MENGATASI KETERBATASAN TANPA BATAS

SNMPTN 2014: Puncak Gunung Es Ketidak-Adilan

Terakhir diperbaharui 7 tahun oleh Redaksi

Topik diskriminasi Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2014 pada penyandang disabilitas masih memanas. Hari ini komunitas disabilitas mengancam Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI akan melakukan somasi apabila persyaratan yang dinilai diskriminatif pada beberapa jurusan dalam SNMPTN 2014 tidak dicabut. Namun di luar itu semua, terungkapnya kasus ini hanyalah puncak gunung es yang dialami oleh penyandang disabilitas yang dilakukan oleh negara selama ini.

Apabila ingin dirunut dari berpuluh tahun yang lalu, sistem segregatif dalam pendidikan antara anak yang dikatakan “normal” dengan yang berkebutuhan khusus dalam institusi yang berbeda, sudah sebuah perlakuan diskriminatif. Kebijakan mengkhususkan pendidikan bagi mereka dalam Sekolah-Sekolah Luar Biasa (SLB) dan juga panti-panti sosial, membuat penyandang disabilitas makin terpisah dengan masyarakat. Dampaknya, mereka seakan dianggap manusia lain dan muncullah persepsi normal dan tidak normal.

Lalu di era pendidikan inklusif, masih ditemui pihak sekolah yang menolak seorang anak berkebutuhan khusus yang ingin mendaftar di sekolah umum hanya karena alasan kedisabilitasannya. Seakan ada persepsi dalam benak beberapa pendidik bahwa penyandang disabilitas itu punya kekurangan, dan kekurangan tersebut akan jadi penghalang pada saat kegiatan belajar-mengajar. Fenomena ini sangat ironis ketika terjadi di lingkungan pendidikan. Sebab kewajiban seorang pendidik adalah mencerdaskan anak bangsa tanpa terkecuali. Berbagai kebutuhan khusus yang ada pada diri siswa, sepatutnya tidak dipandang sebagai penghalang, tetapi tantangan bagi pendidik untuk mencari solusi dan belajar kembali.

Baca juga:  Peranan Media dalam Dunia Disabilitas

Alasank lasik yang biasa digunakan untuk menolak siswa berkebutuhan khusus di sekolah umum adalah fasilitas. Mereka akan mengatakan bahwa sekolah kami belum siap untuk menerima anak berkebutuhan khusus dan disarankan untuk masuk SLB atau sekolah lain yang sudah pernah menerima sebelumnya. Padahal mengajar siswa berkebutuhan khusus itu tidaklah sulit jika pendidik memiliki kreativitas dan kecerdasan untuk memecahkan masalah. Banyak alat bantu sederhana yang dapat digunakan disekitar dalam proses transfer knowledge dan komuniksi dengan siswa berkebutuhan khusus.

Lantas segala hal tersebut bermuara pada output dari sistem pendidikan yaitu di lapangan kerja dan usaha. Tak kurang kasus-kasus penolakan pihak perusahaan kepada pelamar kerja yang meiliki disabilitas. Alasannya tak jauh beda, yakni soal fasilitas pendukung dan kemampuan yang dianggap tidak mumpuni. Image yang ada tak lepas dari andil negara dalam memperlakukan penyandang disabilitas. Masyarakat beranggapan bahwa tunanetra itu hanya mampu menjadi tukang pijat atau pengengis. Sedangkan tunadaksa hanya duduk di kamarnya dan membuat prakarya. Semua hal itu bentuk pelatihan keterampilan yang diberikan dalam panti-panti milik negara. Padahal mereka juga punya potensi yang sama dengan manusia lainnya, hanya perlu diberi kesempatan dan sarana yang sesuai.

Mungkin apabila yang melakukan diskriminasi hanya perusahaan swasta, hal tersebut masih dapat dipahami karena kekurang-tahuan meski sudah ada UU no 4 tahun 1997 yang mewajibkan 1 dari 100 karyawan perusahaan BUMN dan swasta adalah penyandang disabilitas. Negara seakan tidak memberikan teladan pada institusi-institusinya dengan ikut mengakomodasi penyandang disabilitas dalam jajarannya. Setiap seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), kerap kali ditemui persyaratan bahwa calon peserta tidak boleh buta, tuli, pincang, atau minimal buta warna. Bayangkan saja bagaimana bangsa ini mau jadi masyarakat yang inklusif apabila negara saja tidak memberikan contoh ideal.

Baca juga:  Disabilitas Jangan Lengah

Belakangan, memang sudah ada kebijakan untuk memberi kuota sejumlah penyandang disabilitas yang dapat diterima di seleksi CPNS. Akan tetapi, persepsi bahwa penyandang disabilitas itu orang cacat yang punya kekurangan dan kemungkinan hanya akan merepotkan, masih terlihat jelas. Misal pada CPNS Pemprov DKI Jakarta 2013, ada beberapa jatah untuk pelamar dengan disabilitas. Akan tetapi kuota tersebut dibatasi dengan ketentuan bahwa mereka dialokasikan pada posisi tertentu, dan posisi tersebut sudah ditentukan pula jenis disabilitas apa yang boleh masuk. Layaknya sebuah affirmative action yang setengah hati dan belum paham benar bahwa penyandang disabilitas saat ini sudah banyak yang lulus dari perguruan tinggi berbagai jurusan, dan kemampuan mereka dapat bersaing dengan sesama sarjana di posisi yang sama.

Dengan kata lain, persoalan SNMPTN 2014 yang sedang mencuat beberapa hari terakhir ini hanya buih dari lautan diskriminasi yang masih dialami penyandang disabilitas. Mungkin aturan-aturan tersebut dilakukan atas dasar iba dan belas kasihan, tapi niat baik yang tak tepat, maka tidak akan benar pula hasilnya. Coba mulailah untuk lihat penyandang disabilitas sebagai manusia yang utuh, memiliki akal sehat dan kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya. Mari kedepankan dialog dan komunikasi, agar negara juga tahu bahwa dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan saat ini, penyandang disabilitas dapat berdaya. Gempur diskriminasi, hingga ke dasar-dasarnya.(DPM)

Beri Pendapatmu di Sini