[Cerpen] Terbit untuk Kembali

“Ca, tunggu ca!” teriakku dengan nafas terengah, setelah turun dari panggung.
Tak ada respon, Aku berjalan setengah berlari.
“Ca, berhenti dong…” tanyaku saat berhasil menghadang langkah seorang perempuan berambut panjang terurai sebahu di hadapanku.
Ia berhenti, sesaat menatap mataku, kemudian tertawa.
“Ah kamu Din, pasti salah lagi deh. Ini Aku Ida, kalo kak Ica tuh lagi duduk di situ!” tunjuk Alida yang biasa dipanggil Ida ke salah satu kursi dekat pintu keluar.

Fokus mataku mengikuti arah telunjuk Alida. Di sana Ica duduk sambil melambaikan tangan ke arahku. Aku menggaruk kepala yang tak gatal, tertawa garing atas kebodohanku untuk kesekian kalinya. Ida adalah adik kembar dari Ica. Kesalahan ini semakin sering kulakukan setelah Ica berubah lebih cantik seperti adiknya. Aku mengangguk kecil, lalu melewati dua orang teman Alida yang ada di sebelahnya ke tempat Ica. Langkahku agak tertahan oleh keramaian di dalam gedung pertemuan. Acara pelepasan siswa kelas tiga baru saja selesai.

Aku melewati siswa yang foto bersama keluarganya. Tapi ada juga siswa-siswi yang bergerombol untuk foto dalam satu gank mereka. Keluargaku sudah pulang sedari tadi. Setelah berfoto denganku dan keluarga Ica, mereka pulang cepat karena ada hal yang harus dibereskan.

Keringat sedari tadi membasahi pakaianku. Air conditioner yang terpasang di gedung ini seakan tak mampu mengalahkan hawa panas tubuh manusia yang terjejal berbagai rasa di dalamnya. Mereka termasuk pula aku, pasti pada dasarnya merasa senang dengan kelulusan dari SMA ini. Tapi ada juga terselip rasa sedih akan kehilangan teman atau seseorang yang kita cintai saat sekolah. Atau mungkin ada perasaan belum siap menghadapi persaingan dunia kuliah dan kerja selepas dari sini.

“Kamu lelah ya?” Ica, yang bernama lengkap Alicia Wardhani berdiri menghampiriku ketika Aku sudah berada di dekatnya.
Ia mengeluarkan sapu tangan dari saku dan mengelap keringat dari dahiku. Tinggi tubuh kami yang hampir sama, membuat mataku dapat menatap lurus ke arahnya. Aku memandang mata bulat yang selalu berbinar jika tersenyum itu tanpa berkedip. Rasanya, tak sanggup jika harus kehilangan pemiliknya.
“Lumayan.” Jawabku singkat.
Aku menurunkan tangan Ica setelah lama kunikmati perhatian darinya. Sebenarnya bukan apa-apa, tapi gengsi aja kalau anak band sepertiku terlihat terlalu manja. Acara perpisahan ini sallah satu hiburannya diisi oleh performance band dari tiap kelas tiga. Aku menjadi salah satu personell dari band kelas. Band kami pula ditunjuk menjadi penutup. Jadi aku memainkannya sepenuh hati sebelum melepas indahnya masa SMA.
“Kita pulang yuk,” pinta Ica, memasukan sapu tangan ke dalam saku tanpa ekspresi tersinggung dari sikapku tadi.
“Tunggu Ca, Aku mau bicara sama kamu sebentar ya?” Ucapku tanpa meminta persetujuannya, langsung menarik tangan Ica menuju ke luar gedung ini.

Berjalan di antara kerumunan Ica tidak memprotes dan terus mengikuti langkahku. Sesampai di luar, angin semilir membelai rambutku yang lurus, panjang sebahu, tapi tak berketombe. Aku melihat sekeliling dan menemukan jalan ke tempat tujuan yang agak terhalang oleh gerombolan siswa. Kami terus berjalan ke bagian belakang gedung dan Ica tetap tak bicara. Coba kuberanikan menoleh ke wajahnya, terbersit rasa kecemasan yang Aku tahu dia pasti sudah mempunyai firasat tentang ini.

Last Updated on 11 tahun by Dimas Prasetyo Muharam

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

4 komentar

    1. serius jadi terharu nih. terima kasih ya apresiasinya untuk baca cerpen tulisan zaman2 SMA dulu 😀

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *