Sunshine dalam Kegelapan

Puing-puing kebahagian ini baru saja aku kumpulkan satu per satu. Aku berharap akan ada orang yang membantuku mengumpulkan serpihan-serpihan kecil kebahagianku yang telah hancur diguncang gempa bUmi 6 tahun lalu. Gempa Jogja 27 Mei 2006 adalah awal dari hancurnya hidupku. Masa depanku yang sudah kurencanakan rapi, hancur begitu saja bersama guncangan hebat gempa bUmi yang melanda kota kelahiranku tercinta.  

Namaku Wening, orang Jawa bilang wening itu bening, jernih. Seharusnya dari namaku terlihat hidupku yang bening dan indah, namun tidak bagiku. Wening hanyalah sebuah nama yang tak bermakna, itulah yang selalu ada dalam benakku pasca gempa bUmi itu, karena sejak saat itulah aku kehilangan fungsi kedua kaki ku. Aku tak bisa lagi berjalan, karena saraf tulang belakangku mengalami trauma akibat tertimpa puing bangunan yang runtuh menindih punggungku.

Sebelum aku kehilangan fungsi kakiku, aku adalah wanita paling ceria di kampungku. Meski lahir dari keluarga miskin dan pas-pasan tak pernah mematahkan semangat hidupku. Kedua orangtua ku hanyalah seorang buruh tani, rumahku kecil dan hanya kesederhanaan yang kami miliki. Karena itulah cita-citaku sejak SD hanya menjadi mimpi belaka, aku ingin kuliah ingin jadi seorang guru. Tapi kenyataannya sejak lulus SMA aku langsung bekerja dan tidak kuliah seperti kebanyakan orang yang ingin menjadi guru.

Aku bekerja di salah satu toko ikan hias di pojok kota. Aku berusaha mengumpulkan uang sendiri agar kelak aku dapat melanjutkan kuliah. Dua tahun aku bekerja sebagai penjaga toko ikan hias, sedikit demi sedikit uangku terkumpul, dan akhirnya aku bisa melanjutkan kuliah dengan tambahan bantuan biaya dari pemerintah. Aku ingin menjadi seorang guru yang bisa mencerdaskan anak bangsa, itulah cita-cita yang selalu aku idam-idamkan. Selama setahun kujalani kuliahku dengan bangga dan senang, sampai akhirnya pada tanggal 27 Mei 2006 gempa menggoncang kota Jogja.

Aku ingat benar waktu itu, ketika impianku di depan mata akan segera tercapai semua hancur bersama gempa yang menggoncang Jogja, bersama hilangnya fungsi kakiku. Selama 6 bulan lebih aku harus melakukan perawatan karena waktu itu tulang belakangku terluka akibat tertimbun puing bangunan rumahku yang runtuh. Impianku menjadi seorang guru turut sirna bersama kejadian itu. Mana ada guru cacat? Mana ada guru dengan kursi rodanya? Itu yang selalu aku pikirkan dalam benakku saat itu. Kurang lebih setahun aku mengungsi di sebuah LSM yang menangani korban akibat gempa sepertiku. Dari situ aku mendapatkan motivasi dan pelajaran-pelajaran baru, dan aku mulai bisa menerima keadaanku.

Seperti sekarang inilah aku saat ini. Setelah 6 tahun silam kejadian mengerikan itu, kini aku sekarang menjadi Wening dengan kaki yang tak dapat berjalan. Aku mulai menata kehidupan lumpuhku dengan membangkitkan semangat-semangat baru, di singgasana istimewa yang selalu menemaniku, kursi roda. Ya, aku duduk termenung dalam kursi roda yang selalu setia. Si hitam dekil ini yang membantuku mengelilingi istana sempitku bantuan korban gempa. Aku tinggal terpisah dari orangtuaku, agar aku bisa mandiri, aku diberi rumah bantuan di samping rumah kedua orangtuaku yang kusebut ‘istana kecilku’.

Di dalam istana kecilku ini pula kumulai merajut mimpi. Meski lumpuh, aku tak boleh berhenti berkarya. Hari-hariku yang dulunya kuhabiskan dengan tidur dan nonton TV, belakangan ini aku mulai tertarik untuk menulis sebuah novel. Kubuat tulisan tentang kehidupanku sehari-hari dan ingin kujadikan sebuah novel suatu saat nanti. Aku ingin tetap bisa bermimpi seperti dulu lagi, kaki ini tak bisa difungsikan tapi tangan ini akan kufungsikan 2 kali lipat. Cita-citaku sebagai guru mungkin tak terlaksana, tapi cita-cita baruku sebagai penulis harus terwujud. Kutulis beberapa kalimat dalam lembaran kertas, kubuat sketsa sebelum tertumpahkan di laptop. Beberapa paragraf baru usai kutulis, tiba-tiba terbesit lamunan tentang kehidupanku lagi,

Aku mulai berpikir kembali akan nasibku. Aku ini seorang wanita dengan umur sudah 25 tahun, dan aku belum menikah. Sementara aku ini wanita lumpuh, tak bisa berjalan tanpa kursi roda. Lelaki mana yang bersedia menghabiskan hidupnya untuk menemaniku? Kecemasan seperti ini mulai aku pikirkan lagi, mengingat usia ku yang tak muda lagi sebagai seorang perawan.

Termenung di atas si hitam dekil di sudut ruang kamarku sambil memandang tanaman yang tumbuh liar di sekitar jendela istana kecilku, aku selalu memikirkan semua hal itu. Adakah pria yang mau denganku? Akankah aku hidup berkeluarga seperti manusia normal lainnya? Bahkan hampir setiap hari-hari ku dalam sebulan ini habis untuk memikirkan hal itu. Ya, benar sekali sebulan pasca ulang tahunku ke 25 membuatku semakin gila dan merasa tua. Waktuku yang tadinya habis untuk nonton tv dan tidur kini lebih parah lagi habis hanya dengan perenungan yang tak berujung.

Seperti hari-hari biasanya, aku memulai hari ini Senin, 20 Februari 2012 dengan membuka laptop kecilku, ya laptop bantuan bagi penyandang cacat, secara mana mampu aku yang miskin ini membelinya. Memang pemerintah kota Yogyakarta cukup memperhatikan orang-orang sepertiku, korban bencana alam. Aku dibekali pengetahuan dan sebuah laptop selama aku tinggal di LSM korban gempa yang menampungku waktu itu.

Aku mulai membuka mozila, dan menuliskan alamat ww.facebook.com seperti biasanya,, langsung log in bening_bersinar@yahoo.com dan kutulis pasword wening270506. Password yang selalu mengingatkanku atas peristiwa itu. Aku mulai chatting dengan banyak orang. Orang dalam dan luar negeri aku jamahi untuk menambah jejaringku. Maklumlah, orang sepertiku siapa sih  yang mau kenal kalau tidak lewat dunia maya?

Cetinkk..! ada chat dari Alfredo, orang berkebangsaan Inggris yang aku kenal baru-baru ini,

“Hi” ketiknya

 “Hi, nice to meet you” kujawab.  

Aku memang cenderung lebih senang berkenalan dengan orang asing. Alasan pertama adalah tidak mungkin mereka mau mengajak aku bertemu, secara terpisah dua negara yang berbeda, tau sendiri lah aku paling tidak mau diajak bertemu, karena itu pasti akan sangat mengecewakan melihat kondisiku yang cacat seperti ini. Alasan utama yang kedua adalah orang asing lebih bisa menghargai orang-orang sepertiku daripada orang-orang di negeriku sendiri. Tak tau juga kenapa aku berpikir seperti itu mungkin karena aku banyak nonton TV yang menceritakan keberhasilan orang-orang disabilitas sepertiku di negeri mereka. Tidak seperti Indonesiaku ini yang menganggap sampah orang-orang macam aku.

Sepatah sapaan di pagi hari di awal minggu ini cukup membuatku senang. Alfredo, baru 1 bulan ini aku mengenalnya, aku tahu dia orang yang baik, sopan, dan menghargaiku. Bahkan aku bisa jujur untuk bilang aku ini cacat tak bisa berjalan. Tak mudah bagiku katakan hal itu pada teman-teman chatting-ku yang tak pernah melihat kondisiku dengan nyata. Jujur, aku masih malu dan tidak percaya diri dengan keadaanku. Hingga sekarang pun aku tak pernah keluar rumah dengan kursi rodaku, semua kegiatannku hanya kulakukan di rumah saja, nonton TV, internetan, menulis kisahku yang ingin dijadikan sebuah novel meskipun masih mimpi, dan tentunya editing sebagai pekerjaanku yang kuanggap tetap untuk saat ini.

Kembali lagi ke Alfredo, dia orang Inggris yang beberapa waktu lalu pernah tinggal di Indonesia sebagai pemain sepak bola sewaan selama 2 tahun. Sekarang sudah kembali ke negaranya karena kontraknya telah usai. Sedikit-banyak dia bisa berbahasa Indonesia, jadi lumayanlah aku tidak terlalu ribet komunikasi dengannya.

“Apa kabar, Shine?” chatbox ku berkedip kembali. Ia selalu memanggilku ‘shine’ karena bening  menurut Alfredo dalam bahasa inggris adalah shine, tetapi sebenarnya bening dalam bahasa inggris adalah Transparent, bukan shine. Memanggil ku dengan Shine adalah cara Alfredo menyenangkan hatiku. Ia menyebutku shine like a sun. Ya, dia memang pintar mengambil hati wanita, apalagi wanita sepertiku yang tak pernah terjamah pria. Tapi aku harus selalu tetap menyadarkan diriku bahwa Alfredo hanya teman dan selalu begitu dengan teman-teman wanitanya yang lain. Kubalas chatnya dan kuketik f-l-a-t-t-e-r-e-!. Itulah yang selalu menjadi awal pembicaraan kami, Hi-Nice to meet you-Apakabar shine- dan flattere!. Hahaha, sebulan lebih saling kenal dan tetap sama untuk sebuah awal percakapan.

“Wening, what will you do if aku-bersama-Indoneia’s foot ball club-again?” HAH!! Sebuah kalimat chat yang mengejutkan yang secara tiba-tiba  Alfredo lemparkan tanpa basa-basi candaan seperti hari-hari biasa. Meski dengan patah-patahan kata yang susah ditangkap, tapi aku mengerti maksudnya.

“Hm,,really?” aku terlalu bingung untuk menjawab.

“Please answer! I need your opinion, shine.” Alfredo menekanku untuk memberi tanggapan. Ini membuatku makin bikin. Berbagai hal terlintas dikepalaku, apa ia juga menganggapku istimewa seperti aku menganggapnya istimewa selama ini? Tapi mustahil.

“Hello”;

“Shine”;

“What’s your opinion?”;

“Shine, I talk to you”  Alfredo memberondongku dengan pertanyaan, mendesak aku untuk merespon kata-katanya.

“Why?” Aku mengetik. Aku tau ini bukan respon yang tepat dan hanya akan membuatku terkesan bodoh.

“What do you mean ‘why’?” Dan benar,,dia bingung dengan ‘why’ yang aku lontarkan.

“hmm I mean, why you ask me?” aku kembali membuat kesalahan.

“Wening, what do you think? Are you disconnected?” ia malah mengejekku dan membuatku seperti orang bodoh.

“Oh Alfredo, I gotta go.. Bye..”

Oh my God. Aku bingung. Betapa oon nya aku ini menganggap diriku istimewa dimata Alfredo padahal dia hanya minta pendapatku yang begitu simpel. Dia hanya menanyakan bagaimana pendapatku jika dia bergabung ke klubnya lagi. Tapi aku menanggapinya terlalu serius, dan berpikir sampai mana-mana. Pikiran macam apa ini, harus segera kuhilangkan, aku tidak boleh beranggapan macam-macam. Sudahlah aku tak boleh memikirkannya lagi, dan sekarang aku akan meneruskan pekerjaanku.

Semenjak tak bisa jalan, pekerjaanku hanyalah sebagai seorang editor sebuah majalah. Aku memulai mengedit artikel-artikel ini lembar demi lembar. Pikiranku tentang Alfredo kini sudah mulai sirna dengan keasyikkanku mengedit. Dan tak terasa ini sudah jam 12 siang, saatnya makan siang. Seperti biasa aku menunggu Umi membawakan masakan makan siangnya untukku.

Tak berapa lama, “Wening..Wening…!” Terdengar suara Umi memanggilku dari arah luar dengan kerasnya. Tumben sekali Umi memanggil-manggilku dari luar, dia tak pernah teriak memanggilku begitu semenjak aku tak bisa berjalan, karena dia tahu aku tak mungkin bisa dengan cepat memenuhi panggilannya, dia lebih memilih mendatangiku ketika ada perlu denganku, seperti saat dia selalu mengantar makan untukku. apa sekarang aku disuruh ambil makanan sendiri? sampai Umi berteriak macam itu. Tak ingin rasa penasaranku semakin lama mengahntuiku, langsung kudorong si hitam keluar ke arah suara Umi yang memanggilku.

“Ada ap…..” Belum selesai kubicara, pandangan mataku tertuju ke arah luar di taman liar depan rumahku, dan tercengang pada sebuah mobil sedan hitam mewah dan kedua orang tuaku bersama seorang lelaki asing.

“Morning baby..!” Sapaan lembut keluar dari mulut lelaki bermata sipit dengan bola mata berwarna kebiruan, kulit putih, tinggi besar dengan kaos casual dan celana jeans belel sederhana.

Dia berjalan dari arah luar setelah sempat beberapa saat ngobrol dengan Umi dan Abah, dengan langkah yang lebar dia mulai menghampiriku menuju istana kecilku sambil menenteng sebuah tablet pc. Aku sendiri bingung, apa maksud orang ini, dan siapa orang ini? ada bule masuk kampung?pikirku.

“E..e..ada yang bisa dibantu? can i help you?” Bule itu dengan santai menjawab

“Just wanna meet you and look your house with your parents” Hah, dia bicara sangat santai seolah kita sudah lama kenal. Sementara itu Umi dan Abah hanya melongo memperhatikan lelaki asing itu bicara, maklum mereka orang kampung yang tak pernah kenal pendidikan apalagi bisa berbahasa Inggris.

Belum sempat aku bertanya lebih banyak lagi, lelaki itu langsung mendorong kursi rodaku ke dalam sambil meminta ijin pada Umi dan Abah. Seolah-olah Umi dan Abah pun sangat mengenal pria ini, mereka begitu menghormati lelaki asing ini dan mempercayakan aku bersamanya. Di istana kecilku yang terpisah dari rumah Umi dan Abah kami mulai berbincang.

“Shine?”

Shine? Hah! Itu satu-satunya panggilan yang biasa dipakai Alfred untukku. Betapa tidak mungkin orang ini,

“Shine,,lupa?” Dia mulai meyakinkanku.

“Bagaimana bisa?Alfred?” sambil terbata-bata aku tak lagi bisa berkata apa-apa.

“Yeah,, ini Alfred, ya Alfredmu yang baru saja chat with u, hahahahahhaha, calm down say”

Apa-apaan ini? Alfred yang ada di facebook-ku itu? Mana mungkin. Ini mimpi? Pikirku dalam hati yang seketika berkecamuk dalam otakku. Beberapa saat ku coba menenangkan diri, sementara orang didepanku yang mengaku Alfred masih terus saja mengoceh tidak jelas.

“Shine……” Serentak aku kaget dan mengaburkan lamunanku yang memikirkan kebenaran apakah orang ini Alfred atau bukan.

“Hm, Yes?” Aku menatapnya bingung. Sepertinya orang itu sudah merasa kasihan melihatku kebingungan. Ia mulai ceritakan semua hal yang mengurangi kebingunganku. Sedikit demi sedikit kupahami ceritanya dan kumulai mempercayai bahwa dia lah Alfredo teman facebook-ku yang kukenal sebulan lalu.

Ternyata diam-diam Alfred sudah mengamatiku sejak 5 tahun lalu. Ketika itu aku sedang berada di tempat rehabilitasi sebuah LSM yang mana LSM tersebut adalah milik klub sepakbola Indonesia yang menaungi Alfredo. Dan dia mulai tertarik padaku sejak pengamatannya waktu itu. Seperti mimpi aja mendengarkan ceritanya. Alfred si pemain bola asing itu jatuh cinta pandangan pertama pada seorang wanita cacat di pusat rehabilitasi.

“Wening, aku aku serius..i need you. Would you marry me?”

“Wening, aku serius..i need you. would you merry me?” Alfredo bertanya untuk kedua kalinya, dan baru kusadari aku melamun beberapa saat, hingga tak memperhatikan lamarannya. Kalimat itu bagaikan shock therapy yang membangunkanku dari lamunan dan kebingungan akut.

“Yes!Alfred?” kataku spontan, aku terkaget dengan kata-kata yang kulontarkan.

“Oh Yeahhhh!!!” melompat kegirangan Alfredo berseru. Alfredo berlari menemui Umi dan Abah, sementara aku berusaha mengejarnya dengan kursi rodaku dan mencoba berteriak untuk menghentikan langkahnya, namun apa daya aku tak sanggup. Belum sampai aku bertemu mereka bertiga untuk menjelaskan kesalahpahaman ini, aku sudah melihat Alfredo keluar dari rumah Abah dan Umi menuju mobil sedan hitamnya. Dia mulai memasang gas mobilnya dengan tangan kanannya memegang stir mobil dan tangan kirinya melambai ke arahku seolah berkata ‘sampai jumpa, besok aku kan kesini lagi’.

Begitu mobil Alfred sudah tak terlihat lagi di halaman rumahku, Umi dan Abah menghampiriku.

“Nak, apa lelaki itu baik untukmu?” tiba-tiba saja Abah bertanya, lalu Umi menambahinya

“Wening, anakku, benar km menjawab ‘iya’ atas lamarannya? Umi dan Abah terserah pada Wening, kalau Wening setuju, kami merestui.” Apa-apaan ini Umi dan Abah berbicara seserius ini soal lelaki padaku. Ini pertama kalinya, bahkan mereka tak pernah menyinggung soal pria sebelum-sebelumnya.

“Wening ndak tau, Umi-Abah, Wening pasrah saja dengan jodoh Wening. Abah-Umi tau sendiri keadaan Wening, daripada kecewa nanti, lebih baik tidak berharap”. Sebenarnya aku ingin menjelaskan kesalahpahaman tadi ketika aku bilang

“Yes!Alfred.” Mungkin seharusnya aku tidak katakan itu, dan segera mengedit kata itu sebelum Alfred kegirangan.

“Nak, besok Alfred akan datang bersama keluarganya melamarmu, dia akan mengikuti tradisi kita. Kebetulan ibunya juga orang Jawa seperti kita” Umi mulai bercerita panjang lebar tentang Alfred. Aku tidak mengerti sampai sejauh itu Umi mengenal Alfred, padahal soal itu pun aku tidak tau.

“Umi tau darimana?” tanyaku.

“Nak, terkadang orangtua tak ingin banyak bercerita tentang apa yang diketahuinya sebelum waktunya, banyak pertimbangan yang harus dipikirkan kedepannya” selesai berkata Abah langsung pergi keluar, sepertinya akan memberi makan ayam-ayamnya, dan Umi semakin mendekatiku seolah ada pembicaraan serius yang harus ia utarakan.

“Wening, kamu sudah dewasa, sudah saatnya kamu memikirkan masa depanmu, tak mungkin kamu hidup sendiri dengan Umi-Abah yang juga semakin tua. Sudah lama kamu sperti ini, jangan jadikan ini kekuranganmu, tapi jadikanlah kelebihanmu. Seperti yang terjadi saat ini, dengan keadaanmu yang seperti ini kamu mampu menaklukkan hati pria sebaik dan setampan Alfred.” Umi mulai banyak berkata-kata, matanya berkaca-kaca sampai tak terbendung mengalir mentes menuruni hidung Umi yang memang mancung. Aku hanya mampu menatap Umi dengan penuh iba, entah ini mengasihani Umi atau mengasihani diriku sendiri. Aku turut hanyut, dan kini aliran air itu menuruni hidungku bersumber dari air mataku sendiri.

“Umi…” Sepatah kata baru selesai kuucapkan, Umi memelukku dengan erat.

“Nak, Umi-Abah tahu Alfred sejak lama, dia selalu mengamatimu diam-diam dulu ketika kamu berada di tempat rehabilitasi itu. Dan dulu pun Abahmu sudah mengancam dia agar tidak menganggumu, Abah takut kalau dia hanya akan menyakitimu, sejak saat itu Alfred pindah ke negara asalnya. Kini dia kembali dengan keyakinannya menikahimu, sekarang saatnya kamu yang memutuskan. Abahmu sudah merestui, begitu pula Umi.” Pembicaraan ini terasa seperti pembicaraan  berat antara ibu dan anak. Aku tak bisa berkata apa-apa airmataku mengalir begitu derasnya. Umi mengusap tiap tetes air mataku, seperti tak ingin membuatku semakin menangis, Umi meninggalkanku sendiri. Umi paling tahu bagaimana perasaanku.

Keesokan paginya, semua sudah berjalan seperti biasa, dan seperti biasa pula kubuka laptop dan chatting lagi, dan tentunya ada Alfred lagi.

“Sun Shine!” Kata pertama di box chat dari Alfred berbeda dari biasanya. Aku tahu maksudnya. Mungkin sebuah panggilan sayang.

“Hahaha,,my sweet sun shine….” “Morning honey..” Alfred memang paling bisa buatku tertawa.

“Morning.” Jawabku, dan kuketik kembali beberapa kalimat, belum sampai kukirim, sudah ada pemberitahuan ‘Alfredo is offline’. Sangat kecewa, kucoba berpikir positif mungkin koneksinya sedang tidak baik.

Sepertinya perkiraanku salah, karena Alfred lagi-lagi ada didepan rumahku, dan kali ini bersama 2 orang asing lagi yang semakin tak kukenali. Otakku mulai berpikir, hm..yang satu wanita Javanese satunya lagi lelaki paruh baya Englandnese.haha.. Tidak salah lagi pasti itu kedua orangtua Alfred yang dikata Umi kalau ibunya orang Jawa.

“Selamat pagi, Wening ya” wanita itu menyapaku dengan sangat lembut.

Kedua orangtuaku rupanya sudah menyiapkan jamuan istimewa di meja makan. Sepertinya kedatangan mereka memang sudah direncanakan sejak kemarin, hanya saja aku sendiri pemeran utama yang sama sekali tidak tahu apa-apa tentang rencana besar ini. Mungkin aku terlalu sibuk memikirkan perasaanku sendiri.  Aku tak menyangka Umi-Abah bakal berpikiran sejauh ini.

“Wening, aku bawa my parents kesini, untuk meyakinkanmu bahwa i’m serious with u” Alfred mencoba menerangkan sekaligus meyakinkan kedatangannya untuk melamarku dan bukan sekedar main-main. Suasana jamuan ini jadi sangat kaku dan serius. Kucoba jawab dengan jawaban yang sangat netral

“Aku terserah Umi-Abah saja” Beberapa detik begitu aku selesai mengatakan kalimat itu, semua mata tertuju pada Umi dan Abah.

“Abah-Umi setuju kalau Wening bahagia” Abah bicara dengan sangat bijak tanpa ragu dan grogi meski semua perhatian tertuju padanya. Menanggapi kata-kata Abah aku hanya tersenyum. Sepertinya semua tahu maksud dari senyumanku. Dan suasana dalam jamuan kecil itu mulai mencair setelah Alfred memulai dengan celotehan lucunya.

Bisa disimpulkan sejak saat itu aku punya pacar, eitz mungkin bukan pacar lagi, tapi “tunangan”=”calon suami”. Sebuah corak baru dalam kehidupanku yang berwarna hitam legam setelah kelumpuhanku ini. Ya Tuhan, terimakasih. Aku bahagia…

Sejak saat itu, aku semakin rajin menulis novelku dan semangat menjalani hari-hariku. Novelku akan menjadi sebuah novel happy ending yang mengisahkan kehidupanku. Ya, kehidupanku bersama Alfred yang akan berakhir bahagia selamanya meski dengan kegelapan dalam disabilitas yang kUmiliki. Alfred bagaikan matahari pagiku yang selalu memberi semangat pagi, mnenyapaku dengan hangat, dan selalu bisa membuatku tertawa. Bagaikan “Sun” agar “Shine” dalam “Kegelapan”, seperti kisahku dalam novel tulisanku.

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

1 komentar

  1. Ya betul sekali, orang asing justru lebih menghargai disabel. Di luar negeri, fasilitas untuk disabel juga lebih banyak daripada di Indonesia

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *