Takkan Ada Asap Jika Tak Ada Api

Jakarta – Kongres Papua III yang berakhir ricuh 19 oktober 2011 lalu menimbulkan tanda tanya besar. Bukan saja oleh pihak penyelenggara kongres, tetapi juga dari pihak kepolisian.

 

Mengapa? Ya. Karena aksi pembubaran yang dilakukan oleh POLRES Jayapura terlihat begitu represif dan tidak meninggalkan sedikit celah pun untuk melakukan pendekatan secara persuasif. Ini terbukti dari pengakuan sejumlah saksi yang kebetulan menjadi peserta kongres.

 

Beberapa saat setelah acara penutupan, polisi tiba-tiba datang menyeruak ke arena tempat kongres berlangsung dan melepas tembakan secara brutal. Warga yang ketakutan segera berhamburan menyelamatkan diri ke gunung dibelakang lapangan. Beberapa warga sipil yang “bernasib sial”, ditangkap dan dipukuli hingga babak belur. Bukan itu saja, bahkan ditemukan sesosok mayat atas nama Melkias Kadepa sekitar pukul 4 sore WIT di belakang markas komando Resor Militer Jayapura. Korban diduga meninggal akibat ditembak. Dan puluhan orang lainnya, diperkirakan masih mengungsi di hutan.

 

Nampak begitu arogannya kepolisian dalam menangani masalah ini. Ternyata senjata masih menjadi andalan demi menghindari negara dari perpecahan. Para panitia dan peserta kongres pun dikejar hingga ke atas gunung. Termasuk Ketua Dewan adat Papua, Forkorus Yeboisembut yang oleh kongres diangkat sebagai presiden masa transisi Negara Demokratik Papua, dan Edison Waromi yang diangkat sebagai perdana menteri.

 

Keduanya adalah orang pertama yang ditangkap polisi. “Forkorus sempat bersembunyi di Biara Fransiskan. Saat polisi menutup arena kongres, ia lari bersama Dominukus Sirabut dan beberapa orang pasukan Penjaga Tanah Papua. Polisi menyisir area dan mendapatkannya. Dia langsung dipukul dan diseret ke tengah lapangan kongres” kata saksi, AR, seorang biarawan di Biara Fransiskan.

 

Jelas ini adalah sebuah tindakan di luar kewajaran. Meskipun dari fihak kepolisian sendiri membantah keterangan tersebut, dan menyatakan bahwa mereka hanya melepaskan tembakan peringatan, sepertinya sangkalan itu belum cukup.

 

Memang kita akui, penyelenggaraan kongres yang akhirnya menjelma menjadi pembentukan sebuah negara baru yang ingin merdeka adalah sebuah tindakan yang sangat berbahaya bagi keutuham Negara Republik Indonesia. Namun apakah begitu caranya menangani warga negara yang ingin menyuarakan aspirasinya?

 

Bila kasus ini tidak segera deselesaikan, dan polisi tidak berusaha mengubah pendekatannya ke masyarakat, maka jangan salahkan rakyat apabila terjadi gelombang “penuntutan kemerdekaan” yang lebih besar.

 

Selain itu, aksi-aksi menuntut kemerdekaan ini terjadi pasti karena ada sebab tertentu yang mendasarinya. Tidak akan ada asap kalau tak ada api. Dan kejadian yang terjadi beberapa hari ini di wilayah paling timur Indoinesia itu sepertinya ingin memberitahukan kepada kita apa sebabnya mereka berlaku seperti itu.

 

 

Memang kita tak ingin Indonesia kehilangan lagi wilayahnya. Papua adalah bagian dari negri kita tercinta. Tapi Papua juga telah banyak menelan pil pahit dari negara ini. Diskriminasi, daerah tertinggal, eksploitasi kekayaan yang akhirnya hanya dinikmati sekelompok orang, dan masih banyak lagi yang lainnya.

 

 

Dan Inilah yang seharusnya menjadi salah satu fokus perhatian pemerintah pusat. Apalagi di awal Reshuffle yang tentu sedikit banyak memberikan harapan bagi seluruh rakyat Indonesia.(Satrio)

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Satrio Budi Utomo

editorial staff of Kartunet.com

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *