The Sixth Sense

Langit biru cemerlang indah di sinari cahya mentari yang berkilau keemasan. Kicau suara burung menemani Frank yang sedang membaca buku bersama kekasihnya Chelsea. Silir hembusan angin meniup rambut mereka berdua yang sedang bercengkrama di bawah naungan pohon yang rimbun. “Menurutmu bagus tidak buku ini sayang?” tanya Frank sambil membelai rambut Chelsea dengan tangan satunya yang tidak memegangi buku. “Memang bagaimana ceritanya?” tanya Chelsea dengan manja. “Oh iya, kamu belum tahu jalan ceritanya ya!, kalau begitu, aku akan menceritakan sinofsisnya padamu” kata Frank sambil mulai menceritakan isi buku tersebut. Chelsea mendengarkan cerita Frank dengan menyenderkan kepalanya ke bahu frank yang lebar. Frank menceritakan isi buku itu dengan bersemangat sambil menikmati keharuman wangi rambut Chelsea yang tercium olehnya.

Isi buku itu pada intinya adalah menceritakan tentang seseorang yang ingin sekali memiliki kemampuan untuk dapat membaca pikiran orang lain, yang padahal ia tidak memiliki kemampuan yang disebut indera keenam itu. Lalu tokoh dalam cerita itu membuat sebuah alat yang dapat membuatnya membaca pikiran orang lain. Proyek itu berhasil, dan ia sangat bahagia sekali karena ia sekarang memiliki kemampuan untuk mengetahui pikiran orang lain. Lalu ia juga bisa menjadi introgator yang baik karena ia bisa tahu apa saja yang dipikirkan oleh orang-orang yang ia intrograsi di kantor polisi. Karir tokoh tersebut di kepolisian meninggkat. Lalu Ia juga handal dalam masalah perjudian menebak skor hasil pertandingan olahraga. Dan masih banyak pengalaman seru dan menegangkan lainnya yang dialami oleh tokoh tersebut.

***
Udara masih terasa sangat sejuk ketika Frank selesai bercerita dan merasa sangat haus sekali, sehingga Frank mengambil botol minuman dari atas rumput yang empuk itu. “Bagaimana ceritanya sayang?, menarik kan!” Kata Frank setelah selesai minum segelas air mineral. “Menurutku cukup menarik!”, “Iya memang cukup menarik, dan rasanya asyik sekali ya jika bisa memiliki kemampuan seperti ini” kata Frank sambil menunjuk-nunjukan jarinya ke arah buku cerita itu. “Memang mengapa?” tanya Chelsea heran. “Enak dong, coba kamu bayangkan. Kita punya kemampuan untuk mengetahui fikiran orang lain. Kalau begitu, kan kita tidak akan bisa dibohongi oleh orang lain lagi!. Apa lagi misalnya bisa mengetahui hal yang akan terjadi di masa depan, wah pasti tambah asyik!” kata Frank penuh harap. “Tapi kalau pada akhirnya kemampuan itu dibuat kriminal, itu sangat tidak baik kan?” kata Chelsea yang mulai menegakan kepalanya dari bahu Frank. “Memang ia sih, tapi kita ambil positifnya saja lah!. Lagi pula…” Frank melanjutkan, “Aku ingin tahu sejauh mana kamu cinta pada diriku sayang!” kata Frank yang mulai memandangi wajah Chelsea yang sangat cantik itu. “Jadi kamu tidak percaya dengan hubungan kita selama ini?” cetus Chelsea yang agak sedikit kesal. “Tidak-tidak sayang, aku tidak bermaksud begitu. Tanpa alat yang bisa membuatku mengetahui pikiran orang pun, aku sudah bisa tahu bahwa kamu sangat mencintaiku sebagaimana aku sangat mencintaimu!”. “Ah kamu Frank, kamu memang terlalu sering bercanda!” kata Chelsea yang agak malu dan mendekatkan dirinya untuk memeluk Frank.

***
Sabtu malam minggu, Frank bermaksud untuk mengajak Chelsea nonton di bioskop yang pada malam itu akan memutar film The Sixth Sense, diangkat dari buku yang baru saja dibaca oleh Frank. Frank sebenarnya sudah hafal sekali dengan jalan cerita dari kisah itu, tetapi ia ingin lebih detailnya jika cerita itu dikemas dalam bentuk film. Akan tetapi Frank sangat kecewa sekali, setelah mengetahui bahwa Chelsea tidak ikut nonton bareng dengannya karena masih ada tugas sekolah yang harus diselesaikannya. Frank bingung karena ia sudah membeli tiket untuk dua orang dan tidak dapat dikembalikan. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk nonton film itu sendirian tanpa Chelsea di sisinya.

Sesampainya di bioskop saat Frank ingin masuk ke ruang tonton, ia melihat ada seorang perempuan cantik sebayanya yang kelihatannya agak kecewa karena kehabisan tiket. “Maaf mbak, mbak mau nonton film ini juga?” tanya Frank basa-basi. “Iya, tapi sayang sekali. Saya kehabisan tiket!” kata perempuan itu dengan nada kekecewaan yang mendalam. “Oh kebetulan sekali mbak, saya ada nih tiket satu lagi yang tidak terpakai. Teman saya yang pakai tiket ini tidak bisa nonton sekarang!” kata Frank sambil menunjukan sehelai tiket masuk ke ruangan nonton itu. “Oh bagus sekali, tapi berapa harganya nih!”, “Ah tidak usah lah, saya kan bukan calo!” kata Frank menunjukan tawa kecil. “Oh kalau begitu thanks banget ya, aku pengen banget nonton tuh film. Sampai lupa, Aku Vica, kamu siapa?”, “Frank” kata Frank mengulurkan tangan. Mereka masuk ke ruangan itu bersama-sama dan duduk bersebelahan. Dalam sela-sela menonton film tersebut, Frank diam-diam mengamati wajah Vica yang cantik. “Ah, cantik juga nih cewe. Tapi sayangnya masih kalah cantik dengan Chelsea!” kata Frank dalam hati. Akhirnya pemutaran film itu berakhir dan menyisakan suara-suara lirih decak kagum dari penonton. “Bagus ya filmnya?” tanya Vica ketika mereka berjalan keluar ruangan. “Iya, memang bagus!. By the way, kamu pulang bawa kendaraan atau mau dijemput seseorang?”, “Tidak dua-duanya!”, “Bagaimana kalau bareng aku saja!” kata Frank menawarkan. “Kalau kamu tidak keberatan, boleh juga sih!”, “Ah, tentu saja tidak!” kata Frank menyakinkan.

Saat Frank berjalan di trotoar menuju ke mobilnya yang diparkir di pinggir jalan, ia melihat suatu peristiwa yang tiba-tiba. Ada seorang yang sudah agak tua mau menyeberang jalan, tetapi dari arah yang berlawanan sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi yang agak ugal-ugalan. Kemudian sebelum Kakek itu mengetahuinya, mobil itu sudah menabraknya dan mobil itu langsung kabur tanpa berhenti sedikitpun. Frank langsung berlari menghampiri Kakek itu yang memang sudah hampir sampai di trotoar. Ia meminggirkan Kakek yang tidak sadarkan diri itu ke trotoar yang syukurlah Kakek itu hanya terserempet dan mengalami luka ringan di kepalanya. Di sekitar Frank berkerumun orang-orang yang hanya menonton saja tanpa memberikan bantuan sedikit pun. Memang inilah perilaku orang kota yang sangat individualis. Lalu Vica menyeruak ke kerumunan itu dan berkata, “Ada apa Frank?. Ayo cepat kita bawa saja ke rumah sakit!”. Frank dengan dibantu Vica mengangkat Kakek itu untuk dimasukan ke mobil dan mereka meluncur menuju ke rumah sakit terdekat.

Last Updated on 13 tahun by Dimas Prasetyo Muharam

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

2 komentar

  1. wah, keren banget cerita lo bro. salut gua. alurnya menarik, penggambarannya juga sedap.
    nice deh pokoknya.
    anak sastra lo ya?

    mampir ke blog ku juga ya

    1. kebetulan iya bro. tapi ini dibuat pas sebelum kuliah kayaknya. ok, siapp! 🙂

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *