The Seven Angels, Pahlawan Bidadari Programmer
Terakhir diperbaharui 8 bulan oleh Redaksi
Suatu masa (tahun 2042), terjadi peratasan besar-besaran di seluruh negeri. Server yang ada di pemerintahan, sampai server yang dikelola oleh masyarakat dibobol oleh peratas yang tidak bertanggungjawab. Tidak hanya itu, di dunia nyata telah terjadi perampokan besar-besaran oleh mafia yang tak terhitung jumlahnya. Polisi kualahan dalam menyelesaikan kasus demi kasus yang tidak kunjung usai, belum lagi tokoh-tokoh yang berkompeten banyak yang terbunuh oleh preman bayaran yang haus darah dan kekuasaan. Sungguh miris dan memprihatinkan di saat itu. Rakyat butuh pertolongan para pahlawan yang rela berkorban untuk negerinya.
Upaya demi upaya telah dilakukan, namun tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Tidak satupun dari pihak keamanan, beserta para ahli dalam menganalisa, sampai membuat kebijakan dalam memberantas mafia yang kekuatannya terorganisir dengan rapih dan lebih canggih dalam teknologi yang mutahir. Layaknya sebuah film action yang kerap menunjukkan adegan yang menakutkan. Sampai pada suatu hari, dimana situasi makin memanas, korban tewas makin bertambah, serta peratasan makin massif, muncul para pahlawan dari ketujuh wanita yang memiliki keberanian. Masing-masing dari mereka ada yang difabel, dan ada yang nondifabel. Mereka adalah Arifah, Nabhana, Gamila, Era, Laily, serta dua saudara kembar, yaitu Safira dan Sabira.
Mereka tergabung dalam tim gerilia dalam dunia hacker. Mereka dijuluki tujuh bidadari dalam dunia maya oleh para netizen saat mereka menyebarkan kampanye dukungan pada para pejuang di dunia nyata dan dunia maya, termasuk Era dan kawan-kawan.
Pagi itu, Era beserta teman-temannya telah menyelesaikan tugasnya, yaitu mencari data para korban. Era telah mengirimkan laporan rilis baru jejak-jejak peratasan disertai lampiran-lampiran daftar korban yang masuk dalam laporan itu via server privat yang dikelolanya sendiri. “Alhamdu lillah, … sekarang, tugas pertama kita selesai, teman-teman. Tinggal melacak otak dibalik kasus peratasan dan mafia.” Kata Era sehabis mematikan komputernya. “Alhamdu lillah, … kapan kita memburu pentolan mafia itu, komandan Era?” Tanya Arifah programmer tunanetra total. “Iya, kapan, komandan?” tanya Laily programmer berkursi roda. “Tiga jam setelah pengiriman laporan ini. Untuk sementara kita istirahat dulu.” kata Era menginstruksikan teman-teman untuk beristirahat sementara sembari mempersiapkan amunisi dalam pencarian otak mafia itu. “Berarti kita bisa seneng-seneng, dong, komandan. Sudah lama nggak selfie-selfie ria.” sahut Gamila setelah mendenggar instruksi komandannya. “Sabar dulu, Gamila. Ini masih genting! Apa kamu mau medsosmu diratas mavia?” sahut Nabhana yang sedang menyeduh secangkir kopi di meja sebelah. “yaaaaaaah, …” sahut balik Gamila dengan penuh kecewa. “Eh, … dimana Sabira dan Safira? Apa mereka udah selesai ngirim rincian kerugian yang ditanggung?” tanya Nabhana yang sedang mengambil makanan di kulkas. “Safira dan Sabira sudah mengirimkan laporannya tadi habis Subuh. Karena mereka berdua harus balik ke pondok pesantren pagi-pagi untuk muraja’ah hafalan Al-Qur’an.” jawab Era. “Apa nggak kelamaan nungguin dua kembar hafizhah itu?” tanya Arifah. “Insya allah, … nggak lama. Mereka dikawal sama teman-teman yang berpatroli di luar.” jawab Era dengan lembut.
“Assalamualaikum, komandan Era dan teman-teman. Maaf bila kami tidak hadir menginap di posko.” sapa Safira dan Sabira saat masuk ruangan posko. “Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Masuk, ukhti! Wah, … wah, … wah, … ditunggu sama komandan Era, lho. Eh, … ternyata ukhti-ukhti ini sedang, …” jawab Gamila dengan ceria. Namun, Gamila memberhentikan pembicaraannya karena Era menghampiri kedua saudara kembar itu. “Waalaikumussalam, masuk, Safira dan Sabira.” jawab Era sembari menghampiri Safira dan Sabira. “Gimana, apakah sudah siap mencari otak mafia?” tanya Era yang duduk disamping kedua saudara kembar itu. “Insya Allah kami siap, Komandan Era!” jawab mereka berdua. “Alhamdu lillah, … baiklah kalau begitu. Kalian berdua segera menuju meja komputer masing-masing, karena kita akan siap-siap meratas server mafia. Sedikit informasi, server mafia tersebut susah diratas dan susah untuk dijebol. Tingkat keamanannya tinggi dan berlapis-lapis. Jadi, perlu strategi yang jitu untuk menjebol server mereka.” seru Era kepada Safira dan Sabira. “Laksanakan, Komandan Era!” jawab kedua saudara kembar itu dengan penuh semangat.
Jam istirahat telah usai, Era dan kawan-kawan telah bersiaga menjebol server mafia. Semua fokus pada komputer mereka masing-masing. Ada yang unik di dalam ruangan itu. Suara pembaca layar ORCA yang berada di komputer Arifah terdengar jelas. Terkadang bebberapa teman-teman Arifah tertawa mendengar suara pembaca layar yang keluar di speaker kecil. “Arifah mainan game, ya? Kok speaker bisa berbicara Bahasa Inggris?” kata Gamila berkomentar memecah sepi ruangan. “Harap diam!” seru Era setelah menemukan server mafia yang dimaksud. “Arifah. Tolong nyalakan humanitty port yang ada di samping kirimu!” seru Era kepada anakbuahnya.
Arifah segera menghidupkan alat bernama humanity port, dimana alat tersebut berfungsi mengubah manusia menjadi virtual manusia yang ada di dalam komputer. Setelah alat tersebut menyala, ketujuh wanita itu berbaris membentuk barisan di atas port yang berbentuk panggung yang berukuran kecil. Era berdiri menghadap tombol besar bertuliskan sign-in. “OK, teman-teman. sebelum kita beraksi, kita awali dengan membaca basmallah bersama-sama. Bismillahirrahmanirrahim.” seru Era sebelum memasuki dunia perangkat lunak.
“Masya Allah! Wow! Ajaip! Persis seperti film atau game petualangan!” kata Gamila memecah suasana setelah masuk dunia perangkat lunak. “Sssst! Ini bukan mainan game, dan bukan film! Ini benar-benar nyata! Kita berubah menjadi humanware!” bisik Nabhana kepada rekannya. “Aku merasa jilbabku berlapis baja, gamisku juga. Seperti tentara perempuan.” kata Arifah si programmer tunanetra total keheranan. “Guys, … ingat! Ini dunia perangkat lunak! Jaga diri dan privasi kalian dengan sebaik-baiknya. Semua berubah menjadi serba elektronik, makanan kita, pakaian kita, minuman kita, semua berubah menjadi elektronik. Tas koper kita berubah menjadi kecil layaknya micro disk.” kata Era menjelaskan kepada keenam rekannya. Lanjut Era memberikan penjelasannya: “Senjata kita ada yang berupa native seperti di dunia nyata, ada satu senjata yang harus menggunakan baris perintah, dan ada juga satu senjata bisa digunakan dengan native, dan baris perintah. Tiga senjata tersebut berada di poket di pinggang sebelah kanan. Sebelum digunakan, periksa terlebih dahulu.”. “Siap! Komandan Era!” seru keenam rekan Era.
“Lapor, Boss Supreme Black Murder, kami berhasil membobol total basis data yang ada di server pemerintah. Besok kami membobol beberapa server yang kecil-kecil, terutama yang tingkat keamanannya tidak berlapis-lapis.” kata si Trojanus melapor kepada pemimpinnya. “Hmm, … hmm, … hmm, .. Perfect! You telah berhasil menjebol server pemerintah seluruh negeri! Sungguh fantastis! Aku bangga denganmu, Trojanus. Tugasmu tidak mengecewakanku. Ha… ha … ha … ha … ha … ha!” jawab Black Murder diikuti gelak tawa yang menakutkan. “Ingat, Trojanus. Selagi para pakar di pemerintahan, polisi, keamanan di dunia nyata, dan dunia cyber, warga sipil, para aktifis, dan rakyat biasa kualahan melawan kita, mudah bagi kita untuk menguasai negeri ini secepat-cepatnya.! Tidak ada satupun orang di negeri ini berhasil mengalahkanku, The Black Murder, Trojanus, Cybermon, Program Killer_DLL, serta pasukan mavia di dunia nyata dan dunia cyber! Ha ,,, ha … ha … ha … ha … ha!” kata Black Murder sebari tertawa diikuti oleh pasukannya.
“Tiiiiit!” “Tiiiiit!” “Tiiiiit!” “Tiiiiit!” “Tiiiiit!” “Warning! Warning! 7 objects has been detected by surveilliance program! Tab to kill and remove them!” terdengar suara alarm diikuti suara mirip perangkat asisten berteknologi AI memecah suasana senang di markas gelap milik Black Murder itu. Di layar berukuran 12 inci terlihat 7 objek yang terlihat mudah untuk diserang dan dihapus. 7 objek tersebut seperti reptil berukuran kecil. Bagi Black Murder dan para algojo, mudah menyerang para hacker kelas pemula yang mungkin saja bisa dibinasakan. “Hah! 7 reptil kecil itu. Pasti para programmer pemula. Saatnya untuk melumat mereka!” kata Black Murder dalam hati. “command?kill_objects=true” kata Black Murder melakukan serangan melalui baris perintah dengan suara. “Error! Your weapons is diactivate!” terdengar balasan dari speaker besar pertanda senjata Black Murder tidak berfungsi. “What the ****! Siapa yang membuat senjataku berantakan?!” keluh Black Murder penuh amarah.
Dari layar yang sama, muncul objek yang jelas sekali. Objek tersebut adalah Era. Gadis berperawakan kekar dan tinggi semampai ini berdiri tegap di tengah layar monitor. Gadis yang menggunakan jilbab besar dan gamis berwarna biru berlapis baja ini sudah berhasil memasuki server Black Murder yang berlapis-lapis. “Oh, … oh, … oh, … oh, … oh! … ternyata Era. Ku kira kau sudah mati sepekan lalu. Masih hidup juga kau? Sekarang, aku akan hapus kau di server ini! Remove_object=true!” kata Black Murder setelah melihat Era di layar monitor. “Guys! Saatnya bertempur!” seru Era dari kejauhan. Suaranya yang kini menjadi layaknya sound system pada megaphone terdengar di segala penjuru. “Serbuuuuuuuuuuuuu!” seru Era diikuti keenam rekannya. Pasukan lain pun ikut serta dalam pertempuran hebat ini, termasuk pasukan Pandawa, Sri Kandi, Nusatron, Javatron, dan Pasukan Jetayu. “Sial! Era berhasil menyerang pasukan virusku bertubi-tubi!” keluh Black Murder penuh amarah. Gamila menyerang virus-virus itu dengan senjata yang berbentuk seperti ponsel pintar berantena. senjata yang bernama Aircraft Launcher itu menyerang virus yang bisa terbang. “Bentukmu yang unik dan unyu buatku gemes ingin menyerangmu virus jahat!” kata Gamila sembari menyerang tanpa henti. “The enemy is behind you! Type “shot=1″ to kill it!” suara pemandu yang terdengar di headphone Arifah mengarahkan ke belakang. Musuh berukuran sedang sudah siaga melumatnya. Beruntung Arifah cermat dalam mengarahkan senjatanya, dan boom! Musuh di belakang Arifah hancur lebur!
Nabhana punya tugas dua kali lipat, yaitu menemani Laily yang berkursi roda serta melakukan backup perlengkapan seperti amunisi dan bekal yang dibawa. Bubble Light menjadi senjata terunik milik Nabhana. Safira dan Sabira pun punya senjata kembar, yaitu Mini Missile yang ditembakkan setiap arah.
“Guys! Lompat!” seru Era kepada keenam rekannya. Ternyata BSOD_Hack meluncur bebas di bawah kaki para pasukan yang bertempur. “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” deruh takbir mengiringi suara BSOD_Hack yang melintas. Tak sedikit para pejuang gugur di medan pertempuran. Rata-rata yang gugur adalah pasukan sipil, bila diterjemahkan dalam dunia nyata, komputer mereka meledak dan hancur total bersama dengan pemiliknya. Dentuman demi dentuman terdengar di mana-mana. Rumah-rumah terbakar, serta porak-poranda.
Di dunia nyata, warga sipil terbunuh. Darah bercucuran di mana-mana. Masyarakat yang ketakutan mengungsi. Kelaparan makin menjadi. Tak terbayangkan pilunya hati mereka. Satu harapan dari warga biasa adalah terbebasnya dari mafia kejahatan, serta merdeka seperti di tahun 1945.
Tokoh-tokoh agama bersatu-padu dalam doa bersama dalam barak pengungsian diikuti warga yang ikut serta dalam doa bersama. “Mas bro, dimana, Era dan rekan-rekannya? Apakah mereka selamat?” tanya salah satu aktifis yang duduk di tenda penjaga. “Mereka baik-baik saja, semoga mereka selamat.” jawab aktifis lain. “Tapi, fin, ini udah jam 00.00 malam! Apa mereka tahan dengan gempuran yang tak terbendung?” tanya salah satu aktifis dengan cemas. “Mas Bro Nurdin, sudah aku bilang, sabar. Mereka tahan dengan gempuran-gempuran yang mematikan itu.” kata aktifis yang disapa Erfin menenangkan Nurdin rekannya. “Iya, … aku mengerti, Erfin Pramudhita. Sayangnya mereka ini perempuan!” sahut Nurdin. Erfin menghela napasnya, sembari meminum kopi hangat dalam cangkir stenlis yang mulai usang.
“eh, … ngomong-ngomong, … Era dan rekan-rekan ngapain, ya?” tanya rekan Erfin dan Nurdin yang sedang merebus mie instan yang masih tersisa. “Membobol server Black Murder.” jawab Erfin dan Nurdin bersamaan. “Wah! Susah itu! Black Murder itu sangat sangat kejam! Belum lagi, mereka wanita. Apa nggak di, … apalah!” kata rekan Erfin dan Nurdin dengan pesimis. “John, … walau perempuan, mereka tetap kesatria! Nih, … aku punya buktinya.” sahut Nurdin sembari mengeluarkan map miliknya.
Sebelum membuka map, terdengar suara riuh di tenda sebelah. “Hidup Era!” “Hidup!” “Hidup Era!” “Hidup!” “Hidup Era!” “Hidup!”. “Ssst, … John, … suara apaan, John? Kok, … hidup Era hidup Era? Apa Era berhasil jebol server Black Murder?” tanya Nurdin berbisik. Baru beberapa saat berselang, terdengar riuh takbir dari tenda terdekat. “Allahu Akbar!” “Allahu Akbar!” “Allahu Akbar!”. Nurdin, John, dan Erfin bergegas memencar menuju arah suara yang dimaksud. Nurdin dan Erfin berada di posko terdekat, sedang John berlari menuju posko yang tidak jauh dari dapur umum.
“Yes! Yes yes yes! Kita berhasil menjebol server, Komandan Era!” teriak Gamila riang gembira. “Ini baru permulaan, Gamila. Ini belum selesai! Kita harus bergerak cepat!” kata Era yang berdiri di antara fragmen server yang pecah. Gamila terdiam, ia tidak meneruskan teriakkannya. Sedang Laily, Nabhana, Arifah, Safira, dan Sabira merobos masuk ke dalam server yang sudah jebol. “Teman-teman! Hati-hati! Banyak jebakan!” seru Nabhana kepada rekan-rekannya. Belum bergerak, tiba-tiba, serangan bertubi-tubi mengarah ke arah Arifah dan keempat rekannya. “Guys! Tangkis!” seru Arifah seraya menguatkan tamengnya.
Pertempuran tiada henti. Virus, BSOD_Hack, fly bows, lasergun, serta senjata lainnya saling beradu. Sampai pada suatu tempat, Era melakukan hidden mode untuk menjaga dari serangan, jebakan, dinding listrik, serta lightwate. “Astaghfirullah! Jurang!” Era tergagap saat melihat jurang tak berujung. Ia mencari teleporter. Era berhasil melompati jurang dengan teleporter itu. Tidak jauh dari tempat ia berdiri, terdengar langkah kaki yang menyeramkan diiringi rauman. “ayo, Era! Hadapi Black Murder!” gumam Era. “Ho, … ho, … ho, … ho, … ho, … Era! Era! Ternyata kau belum juga mati rupanya! Kini waktunya kau tewas di tanganku!” kata Black Murder membuat bulu kuduk berdiri. “Komandaaaaan! Hati-hati! Dia lebih kuat!” “Iya! Benar!” “Semangat, komandan!” seru teman-temannya yang tak jauh dari teleporter.
Era segera melakukan zoom-in untuk menandingi Black Murder. “Huh! Ternyata kau bisa membesar! Sebesar-besarnya dirimu, kau tetap perempuan! HA, … ha, … ha, … ha, … ha!” kata Black Murder meremehkan Era. “Silahkan kau berkata seperti itu, BM. Tetapi, aku tidak akan menyerah!” seru Era yang sudah dalam posisi zoom-in. “Hmm! Kau menantang, ya? Rasakan senjataku ini! Activate reduce energy!” kata Black Murder seraya mengeluarkan kekuatannya. Era tiarap menghindari kepulan asap yang melumpuhkan dirinya dan teman-temannya. Belum kepulan asap menghilang, tiba-tiba terdengar lontaran peluru bola api yang keluar dari tubuh Black Murder. “Fireball killer!” seru Black Murder.
“Water breaks turn on!” teriak Era seraya mengeluarkan pipa air menyerupai pipa air terjun. “Siaaaaal! Kau menghancurkan bola-bola apiku!” teriak Black Murder marah. “Magic Wind!” seru Black Murder seraya mengeluarkan Magic Wind yang membuat bingung. Era dan teman-temannya tidak berhasil dibuat linglung. Mereka memiliki perisai tersembunyi pada diri mereka. “Thunder shots!” teriak Black Murder seraya mengarahkan tembakan petir ke arah tubuh Era yang masih dalam keadaan zoom-in. Era segera menghilang beberapa saat, lalu muncul kembali. “Bubble Light, turn on!” seru Nabhana menembakkan bola-bola penuh cahaya menyilaukan ke arah Black Murder. “Ini lagi! Nabhana! Kau terlalu kecil! Kau harus remuk berkeping-keping!” kata Black Murder. “Soft laser!” giliran Arifah si programmer tunanetra total menembakkan laser yang mematikan. “Hmm, … aneh. Dia tak bisa melihat, tapi bisa menyerangku. Siaaaaaaaaaaaaal!” teriak Black Murder saat terkena laser Arifah.
“Ini sungguh menegangkan! Komandan Era berhasil menangkis serangan Black Murder!” kata Safira yang sedang mengisi amunisi senjata miliknya. “Yep! Betul, Safira! Sekarang giliran kita membantunya menyerang BM!” kata Laily. “Kita masih punya sedikit waktu sebelum BM melumat kita. Susun kekuatan kita segera!” seru Gamila memancing semangat.
“Komandan Era, Bergabung!” teriak teman-teman Era menyatukan kekuatan mereka. Era bersiap-siap menyusun kekuatannya, kemudian ia mengeluarkan senjata pamungkasnya. “Cruz Missile Launcher!” teriak Era saat mengeluarkan senjata andalannya.
“BOOM!” Dentuman dahsyah memecah sunyi sepi sekitar markas BM. Era dan keenam rekannya terpental keluar saat server Black Murder benar-benar hancur. Database yang dicuri oleh Black Murder dan pasukannya sudah diambil Safira dan Sabira dengan teknik ambil jarak jauh. “AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!” teriak ketujuh bidadari cantik itu, dan mereka mendarat pada posisi awal, kemudian mereka pingsan mendadak. “Ya, … Allah. Dimana, … aku?” kata Era usai siuman. Era dan keenam rekannya berada di meditron. Senjata-senjata mereka telah diperbaiki di ruang sebelah, busana dan tameng pun telah usai direhap dan kembali seperti sedia kala. “Ibu Era, dan teman-teman, … anda berada di Meditron. Salah satu rekan kami menemukan anda semua pingsan.” kata dokter cantik kepada ketujuh wanita itu. “Perkenalkan, namaku Syifa. Aku adalah dokter di Meditron ini,” kata dokter yang disapa Syifa itu. Ketujuh wanita itu berkenalan dan menyebutkan nama masing-masing. Era dan keenam rekannya ditangani secara intensif selama beberapa waktu sampai mereka pulih kembali.
Usai pemulihan, Era dan keenam rekannya berpamitan kepada Dokter Syifa. Beberapa langkah mereka melangkah, Meditron pun menghilang. Sejenak mereka terheran-heran, namun mereka sadar bahwa ini di dunia perangkat lunak. Selangkah lagi menuju pintu keluar yang bertuliskan sign-out. “Guys, alhamdu lillah, … kita, berhasil menghancurkan, … server, … Black Murder. Tugas kita telah usai.” kata Era berbahagia sampai meneteskan airmata. “Sekarang, kita sign-out dan kita kembali menjadi programmer biasa.” kata Era teriring tangis. Keenam rekannya pun ikut meneteskan airmata karena bahagia usai menjebol server.
“You’ll signing out after three seconds. Three, two, one. You’ll back to ordinary human.” suara speaker terdengar mengiringi proses sign-out ketujuh bidadari itu. Usai kembali ke humanity port, Era melihat jam dinding yang berada di atas tombol power. “Masya Allah! Jam 00.00 malam!” teriak Era setelah melihat jarum jam yang menunjukkan pukul 00.00 malam. Ketujuh komputer milik programmer cantik itu mulai panas. Suara kipas terdengar keras dari masing-masing CPU. Setelah ketujuh komputer dimatikan, mereka segera beristirahat.
Pagi bersinar cerah, suasana negeri hening layaknya kota mati. Semua bangunan hancur berkeping-keping, termasuk markas mafia. Pemilik Black Murder dan pasukannya, yakni Krimina ikut hancur. Krimina berhasil meloloskan diri, dan buron. Ketika Krimina melewati posko Seven Angels,segera menembakkan peluru mematikan. Saat Krimina mulai mengokang pistol canggihnya, ia tertangkap kamera tersembunyi. “Nah! Ini dia, otak mafia!” teriak Gamila memecah sepinya posko. “Tangkap dia!” seru Era memberikan komando. Era dan keenam kawannya saling bergantian menyerang Krimina. Nyaris senjata Krimina menghunus tubuh Laily yang berkursi roda, dan ditangkis oleh tongkat milik Arifah. “Krimina! Kau tertangkap!” terdengar suara pemuda yang tidak lain adalah Erfin Pramudhita, suami Era. “Mas Erfiiiiin!” teriak Era memanggil suaminya. “Eraaaaa!” balas Erfin. Keduanya saling berpelukkan melepas rindu. Di waktu yang bersamaan, Krimina lari dari kepungan keenam rekan Era, Era dan Erfin tanggap akan gerak-gerik Krimina, dan Krimina berhasil ditangkap.
Beberapa waktu kemudian, Krimina diadili dan dihukum penjara seumur hidup karena ingin menguasai seluruh negeri. Bersamaan dengan itu, nama Era dan keenam rekannya menjadi buah bibir. Tepat berada di podium ruang istana negara, Era dan keenam rekannya berdiri di atas panggung. “Inilah ketujuh pahlawan kita, The Seven Angels yang telah berhasil menjebol server mafia, serta menemukan otak dibalik kasus selama beberapa tahun ini. Kepada bapak presiden, dimohon naik ke atas panggung untuk memberikan penghargaan kepada ketujuh Sri Kandi hacker ini.” kata sang pembawa acara. “Tunggu! Era dan rekan-rekannya tidak membutuhkan penghargaan apapun dari bapak-bapak semua. Biar Tuhan_lah yang memberikan penghargaan untuk mereka.” kata salah satu penonton yang ada di kursi VVIP.
Riuh tepuk tangan memecah suasana tegang yang berubah menjadi bahagia. Sebagian audiens meneteskan arimata setelah mendengar Era dan keenam rekannya menjadi pahlawan. Hingga acara itu usai, negeri menjadi aman, tentram, dan damai atas karunia Tuhan Yang Maha Esa (Allah Subhanahu Wata’ala) melalui perantara The Seven Angels.
Tamat.