[Cerpen] Terbit untuk Kembali

Sedan BMW merah 320I meluncur tenang di jalan kota Yogyakarta. Aku duduk di dalamnya sambil terus tersenyum melihat sekitar. Sudah hampir satu dasawarsa meninggalkan kota ini, tapi tak banyak perubahan berarti. Setelah berhasil lulus dari Ilmu Komputer Universitas Indonesia, aku ditawari kerja di salah satu perusahaan software international. Kini aku sudah memiliki sebuah rumah kecil di Jakarta, janjiku pada Alicia telah dapat ditepati. Rinduku pada Ica tak tertahan lagi. Tak ada foto, telepon, atau email yang bisa mengobati. Kami memang sudah berkomitmen untuk tidak saling berkomunikasi selama di Jakarta. Karena itu pula, rasa sayang itu terasa lebih dalam.

Mobil berhenti di depan sebuah rumah berukuran tak terlalu besar. Rumah dengan gaya tradisional Jawa yang kental, terlihat sangat akrab. Tempat ini sangat sering ku kunjungi terutama pada malam minggu. Orang tua Alicia pun sudah sangat mengenalku dan menyetujui hubungan kami.

Mesin mobil dimatikan dan aku memandang keluar. Tak seperti biasanya, keramaian terlihat jelas di dalam dan luar rumah. Berusaha menyingkirkan perasaan tidak enak, aku turun dari mobil. Kemeja putih lengan pendek dan celana bahan berwarna hitam yang kukenakan masih terlihat bersih. Pakaian ini tidak diganti sejak berangkat dari Jakarta kemarin. Aku menoleh ke spion mobil untuk membenarkan letak kacamata. Rambut dengan potongan pendek ikut kurapikan walaupun sebetulnya tak perlu.

Langkahku terhenti di halaman depan. Perasaan tidak enak kembali menyergap ketika kulihat ada janur kuning yang terpasang. Di dalam ruangan juga terdapat banyak kursi dan meja resepsi. Dengan perasaan yang tak menentu, kuberanikan melangkah lebih dalam. Ada pelaminan yang para undangan sedang memberikan selamat pada kedua mempelai. Lebih dekat aku melangkah, terlihat jelas siapa kedua mempelai itu terutama pada mempelai perempuan.

Menahan gejolak rasa kecewa di dada, Aku berbalik dan melangkah cepat ke mobil. Pedal gas kuinjak untuk kemudian meluncur cepat meninggalkan rumah keluarga Alicia. Aku masih tidak dan tak ingin percaya dengan apa yang kulihat. Semua berjalan begitu cepat setelah sepuluh tahun menunggu. Tak ada yang bisa difikirkan sekarang, kecuali mobil yang melaju cepat ke satu tujuan.

Sampai di suatu gedung tua yang masih terawat, pintu gerbang sudah tertutup. Tanpa fikir panjang, kulompati gerbang yang tidak terlalu tinggi itu. Untung saja tak ada kawat duri di atasnya. Ternyata kebiasaan bolos kelas dengan lompat pagar sekolah masih tersisa. Langkah cepat membawaku ke bagian belakang gedung. Kaki seakan tak mampu melangkah lagi saat aku tiba di tempat yang sudah familiar sekali. Taman ini masih tidak banyak berubah, kecuali pohon yang sampai sekarang aku masih tidak mengetahui namanya, menjadi lebih rimbun meneduhi setengah dari luas taman. Kolam kecil dengan air mancur yang bergemericik tenang, serta bunga yang bermekaran di pinggiran taman, masih terawat dengan baik.

Kedua kakiku lemas dan seketika jatuh berlutut di lantai. Seperti dulu, ku lepas alas kaki, lalu digeser kebelakang sebagai alas duduk. Matahari yang kemerahan terlihat lelah dan ingin pulang tuk beristirahat, Kembali bangun di pagi hari, memulai hari bagi umat manusia. Tercium udara segar aroma rumput dan bunga yang mulai menenangkan fikiran. Kenangan-kenangan manis semakin cepat berkelebat di depan mataku. Tak terasa, air mata sudah tak tertahan lagi. Sesuatu yang tidak keluar saat perpisahan, akhirnya terjadi pada saat yang kuharap semuanya sempurna. Kacamata kulepas dan memasukannya ke dalam saku. Sisa tetesannya kubersihkan dengan sapu tangan. Di salah satu sudutnya, terdapat inisial A. Alicia, nama yang tak mungkin bisa Aku lupakan. Apapun yang terjadi, aku pasrah. Janjiku untuk menjadi lebih baik telah kupenuhi pada Alicia. Kini mungkin aku bisa menerima jika harus …

Tanpa disadari, seseorang berjalan dari arah belakang dan menyentuh bahuku dengan lembut. Aku mengenakan kembali kacamata dan mendongak untuk melihatnya. “Aku tahu, kamu akan datang ke tempat ini.” Ucap perempuan yang sekarang duduk di sebelahku. Ia melakukan hal yang sama. Melepas alas kakinya, menggesernya ke belakang, dan dijadikan alas duduk.

“Terima kasih telah datang ke resepsi pernikahaan adikku.”

Tatapan kami bertemu. Dari balik kacamata, Aku melihat wajah yang sepuluh tahun terakhir ini selalu kuingat. Ica masih sama, selain pembawaannya yang tambah dewasa. Sedangkan aku, masih mengulangi kecerobohan dengan tak bisa membedakan antara Alicia dengan Alida. Mata Ica terus menatapku dalam-dalam. Aku merasa kikuk dan menggaruk kepala yang tak terasa gatal. Tatapannya kini seperti berkata ‘Apa benar kamu matahariku yang kembali datang?’.

Aku tersenyum bahagia dan mengajak Ica untuk bangkit. Melihat sekilas pada matahari yang sudah mulai beranjak ke peraduannya, memegang tangan Ica, dan menggandengnya meninggalkan taman. Kini aku telah menjadi mataharimu, Akan kuberikan sinar sepenuh hati padamu, agar kamu bercahaya, selalu bercahaya mengiringi hari-hariku.

Last Updated on 11 tahun by Dimas Prasetyo Muharam

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

4 komentar

    1. serius jadi terharu nih. terima kasih ya apresiasinya untuk baca cerpen tulisan zaman2 SMA dulu 😀

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *