MENGATASI KETERBATASAN TANPA BATAS

Si Rakus

Terakhir diperbaharui 7 bulan oleh Redaksi

“Aaaa!” jeritan itu akhirnya memberhentikan mereka yang sedang menyelamatkan diri dari Si Rakus.

 

Sejumlah mangsa yang lolos dari maut itu pun bersembunyi di balik semak-semak. Jaraknya kira-kira 100 meter dari rumah si Rakus. Mereka lantas saling berpandangan tanpa suara.

 

“Kamu ternyata berani melarikan diri, ya.” Si Rakus menatap mangsanya dengan senyum sinis.

 

Sementara itu, yang dimangsa hanya bisa menunduk ketakutan.

 

“Biar saja mereka bebas. Sebab, kamu pun sudah memenuhi kriteria.” Si Rakus makin mempererat pegangannya ke tubuh mangsanya.

 

***

 

“Kak, aku lapar. Kita mau cari makanan ke mana lagi?” Kiko terduduk lesu di samping kanan batu besar.

 

Miko pun ikut duduk di samping kiri Kiko dengan wajah yang tidak kalah kusut. “Kita sudah mencari makanan ke mana pun, loh, Kak. Namun, sama sekali tidak ada manusia yang menyisakan makanan untuk golongan kita.”

 

“Ambil ayam goreng dari rumah manusia di kompleks ini saja, Kak. Aku menghirup aroma-aroma daging yang digoreng, nih.” Loli mulai mengendus”endus udara.

 

Sang kakak pun duduk di hadapan mereka bertiga, sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Kakak juga bingung. Sempat berpikir, sih, mau mencuri. Namun, kakak takut dibantai oleh si pemilik makanan.”

 

Sudah  sejak pagi mereka belum sarapan. Biasanya Moci selalu membawa makanan ketika pulang. Makanan itu tentu saja sisa-sisa dari tempat sampah yang masih layak pangan. Namun, sudah dua hari mama mereka belum pulang.

 

Mereka sudah mencari ke mana pun, tetapi tidak menemukannya. Orange, sebagai kakak pun iba menyaksikan adik-adiknya kelaparan. Mereka masih belum bisa mencari makanan sendiri. Sebab, mereka masih berusia enam bulan. Sementara itu, Orange sudah berusia sebelas bulan. Jadi, sudah selayaknya Orange yang giliran menjaga adik-adiknya.

 

Sebetulnya Orange pun masih senang bermain. Ketika adik-adiknya masih bayi, dia pernah tidak pulang sampai tiga hari. Namun, keadaan itu mulai berubah, tatkala mama mereka sering tidak pulang. Maklum saja, Moci memiliki jiwa kekucingan yang hakiki. Jika anaknya sudah besar, dia pasti sering hangout bersama kucing-kucing lain.

 

Saat ini, Moci memiliki empat anak. Sebetulnya dia sudah melahirkan sekian belas anak, tetapi lebih banyak yang lenyap tanpa jejak. Anak pertamanya bernama Orange. Dia memiliki bulu berwarna oranye, perutnya berwarna putih, hidungnya berwarna merah, dan ekornya cukup panjang disertai lekukan.

Baca juga:  Sang Penolong

 

Kemudian anak keduanya bernama Miko. Bulunya memiliki perpaduan warna yakni oranye dan kuning. Ada sedikit warna putih di bagian perut dan hidungnya pun sama seperti warna bulunya. Bentuk ekornya pun sama seperti Orange.

 

Loli, kembaran Miko yang memiliki bulu berwarna hitam kecokelatan, hidung sama seperti warna bulunya, dan ekornya panjang. Kemudian Kiko, kembaran Loli dan Miko yang memiliki perpaduan warna bulu antara oranye dan putih. Lalu warna hidungnya sama seperti Orange. Bedanya dia memiliki ekor yang sangat pendek. Dia juga memiliki postur tubuh yang lebih berisi dibanding saudara-saudaranya yang lain. Sementara itu, Moci sendiri memiliki hidung merah, berekor pendek, dan warna bulunya antara oranye, cokelat, dan putih.

 

Moci ternyata sudah kembali dari penjelajahan. Dia sekarang yang giliran menunggu anak-anaknya pulang. Setelah sekian lama menghilang, dia rupanya tetap ingat dengan keempat anaknya. Buktinya dia sudah membawakan sisa-sisa daging dan tulang ayam goreng yang ditemukan di pinggir jalan. Moci lantas rebahan di atas rumput-rumput yang ada di lapangan itu. Matanya pun mulai terpejam, tatkala merasakan angin yang membelai bulu-bulunya.

 

“Eh, itu mama!” jerit Kiko, saat dia sudah sampai di lapangan.

 

Orange, Miko, dan Loli lantas berlari dan mengerubungi Moci. Seketika mamanya langsung terjaga.

 

“Kalian ini main-main saja. Mama sudah bawa makanan, loh. Sudah susah-susah cari makanan, kalian malah pergi.” Moci malah marah-marah.

 

Keempat anaknya sontak melongo. Mereka sangat heran dengan mamanya. Awalnya yang minggat duluan, kan, dia. Mengapa jadi mereka yang disemprot?

 

Loli mencoba membantah. “Kan, mama yang pergi duluan. Kok, jadi kami yang diomeli?”

 

“Sudahlah, Loli,” tegur Orange. “Mama, kan, sudah susah payah mencari makanan untuk kita. Lebih baik kita makan saja, ya.”

 

Loli malah mengerucutkan bibirnya. Terpaksa dia harus mengabaikan omelan Moci. Sementara itu, Moci malah memelototinya. Namun, dia juga tidak ingin berbicara apa pun dengan Loli. Mereka pun akhirnya makan bersama.

 

***

 

Seminggu kemudian, saat keluarga Moci sedang berkumpul di teras miniswalayan, ada seorang laki-laki yang tiba-tiba menghampiri mereka. Laki-laki itu kurus, memakai topi, dan hidung beserta mulutnya ditutupi masker. Dia mengelus-elus bulu mereka secara bergantian. Lalu dia mengeluarkan ayam goreng dari plastik putih yang tadi dibawanya.

Baca juga:  Dua Puluh Satu Cahaya

 

Dia memotong-motong daging ayam itu di atas kertas koran yang sudah disiapkan. Mereka pun saling pandang. Mereka tergoda sekali ingin melahapnya, tetapi di sisi lain ada rasa takut yang menjalar. Dia pun makin mendekatkan makanan itu ke arah mereka. Karena Kiko sudah sangat lapar, dia langsung melahapnya. Moci beserta keempat anaknya pun akhirnya ikut menyantapnya.

 

Usai mereka mengisi perut, laki-laki itu malah menggendong Kiko dan Miko. Mereka berdua dimasukan ke mobil. Keloter kedua yakni Loli dan Orange. Moci masuk mobil sebagai keloter terakhir. Mereka makin kebingungan, ketika kendaraan itu mulai melaju.

 

Di saat semuanya sedang dilanda kebingungan, Kiko malah dengan santainya terlelap selama perjalanan. Loli pun melihat ke arah jendela. Namun, dia tidak mengenal lokasi yang sedang dilintasi oleh laki-laki itu.

 

“Ma, aku takut. Jangan-jangan nanti kita mau dibunuh lagi sama mahluk asing itu.” Miko merapatkan tubuhnya ke Moci.

 

Moci hanya terdiam. Dia sebenarnya memiliki rasa curiga yang sama. Namun, dia pun harus berpikir cepat supaya bisa melarikan diri. Meskipun sudah disogok dengan ayam goreng, bukan berarti Moci tunduk begitu saja.

 

Sesampainya di rumah laki-laki itu, Moci beserta anaknya langsung dimasukan ke sebuah ruangan. Ruangan itu berada di dekat gerbang rumah. Pintunya pun ke arah gerbang itu. Setelah berada di dalam, rupanya sudah ada beberapa kucing yang menjadi penghuni senior.

 

“Halo, nama kalian siapa?” tanya seekor kucing betina berwarna hitam dan berekor panjang.

 

Mereka pun menyebutkan nama masing-masing. Orange juga memberi tahu bahwa mereka berlima adalah satu keluarga. Kucing betina berwarna hitam itu lantas berkata, “Namaku Ucil.”

 

Satu per satu penghuni ruangan itu kemudian turut memperkenalkan diri. Mereka berlima mulanya sangat gembira bisa berkumpul bersama sesama kucing. Namun, Ucil malah melunturkan kegembiraan itu.

 

“Kalian berlima jangan bahagia bisa dibawa ke sini. Sebab, ini sesungguhnya bukan tempat yang aman untuk kita.” Ucil berujar dengan hati-hati.

 

Sontak Moci, Loli, Orange, Kiko, dan Miko membelalakan mata. Mereka tidak mengerti yang dimaksud Ucil. Tidak aman dari apa?

 

“Sudah ada banyak kucing yang menjadi korban Si Rakus itu. Kita di sini akan dijadikan makanan dan dijual. Aku melihat sendiri satu per satu penghuni ruangan ini akan ditarik paksa. Kalau ada yang memberontak, Si Rakus akan memukul dengan alat pemukul sampai kita tidak berdaya lagi. Bahkan, ada juga yang langsung dipenggal kepalanya.” Ucil menghela napas.

Baca juga:  Ferdi Story (2-15)

 

Entong, kucing jantan berwarna hitam dan berekor panjang lantas ikut bersaksi. Dia sebenarnya kucing jalanan yang diasuh oleh seseorang. Ketika dia sedang bermain dengan kucing-kucing lain, tiba-tiba ada orang asing yang menggendongnya. Teman-temannya juga bernasib serupa. Bahkan, mereka yang lebih dahulu disantap.

 

Ucil kurang lebih memiliki kronologi yang sama. Bedanya, dia sedang sendirian di depan gerbang rumah majikannya. Lalu ada seseorang yang tiba-tiba menggendongnya. Karena dia tidak memiliki suara nyaring, teriak pun majikannya tidak akan mendengar. Mereka berlima lantas bergidik. Orange pun mengajak mereka semua agar mencari cara supaya bisa melarikan diri.

 

***

 

Sudah tiga hari Moci beserta anak-anaknya berada di ruangan itu. Sebenarnya mereka tetap diberi makan sehari tiga kali. Makanannya juga selalu daging, entah ayam ataupun ikan. Namun, tetap saja mereka tidak ingin patuh atas suapan itu.

 

Waktunya makan siang pun tiba. Suara derit pintu pun mulai terdengar. Saat si Rakus membuka pintu cukup lebar, Orange berteriak, “Ayo, kita lari, Teman-teman!”

 

Orange melompat, lalu mencakar wajah si Rakus. Begitupun dengan Moci yang turut andil dalam penyiksaan pemangsa itu. Moci giliran yang menggigit tangan si Rakus. Orange menjerit lagi, “Cepat, Teman-teman!!!”

 

Orang itu mulai kepayahan karena wajah dan kedua tangannya mengeluarkan darah. Ingin menangkap mereka, tetapi gerakannya terlalu gesit. Dia tetap kalah cepat. Ketika dirasa semua sudah kabur, Moci dan Orange yang gantian melarikan diri. Keduanya lantas melompati gerbang rumah itu supaya bisa segera menyusul mereka yang sudah lolos.

 

Namun, ternyata perkiraan mereka keliru. Kiko tidak bisa berlari cepat. Apalagi tubuhnya tambah berisi setelah tiga hari di karantina. Dia sempat terjatuh di depan gerbang rumah itu, ketika berlari.

 

Momen itulah si Rakus bisa meraih tubuh Kiko, setelah dia membuka gerbang rumahnya. Akhirnya, Kiko pun pasrah. Biar saja dia yang tertawan, yang penting keluarga dan teman-temannya dapat melanjutkan hidup. Walaupun wajah dan kedua tangan si Rakus penuh dengan cakaran, tetapi penglihatannya masih bisa menangkap bayangan mangsa yang gagal lolos itu. Tanpa pikir panjang, si Rakus langsung menyayat kepala mangsanya dengan pisau lancip.

 

Sebelum Kiko tak sadarkan diri, dia berujar dalam hati, sampai jumpa di surga, ya, Mama, Kak Orange, Kak Loli, dan Kak Miko.

 

Tamat

Beri Pendapatmu di Sini