[Cerpen] Terbit untuk Kembali

Beberapa langkah di depan kami, terdapatlah sebuah taman kecil yang bersih dan tertata rapi. Ada pohon rimbun yang aku tak tahu namanya meneduhi seperempat bagian dari taman. Suara air mancur bergemericik terirama dari kolam kecil di salah satu pojoknya. Semerbak wangi bermacam bunga di sekeliling taman memanjakan syaraf hidungku. Tak ada yang terlalu istimewa di taman itu, kecuali kenangan yang tersimpan di dalamnya. Tempat ini menjadi saksi ketika aku meminta Ica jadi kekasihku. Tidak seperti skenario dari banyak penembakanku sebelumnya, kali itu dilakukan dengan tak terencana sama sekali. Semua terjadi saat kami sama-sama menjadi panitia bagi acara perpisahan kakak kelas tiga di angkatan sebelumnya.

Aku berdiri di atas lantai berbatu yang memisahkan antara padang rumput taman dengan bangunan gedung. Pemandangan ini membiusku sesaat seiring dengan berputarnya piringan hitam memori di kepala. Semua itu terasa indah seperti baru saja terjadi dan hari kejadian itu tak pernah ada senja yang beranjak menutupnya. Di taman ini tak ada kursi yang tersedia. Aku hendak duduk di atas lantai batu. Saat tanganku menyentuh permukaan batu yang kasar, terasa banyak debu yang melapisi. Kulepas sepatu kets hitam yang sudah tiga tahun setia menemani, digeser sekarang fungsinya dari alas kaki menjadi alas duduk di atas lantai. Ica mengikuti apa yang kulakukan dan duduk dengan menarik kedua lutut ke dalam pelukannya.

Jarum detik di arloji berputar melewati angka 12 berulang kali seakan enggan tuk berhenti sejenak. Tak ada suara di antara kami. Hanya terdengar sayup-sayup panitia anak kelas dua yang sedang sibuk merapikan panggung. Aku menghela nafas panjang mencoba menghimpun kekuatan. Ica menunduk dan menumpahkan semua fokus penglihatannya ke arah daun kering yang jatuh di depan kami. Ia seperti menunggu dan bersiap akan konsekuensi yang akan terjadi.

“Aku harus pergi,” ucapku akhirnya memecah keheningan, “ke Jakarta.”
Aku bicara tetap tak memandang Ica. Berusaha menjadi makhluk tak berperasaan yang dengan ringan mengatakan kata perpisahan. Tapi tetap tak bisa. Lisanku bergetar saat mengucapkannya. Diam kembali menyerbu. Tak ada reaksi dari Ica. Tatapanku tak bergeser sedari tadi dari arloji yang terikat pasrah di tangan. Tali pengikatnya melekat di kulit lengan yang bagian atas terlihat lebih gelap daripada bagian bawah.
“Ini semua sudah Aku rencanakan,” Kuhela nafas tuk kemudian melanjutkan, “dan kamu mungkin juga sudah tahu dari keluargamu tentang hal ini”
Sunyi kembali. Aku diam menunggu reaksi dari Ica.
“Aku tak mau kehilangan kamu.” Kalimat pertama Ica sejak kami duduk di sini. Ia mulai menegakkan kepala. Ada bulir halus air mata mulai membasahi pipi yang putih tanpa sedikitpun bercak noda. Angin berhembus lagi mengibaskan rambut panjang hitam Ica yang diikat ekor kuda.
“Aku pergi untuk menggapai cita-citaku Ca. Aku ingin membuat keluarga kita bangga dengan apa yang akan aku jadikan modal untuk melanjutkan hubungan ini nanti. Tak bisa terus seperti ini. Apa yang bisa diharapkan dari hobiku sekarang.” Jelasku panjang lebar, “dan kuliah di Jakarta adalah pilihanku.”
“Tapi kau benar tak akan melupakanku?” Mata Ica sekarang menatapku dalam-dalam, mencari sebuah jawaban.
Ku balas pandangan itu setulus mungkin. Banyak perubahan yang sudah terjadi pada Ica. Kacamata tebal yang menandakan bahwa ada kutu buku di sini, sekarang diganti sepasang contack lens cantik. Poni yang menutupi sebagian dahinya tak ada lagi. Style rambut dikepang dua digantinya pula. Tapi ada satu yang tak berubah. Tatapan mata tajam yang serasa bisa membaca isi hatiku. Tatapan mencari jawaban yang sama seperti waktu aku memintanya jadi kekasihku. Di dalamnya seperti berkata ‘Apa benar yang kau katakan?’

Tanpa berkata apa-apa, Kuajak Ia berdiri dan memeluknya. Sepasang lengan kekarku memeluknya erat sebagai jawaban atas pertanyaannya. Air mata Ica membasahi bahuku. Aku menunggunya sampai agak tenang dan melepaskan pelukan. Tanganku mencengkram kedua lengannya dan memandang wajah yang sudah basah air mata itu. Sinar jingga matahari senja membasuh wajah cantik Ica. Sisa-sisa air mata seakan berkilau. Bibir merah yang mungil itu tercekat tak ingin berucap.
“Coba kamu lihat matahari yang memerah itu.” Kini suaraku mantap tuk lebih meyakinkan.
“Matahari itu sebentar lagi akan hilang dan meninggalkan bulan seorang diri dengan sinarnya yang memukau. Tapi waktu itu tak akan lama, Ia akan datang kembali dengan hari baru, mengejar bulan pujaannya, hingga bulan itu bersedia meredupkan sinarnya dan menyandarkan dirinya di pelukan matahari.”
Ica tersenyum memandangi matahari senja. Senyumku ikut mengembang. Kutahu, Ia telah mengerti dan merelakan kepergianku. Aku merengkuhnya lagi kedalam pelukan dan berbisik, “Aku akan menjadi mataharimu …. ”
*****

Last Updated on 11 tahun by Dimas Prasetyo Muharam

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

4 komentar

    1. serius jadi terharu nih. terima kasih ya apresiasinya untuk baca cerpen tulisan zaman2 SMA dulu 😀

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *