempramen bangsa kita adalah emosional, dan bila telah menumpahkannya, segala urusan akan menjadi selesai.  

 

Padahal bila kita ingat di sekolah, kita sering mendapat pelajaran tentang moral dan budi pekerti. Bahkan bangsa Indonesia sempat dikenal sebagai bangsa yang berbudaya tinggi, suka bergotong royong, toleran, penolong, pemaaf, serta mampu menghormati dan menghargai walau pun banyak perbedaan di antara mereka.

 

Entah mana yang benar. Bila pendapat sosiolog itu yang mengandung kebenaran, maka kita patut mencari bukti yang menguatkan pendapat tersebut.  

 

Kita semua tahu, sejarah Indonesia banyak di warnai dengan pertumpahan darah dan kekerasan. Baik itu di sebelum zaman penjajahan, ketika di jajah, maupun di era kemerdekaan dan reformasi.  

 

Lantas, apakah itu memang watak asli bangsa kita?  Atau apakah itu  warisan dari para penjajah?   

 

Mungkin benar mungkin juga salah. Tapi di luar semua kemungkinan itu, tak ada satu pun dari umat manusia yang mencintai kekerasan. Manusia butuh ketenangan dan kasih sayang. Bila semua masalah selesai dengan perang, maka dimanakah jiwa-jiwa yang rindu akan kedamaian?(Satrio)

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Satrio Budi Utomo

editorial staff of Kartunet.com

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *