Warnai Hitam Putih Duniaku

Sudah lamaran pekerjaan ke 39 yang dikirim Indra tapi sampai sekarang Indra tak kunjung mendapat pekerjaan. Surat keterangan sehat selalu menjadi kendala utama bagi Indra. Buta Warna itulah kendalanya. Setiap saat gagal pada tahap seleksi kesehatan dia hanya bisa masuk kamar dan mengigat kejadian 4 tahun lalu,

“Kalau kamu sudah sukses dan memang bisa menafkahi anak ku dengan layak baru kamu kembali kesini”

Teringat perkataan ayah Laila itu semangatnya kembali berkobar semangat Indra berbanding jauh situasi dan kondisi yang dia hadapi. Yang membuat Indra lebih bersemangat lagi adalah gambar dan krayon yang tersimpan rapi didalam pigora semua itu mengingatkannya pada Laila. Gadis yang sejak dari SLTA selalu memberinya semangat untuk bangkit dari keterpurukannya.

Laila yang ceria mengajarinya bahwa jingga dan kuning adalah warna matahari tenggelam yang memberikan rasa hangat dihatinya. Yang mengajarkan bahwa hijau adalah warna daun yang memberikan kesejukan dihati. Biru adalah warna laut yang memberikan kedamaian, merah adalah warna keberania bagi Laila semua warna memiliki arti yang mendalam.

Gadis ceria dengan wajah setengah etnis tionghoa ini selalu tersenyum dengan lesung pipit yang membuatnya semakin terlihat bersinar seperti karya-karyanya yang membawanya menjadi juara lukis antar sekolah sekaligus menjadikan dia primadona di sekolah.

Masih teringat dibenak Indra kekita dia harus mendapat tugas kesenian mengambar sedangkan yang bisa dia lihat hanya hitam putih warna dunia. Laila lah yang memberi tulisan pada krayon yang tertempel rapi didinding Indra setiap krayon ditulisi warna apa dan Laila selalu menjelaskan rasa yang timbul dari  warna itu dan sesuatu apa saja yang berwarna seperti itu. Indra masih benar –benar mengingat semua itu.

Sendirian di kamar membuatnya semakin tak mampu menahan air matanya janjinya pada Laila dia akan kembali melamar Laila saat dia sudah mendapat pekerjaan yang pasti. Sementara semenjak kecil Indra yang hidup di lingkungan panti asuhan pun harus berjuang sedemikian rupa sejak dia lulus SLTA hanya demi mendapat kan gelar S1 nya dan hanya demi agar Laila tidak malu bersanding dengannya.

Sarjana Hukum, tulisan itu begitu indah namun pekerjaan tak seindah tulisan itu. Dulu Indra bekerja disebuah toko fotokopi sambil kuliah dan tak lupa artikel-artikel yang dia tulis dikirimkan kekoran-koran sehingga mendatangkan rupiah yang cukup lumayan bukan hanya itu karena keuletannya dia sering mendapatkan  beasiswa.

Indra tidak pintar tapi rajinnya itu yang membuat banyak orang tak segan memberikan nilai plus padanya. Sebenarnya Indra dahulunya mendapat kesempatan masuk disalah satu Perguruan Tinggi Negri di Surabaya namun apa daya dia terpaksa harus memilih perguruan tinggi swasta yang lebih menjanjikan kemudahan padanya beasiswa itulah tulisan tebal yang menjadi prioritas utamanya.

Sampai sekarang Indra dan Laila masih menjalin komunikasi siapa anak muda jaman sekarang yang belum berkenalan dengan situs jejaring sosial yang mejamur. Komunikasi pun terjalin antar Indra dan Laila.

Tapi komunikasi belum tentu berujung pertemuan sesuai dengan janji Indra pada ayah Laila tak sekalipun selama 4 tahun Indra menemui Laila begitupun Laila. Hanya kesal yang bisa Indra rasakan saat ini kemudian teringatlah Indra pada satu memori yang indah bersama Laila ketika mereka berdua pergi ke alun-alun kota Sidoarjo dan membeli es cincau kesukaan Laila.

Timbulah niat Indra berwirausaha. Selang setahun usaha Indra sudah mulai terlihat hasilnya, usahanya berangsur membaik berkat inovasi cincau putih yang terbuat dari biji bunga. Akhirnya Indra yang berhasil dengan usaha cincaunya. Indra mulai mengembangkan sayap ke bisnis bunga, buah-buahan, tambak ikan dan lain-lain nya. terakhir cita-cita yang selama ini dia harapkan terwujud sebuah kantor notaris sudah siap digunakan. Semua jatuh bangun selama setahun pun membuahkan hasil setelah semua keringat dan air mata setiap kali mengingat Laila akhirnya terbayar juga.

Setelah kantor notarisnya sudah mulai sukses dia mengajak Laila bertemu. Laila yang memang selalu mendengarkan cerita Indra lewat jejaring sosial pun menyetujui untuk bertemu Indra. Rencananya setelah mereka bertemu mereka akan bersama-sama menuju rumah Laila untuk menemuai ayah Laila dan meminta restu pada ayah Laila karena Indra ingin melamar Laila.

Hari indah itu benar-benar disiapkan Indra sesempurna mungkin cincin berlian untuk melamar Laila pun sudah siap. Indra menunggu di tempat mereka berjanjian di alun-alun kota Sidoarjo. 20 menit berlalu, Laila tak juga datang. 30 menit, 1 jam, 2 jam mendung pun mulai datang. Indra tetap menunggu dengan perasaan gembira. 3 jam dan sudah 67 kali pangilan tak terjawab.

Indra mulai mengkhawatirkan keadaan Laila tanpa pikir panjang Indra pun langsung menuju rumah Laila. Rumah yang begitu megah dengan pagar menjulang tinggi ya inilah rumah Laila. Pembantu yang tak tahu apa-apa mempersilahkan Indra masuk. Di teras rumah Laila terlihat ayah Laila yang sedang membaca koran.

“Selamat siang, Pak?”

“Ada apa kenapa kamu datang – datang kesini lagi? Sudah saya bilang kamu boleh datang kesini kalau kamu sudah sukses”.

“Insyaallah saya sudah siap meminang Laila, Pak”

“Sesiap apa kamu berapa rumah yang kamu punya, usaha apa saja yang kamu punya sementara kamu kesini saja memakai sepeda motor butut begitu” ketika Indra mulai menjawab pertanyaan tersebut ayah Laila langsung melotot.

Tiba-tiba suasana itu mulai mencair ayah Laila yang memang matrealistis tiba-tiba berubah 360 derajat pada Indra setelah mendengarkan penjelasan Indra.

“Laila dimana ya, Pak?”

“Tadi Laila pamit ke Bapak kalau dia mau ke toko buku sebentar. Nak, dulu bukannya bapak mau menetang kamu dan Laila. Tapi, Bapak hanya berharap Laila mendapatkan yang terbaik”

“Iya, Pak. Saya mengerti”

“Nanti kalau Laila sudah pulang Bapak akan kabarkan kedatangan mu kesini”

“Iya, Pak. Kalau begitu saya pulang dulu”.

Indra pulang dengan membawa rasa kecewa sekaligus rasa senang. Rasa kecewa karena harus menunda lamarannya pada Laila rasa senang karena ayah Laila sudah merestui mereka.

Keesokan harinya semua usaha dilakukan Indra untuk mecoba menghubungi Laila selama seharian mulai dari rumah Laila yang tak berpenghuni, hp yang tidak bisa dihubungi, pesan di jejaring sosial semua usaha tersebut tidak berhasil.

Terakhir kali usaha yang sama sekali tak berarti sebuah laptop melayang terbanting ke lantai rasa kesal yang kian menumpuk sedari tadi pagi sampai malam hari akhirnya terluapkan. Kedua pembantu Indra keluar setelah mendengar suara yang cukup keras dari bantingan laptop tersebut.

Dua hari tak makan hanya minum air putih membuat keadaan Indra drop sehingga memaksanya harus menginjakan kaki dirumah sakit. Setelah memarkir mobilnya Indra mulai berjalan dari parkiran.

Tiba-tiba sosok yang selama tiga hari ini dia tunggu terlihat di depan matanya Laila terlihat sedang duduk di dalam mobil BMW hitam. Indra pun berlari sekencang mungkin dia berdiri dihadapan mobil Laila daan berteriak seperti orang gila.

“Laila buka pintunya” teriak Indra sambil mengedor-gedor kaca jendela mobil Laila.

Laila yang melihat kearah Indra hanya memalingkan wajahnya. Indra terus-terusan mengendor pintu mobil Laila sampai terpaksa gadis ini harus membuka kaca mobil dengan muka penuh kemarahan Laila melihat kearah Indra

“Kenapa sih kamu ini kayak orang gila saja” dengan wajah tersenyum lega setelah mendegar suara Laila Indra mengeluarkan cincin yang sudah 3 hari dia bawa kemana-mana.

“la kenapa kamu tidak datang ditempat kita berjanji aku sudah siapkan cincin ini buat kamu la maukah kamu jadi pendamping hidupku?” Laila hanya terdiam dan mengambil cincin itu setelah agak lama Laila terdiam, tiba-tiba Laila melemparkarkan cincin tersebut dan langsung menyuruh pak supir pergi.

Indra yang memang sudah lemas sedari tadi mencoba mengejar mobil Laila yang sudah terlihat jauh tiba-tiba rasa pusing di kepala Indra tak tertahankan lagi tubuhnya roboh tepat didepan rumah sakit.

Indra terbangun dari tidurnya dengan selang infus yang tertancap ditangannya. Dua jam sudah dia pingsan bukannya beristirahat dia malah keluar dari ruangan Bu Na dan Pak Pardi pembatu Indra menahan Indra

“Sudah lah den istirahat dulu”

“Sebentar Mbok saya mau mencari barang saya yang ketingalan diparkiran”

“Yang Aden maksut cincin ini? Saya mau memberikan pada Aden asal Aden istirahat dulu” pikiran Indra pun mulai jernih,

“Maafkan saya ya, Pak. Saya sudah merepotkan Pak Pardi dan Bu Na”. Dia teringat yang dia lakukan semuannya serba gila hanya demi Laila yang kelihatannya tak mencintainya. Setelah Indra sehat pencarian Laila pun dimulai lagi tapi semuanya tak memberikan hasil rumah Laila pun sudah tak berpenghuni.

Mencoba melupakan Laila adalah jalan terbaik untuknya. Indra mulai menata perasaannya lagi sampai suatu ketika Indra harus cek up rutin di rumah sakit. Saat Indra duduk menunggu panggilan dari poli dia melihat seorang perempuan yang memakai tongkat terjatuh. Saat Indra akan menolongnya tiba-tiba terlihat seorang perempuan lain yang menolong perempuan itu berdiri.

Mata Indra mulai berkaca melihat pemandangan itu terlihat wajah yang selama ini dia rindukan Laila yang dia cintai sebelah kakinya tak terlihat hanya terlihat perban yang membalut salah satu kakinya. Kaki Laila terpaksa diamputasi sampai pergelangan kakinya karena kecelakaan lalu lintas tepat pada hari dimana mereka berjanji bertemu.

Laila tidak ingin Indra melihat dia yang seperti ini, akhirnya Laila terpikir untuk berpura-pura membenci Indra namun semua yang dilakukan Laila sia-sia. Tuhan tetap mempertemukan mereka kembali. Setelah terdiam beberapa saat Indra sontak berlari dan memeluk Laila erat-erat.

Laila hanya bisa tertunduk dan menangis,

“Maafkan aku, La” Laila hanya terdiam seribu bahasa tanpa bisa membendung air matanya.

 

Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Penulis: Anik Khurniati

Penulis lahir di kota Sidoarjo 22 tahun yang lalu dan kini menetap di kota kelahirannya.

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *