Violet

Taksa tak pernah menyenangi pagi, karena baginya pagi selalu menyuguhkan derita. Ketika suara klakson kendaraan mulai bersahutan, suara perabot di dapur saling beradu, dan ketika manusia mulai menggetarkan pita suaranya satu sama lain untuk menagih perhatian, maka Taksa menekan bantalnya kuat-kuat ke telinga. Jangan sampai ada celah untuk suara hingga terdengar! Jangan!.

            Sama seperti pagi kali ini, pagi yang kesekian puluh ribu sepanjang hidupnya. Bantal kumal yang tak jelas lagi bentuk dan warnanya itu seakan-akan telah melekat permanen pada bagian kepalanya. Gorden kamar tertutup rapat hingga siapapun yang berada didalam kamar itu takkan bisa membedakan apakah saat itu pagi ataukah malam. Pagi adalah musuh besarnya, cahaya matahari dan suara manusia-manusia yang beraktifitas mengawali hari telah lama menjadi virus yang membuatnya alergi. Taksa seperti vampir, padahal ia bukan. Ia tidak mengisap darah, yah walaupun mungkin kondisi dirinya sedikit banyak mirip vampir, yaitu tak menyukai cahaya matahari.

            Taksa menggeliat enggan dan bantal kumalnya tak bergeser sedikit pun dari tempatnya. Beberapa tungau dan kutu kasur berpindah tempat dari seprai ke bantal. Tubuh ceking Taksa terus tergolek di ranjang apek yang  menjadi tempat tidurnya selama sekian tahun. Kondisi kasur dan seprainya tak jauh beda dengan kondisi bantalnya; kumal, bau dan menjijikkan. Tak akan ada satu pun manusia yang memilih benda-benda itu untuk menjadi teman tidurnya, kecuali Taksa. Detik jam terus berbunyi, dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, lalu habis setengah hari, lalu tiga perempat hari dan tubuh Taksa tak sesenti pun bergeser dari tempat semula. Hingga akhirnya suara-suara sibuk para manusia perlahan melenyap tergantikan suara derik jangkrik dan gonggongan anjing getir di jalan-jalan. Saat itulah terdengar geraman pelan dari balik bantal, “hrrr…”. Tungau dan kutu kasur kembali berloncatan untuk bermigrasi dari bantal ke seprai karena si pemilik bantal telah menghentikan dengkurnya.

“Akhirnya malam datang, akhirnya yang ku benci pergi. Energiku kini kembali dan aku kembali menjadi Maharaja Adikuasa, semua kembali di genggamanku!”

            Taksa mengibaskan seprai busuk yang meliliti tubuhnya dan menyingkirkan semua benda yang ada disampingnya. Air mukanya memandang jijik, seakan-akan telah kehilangan ingatan bahwa benda-benda itulah yang sejak tadi didekapnya. Tungau dan kutu kasur kocar kacir mencari tumpukan kapuk busuk yang mengendap untuk bersembunyi, walaupun tak mungkin juga Taksa bisa melihat mereka.

“Inilah hariku, inilah aku yang akan memulai..”desisnya, desis yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Ia pun membuka pintu dan menyambut malam yang sejak tadi ditunggunya.

***

“Ngik… ngik.. ngik…”

Taksa mengayun lebih kencang sehingga suara gesekan rantai berkarat itu makin keras. Tubuhnya berayun-ayun dan sesekali kakinya menyepak pasir ketika menjejak. Tiang ayunan sedikit bergetar karena beban yang menaikinya lebih berat. Di taman itu, hanya Taksa sendirian. Lampu taman yang telah lama rusak, jalanan yang telah sepi dan tak ada lagi suara-suara bising yang sok sibuk menghabiskan hari, membuatnya damai dan nyaman. Hanya suara-suara binatang malam yang silih berganti terdengar dengan samar.

“Mama, kenapa mama tidak cantik lagi?”

“Papa, mana kumis papa?”

“Kenapa cerminnya retak? Kenapa lampunya mati?”

Taksa mengayun lebih keras, air matanya kini berjatuhan walau pipinya telah mati rasa untuk merasakan bulirnya yang jatuh. Terus mengayun, mengenyahkan semua suara yang terputar ulang di rekaman ingatannya.

“Lihat, lukisanku dapat nilai tertinggi di kelas! Aku suka warna ungunya, aku suka ungu!”

“Nindy, walaupun ungu itu warna sendu, tapi ungu itu adalah warna yang paling langka dijumpai di alam! Maka itu aku suka ungu!”

“Tidaaakkk!!!!!!” Taksa terjatuh dari ayunan dan berlutut dipasir. Air matanya kini tak penting lagi karena hatinya telah pecah, berganti menjadi rasa sakit dan menyesal yang amat sangat. Ia sesenggukan agak lama, sama seperti malam-malam sebelumnya dimana ia menghabiskan setengah malam di taman ini seorang diri. Tiba-tiba seseorang menyentuh pundaknya dari belakang.

“Apakah kau menangis?”. Taksa mengusap matanya cepat-cepat dan bangkit. Lututnya penuh pasir.

Seorang gadis cantik sebayanya berdiri didepannya, gadis itu memiringkan kepalanya, bingung. Lalu senyumannya merekah dan matanya berbinar,

“Syukurlah, ku kira tadi bukan manusia. Huuft, tadi aku merinding dan takut. Hei, apa yang kau lakukan di taman ini sendirian? Kenalkan, aku Upi, aku penghuni baru di komplek ini, lihat, rumahku di sebelah situ. Ku pikir di rumah terlalu bising karena orang tuaku mengundang teman-temannya untuk datang ke rumah baru kami, makanya aku mencoba jalan-jalan ke taman ini.”

Taksa membuang mukanya, ia sangat terganggu dengan kemunculan gadis tak dikenal yang tiba-tiba. Ia bergegas membalikkan badan dan bermaksud meninggalkan taman, namun tiba-tiba terjatuh karena tersandung sesuatu.

“Heeii, kau tidak apa-apa?? Aduh maaf,, kau pasti tersandung tongkat penuntunku!”

Taksa terkesiap. Tongkat penuntun? Jadi… Siapa tadi namanya? Upi?

“Ka.. Kau.. Kau,, kau juga.. tidak bisa melihat,, emm,, Upi?” Upi terdiam sesaat, lalu senyumnya merekah. Ia meraba udara didepannya dan mendapati bahu Taksa. Dengan hangat ia membantu Taksa berdiri dan menepi, lalu mereka duduk bersama di bangku.

“Walaupun tak bisa melihat matahari pagi, tapi Tuhan menggantinya dengan banyak hal yang menandakan matahari telah datang. Aku senang mendengar bunda membukakan jendela kamarku di pagi hari, lalu mendengar guyuran air dikala ayahku mandi, atau ketika mencium masakan bunda ketika membuat sarapan. Suara, wangi, dan bentuk benda-benda, itu sudah cukup untuk mengenalkanku pada kehidupan yang indah..”

Taksa menggumam. Upi begitu peka sehingga ia tahu apa yang sedang Taksa tangisi tadi.

“Aku tak bisa melihat sejak balita, Taksa. Aku terkena Katarak Juvenile. Mataku normal ketika lahir, tapi lalu berangsur memburuk seiring dengan pertambahan usiaku. Tapi hingga kini usiaku yang delapan belas, aku tak pernah merasa kekurangan apapun. Tuhan mengganti kehilanganku dengan adil dan kasih-Nya makin berlimpah.”

Taksa terdiam. Ia sendiri kehilangan penglihatanya sejak setahun yang lalu. Kecelakaan motor, dan retinanya rusak parah sehingga kini ia hanya bisa melihat gelap yang pekat. Sejak setahun lalu pula ia mulai membenci pagi, membenci suara-suara yang menandakan pagi telah datang dan manusia-manusia mulai beraktifitas. Penglihatannya memang hancur, namun mental dan perasaannya lebih hancur dari apapun. Begitu juga dengan perasaan kedua orangtuanya yang tak bisa lagi menjangkau anaknya sendiri seperti dulu.

Taksa berubah, ia menjadi temperamental yang sepanjang harinya dihabiskan dengan mengurung diri di kamar sumpek. Ia hanya keluar ketika malam hari dan duduk berjam-jam di ayunan taman sambil menangisi nasibnya. Tapi tadi, gadis yang baru dikenalnya bilang bahwa Tuhan mengganti kehilangan dengan adil dan sempurna. Taksa pernah menikmati visual yang telah disediakan Tuhan untuknya, Taksa pernah melihat ibunya yang cantik, kumis ayahnya yang tebal, dan betapa ayunya wajah Nindy, perempuan yang ditaksirnya. Ia juga memiliki warna kesukaan, ungu. Dan apakah Upi juga memiliki warna kesukaan seperti dirinya? Apa Upi tau warna ungu?.

“Aku adalah imajinator yang handal, Taksa.. Aku bisa mengimajinasikan sesuatu di pikiranku lebih dahsyat daripada yang tergambar sebenarnya. Kau tahu, aku adalah penulis tetralogi novel best seller, apakah kau tahu novel yang berjudul ‘Aku dan Ungu’?”

Taksa tersentak. Aku dan Ungu? Itu adalah novel tetralogi pertama yang di tulis dengan huruf braille, lalu ditulis dengan huruf alfabet pula dan sudah diterjemahkan dengan berbagai bahasa!

“Besok aku akan memberi pinjam buku-buku itu untukmu. Oh ya, apakah kau bisa braille?”

Taksa mengangguk,

“Lumayan lancar, untuk saat ini..”

Upi tersenyum lebar dan sumringah, matanya berbinar walaupun seluruh permukaan selaputnya berwarna abu-abu.

“Bagus! Walaupun aku bukan motivator, tapi aku adalah imajinator yang handal yang akan berbagi dunia indahku untuk siapapun yang berdiri di sudut yang mati lampu sepertiku. hihi, maaf, aku selalu menyebut begitu untuk orang-orang seperti kita. Kau tahu, orang-orang seperti kita selalu memiliki imajinasi yang lebih hebat daripada yang lainnya! Karena Tuhan selalu mengganti kehilangan dengan adil dan sempurna! Kita hanya kehilangan lampu, tapi kita punya lentera!”

Taksa terdiam lama, sejak tadi yang bisa dilakukannya hanya diam dan mendengarkan. Bahkan ia baru mengeluarkan lima patah kata untuk bercerita kepada Upi mengenai dirinya. Taksa meraba hatinya, semua kata-kata Upi terputar ulang dibenaknya.

“Upi.. kenapa diberi judul ‘aku dan Ungu’? Apakah kau tahu warna ungu? maaf..”

Upi tersenyum,

“Karena namaku adalah Violet, artinya ungu kan? dan kata Bunda, Violet adalah warna yang cantik dan unik… tapi agar lebih mudah, orang-orang memanggilku Upi..”

Lagi-lagi Taksa tersentak, tiba-tiba imajinasinya menggambarkan sosok Violet yang cantik dengan gaun ungu, warna kesukaannya. Lalu semua menjadi campur aduk dan membuncah menjadi percikan-percikan terang seperti percikan kembang api.

Lampu taman tetap rusak, tapi Taksa telah mendapatkan ungu untuk menemukan lenteranya.

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *