Surat Undangan

Jam delapan belas tiga puluh  menit seusai menunaikan sholat magrib, aku duduk diteras, iseng-iseng mencari udara segar. Biasanya sehabis magrib, kuteruskan dengan dzikir dan membaca ayat-ayat suci AL-Qur’an, tapi sudah satu minggu ini udara sangat panas, hingga membuatku tak betah dikamar.

Sialan ini nyamuk, nggangguin orang saja, didalam panas, diluar banyak  nyamuk, uuuhhhhhh,serba salah.

Sayup-sayup terdengar suara Yati pembantu dirumahku memanggil dari arah rumah tetangga sebelah, aku diam sejenak dan memasang kuping dengan baik.

“Mbak Lien, dapat surat nieh”, suara Yati makin jelas,ia berjalanmenghampiriku sambil membawa sepucuk surat.

Dari mana? Tanyaku tak sabar.

“Dari mbak Mirut,” jawabnya sopan.

Surat bersampul putih segera aku bawa masuk kekamar, tak enak baca surat diteras, lampu yang kurang terang hanya akan membuat mataku sakit

Undangan perkawinan antara Mirut dan mas Edwi, tiba-tiba anganku melayang entah kemana, Mirut, Mirut, bikin aku kangen aja, tahu nggak yang namanya Mirut, anaknya manis, lincah dan ramah, apalagi dengan kaca mata putihnya, membuat jantung dag dig dug, kalau aku jadi laki-laki mungkin sudah aku gandeng sejak dulu, eh, kalau dia mau.

Banyak sekali pria yang berusahamenggapai hatinya, tapi tak satupun yang berhasil. “Saya ingin sekolah dulu,” katanya, suaranya yang lembut keluar dari bibirnya yang mungil, senyumnya yang manis, membuat penampilannya semakin aduhai.

Ia juga termasuk primadona di kelas, bahkan disekolah, kelas satu tujuh memang kece-kece, nggak nyombong nieh.

Persahabatan kami berdua semakin erat, bahkan melebihi saudara kandung, aku sering berkunjung kerumahnya, begitu pula sebaliknya. Nyokap senang sekali bila sihitam manis datang, habis ia ramah sih, sopan lagi. Bunda tak pernah repot menyiapkan minum dan makan jika teman sekolahku datang kerumah, karena mereka sudah dianggab seperti anak sendiri, lagi pula ia tidak ada waktu untuk berlama-lama dirumah.

Menjelang semester dua diadakan penjurusan, Ambar, Agus, Arum dan Didik dibagian IPA, sedangkan aku, Mirut, Maida dan Iin di bagian IPS.Sebenarnya kami tak ingin berpisah dengan teman-teman sekelas, pak Sugeng wali kelas satu tujuh telah digantikan oleh ibu Joko, pak Hajam, pak Satmono dan ibu Trie otomatis tidak mengajarku lagi.

Sejak saat itu pula aku pindah ke kelas baru, suasana baru, dan teman baru, meski hanya sebagian karena kelas satu IPS 2 merupakan gabungan dari kelas satu tujuh dan kelas satu dua

Dikelas baru ketemui makluk aneh, norak, kampungan, pokoknya nyebelin deh, bayangin aja, setiap masuk kelas, pasti langsung nyengir, padahal kuperhatikan tak ada seorangpun yang menyapanya, “miring kali”

“Mbak Lien, itu doimu datang,” kata Mirut menggodaku.

”Idih amit-amit deh Rut, lihatnya saja gue sebel”, kataku sambil membuang muka.

“Jangan suka gitu, senang betul kali,” Mirut meneruskan candanya.

”Udahlah Rut, buat lu aja aku nggak butuh”, kataku kesal.

”Marah niye”.

”Marahsih nggak, Cuma”,….

”Halo Lien, halo Rut, asyik bener nieh dari tadi”.

”aduuhhh ini anak, baru juga selesai diomongin, tahu-tahu  udah nylonong kesini, sok akrab amatsih, kenal juga nggak”, gumamku dalam hati.

“Kemarin aku lihat kalian pentas, suaranya enak lho,” katanya sedikit memuji kami.Meskipun agak gamang rasanya, kami (aku dan Mirut) berusaha tersenyum. Herannya, teman-teman disekolah banyak yang suka padanya, pasti ini anak punya kelebihan dibidang tertentu, gumamku dalam hati.

Dodi ternyata begitu namanya, enak diajak ngobrol, ia pindahan dari kelas satu dua, dugaanku selama ini ternyata salah, noraklah, kempungan, dan masih banyak lagi, semoga ia tak pernah tahu kalau aku pernah membencinya.

“Dodi, aku dengar kamu bintang kelas satu dua, kenapa nggak masuk IPA aja?”, Tanya Mirut setengah kurang percaya.

Iya Dodi, sayangkan  lagian anak IPAkan keren-keren, kataku

“Apanya yang sayang, kalau aku nggak senang apa harus dipaksakan”, jawabnya kurang bersemangat.

“Oh, jadi kamu ingin nyaingin pak Warso ya?”, Tanya Mirut kembali.

Pak Warso yang mana? Tanyaku cepat.

”Itu tu kamus berjalan”, jawab Mirut sambil menunjuk keruang guru.

Ha ha ha, kami bertiga tertawa serentak.

Si Dodi ini anaknya lucu, lucu, banget, bahkan super kocak, kalau sehari saja ia nggak masuk , suasana kelas menjadi sepi.

“Lien, saya mau nganterin mbak Nur kedokter, kamu jaga rumah ya!, teriak kakaku membuyarkan lamunanku. Segera aku keluar dari kamar dan mengunci pintu yang masih terbuka lebar, takut kemalingan, Ratih dan Yogi sudah bobok dengan pulasnya, kedua monik ini memang koponakanku yang lucu-lucu.

Kini suasana rumah menjadi sunyi, sesunyi hatiku, kuambil album dari kamar, dan aku buka satu persatu. Hi hi hi, malu sendiri aku melihat foto-fotoku waktu masih kecil, ada yang lagi nangis, ada yang lagi disuapin, dan ada juga yang nggak pakai celana.

Tapi semenjak aku duduk dibangku SMA, aku mulai senang memajang foto-fotoku, terutama yang ada hubungannya dengan kegiatan sekolah.

Aduh, tiba-tiba aku ingat bunda, sedang apa ia disana?, kupandangi sosok seorang ibu yang ayu, ramah, dan bijaksana. Empat puluh empat tahun sudah ia menjanda, tapi tak goyah sedikitpun imannya, empat bulan setelah aku terlahir kedunia, ayahnda tiada, perpisahan memang satu hal yang menyakitkan, tapi apa hendak dikata kalau takdir yang berkehendak.

Mulai saat itu bunda berperan ganda dalam keluarga, selain menjadi ibu, ia juga menjadi bapak, dengan sabar dan penuh kasih sayang ia mengasuh kedelapan putra-putrinya. Ditengah-tengah hidupnya yang penuh dengan prehatin, muncullah empat bocah cilik yang sama sekali tak diurus oleh bapaknya, tanpa ragu-ragu dijadikannya mereka menjadi anak angkat.

Guntur menggelegar, membuyarkan lamunanku kembali, ketika aku berumur sembilan tahun, sering kali aku merindukan akan belay kasih sayang dari seorang ayah, lebih-lebih jika harus menghadiri pesta ulang tahun temanku di sekolah, tanpa terasa air mata membanjiri wajahku, tatkala kulihat seorang ayah mencium anaknya yang sedang happy, dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

Semilir angin senja berdesir, waktu berlalu dengan cepatnya, jam sembilan belas sudah, tapi aku belum juga belajar, pasti nanti ibuku marah, tapi bagaimana mau belajar, sementara pikiranku nglantur.

Ting tong, siapa ya?, malam-malam begini bertamu?Perlahan-lahan kubuka pintunya, oh, bapak itu datang lagi, kutatap wajahnya, dan kulihat ada binar aneh di matanya.

Tanpa kupersilahkan masuk, ia langsung nyelonong kedalam dan duduk di ruang tamu.

Setahu saya selama ini bunda selalu ramah dengan tamu-tamunya, kenapa dengan tamu yang satu ini ia bersikap lain, bahkan takpernah mau menemani ngobrol. Bunda selalu mencari kesibukan, kadang ia menjahit, setrika, memasak, dan masih banyak lagi, walau kutahu ia sangat letih.

Bila jam sembilan tamu itu belum juga pulang, biasanya bunda mengusirnya dengan halus, tetapi jika sedang malas, akulah yang menjadi sasarannya. Dengan tangan yang basah ia mencubitku, hingga kumenjerit dan menangis kesakitan. Kalau sudah begitu pasti bapak yang nggak tau diri ini langsung mohon ijin untuk pulang.

Pernah juga laki-laki mata keranjang itu, tertidur diruang tamu, bunda kaget setengah mati, dengan bahasa isyarat ia memanggilku, kali ini ia tidak mencubitku, tapi mengajakku keluar rumah lewat pintu belakang, aku sendiri tak tahu arah tujuannya.

Suasana malam yang gelap gulita, dan diiringi rintik-rintik air hujan, membuat langkah kami semakin cepat.

Lho, kenapa kemari? Inikan rumah bapak yang nggak tahu diri itu? Aku bertanya dalam hati.

Tok tok, tok,permisi mbakyu, bunda mengetuk pintu dengan sopan.

“Mari-mari silahkan den ayu,” sapa perempuan setengah baya sambil tersenyum.

“Terima kasih, maaf malam-malam mengganggu”, jawab bunda sambil mengatur nafas.

“Tumben kemari, ada perlu rupanya,” Tanya tuan rumah.

“Begini, mbakyu mau menolong sayakan?” Tanya bunda sambil menangis.

“Dengan senang hati,” sahudnya cepat

Kalau begitu mari kerumahku sekarang juga, tolong kasih tahu suamimu dan ajak pulang”, bunda memohon dengan sangat.

Mulai saat itu ia tak pernah kerumah lagi.

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

Oleh Walin Hartati

Menjadi tunanetra setelah dewasa memang berbeda dengan yang menjadi tunanetra sejak lahir. Depresi itu yang terjadi pada saya, tapi semenjak mengenal komputer bicara stap by stap semangat hidupku muncul kembali bahkan semangat untuk menolong orang lain yang mengalami disabilitas semakin tinggi

1 komentar

  1. terima kasih sudah ikut berkontribusi. Jika boleh sedikit masukan, mohon diperhatikan pengetikan dan ejaan. Karena ada beberapa kata yang salah ketik atau diubah otomatis oleh MS Word karena autocorrect aktif. Lalu, dari sisi cerita, sebetulnya sudah menarik di awal, namun sepertinya ada missing-link dengan bagian akhir. Sehingga di akhir pembaca apat bingung apa kaitannya dengan bagian awal cerpen.

    tetap semangat dan terus produktif berkarya ya 🙂

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *