Sepucuk Surat dari Mama Tersayang

Aku takkan pernah lupa:  Mama Maryam orang paling baik seumur hidupku. Ia selalu membawakanku nasi bungkus yang ia masak sendiri dengan lauk yang bervariasi.

Dan hari itu, aku menunjukkan padanya sebuah buku tulis yang berisi belasan cerita pendekku. Dan dengan kebaikan Mama Maryam yang memperbolehkanku untuk membaca-baca majalahnya, makin memberiku banyak ide untuk menulis.

Sejenak ia hanyut membaca cerita-ceritaku. Sebelum seluruh buku selesai ia baca, ia dongakkan kepala lalu menulis,

”Faila, kau tergolong hebat untuk anak seusiamu dalam menulis cerita. Coba cerita-ceritamu ini dikirimkan ke majalah anak-anak, ibu yakin pasti dimuat.”

“Wah, ide bagus, bu! Tapi aku tak tahu harus mengirim kemana tulisan-tulisanku”

“Tenanglah sayang. Ibu akan melakukannya buatmu.”

Aku tersenyum senang membaca tulisannya itu. Mendadak ia terpaku pada sebuah cerita di bagian akhir buku itu. Cerita yang kutulis berdasarkan kisah nyataku berjudul: Nyanyian Rindu Buat Mama.

Matanya berkaca-kaca setelah membaca tulisan itu. Tangannya agak gemetar saat menulis,” kau merindukan mamamu,sayang?”

Aku tertunduk sambil mengangguk lirih.Ya, sebulan sudah mama dan papa meninggalkanku. Aku merindukan mereka, terutama mama.

“Faila sayang, kalau kau tidak keberatan, ibu mau kau panggil mama. Anggap saja ibu adalah mama angkatmu. Jadi kau tidak usah sedih lagi, karena mamamu ada disini.” tulisnya.

“Mama?” tanyaku, agak kaget sekaligus senang. Dia mengangguk.

“Ya bu, aku mau! Aku mau! Aku punya mama! Aku punya mama! Mama Maryam!” teriakku girang di jalan itu.

Terdengarlah tawa geli orang-orang di sekitar emperan toko itu demi melihat tingkah kami. Aku dan Mama Maryam pun ikut-ikutan terkikik.

******

Aku takkan melupakan hari itu. Dua minggu sesudah ujian nasional berakhir, aku dan kedua temanku diutus sekolah untuk mengikuti lomba pidato bahasa Inggris di sebuah universitas swasta ternama di Palembang. Tante dan om tak mau menemaniku ke acara itu tapi Mama Maryam berjanji untuk datang walaupun agak terlambat.

Dan saat namaku diumumkan sebagai pemenang kedua, Mama Maryam muncul. Tapi mendadak aku melihat tanteku datang, menghampirinya sambil marah-marah. Mama Maryam pun pergi dengan tergesa.

Segera aku turun dari atas panggung, mendekati tanteku.

“Wah, kau juara rupanya. Tak kusangka.” Kata tante dengan nada mengejek seperti biasa. ”Ayo pulang, di rumah ada…”

“Mama Maryam, kemana dia?”potongku,tak sabar.

“Kau? Kau bertemu si cacat itu? Kau memanggilnya mama?” tanya tante, kaget.

Aku marah sekali mendengarnya mengejek Mama Maryam seperti itu. Jangan-jangan gara-gara ejekannya Mama Maryam pergi meninggalkanku.

“Aku benci tante!” teriakku.

Aku kabur dari sana tanpa menghiraukan panggilannya. Aku harus menemui Mama Maryam. Aku harus minta maaf atas kelakuan tanteku yang memang tak pernah baik padaku itu. Dan satu-satunya tempat yang terpikir olehku adalah rumahnya yang pernah sekali ditunjukkannya padaku. Dengan naik bis, aku pergi kesana.

Syukurnya Mama Maryam ada di rumah saat aku datang. Dia kaget melihatku sekaligus senang.

“Ma, kenapa mama tadi meninggalkanku?”rengekku.

“Mama minta maaf ya sayang.Tiba-tiba kepala mama pusing jadi mama buru-buru pulang. Selamat ya kau menang.” tulisnya di kertas.

“Pasti gara-gara tante mengejek Mama, kan? Tante memang begitu Ma, selalu jahat. Jangan diambil hati ya, Ma.”

Mama Maryam lantas menatapku tanpa berkedip. Lama sekali, hingga akhirnya ia menulis di kertasnya dengan tangan gemetar.

“Jadi, orang yang mama ajak bicara itu tantemu? Katakan siapa nama orang tuamu?”

“Papa Idris dan Mama Tere.” Jawabku. Seketika Mama Maryam terduduk di sofa dengan wajah pucat. Dan ia terisak. Kudekati ia dengan cemas. Jangan-jangan mama Maryam sakit. Kuangkat wajahnya dengan lembut dan bertanya,

“Mama, kenapa? Mama sakit?”

Ia tak menjawab, hanya tersedu menyayat. Dipeluknya diriku seolah tak mau melepasku. Kubiarkan ia menangis sepuasnya sampai suara perutku yang keroncongan menyela.

“Mama,aku lapar.” Kataku sambil menatapnya. Ia tertawa.

“Ayo,kita makan. Kebetulan mama masak masakan kesukaanmu.”tulisnya.

Begitu menyenangkan bersama mama Maryam. Kami makan lantas tidur bersama. Saat aku bangun, kudapati ia sedang menatapku dengan penuh kasih sayang. Dan dia habis menangis, lagi. Ya Tuhan, saat itu aku berandai Mama Maryam adalah mamaku yang sebenarnya bukannya Mama Tere.

Ia menyodorkan tulisannya, “Sayang, kau harus pulang. Tantemu pasti mencarimu.”

Aku menggeleng.”Tidak ah! Aku ingin di sini saja. Mama Maryam kan mamaku.”

Dibelainya rambutku dan menulis lagi. ”Ya, tapi kau tetap harus pulang. Rumahmu bukan disini, Nak.”

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

2 komentar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *