Teknologi Aksesibel Memberi Harapan Baru untuk Masa Depan Difabel

Putus asa, perasaan itulah yang aku rasakan ketika mataku tidak mampu melihat dunia ini lagi. Kejadian itu terjadi di tahun 2005, saat usiaku genap 20 tahun.

Namaku I Made Astika Dhana, biasa aku dipanggil Kadek. Aku adalah anak ke-dua dari empat bersaudara yang terlahir dengan kondisi fisik yang lengkap. Mataku mulai mengalami gangguan saat aku duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saat itu aku mengalami kesulitan ketika harus melihat tulisan yang ada di papan tulis. Walaupun demikian, aku belum menyadari kalau mataku ini mengalami gangguan.

Setelah aku duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) barulah mataku diperiksakan ke dokter spesialis mata Denpasar Bali. Waktu itu aku didiagnosa mengalami katarak, namun saat itu belum bisa dioperasi karena dengan alasan kataraknya masih muda.

Berselang satu tahun dari pemeriksaan pertama, aku kembali memeriksakan mataku ke dokter spesialis mata tersebut. Dari hasil check up keseluruhan, kondisi fisikku seluruhnya dalam keadaan baik. Dokter pada saat itu menyarankan agar mataku dioperasi, sebenarnya orangtuaku sudah setuju dengan tindakan operasi tersebut. Namun, dokter itu sendiri yang membatalkan operasinya dengan alasan tegangan bola mataku saat itu cukup tinggi. Akhirnya orangtuaku membawaku pulang dan aku kembali melanjutkan pendidikanku sampai tamat SMA.

Tamat SMA, aku mengikuti kakakku tinggal di Boyolali Jawa Tengah. Di sana aku mencoba pengobatan alternatif akan tetapi mataku tidak menjadi sembuh melainkan perlahan-lahan mataku mengalami penurunan penglihatan dan akhirnya gelap sama sekali.

Ketika menjadi tunanetra, waktuku paling banyak kuhabiskan dengan mendengarkan siaran radio. Bahkan aku sampai menghafal semua program siaran dan nama penyiar di radio favoritku. Bangun pagi langsung menyetel radio, ngopi pagi sambil mendengarkan berita-berita dari radio, tidur siangpun dihibur dengan lagu-lagu terbaru dari radio. Aku hampir tidak memiliki teman lagi, untungnya aku masih memiliki keluarga yang menyayangiku.

Pernah suatu hari aku bersama ibuku menonton siaran televisi yang menceritakan tentang seorang tunanetra yang dengan keterbatasan penglihatannya mampu mengoperasikan handphone dan laptop secara mandiri. Saat itu perasaanku terasa bercampur aduk seperti senang, takut, dan sedih. Senang karena aku seperti mendapatkan satu harapan baru yang dapat kuperjuangkan, takut karena aku sempat berfikir tidak akan mampu seperti tunanetra yang ada di televisi tadi, dan sedih karena harga laptop dan handphone yang masih mahal pada saat itu.

Kira-kira di tahun 2008, aku mulai mencoba mencari informasi tentang program komputer dan handphone khusus bagi tunanetra. Langkah pertama yang aku coba yaitu mendatangi panti rehabilitasi tunanetra Hitbia yang ada di kotaku. Di sana aku tidak mendapatkan informasi yang aku cari. Setelah itu aku mencoba menelepon panti rehabilitasi tunanetra Mahatmiya Bali. Di sana aku mendapat informasi tentang komputer bicara yaitu komputer biasa yang dipasang sebuah program pembaca layar (screen reader).

Singkat cerita akhirnya aku pun memperoleh program tersebut dari salah satu instruktur di sana. Setelah program itu sampai di tanganku, aku lalu meminta adikku menginstall di komputer miliknya. Setelah program itu terpasang, aku kebingungan saat mau mulai mengoperasikannya. Aku bingung harus memulai dengan menekan tombol yang mana. Ketika aku tanyakan kepada adikku, ia mengatakan kalau cara yang biasa ia gunakan ialah dengan meng-klik icon pada layar menggunakan mouse. Karena belum menemukan solusinya, aku kemudian tidak melanjutkan berlatih komputer bicara.

Meski gagal berlatih komputer bicara, aku lalu mencoba mencari informasi lagi tentang program pembaca layar untuk handphone. Karena di panti Mahatmiya Bali belum ada program tersebut, maka aku mencoba mencari nomor telepon panti atau lembaga tunanetra yang ada di Jawa. Lembaga berikutnya yang aku hubungi adalah Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) Abiyoso Bandung. Di sana aku kembali tidak mendapatkan informasi yang aku butuhkan. Namun dari sana aku mendapatkan nomor telepon yayasan Mitra Netra Jakarta. Dari Mitra Netra akhirnya aku memperoleh program pembaca layar talks untuk HP symbian dari salah satu pegawainya. Ternyata mempelajari HP bicara lebih mudah dibandingkan dengan mempelajari komputer bicara karena cara penggunaanya yang sama dengan cara penggunaan HP orang awas. Jadi ketika aku merasa bingung, aku bisa bertanya kepada saudaraku yang awas.

Kurang-lebih sembilan bulan aku mempelajari handphone bicara dan sudah terbiasa dengan suara text to speach (TTS) eloquence yang menggunakan dialeg ingris, aku kemudian kembali mencoba mempelajari komputer bicara. Aku memulainya dengan cara membuka dan keluar dari folder, membuat folder baru, memutar musik, dan kegiatan-kegiatan yang sering aku lakukan di handphone.

Seiring berjalannya waktu, aku mencoba mengenal dunia maya dengan cara mengakses www.google.com melalui handphone. Dari situ, aku mencoba mencari informasi tentang teknologi bagi tunanetra, tanpa sengaja aku menemukan artikel yang aku cari di website www.kartunet.com. Setelah membaca beberapa artikel di sana, di bagian akhir halamannya aku menemukan informasi bahwa kartunet juga memiliki grup diskusi atau mailing list di Yahoo yang membahas seputar teknologi. Akhirnya aku meminta bantuan kepada saudaraku untuk menggabungkan aku ke grup tersebut.

Di dalam grup kartunet aku memperoleh banyak sekali informasi tentang teknologi yang selama ini aku cari. Pada awalnya aku bingung harus bertanya apa, jadi aku hanya menyimak obrolan dari teman-teman yang saling melontarkan pertanyaan dan jawaban. Ketika ada yang bertanya dan ada yang menjawab, aku lalu ikut mempraktekannya di komputerku. Sekarang grup kartunet itu sudah tidak aktif lagi karena digantikan dengan sosial media yang populer saat ini seperti Facebook dan WhatsApp.

Di tahun 2009, aku dikunjungi oleh salah satu pegawai panti rehabilitasi tunanetra Hitbia Kupang. Pegawai tersebut memintaku untuk tinggal di panti agar dapat memperoleh keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh tunanetra. Singkat cerita, aku telah tinggal di panti Hitbia dan selama satu setengah tahun kemudian aku sudah bisa menulis dengan menggunakan huruf braille.

Di tahun 2011, aku memutuskan melanjutkan pendidikanku di salah satu universitas di Kota Kupang. Namun sampai semester lima, kampus tempatku berkuliah ditutup karena tidak memiliki izin operasional. Aku tidak menyerah sampai di situ, aku kembali mendaftarkan diri menjadi mahasiswa di kampus Akademi Pekerjaan Sosial Kupang.

Proses perkuliahan yang aku jalani cukup mudah kuikuti karena adanya teknologi seperti komputer bicara, internet, dan scanner. Komputer bicara membantuku dalam mengerjakan tugas dan membaca materi yang diberikan dosen dalam bentuk soft copy. Adanya akses internet memudahkanku dalam mencari materi-materi perkuliahan. Sedangkan alat scanner sangat membantuku ketika materi yang diberikan dosen hanya dalam bentuk hard copy atau hasil print out.

Tidak terasa tiga tahun telah berlalu, aku akhirnya menyelesaikan pendidikanku dan mendapatkan gelar ahli madya. Yang membuatku sangat senang karena aku dapat membahagiakan orang tuaku dengan hasil yang kucapai. Aku berhasil lulus dengan IPK 3.84 dengan predikat lulusan terbaik (cum laude). prestasi ini dapat kuraih berkat dukungan dari semua pihak dan khususnya orang tua yang memberikan perhatian dan kasih sayangnya sehingga aku bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan saudara-saudariku memperoleh pendidikan tinggi.

Di bulan September 2017 sebelum aku diwisuda, ada informasi lowongan pekerjaan dari kementerian sosial RI untuk pendamping PKH. Aku sempat coba melamar di sana melalui aplikasinya yang aku download dari toko aplikasi google (play store). Waktu itu aku belum memiliki ijazah D3 yang dipersyaratkan. Namun aku hanya mendaftar dengan menggunakan surat keterangan lulus dari kampus. Akhirnya di hasil seleksi administrasi namaku tercantum di dalam pengumuman tersebut. Aku kemudian mengikuti tes tertulis yang didampingi oleh adikku di tanggal 14 November 2017. Pada pengumuman hasil akhir seleksi SDM PKH 2017, aku berhasil lulus menjadi pendamping PKH di Kecamatan Maulafa Kota Kupang. Kini, di bulan Januari 2018, aku sudah mulai berkantor di Dinas Sosial Kota Kupang.

Tulisan ini merupakan nominasi pada lomba esai opini Manfaat Internet untuk Kemandiriaan Difabel #12KartunetBerkarya. Silakan vote tulisan ini untuk mendukungnya sebagai nominasi terbaik.

Last Updated on 6 tahun by Redaksi

Oleh Made Astika

saya adalah penyandang disabilitas netra total sejak saya berusia 20 tahun.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *