Telepon Umum Koin dan Berakhirnya Kisah Setia Sang Sahabat

Tiga puluh menit menjelang Asar ketika aku menerima kabar duka dari Makassar. Adalah teman bernama Sattu yang menyampaikan kabar duka itu. “Telah meninggal, Udin Eet Sjahranie, sahabat yang paling bermasyarakat” pesan WhatsAppnya singkat. Lima belas menit berselang, aku menerima pesan WhatsApp dari Ruslan Cullang. Isi pesannya sama, “tiada lagi mitra bakti setia bagi Yapti.”

 

Aku menghentikan aktivitas membacaku, lalu merapihkan semua buku, mengunci laci mejaku untuk sejenak membaringkan diri di ranjang kayu yang tak lain adalah tempat peraduan malamku. Aku merenungkan pengabdian setia Udin kepada teman-teman di asrama Yapti yang akan dikenang abadi. “Jasa yang sulit tertandingi, dedikasi yang susah tersaingi, bisikku lirih dalam hati.

 

Aku mulai men-scroll up layar kehidupanku kembali ke masa lalu, era 1980-an ketika masih bersekolah di asrama Yapti Makassar dulu. Di era tersebut, ada acara hiburan di RRI yang sangat digandrungi oleh pendengar yaitu Fans Call. Aku dan Udin adalah dua di antara ribuan penggemar acara tersebut. Berjumpa di sebuah box telepon umum koin pinggiran jalan berjarak 1 kilo meter dari asrama, adalah awal perkenalanku dengannya. Saat itu, kami sama-sama ingin menelepon ke RRI Programa 1 Makassar yang sedang menyiarkan acara Fans Call untuk me-request lagu pilihan, menyapa teman pujaan, lalu menyampaikan sebait atau dua bait ucapan.

 

“Pendengar RRI juga?” Tanya Udin sambal meletakkan gagang telepon seusai menelepon. “Iya,” jawabku singkat. Kami kemudian saling mengenalkan diri, berdiskusi tentang RRI (Radio Republik Indonesia), hingga janjian pulang bersama ke Yapti.

 

15 menit kami ngobrol ketika seorang pendengar acara Fans Call menyengol: “Buat Yeki di asrama Yapti, semoga kabar baik di malam ini.” Begitu teman itu menyapa. Udin pun memintaku segera menelepon RRI untuk menyenggol balik teman tersebut. Aku lalu menyiapkan 3 koin 50 perak, jumlah yang cukup untuk bercuap-cuap di telepon selama 6 menit untuk menyapa teman fans call pada Sabtu malam tanggal 19 November 1989 itu. “Koinnya dimasukkan di sini,” Kata Udin sambal mengarahkan tanganku ke lubang pesawat telepon. “RRI Programa 1 Makassar, selamat malam! Dengan siapa dan di mana?,” begitu penyiar menjawab teleponku. “Selamat malam juga Daeng Mas’ud Makkarakka. Ini dengan Yeki di Asrama Yapti. Malam ini Aku ingin me-request lagu Forever Young dari Bob Dylan. Semoga lagu ini bisa menghibur Bayu Saputra di Jalan Abu Bakar Lambogo, Muli di Jalan Sungai Poso, Udin Eet yang sedang memonitor Fans Call lewat radio, serta Kendris di Jalan Sungai Limboto. Special buat Rangga Saputra di Jalan Buntu Terepedo, trims atas senggolannya malam ini.” Begitu aku menyenggol teman-teman Fans Call malam itu.

 

Rintik mulai menetes ketika aku menggantungkan kembali gagang telepon di tempatnya. Kami pun pulang ke asrama Yapti menumpang bemo, kendaraan roda 3 yang masih ada satu dua di tahun itu.

 

Sejak perjumpaan itu, aku dan Udin menjalin persahabatan sejati. Kemana pun aku pergi jika membutuhkan pendamping, Udin Eet Sjahranie pasti menemani. Nama “EET Sjahranie” itu sendiri disematkan oleh teman-teman tetangga Udin karena mereka tahu Udin adalah pengemar berat Eet Sjahranie, salah satu gitaris hebat Indonesia.

 

Kini engkau telah pergi, tapi dedikasimu akan kami kenang abadi.

Last Updated on 4 tahun by Redaksi

Oleh Iyehezkiel Parudani

Saya adalah salah seorang dari ribuan bahkan jutaan warga Sulawesi Selatan yang kini berdomisili di Jabodetabek. Karena suku saya Toraja, banyak teman memanggil saya 'sangmane" yang berarti saudara laki-laki (brother).Ambon berambut Flores" karena begitulah tampakkan saya secara pisik.

1 komentar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *