Sepucuk Surat dari Mama Tersayang

Aku tak bisa melupakan hari itu.

Aku tetap tak mau berangkat ke Lampung sebelum Mama Maryam datang dan mengucapkan selamat tinggal padaku. Aku menunggu, yakin Mama Maryam akan datang. Tapi, ternyata tidak. Dia juga tak ada saat aku ditemani kedua orang tuaku, mencoba menemuinya di tempat ia biasa berjualan pun di rumahnya. Ia menghilang.

Aku sedih sekali. Teringat ucapan mama kalau Mama Maryam hanya pura-pura baik dan hendak menculikku. Dia datang membawaku dengan tujuan untuk meminta uang tebusan dan sekarang ia pasti sudah kabur karena gentar dengan ancaman mama dan papa. Tapi aku tak mempercayainya sama sekali. Mereka pun menyuruhku untuk melupakan Mama Maryam. Entah kenapa mereka begitu membenci Mama Maryam padahal aku sudah menceritakan segala kebaikannya. Kalau ada yang orang yang patut disalahkan itu adalah tante dan om yang tak pernah mau memperhatikanku.

Dan akhirnya dengan hati yang tak rela, aku berangkat bersama kedua orang tuaku. Diam-diam, ada separuh hatiku yang hilang.  Perih. Dan itu berlangsung hingga bertahun-tahun lamanya.

*****

Ya, bagaimana aku bisa lupa walau semua peristiwa itu terjadi saat aku masih berusia sebelas tahun. Dan hari ini, di saat cuti tahunanku dan aku bisa pulang ke rumah, datanglah sebuah surat dari Mama Maryam yang diantarkan oleh seorang gadis, jauh-jauh dari Palembang.

Kutatap mata papa dan mamaku yang kini telah berumur senja. Sudah terlalu lama aku memendam rasa penasaranku ini hingga kini saat aku bekerja sebagai editor sebuah majalah remaja ternama di Jakarta, orang tuaku selalu melarangku mengungkit-ungkit nama Mama Maryam dengan berbagai alasan. Dan sekarang jadi amat mencurigakan, setelah melihat sikap papa yang menolak kedatangan gadis itu yang sudah susah payah mencari rumah ini. Aku jadi bertanya-tanya sebenarnya ada hubungan apa antara aku dengan Mama maryam?

“Tolong katakan alasan kalian menghalangiku berhubungan dengan Mama Maryam. Aku sudah dewasa untuk tahu semuanya!” tegasku, emosi.

Aku menunggu dengan tak sabar. Papa dan mama saling berpandangan sejenak. Mama pun mengangguk pasrah pada papa.

“Baiklah.Sepertinya memang sudah saatnya kau tahu,” kata papa, lirih.

”Tapi sebelumnya papa dan mama mohon kau bisa memaklumi apa yang telah kami lakukan.”

Aku sama sekali tak menjawab permohonan mereka.

“Faila, Bu Maryam adalah mama kandungmu.”

Aku tercekat. Lama sekali. Tak percaya. Kupandangi papa dan mamaku dengan kesal. Bagaimana bisa? bagaimana bisa mereka menyembunyikan semua itu?

“Dulu sebelum kau lahir, kami dengan Maryam serta suaminya hidup bertetangga. Sampai suatu saat, saat kandungan Maryam menginjak 7 bulan, mereka bepergian dan terjadilah kecelakaan hebat. Suaminya koma. Kandungan Maryam selamat tapi sayangnya ia kehilangan pita suaranya dan pendengarannya.

Berbulan-bulan sang suami dirawat dengan biaya yang tidak sedikit hingga akhirnya meninggal dunia. Maryam kebingungan menghidupi dirinya dan bayinya yang saat itu masih berusia 2 bulan. Ia mencari pekerjaan tapi sayangnya tak ada yang mau menerimanya. Suatu hari ia datang pada kami, menawarkan bayinya itu dengan sejumlah uang. Kami yang sudah bertahun-tahun menikah tapi belum diberi keturunan tentu saja merasa sangat bahagia. Kesepakatan pun dibuat. Kami membeli bayi itu dengan syarat Maryam harus pindah dan tidak boleh menemui anak itu bahkan mengakuinya sebagai anak. Sejak saat itu Maryam menghilang.

Hingga tiba-tiba hari itu saat tantemu yang hendak menjemputmu, bertemu dengan Maryam. Dan kau ternyata mengenalnya dan menghilang mencarinya. Kami begitu panik, jangan-jangan Maryam ingin mengambilmu kembali dari kami. Kami juga takut kalau dia sudah menceritakan rahasia itu padamu. Tapi syukurnya rahasia itu masih tersimpan rapi. Kami pun bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kami menjauhkanmu dari tante dan om-mu yang sedari awal memang tak mengakui kalau kau keponakan mereka. Dan kami juga menjauhkanmu dari Maryam.”

“Kenapa kalian begitu tega menghalangi aku bertemu dengan Ibu Maryam?” teriakku putus asa.” Dia ibu kandungku!”

“Karena…” Mama mengambil alih,” Kami takut kau akan kembali padanya dan meninggalkan kami, Faila.”

Mama tersedu. Tapi tidak, aku tidak kasihan. Mereka egois!

“Sekarang, jangan halangi aku untuk bertemu ibu kandungku!”

“Ya, papa dan mama takkan menghalangimu,Nak. Maafkan kami yang sudah membohongimu.” Ujar papa, dengan rasa bersalah.

Ada yang menggores di hatiku tapi aku tak peduli. Aku hanya peduli pada Mama Maryam. Gadis itu kupersilahkan masuk.

“Apa Ibu Maryam masih di Palembang? Dia baik-baik saja kan? Hari ini juga kita ke sana.” kataku dengan semangat menggebu-gebu.

Gadis itu terdiam sesaat sambil menatapku dengan sayu. Ada apa?

“Maaf mba, saya sengaja kesini karena ini wasiat terakhir Bu Maryam. Kemarin beliau meninggal dunia karena sakit dan pagi ini telah dikuburkan.”

Apa? Apa yang barusan ia katakan? Aku terpaku, tak mampu bicara.

Gadis itu menyodorkan sepucuk surat dan tanganku gemetaran menerimanya.

“Kenapa? Kenapa dia pergi sebelum aku menemuinya, saat aku baru tahu kalau dia mamaku?”

Bibirku gemetar. Pandanganku kabur karena dipenuhi air mata lalu aku meraung sekuat-kuatnya. Aku marah hingga dada ini rasanya mau pecah.

Papa dan mama hanya diam. Aku berlari ke kamar, membanting pintu dan mengucinya. Di sudut kamar aku terduduk lunglai.

“Ma, kenapa mama tega meninggalkanku. Kenapa? Apa mama tak sayang lagi padaku?”

Bermenit –menit pertanyaan itu menyerang pikiranku. Aku marah, benci. Ini semua tak adil! Dalam kekalutan, surat dari Mama Maryam yang sudah kucel di tanganku itu menarik perhatian. Hatiku pun berbisik,” bacalah surat itu.”

Dengan tangan gemetar, kukeluarkan surat dari amplopnya, dan merapikan kertasnya. Kuseka air mata, sambil menarik nafas panjang untuk memulihkan konsentrasiku, sebelum akhirnya membaca kata demi katanya

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

2 komentar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *