Tunanetra dan Profesi Pijat

Jakarta – Juru pijat, tukang pijat, atau apapun istilahnya sampai saat ini masih menjadi profesi andalan bagi penyandang disabilitas netra. Tidak hanya dikalangan mereka yang tak sempat mengenyam pendidikan formal saja, bahkan yang sudah menyandang gelar sarjana pun masih belum lepas begitu saja dengan kegiatan pijat-memijat. Kalaupun ada barangkali bisa dihitung dengan jari.

 

Pijat dan tunanetra seolah sudah menjadi semacam keniscayaan. Paling tidak begitulah yang tergambar di benak masyarakat luas. Tidak mengherankan jika mereka melihat seorang tunanetra sedang melintas maka mereka akan mengatakan, “o, tukang pijat lewat”. Padahal belum tentu tunanetra itu adalah tukang pijat. Mereka mungkin belum tahu bahwa selain pijat masih ada profesi lain yang sebenarnya bisa dijadikan sandaran hidup orang-orang yang tak berpenglihatan. Misalnya menjadi dosen, wirausaha (selain pijat), pegawai bank, PNS, customer service, musisi, dan sebagainya.

 

Pijat, selain sebagai profesi sepertinya juga telah menjadi semacam identitas bagi tunanetra. Hal ini tidak berlebihan karena tunanetra yang oleh keterbatasannya harus menggunakan rabaan dalam berinteraksi dengan lingkungan fisik di sekitarnya. Sementara pijat adalah profesi yang secara otomatis juga sangat mengandalkan ketajaman sentuhan/rabaan sehingga kalau kemudian dilekatkan dengan penyandang tunanetra maka ibarat ikan dan airnya.

 

Mungkin berdasarkan itu pula dalam upaya rehabilitasi dan memandirikan tunanetra, pemerintah melalui departemen sosial menyediakan sarana pelatihan pijat di berbagai daerah seperti yang sekarang disebut PSBN (Panti Sosial Binanetra), –dulu bernama Sasana Rehabilitasi Penyandang Cacat Netra (SRPCN). Di sinilah biasanya disabilitas netra dibimbing untuk hidup mandiri mulai dari kehidupan praktis sehari-hari sampai latihan keterampilan pijat.

 

Selain itu mereka juga dibekali keterampilan lain sesuai dengan bakat dan minatnya. Namun yang terutama dan paling diutamakan adalah keterampilan memijat. Jadi singkatnya, PSBN adalah tempat untuk mencetak para juru pijat tunanetra. Mereka yang telah keluar dari situ bisa dipastikan telah siap bekerja sebagai pemijat.

 

Tapi tidak semua tunanetra yang keluar dari PSBN bisa bermain musik, pandai memasak, bisa mengoperasikan komputer dan sebagainya, karena sekali lagi keterampilan yang disebut belakangan hanyalah keterampilan tambahan yang mana peserta didik boleh mengikuti sesuai dengan minat dan bakatnya. Sementara untuk keterampilan pijat adalah wajib diikuti oleh semua tunanetra yang masuk kesitu. Tidak salah kalau ada sementara pihak yang menyebut pemerintah telah melakukan pemaksaan kepada semua tunanetra di Indonesia agar menjadi tukang pijat.

 

Nampaknya pemerintah memang belum bisa menemukan lapangan kerja lain yang tepat untuk tunanetra selain pijat sehingga hanya profesi ini saja yang dikembangkan  dengan menyediakan tempat pelatihannya. Memang benar ada pula sekolah-sekolah luar biasa (SLB) dan sekolah umum yang menerapkan sistem pendidikan inklusi untuk memungkinkan tunanetra bisa ikut belajar di dalamnya. Namun dalam kaitannya dengan lapangan kerja, agaknya pendidikan formal ini juga tidak menjanjikan profesi yang sesuai dengan tunanetra. Ujung-ujungnya begitu selesai pendidikan kemudian menjadi tukang pijat juga?

 

Masalahnya, setelah mereka menjadi juru pijat dan siap bekerja tunanetra harus tertatih-tatih sendirian menghadapi situasi  di masyarakat yang penuh dengan persaingan yang lebih sering tidak sehat atau malah cenderung dipenuhi dengan siasat licik dan jahat. Karena di sini yang menekuni profesi pijat tidak hanya para tunanetra saja. Orang-orang biasa (nondisabilitas) juga banyak yang menjadi tukang pijat, baik sebagai pekerjaan sampingan maupun ditekuni secara professional dan komersial. Ini tentu menyulitkan bagi tunanetra untuk mengembangkan usaha pijatnya.

 

Bagi tunanetra yang kebetulan mempunyai modal bisa langsung membuka praktek pijat dengan risiko bersaing dengan usaha serupa yang dikelola orang bukan tunanetra (untuk menyebut orang awas/normal). Sebagai pihak yang kurang memiliki bargaining posision, usaha bisa gulung tikar sewaktu-waktu karena kalah dalam strategi pemasaran, tempat yang agak sulit dijangkau, atau fasilitas yang apa adanya.

 

Contoh kecil yang bisa disebut di sini misalnya di tempat praktek pijat non tunanetra pelayanannya bisa ditambah ini itu semisal diberi minum jamu atau wedang jahe, dst, yang mana kalau hal ini di terapkan di tempat praktek tunanetra (tanpa melibatkan orang awas) tentu sangat merepotkan. Maka siapa yang tidak mau mendapatkan pelayanan lebih dengan harga yang sama? Apalagi kalau harganya malah lebih murah dengan fasilitas yang lebih wah, ranjangnya bagus, ada tv-nya, dsb.

 

Nasib tunanetra yang tidak memiliki modal bisa lebih tragis lagi. Mereka harus melamar ke sana ke mari dan bekerja di tempat sesama tunanetra yang buka praktek pijat dengan sistem bagi hasil tanpa jaminan apapun. Dan jika tempat bekerjanya itu gulung tikar, mau tak mau ia harus mencari kerja di tempat lain atau menjadi tukang pijat keliling yang harus berjalan ke sana ke mari menawarkan jasanya sebagaimana pedagang keliling lainnya. Pilihan ini sungguh mengundang resiko yang tidak sedikit, mulai dari kesulitan menyeberang jalan, kecebur got, menabrak bak sampah atau mobil yang diparkir dipinggir jalan, dan sederet kesulitan di jalan lainnya.

 

Betapa sulitnya hidup sebagai tunanetra di negeri ini. Lapangan kerja satu-satunya yang menjadi sandaran hidupnya juga telah dijarah orang-orang non tunanetra. Sementara pemerintah masih miskin ide untuk membuka terobosan lain agar tunanetra dapat diberdayakan di bidang-bidang lainnya yang tidak terlalu menuntut ketajaman penglihatan. Bahkan lebih dari itu, upaya-upaya yang memungkinkan penerapan UU No. 4 Tahun 1997 yang mengharuskan dunia usaha  menyisakan 1% peluang kerja untuk penyandang disabilitas belum dapat dilaksanakan. Walau ada bidang-bidang pekerjaan tertentu yang sebenarnya dapat diisi tenaga kerja tunanetra, namun sampai saat ini tunanetra yang dapat bekerja di sektor formal masih sangat sedikit, nyaris bisa dihitung dengan jari. Jika dunia usaha digugat atas kebijakan itu, mereka cukup mempunyai alasan; belum banyak tunanetra yang memiliki keterampilan yang dibutuhkan.

 

Sepertinya pemerintah perlu lebih serius lagi menangani soal ini. Tidak hanya melakukan pemaksaan terhadap dunia usaha agar mematuhi undang-undang, namun juga menyiapkan tenaga kerja tunanetra yang terampil dan siap kerja di sektor-sektor formal. Bimbingan dan pelatihan keterampilan terhadap para angkatan kerja tunanetra dengan demikian mutlak diperlukan, baik dilakukan pemerintah sendiri melalui Dinas Sosial maupun bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dan swasta. Pelatihan hendaknya difokuskan pada keterampilan-keterampilan kerja yang tidak menuntut ketajaman pengelihatan. Dengan demikian untuk masa-masa mendatang tunanetra tidak cuma dan hanya  menjadi tukang pijat belaka.

 

Tetapi jika sampai saat ini memang hanya profesi pijat yang dipandang paling memungkinkan-sebelum terbuka kemungkinan-kemungkinan lain-untuk tunanetra, harusnya pemerintah tidak lepas tangan begitu saja terhadap kenyataan yang dihadapi tunanetra di lapangan. Hendaknya tunanetra tidak dibiarkan begitu saja bersaing dengan orang-orang non tunanetra yang lebih memiliki bargaining posision, baik dari segi mobilitas maupun permodalan. Di korea Selatan seperti yang pernah disiarkan Radio BBC pemerintah sempat melarang orang non tunanetra untuk buka usaha pijat karena pemerintah belum bisa membuka lapangan kerja lain untuk tunanetra selain pijat.

 

Seandainya hal itu tidak bisa diterapkan di Indonesia mestinya pemerintah bisa menempuh cara lain. Misalnya menyisakan sebuah bangunan/ruang di tempat-tempat umum seperti di terminal, stasiun, bandara, atau di tempat-tempat wisata untuk dijadikan tempat praktek pijat tunanetra. Pengelolanya boleh pemerintah boleh pihak lain asal yang bekerja di situ adalah tunanetra. Sekiranya dengan cara ini keterluntaan  disabiliasnetra sebagai tukang pijat bisa menemukan titik cerah. (Kardono)

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

1 komentar

  1. Ping-balik: Menilik Pembelajaran di Sekolah Khusus Difabel Netra Untuk Persiapan Pendidikan Inklusi – SAUDC UGM

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *