Serenada Jingga Sang Grahita

Langit yang begitu muram. Hembusan angin kencang disertai tetesan hujan semakin menenggelamkan hatiku pada kubangan rindu yang mencekam. Bangunan tua dengan dinding-dindingnya seperti hangus terbakar, ditambah bagian atap berlubang di sana sini serta sebuah jendela yang menganga tanpa kusen terlebih selembar kaca tampak menambah tampilan bobrok dari halte yang sudah tak jelas fungsi atau legalitasnya. Di atas sebuah bangku tua aku seakan tersudut pada situasi terburuk. Membiarkan angan-angan ini melenggang bersama rombongan kunang-kunang. Sesekali kupandangi mereka. Mula-mula datang satu, dua tiga, puluhan bahkan akhirnya menjelma sebagai rangkayan jamrud gemerlapan. Tampaknya ratusan kunang-kunang itu ingin turut mengantarku dalam suasana penantian panjang. Meratapi hilangnya sosok pria istimewa yang telah menghiasi sebagian perjalanan. 

            Dalam halte dingin ini aku seolah tengah mengadukan kerinduan pada senyum jenaka yang tak dimiliki siapapun selain dirinya. Seakan tak lelah mata ini berputar-putar mencari bayangannya di antara dinding hitam  sepanjang pasar yang juga hitam.

            Kemana sebenarnya Wisnu? Pemuda istimewa dengan sejuta karakter itu hilang bagai ditelan kegelapan. Sementara bayangan kebersamaan kami seolah-olah berputar tak henti memenuhi kepalaku. Masih akrab dalam ingatan ketika Beberapa waktu lalu kami bertemu pada suasana yang mengharubiru. tak kulihat sedikitpun gambaran kesakitan di wajahnya saat jari tangannya hampir putus akibat sabetan pisau seorang preman yang merampas tasku beberapa meter dari area halte.  Sambil tersenyum jenaka, dia menyerahkan tasku dengan penuh rasa bangga. Aku melihat raut senang bukan kepalang saat aku melemparkan senyum dan berterimakasih atas pertolongannya. Itu adalah kali pertama aku menggunakan bus saat pulang kerja. Aku adalah seorang sekretaris redaktur sebuah surat kabar lokal yang tengah maju pesat di kota ini. Untuk mempermudah transportasi  sekaligus mengefektifkan waktu, aku pulang dan pergi dengan bus tua yang hanya datang setiap 2 jam sekali. Halte ini merupakan tempat ternyaman untuk menunggu bus sepulangnya dari kantor. Halte ini  berada di muka sebuah pasar yang juga sudah terlihat lumpuh. Kantorku hanya berjarak beberapa meter saja dari tempat ini. Wisnu adalah pemuda istimewa yang perlahan mengubah banyak hal dari sisi hidupku.

            Saat aku keluar kantor pada pukul setengah lima sore, kupastikan melihat wajahnya yang jenaka. Dengan bersimbah peluh, mengangkut barang-barang berat dari pertokoan menuju truk-truk besar dengan upah sekedarnya. Senyumnya yang  khas disertai sikapnya yang sedemikian polos tak telak menggantikan kelelahanku setelah berjam-jam berkutat dengan setumpuk pekerjaan.

            Pemuda  yang hanya terpaut 2 tahun lebih muda dariku itu  telah kuanggap seperti adik sendiri.

            Tingkahnya yang konyol, tawanya yang riang dan sapanya yang hangat, membuatku selalu mencarinya setiap duduk menunggu bus tiba.

Tak banyak hal yang kutahu dari kehidupan pribadinya,  seperti dimana rumah tinggalnya, siapa keluarganya, atau apa saja yang disenangi dan dibencinya, karena yang kutahu adalah pertemuanku setiap senja di halte ini saja. Kami melakukan kegiatan menyenangkan saat menunggu kedatangan bus dengan mengobrol dan bercanda.

            Pernah aku bertanya kepadanya tentang sebuah cita-cita. Dengan penuh keyakinan, dia meninggikan suaranya, menengadahkan wajahnya ke langit, untuk kemudian membuka mata lebar-lebar sebalum akhirnya meneriakan:

             “Aku ingin jadi pilot pesawat terbang!”

            Aku tersenyum. Cita-cita setinggi apapun berhak dimiliki siapa saja termasuk Wisnu. Lebih mengharukannya lagi, saat kutanya apa alasan dia memiliki cita-cita seperti itu dia menjawab sambil mengoyak rambutku.

            “Aku ingin bawa mbak Amara terbang!” Aku terkekeh geli sekaligus simpatik pada pemuda jangkung kurus di depanku ini. Sambil tetap tersenyum kembali aku menggodanya.

            “Kalau mau jadi pilot, mesti pinter membaca dan menulis”.

            “caranya?” Wisnu menatapku serius.

            “Ya kamu mesti sekolah”.

            “Aku gak mau sekolah, aku gak suka pake seragam, aku juga gak suka di suruh duduk terlalu lama. Aku benci sekolah!”

            “Kalau gitu cita-citanya diganti yah?”

             Seketika Bola matanya yang bergerak ke kanan kiri itu pun segera memandangku. fokus memandang gerak bibirku dengan sejuta tanya.

            “Jadi apa?”

            “Jadi burung Elang. Gimana?” Sekonyong-konyong dia melonjak kegirangan.    Gaya khasnya adalah berputar-putar dengan dua tangan direntangkan dan dikibas-kibaskan seolah telah berpadu dengan rombongan elang yang terbang di hamparan birunya awan.

            “Setelah kamu tidak sekolah apa yang kamu lakukan?”

            “Aku di sini! Main, lari-lari, manggul, atau mungutin bungkus permen”.

            Itulah percakapan singkat agak serius yang kulakukan bersama Wisnu. Untuk selanjutnya aku pun tak pernah membahasnya karena aku sudah bisa menebak Wisnu akan jadi sangat serius dan itu bisa menghilangkan keceriaan kami.

            Wisnu kembali pada dunianya. Dia bermain, tertawa, bergaul, bahkan mencari tambahan penghasilan untuk ibunya sebagai kuli panggul di sekitar halte dan pasar. Tentu saja semua itu dijalaninya dengan sukacita.

            Terkadang aku berpikir dunia Wisnu kerap dipenuhi dengan halusinasi, tapi nyatanya,  Kehidupannya yang sahaja, keinginannya yang sederhana, kebahagiaannya yang teramat nyata, sepertinya tak dapat terjangkau oleh filosofi manapun. Mungkin selama ini aku yang diberikan kesempurnaan baik fisik maupun mental oleh Tuhan, sudah sepantasnya bercermin pada kehidupan Wisnu untuk lebih mensyukuri anugerah yang diberikanNya kepadaku.

            Hingga semua berubah, kupastikan itu adalah prahara terbesar dalam kisahku bersamanya. Semua berawal dari peristiwa mengharukan di bukit kecil pada hamparan mawar tiga bulan lalu. Yang disusul keputusan menerima lamaran Rendi, seorang wartawan senior yang mengaku terpikat padaku dari pandangan pertama.

            Mulai hari itu, tak lagi kutemukan wajah oriental pemilik sejuta senyuman itu di tempat keramat ini. Selain keheningan halte dan segala tek-tek bengek kejenuhannya.

            Sampai pada hari ini, berjam-jam aku menunggu, bahkan bus satu-satunya yang biasa kutumpangipun telah berlalu. Tak ada sedikitpun tanda-tanda keberadaan Wisnu. Aku hampir putus asa. Rasa bersalah tiba-tiba mendesak dadaku. Bayang-bayang sosok Wisnu saat dia menemaniku di halte ini bermunculan silih berganti.

 

            Biasanya aku  tiba di halte 30 menit sebelum kedatangan bus. Pada saat itulah Wisnu berlari menyambutku dengan senyum gembira. dia langsung mengambil cepat tas jinjing dan laptopku, dia mencarikan tempat duduk paling nyaman untukku, kemudian sekejap menghilang dan kembali dengan satu gelas jus stroberi kegemaranku.  Semua kepenatan yang kulalui di kantor lenyap sudah tergantikan dengan keceriaanku bersamanya. Mungkin itulah karya khas manusia spesial seperti Wisnu. Kebahagiaannya adalah ketika orang bahagia dengan apa yang diperbuatnya. Tak peduli mereka tengah menertawai dirinya, atau mencemo’oh kondisi mentalnya, Namun itu semua tak pernah dihiraukannya, Justru dia malah tampak sangat istimewa, saat ketulusan dari mata jenakanya itu menelanjangi setiap orang bermental rapuh yang menertawakannya.

            Sesungguhnya mereka itulah yang justsru tengah mencemo’oh dirinya sendiri.  tak sadar telah membelakangi cermin dan tak menyadari, bahwa dengan memberikan pandangan sinis pada Wisnu nyatanya mereka sedang memandang sinis pada kehidupannya.  Orang-orang itu seolah buta dan tak kenal dirinya, bersembunyi di balik kesempurnaan fisik yang sebenarnya rapuh. Mereka itu lebih tepat disebut para manusia sombong yang bersembunyi di balik topeng kemunafikan.  Orang-orang seperti itu biasa ditemukan keluar masuk gedung perkantoran dengan atribut kemewahan, atau mereka yang mengatasnamakan symbol-simbol pendobrak peradaban, lantas berjibaku di dalam ruang kerja tanpa kenal mana teman mana lawan, saling sikut dan saling buang muka. Sungguh tak ada pemandangan di lingkungan mereka selain kedengkian.

            Berbeda dengan dunia pria unik ini. Yang setiap hari terbangun setelah mengucapkan selamat tinggal pada sekeping mimpi, untuk kemudian berlomba dengan matahari, berlari dari satu truk ke truk lain, memanggul barang dagangan, dari pakayan, makanan hingga barang-barang kelontongan. Dia tak pernah marah saat orang terlebih dulu menyambar pekerjaannya, karena hatinya cukup terang untuk bisa melihat cinta meski dari dalam fisik yang tuna. Dia cukup mengerti, bahwasannya setiap orang berhak atas penghidupan dan kompetisi.

            Beberapa kali aku pernah mengajaknya berlibur, untuk sekedar bersenang-senang.  Tujuan liburan pertama kami adalah sebuah perpustakaan. Kebetulan saat itu aku punya keperluan membaca beberapa buah buku untuk penulisan editorial. Dalam perpustakaan itu kubiarkan Wisnu mengacak buku apa saja yang dia suka, meskipun aku sempat dibuatnya kerepotan karena tiap menemukan buku dengan cover yang menarik perhatiannya, seketika itu juga ditariknya buku tersebut tanpa pandang bulu.  Walhasil selama di perpustakaan itu banyak tumpukan buku yang dibuatnya tumbang. Untunglah hari itu adalah hari Sabtu. Tak banyak pengunjung yang datang sehingga tak terjadi masalah besar dari ulah Wisnu.

            Pada kesempatan lain aku mengajaknya bertamasya ke sebuah bukit kecil di tengah hamparan tanaman bunga. Waktu itu para petani bunga tengah siap memanen aneka mawar dan siap mendistribusikannya ke dalam kota. Sambil menikmati semilir angin yang membawa semerbak harumnya bunga mawar, aku duduk santai di bawah sebuah pohon. Kuamati tingkah Wisnu yang asyik menikmati suasana sejuk perbukitan dengan berlari kecil dari petak mawar satu ke petak mawar yang lain, seolah-olah dia ingin menghitung jumlah tangkai mawar yang terhampar indah dengan klasifikasi warna merah, putih dan kuning itu dengan jari tangannya. Sesekali mulutnya berceloteh seperti sedang bicara dengan seseorang tentang keindahan bunga mawar di hadapannya. Lagi-lagi dia tak bergeming meskipun menyadari banyak pasang mata memperhatikan tingkahnya dan ada pula yang cekikikan menertawakannya.

            Sejurus kemudian aku melihatnya tengah membantu seorang petani dengan memasukan bunga-bunga mawar itu ke dalam sebuah keranjang besar. Petani itu tampak senang dengan pekerjaan Wisnu yang cekatan. Sebagai tanda ucapan terimakasihnya, dia memberikan beberapa tangkai mawar segar pada pemuda lugu itu.

            Tak kepalang senangnya  dia, dengan wajah berseri-seri, berlari menaiki bukit kecil tempatku memperhatikannya, sambil mengacung-acungkan bunga mawar itu. Dia berteriak seperti mengucapkan sesuatu yang tidak kumengerti.

            Kemudian aku pun dibuatnya terpana saat dia mulai menari-nari dengan seikat bunga di tangan. Dia menari tak henti-henti  sambil menyanyikan sebuah lagu yang cuma dia saja yang tahu apa judulnya dan siapa penyanyinya. Dia menari seolah tak ada secuil pun beban di hatinya, dia berputar, sampai berguling-guling di atas hamparan rumput hijau tak jauh dari hadapanku.

            Adegan lucu yang mengharukan adalah, saat dia menyelipkan sekuntum mawar merah di rambutku. Aku tertawa geli melihat tingkahnya yang seolah menirukan  pemeran Rahul yang bergaya romantis pada Anjali  kekasihnya  Dalam film Kuch Kuch Hota Hai.

            Suasana haru itu tiba-tiba berubah, begitu dia berdiri di depanku, dan sekonyong-konyong mengucapkan kata yang luar biasa mendegupkan jantungku.

            “Mbak Amara yang cantik! Aku cinta kamu!”

            Kontan aku menggeleng sambil tersenyum kepadanya. Sama sekali tak terjangkau dengan akal sehatku ketika kusaksikan pemandangan haru sekaligus membuatku salah tingkah ketika pemuda berwajah oriental itu tiba-tiba berlutut di depanku. Kudengar dia terisak. Yah, isak tangis pertama setelah sekian lama kami saling berucap nama.

            Semula aku tak percaya dengan pemandangan di hadapanku. Terutama seorang yang berwatak full sanguinis macam Wisnu, karena setadinya aku malah berpikir pria itu tidak pernah menangis dan mungkin takan pernah melakukannya. Hal itu disebabkan karena sekeras apapun pukulan yang mendera hidupnya, tak pernah sampai menimbulkan setetespun air mata. Berbeda sekali dengan situasi di bukit bunga menjelang senja 3 bulan lalu itu. Dia tampak terpukul dengan responku yang menjawab telak pernyataannya. Kulihat jelas tatapannya nanar, bulir-bulir bening membasahi wajahnya. Kapan aku melihat Wisnu menangis? Sementara beberapa peristiwa menyakitkan jelas-jelas menunjukan dia seorang pemuda tegar. Masih hangat dalam ingatan, ketika kudapati tubuhnya babak belur dipukuli beberapa preman pasar karena dituduh telah mengambil lahan pekerjaanmereka. 

            selain tubuhnya yang penuh luka, ada beberapa lebam di wajahnya, mata kirinya pun bengkak, mungkin salahsatu preman brandal itu telah memukulinya tampa ampun. Heran, meskipun sudah sedemikian parah luka-luka yang dialaminya, tak setitikpun airmata menetes di pipinya.  Padahal selain memukul bertubi-tubi, kata-kata cacian pun dilontarkan preman itu kepadanya.

            “Dasar orang gak waras! Sampah masyarakat! Kutukan  setan” dan cacian lainnya memberondong menyakitkan telinganya.

            Tak sedikitpun terlihat kemarahan di matanya. Perasaanya seperti terbuat dari baja, dicaci dia balik tersenyum, kata-kata cacian itu seolah melayang saja di udara tampa bernafsu meninggalkan bekas di hatinya. Justru aku yang saat itu menangis melihat kondisinya yang kritis, malah diejeknya dengan polos.

            “Mbak Amara jangan nangis dong! Masak udah gede nangis?”

            Adapun peristiwa yang menurut perkiraanku dia akan menangis saat dia menyaksikan ibunya tengah melawan sakaratul maut di sebuah puskesmas. Penyakit TBC akut yang dideritanya tak mampu membuat wanita satu anak itu bertahan lebih lama. Namun lagi-lagi aku tak melihat ada airmata di wajahnya. Meski terlihat cedih, namun pemuda tinggi kurus itu malah berkomat-kamit bermaksud mendoakan sang ibu yang telah pergi meninggalkannya.

            Sejak saat itulah, kedekatan kami terasa begitu nyata. Entah apa yang terjadi dengan perasaanku, bila tak menemukan sosok Wisnu di halte tua ini. Aku selalu ingat dengan tubuh kurusnya, berlomba dengan para penumpang  untuk mendapat satu kursi ternyaman saat bis itu datang, lalu ia akan membawa semua barang bawaanku dan aku akan masuk dengan santai tanpa harus berdesakan di pintu bis karena aku sudah mendapat kursi yang paling nyaman buah perjuangan pemuda itu. Setelah itu aku akan melihat lambayan tangannya dari jendela, dan melihat senyum tulusnya, untuk kemudian adegan terakhir yang rutin dilakukannya adalah saat bis mulai bergerak meninggalkan halte, dia akan berlari sekencang-kencangnya di belakang bis  sambil tetap melambaykan tangan seraya bibirnya berteriak:

             “Mbak Amara cantik! Sampai jumpa besok!”

            Kini aku hanya sendiri di halte sepi ini, jangankan menemukan sosok Wisnu, mendengar orang menyebut namanya saja tidak. Kemana Wisnu? Kenangan  3 bulan dari peristiwa di bukit bunga itu seakan baru saja terjadi.

Sudah kucoba menanyakannya pada setiap orang yang mengenalnya. Petugas halte, para kuli panggul pasar, para pemilik toko sampai preman-preman yang pernah mengeroyyoknya. Semua kupintai keterangan dimana Wisnu sejak tangisnya pecah di senja itu.

            Apa aku telah sedemikian melukai hatinya? Apa Wisnu sungguh-sungguh terpukul ketika aku menyirnakan harapannya?

            Apa kali itu saat mengucapkan kata cinta pertamanya dia bukanlah sosok Wisnu yang kurang normal?

            Semua kini terasa sangat samar. Sementara di rumahku sedang disibukan dengan persiapan pernikahanku, Justru aku sendiri tengah menangis di halte yang dingin ini.

            Berharap sebuah keajaiban datang, dimana pemilik wajah oriental itu muncul dengan celoteh jenakanya.

            “Amboy!”

            Sebuah pemandangan yang teramat indah. Dari atas perbukitan ini aku dapatb memandang lepas pada hamparan mawar yang berderet-deret memancarkan warna merah, putih, kuning dan ungu. Sebuah danau kecil berada tepat di antara petak-petak mawar yang menerima penghidupan dari aliran-aliran kecil yang melintang pada tiap sisi petak. Aliran sungai-sungai kecil itu menimbulkan suara gemercik yang lembut berpadu suara daun-daun pohon mawar yang bergerisik diterpa angin senja. Sungguh harmoni yang indah berpadu melodi alam yang syahdu. Titik-titik air yang turun dari sela -sela kabut menambah arti kedamayan luar biasa. Kurasakan hangatnya dekapan suamiku kala ratusan mawar merah menghujani kami dari berbagai arah. Di tengah-tengah ketakjuban itulah aku menyaksikan seekor Elang besar dengan mahkota mawar di kepalanya. Tampak terbang rendah, berputar-putar sambil sesekali mengibaskan jutaan tangkai mawar dari keranjang besar dalam cengkramannya.

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh nensinur Sastra

orangnya imut-imut sedikit amit-amit. :)

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *