Seumur Jagung

—Siang itu, di sebuah desa kecil, para penduduknya terlihat cukup sibuk dan berkumpul di salah satu rumah. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari. Sementara sebagian orang tua mondar-mandir sambil membawa piring berisi nasi di atas nampan, ada yang sedang menata kue di atas piring, ada yang memasak, mencuci piring dan lain sebagainya.

Sedangkan di ruang depan terlihat ada beberapa orang yang sedang menikmati kacang rebus dan teh tawar sambil menggoda sepasang pengantin yang baru mengikrarkan janji suci satu jam lalu. Dan pada wajah-wajah mereka mengguratkan kebahagiaan yang begitu nyata.

Namun sebelum berada di titik ini, sepasang kekasih itu dihadapkan dengan sebuah cobaan yang sempat membuat pernikahan mereka hampir dibatalkan.

Karena beberapa waktu yang lalu Sugianto, sang calon mempelai pria sempat dikabarkan hilang saat bertugas di sebuah pulau tempat pemberontak Indonesia bersembunyi.

—Usai menggelar syukuran pernikahan kecil-kecilan tadi siang, kini pengantin baru itu tengah berbaring melepas penat di kamar mereka, sambil sang Suami mendengarkan Istrinya bercerita tentang bagaimana putus asanya keluarga mereka mencari keberadaan Sugianto.

“Lantas apa saja yang dilakukan orang-orang itu terhadap Mas?” Tanya sang Istri khawatir.

“Mereka tidak melakukan apa-apa kok, Dik.” Jawab Sugianto ragu-ragu.

“Ah, mana mungkin aku percaya? Ayolah, Mas, jangan kau sembunyikan itu dariku!” Tuntut sang Istri.

“Kau tenang saja, Dik, Masmu ini tidak apa-apa.” Ujar Sugianto kepada Ratih, kembang desa yang kini telah sah menjadi Istrinya.

“Tapi Mas mendustaiku, bukan? Mana lah mungkin mereka tak melukai Mas.” Ketus wanita cantik itu.

“Memangnya kalaupun mereka melakukan sesuatu kepada Masmu ini, apakah yang akan kau lakukan?” Godanya sambil mencolek hidung mancung Ratih.

“Aku akan mendatangi dan menghajar mereka.” Tertawa Sugianto mendengar celoteh wanita yang tengah berbaring di dadanya itu.

“Sudah-sudah. Mas tak apa-apa kok, Dik, apapun yang dilakukan mereka kepada Masmu ini, tak perlu lah kau tahu. Yang penting sekarang Mas sudah ada di sampingmu dan menjadi suamimu. Hmm?” Ujar Sugianto sembari membelai rambut lembut Istrinya.

“Tapi Mas janjikan, tidak akan meninggalkan aku lagi?”

Untuk yang satu itu Sugianto tidak berani mengiyakan, sebab laki-laki itupun tak bisa memastikan apakah setelah ini mereka masih bisa seperti ini.

Karena sesungguhnya ada sebuah kesepakatan sebelum Sugianto ada di sini. Sebab tak mudah untuknya kabur dari penyekapan itu tanpa ada yang melepaskan.

—Detik berganti jam, jam berganti hari, hari menjadi minggu. Tak terasa dua bulan sudah Ratih dan Sugianto menjadi sepasang Suami Istri. Selama waktu yang sudah dilalui, Ratih merasa sangat bersyukur dapat memiliki Suami seperti Sugianto.

Karena ternyata Sugianto adalah tipe Suami yang penyayang dan sangat bertanggung jawab. Dia tegas dalam mengambil keputusan, namun sangat lembut dalam bertutur.

Apalagi ditambah dengan adanya jabang bayi dalam kandungannya yang baru berusia dua minggu, semakin membuat Ratih membuncah dalam kebahagiaan yang berlipat-lipat.

Setiap detiknya mereka lewati bersama. Mulai dari membersihkan rumah, berkebun, sampai saat Ratih pergi mencuci di sungai Sugianto selalu setia menemani. Hingga terkadang membuat para gadis-gadis di desa itu iri dengan kemesraan mereka.

Beberapa tetangga yang melihat betapa sayangnya Sugianto kepada sang kembang desa, ikut merasa bahagia. Apalagi mereka pun tahu, bahwa Sugianto memang lah seorang yang selalu ramah dan baik kepada siapapun.

—Namun sudah kodratnya, jika manusia tidak pernah tahu tentang apa yang akan terjadi kemudian. Seperti siang ini. Ketika Sugianto tengah asik membantu sang Istri memasak dengan diselingi canda tawa.

Tiba-tiba ada suara gedoran yang cukup keras dari pintu depan. Dan ketika dilihat, betapa terkejutnya Ratih mengetahui orang-orang itu ada di sana. Sementara Sugianto tidak terkejut, karena dia tahu dan telah bersiap dengan hal ini.

Tanpa perlu diperintah, Sugianto menatap dan menggenggam erat tangan Istrinya. Ratih menggeleng sambil mulai meneteskan air mata. Sebab dia kini mengerti apa yang akan terjadi.

“Tidak, Mas!” Ucapnya tanpa suara.

Sugianto tahu ini berat bagi Ratih. Tetapi dia tidak memiliki pilihan lain. Karena ini sudah menjadi kesepakatan antara dirinya dengan pemerintah kolonial Belanda.

Sebab apa bila dia tidak menepati janji, Sugianto takut jika para anak buah kolonial itu akan menculik dan melukai sang Istri. Maka dari itu Sugianto rela melakukan apapun demi keselamatan wanitanya.

“Maafkan Masmu ini, Dik. Kau tentu tahu kalau waktu itu Mas telah terjerat, dan mulai saat itulah Mas sudah menjadi tawanan mereka. Mas juga sudah membuat sebuah kesepakatan dengan pasukan kolonial Belanda, Mas katakan kepada mereka bahwa Mas akan menikah sebentar lagi, dan Mas tak ingin mengecewakanmu. Jadi Mas meminta kepada mereka agar mereka mau melepaskan dan membiarkan Mas menikahimu. Mas juga bersedia dijemput jika telah dua bulan usia pernikahan kita. Bukan tanpa alasan Mas melakukan hal ini, Dik. Ini semua Mas lakukan sebagai bukti cinta Mas kepadamu. Biarpun hanya sebentar kebersamaan kita, Mas bahagia. Ratih, Istriku Sayang. Dengarkan Mas baik-baik, jaga kesehatanmu dan jaga anak kita, biarpun Mas tak lagi ada di sampingmu. Jika laki-laki, didik dia agar kelak menjadi lelaki tangguh dan pemberani, yang mampu melindungi Ibu dan negaranya.”

Setelah berpamitan kepada kedua mertuanya dan mengecup kening Ratih lama, Sugianto mulai berbalik menghadap keempat orang yang menjemputnya. Laki-laki itu mulai melangkah pergi, dengan diiringi jerit tangis dari wanita yang dicinta.

Biarpun Sugianto merasa amat terluka mendengar betapa Istrinya histeris sambil mencoba melepaskan cekalan tangan-tangan yang menahannya. Tetapi dia tetap melangkah dan sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menoleh kepada wanita itu.

Sesungguhnya Ratih pun mengerti, bahwa di setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Tetapi biar bagaimanapun Ratih hanyalah seorang gadis desa biasa, yang sulit menerima saat harus dipisahkan dengan Suaminya, sedang usia pernikahan mereka baru seumur jagung.

Para tetangga yang mengetahui keributan di rumah pengantin baru itu tak berani menolong, atau hanya sekedar mendekat. Sebab mereka tahu siapa orang-orang yang membawa pergi Sugianto.

Tapi setelah orang-orang tersebut sudah tak terlihat, baru lah tetangga sekitar yang merasa simpati dengan Ratih berdatangan melihat kondisinya.

Tak sedikit diantara mereka yang ikut meneteskan air mata membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

—Setelah hari itu, Ratih sempat mengalami stress yang berkepanjangan. Tak bisa tidur, tak nafsu makan, hingga tubuhnya yang sintal menjadi kurus kering bagaikan mayat hidup.

Paras ayu yang dulu selalu berseri kini nampak redup. Kembang desa yang dulu selalu menebar keceriaan pada setiap orang yang ditemui, kini tak pernah lagi terlihat.

Karena setiap hari dia selalu mengurung diri di dalam kamar, sambil menangis mengenang masa-masa indah dengan sang Suami.

Dan orang-orang disekitar bukannya tak peduli. Setiap hari mereka selalu mencoba membujuknya, namun mereka selalu diabaikan. Karena Ratih seakan telah mempunyai dunianya sendiri.

Pikirannya selalu dipenuhi dengan bayang-bayang Sugianto, hingga bayi yang sedang dikandungnya hampir saja keguguran. Wanita itu lupa bahwa ada satu nyawa di dalam perutnya yang juga butuh perhatian.

Sampai pada suatu malam Ratih bermimpi bertemu dengan Suaminya. Dan di dalam mimpi itu Sugianto menampakan diri dengan wajah yang mengguratkan kesedihan mendalam.

Lelaki itu seolah berkata “Mengapa kau seperti ini, Dik? Berhentilah menyiksa diri. Tidakkah kau kasihan dengan anak kita? Lupakah engkau dengan pesan terakhirku?”

Seusai bermimpi seperti itu, perlahan-lahan Ratih mulai menyadari kebodohannya. Dia mulai ingat pesan-pesan terakhir dari Sugianto, dan seakan telah menemukan semangat hidupnya kembali.

Wanita 20 tahun itu mulai berpikir, jika memang hanya sesingkat ini cerita asmaranya, Ratih mencoba untuk ikhlas. Mungkin Tuhan telah memiliki rencana lain yang lebih indah untuk hidupnya. Dan mulai saat itu juga Ratih memutuskan untuk tidak menikah lagi. Dia akan fokus untuk membesarkan anaknya seorang diri.

Namun tak jarang juga Ratih masih teringat betapa sedih hatinya, ketika proses persalinan tiba, tapi tanpa ada Suami yang mendampingi. Tak pernah terbayang sebelumnya jika dia akan mengalami hal itu.

—Hari-hari berlalu, tak terasa bayi yang dulu dikandungnya kini telah tumbuh menjadi seorang remaja tampan yang cerdas.

“Begitulah sepenggal kisah tentang Bapak dan Ibumu 15 tahun yang lalu, ketika zaman kolonial Belanda, Nak. Penuh duka dan air mata. Tapi biarpun begitu, Ibu bangga karena sempat memiliki Suami seperti Bapakmu. Seorang Veteran yang rela mempertaruhkan nyawanya demi keluarga dan tanah air.” Ujar Ratih kepada remaja 15 tahun yang sedang duduk di hadapannya.

Seorang putra semata wayangnya bersama Sugianto, Suami tercinta yang kini entah berada dimana.

Mendengar cerita sang Ibu, remaja laki-laki itu diam-diam menjadi kagum dengan cinta kedua orang tuanya. Dimana sang Ayah rela memohon agar dibebaskan beberapa waktu hanya untuk pergi menemui Ratih, karena dia tak ingin membuat kecewa calon Istrinya. Walaupun untuk dapat bebas dari tawanan Belanda itu sesungguhnya tak mudah.

Sementara Ratih sang Ibu tidak berniat menikah lagi, akibat begitu besar cinta yang dirasakan kepada Sugianto, sang Veteran yang telah pergi dengan membawa seluruh hatinya, hingga tak tersisa lagi untuk pria lain.

Karena sejak dulu hingga kini Ratih tak pernah bisa melupakannya, dan rasa cinta itu tak pernah luntur barang segaris pun dari hatinya.

“Buatlah Bapakmu bangga, Nak, biarpun kita tak tahu keberadaannya. Jadi lah anak lelaki yang tangguh dan pemberani, agar kelak bisa melindungi Ibu dan negaramu. Itulah pesan terakhir Bapakmu sebelum dia pergi.” Ujar wanita yang kini telah berusia 35 tahun itu.

SELESAI

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

Oleh Hana Fitria

Saya seorang disabilitas netra

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *