Tunanetra Tak Hanya Baca Braille

Jakarta, Kartunet.com – Masyarakat pada umumnya memahami tunanetra baru dapat membaca jika menggunakan huruf timbul atau tactile yang disebut Braille. Karena kehilangan kemampuan visualnya, maka alternatif yang dapat ditempuh adalah dengan rabaan atau pendengaran. Namun, seiring perkembangan teknologi informasi, cara tunanetra membaca sebuah teks atau buku semakin beragam. Jika Anda bertemu dengan seorang tunanetra, jangan kaget jika dia tak lagi membawa buku-buku tebal berhuruf Braille, melainkan gadget canggih seperti laptop atau bahkan tablet.

Digital Talking Book

Salah satu anak dari teknologi informasi yang mempermudah seorang tunanetra mengakses buku adalah kehadiran Buku Bicara Digital atau Digital Talking Book (DTB). Sesuai dengan namanya, buku dalam format DTB dapat “berbicara” karena merupakan hasil rekaman audio dari suara pembaca yang dikemas dalam bentuk CD atau file komputer. Untuk mendengarkan hanya diperlukan MP3 player, PC/laptop, atau alat khusus seperti Plextor atau Victor Reader. Dengan DTB, tunanetra dapat mengoptimalkan indera pendengarannya untuk mengakses informasi.

DTB merupakan bentuk inovasi dari model perekaman analog yaitu dengan pita kaset. Saat itu, dokumentasi buku bicara menjadi tidak efisien karena satu judul buku, rata-rata memerlukan lebih dari  lima kaset. Jumlah ini tergantung panjang halaman buku yang terkadang membutuhkan berpuluh kaset. Selain itu, format DTB juga memungkinkan tunanetra dapat menuju ke posisi tertentu dalam buku dengan mudah. Karena dengan standarisasi Daisy yang diperuntukkan khusus bagi DTB, terdapat level-level dari mulai Bab, Halaman, hingga ke paragraph. Ketika ingin menuju ke satu halaman, tunanetra cukup memasukkan perintah pada reader yang dipakai atau dengan software LP Player di komputer. Tidak seperti model analog dimana perpindahan hanya dapat dilakukan dengan “forward” dan “rewind”.

Proses pengerjaan DTB dimulai dengan pembacaan isi naskah buku untuk direkam dalam format audio digital. Dapat pula buku bicara versi analog yang sudah ada dikonversi ke bentuk audio digital dengan perangkat radio dan komputer. Selanjutnya, hasil rekaman diedit dan disusun berdasarkan standarisasi Daisy  untuk memberi navigasi antar bab, halaman, atau paragraph. Terakhir, file audio disimpan dalam keeping CD atau di hardisk komputer.

Meski efisien dari segi penyimpanan dibanding versi analog dengan kaset, pembuatan talking book masih memerlukan orang awas (bukan tunanetra) untuk membacakan. Tidak pula semua jenis buku efektif jika dibuat format buku bicara. Teks seperti bahasa asing atau matematika, akan menyulitkan pembaca atau pendengar karena perlu ketepatan tulisan dan bacaan. Di Indonesia, salah satu perpustakaan buku bicara ada di Yayasan Mitra Netra, Jakarta.

Buku Elektronik (Ebook)

Media bacaan lain yang akses bagi tunanetra adalah ebook. Dengan sarana komputer atau laptop yang sudah dilengkapi dengan program pembaca layar, tunanetra dapat membaca buku dengan format ebook. Format tersebut adalah teks yang disimpan pada ekstensi Doc, Txt, Pdf, Html, atau Rtf. Pengguna cukup membuka file ebook pada aplikasi seperti Adobe Reader, Microsoft Word, Notepad, atau Internet Explorer untuk dapat menikmati ebook.

Selain pada perangkat komputer/laptop, ebook pun dapat diakses tunanetra dari gadget mobile seperti smart phone, tablet, atau ponsel berbasis symbiant. Dengan program pembaca layar khusus mobile yang dipasang, file ebook dapat ditransfer ke dalamnya, dan dibaca dimanapun berada. Apabila Anda pengguna iPhone, Android, Nokia di atas symbian 6, atau BlackBerry tipe Curve, dapat menyimpan file ebook di gadget dan membacanya dengan program pembaca layar.

Scan and Read

Ebook biasanya sudah tersedia dan pengguna hanya perlu mengunduh dari internet atau mengkopi dari perangkat penyimpanan lain. Selain menggunakan yang sudah jadi, tunanetra pun dapat membuat ebook secara mandiri. Perangkat yang diperlukan adalah scanner standar, komputer/laptop yang sudah dilengkapi program pembaca layar, dan software Openbook yang berguna untuk konversi image hasil pindaian Optical Character Recognition (OCR) menjadi format teks.

Dengan perangkat tersebut, tunanetra tak perlu merasa terbatasi ketika ingin membaca buku. Mereka dapat pergi ke toko buku atau pinjam di perpustakaan buku yang ingin dibaca, lalu dipindai dengan scanner, kemudian dapat langsung dibaca di komputer/laptop. File hasil pemindaian juga dapat disimpan kemudian dipindahkan ke mobile gadget agar dapat dibaca kapanpun dan dimanapun.

Mekanisme membaca buku dengan scan mandiri yaitu dengan mempersiapkan tiga perangkat yang disebutkan di atas. Buka buku pada halaman yang ingin dipindai dan letakkan sisi kertas yang ada tulisannya ke atas kaca scanner. Dengan program OpenBook, hasil pemindaian scanner yang berupa image, akan dikonversi ke bentuk teks yang dapat diakses oleh program pembaca layar. Selesai dengan halaman pertama, pindah posisi buku ke halaman kedua, dan seterusnya. Seorang tunanetra dapat membolak-balik sendiri halaman demi halaman hingga ke bagian terakhir ingin dibaca. Hasil pemindian biasanya juga akan menyertakan nomor halaman pada buku, jadi dapat diketahui jika ada halaman yang terlongkap.

Namun, system pemindaian dengan scanner ini hanya dapat dilakukan pada bagian teks di buku. Gambar ilustrasi atau foto yang ada di buku tidak dapat dideskripsikan oleh scanner dalam teks. Berbeda dengan DTB Audiobook atau hasil ketikkan orang awas yang biasanya mendeskripsikan gambar atau foto agar dapat dipahami oleh pendengar. Karena tunanetra memindai buku sendiri, jadi tak tahu juga apabila ada gambar atau tidak. Paling tidak, sistem mandiri ini cukup efisien untuk mengetahui isi sebuah buku atau saat perlu cepat mendapatkan referensi.

Beberapa terobosan teknologi informasi di atas menjadi solusi pada keterbatasan tunanetra mengakses bahan bacaan cetak. Kini tunanetra semakin mudah untuk mengakses pengetahuan, dan masyarakat umum dapat ikut berkontribusi bagi saudara-saudara yang tunanetra untuk menyediakan bahan bacaan aksesibel. Semoga perkembangan teknologi ke depan semakin canggih dan memudahkan tunanetra. (DPM)

Editor: Muhammad Yesa Aravena

Last Updated on 11 tahun by Redaksi

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *