Michael’s Diary

4 Januari 1981 

FIUUUHHH….

 

Kutiupkan napas hangatku pada sebuah jendela berembun di sudut ruangan sebuah apartemen kecil di pinggiran Kota Brooklyn yang jaraknya berjuta-juta mil jauhnya dari tempat tinggalku di surga. Semua yang kukenal memanggilku Michael. Aku adalah seorang malaikat penjaga. Aku sendiri sudah lupa berapa usiaku kini.

 

Aku tak dapat melihat pantulan bayanganku di depan sebuah cermin atau permukaan air, namun aku bisa menebak bahwa aku adalah seorang pria berusia 28 tahun dengan rambut ikal berwarna hitam dan berkulit putih.

*

Kriiinggg…!

Aku masih ingat betul suara bel sepedaku di pagi hari yang cerah itu saat kukayuh kendaraan beroda dua itu melintasi jalan di sebuah kota kecil di New Jersey. Aku yang saat itu berusia 15 tahun amat mencintai pekerjaanku sebagai pengantar susu keliling. Ayahku hanyalah seorang petani jagung di kota kecil kami, sementara ibuku bekerja sebagai buruh pabrik paruh waktu di pengepakan makanan siap saji dengan penghasilan yang sangat kecil. Aku memutuskan berhenti sekolah sementara sampai ayah sudah memiliki tabungan cukup untuk menyekolahkanku karena ladang kami baru saja habis oleh serangan tikus.

 

“Michael, tangkap ini!” seru Pak Jackson, pemilik toko buah di ujung gang Hallway 5th Street yang biasa melemparkan sebuah apel segar di pagi hari untuk sarapanku selagi aku bekerja.

 

Tiba-tiba, terdengar suara menderu seperti klakson mobil truk pengangkut sampah yang melintas dengan sangat cepat di sisi kananku.

 

Braaakkk! Bagian depan truk itu menghantam tubuh dan sepedaku hanya dalam hitungan detik. Suasana mendadak hening.

*

Tiba-tiba, aku sudah berada di sebuah kamar dan duduk di pojok ruangan melihat ayah, ibu, dan adikku sedang meratapi sesosok anak laki-laki yang terbaring di atas tempat tidur itu.

 

Sebuah suara lembut memecah kesedihan.

“Ayah sangat mencintaimu, Michael,” bisik Ayah di telinga anak itu sambil terisak diiringi tangisan pilu ibu dan Megan, adik semata wayangku.

 

Langkah berat memasuki ruangan dan tampak seorang pria tua berjubah putih lengkap dengan stetoskop melingkar di lehernya berkata,

“Tuan Gregs, maaf, kami sudah mencoba sekuat tenaga, namun semuanya di luar kemampuan kami. Hantaman keras di sisi kanan kepalanya membuat terjadinya pendarahan hebat. Kami turut berduka cita,” ujar pria tua itu  kepada Ayah.

 

Seketika kulihat cahaya vertikal di depanku dengan suara parau setengah berbisik ke arahku,

“Michael, ini saatnya untuk pergi. Ayo, jangan buang waktumu. Ada pekerjaan lain yang harus kaulakukan,” lanjut suara parau tadi. Aku mundur dengan bahasa tubuh berupa penolakan namun cahaya itu semakin kuat melawan gravitasiku.

 

6 Januari 1981

Lamunanku buyar saat seorang gadis cilik memasuki kamar tidur di apartemen ini.

‘”Michael, apakah engkau ada di sini?” tanya Mia Davis kepadaku.

“Ya, aku di atas tempat tidurmu,” jawabku dengan tenang.

“Aku ingin memperkenalkanmu kepada guru biolaku yang baru. Dia sangat cantik dan sangat baik kepadaku,” ujar Mia kepadaku di sore hari yang dingin itu.

“Hahaha…, bagaimana mungkin? Dia kan tidak dapat melihatku,” timpalku sambil tertawa geli.

“Dia memang tidak bisa melihat karena dia tak bisa melihat. Namanya Jennifer Russell, tapi aku biasanya memanggilnya Jenn. Usianya masih 22 tahun dan dia tinggal bersama neneknya di ujung jalan rumahku. Jenn sangat pandai bermain biola. Ditambah lagi suaranya yang merdu, pasti kamu akan menyukainya,” ujar Mia, dan aku hanya tersenyum simpul melihat mimik wajah gadis kecil berusia enam tahun itu.

Tak mudah menjadi seorang malaikat penjaga bagi para manusia. Tuhan menugasiku untuk menjadi teman bagi mereka para anak kecil. Biasanya tugas kami berakhir ketika sang anak menginjak usia remaja.

Aku sudah menemani Mia semenjak ia lahir. Mia adalah anak yang cerdas dan ia tinggal bersama ibunya di tempat ini. Ayah Mia adalah seorang pemabuk dan kerap memukuli Mia dan ibunya. Sampai akhirnya sang ayah ditangkap oleh pihak yang berwajib akibat kasus pemukulan terhadap anak dan istrinya itu. Tapi aku percaya, mereka berdua sudah jauh merasa lebih bahagia sekarang.

Tatapanku seakan tak bisa lepas saat kulihat gadis tinggi semampai itu masuk ke tempat ini. Tongkatnya diketuk setiap kali ia melangkah. Raut wajahnya amat berbinar seperti matahari terbit di Pantai Santa Monica. Rambutnya yang cokelat lurus sebahu tampak berkilau di bawah temaram lampu.

Meski matanya tak dapat melihat, bentuknya sangat sempurna seperti almon dengan bulu mata lentik yang terkibas setiap kali ia mengedipkan matanya. Sekarang aku baru percaya apa yang dikatakan Mia kepadaku beberapa saat lalu, karena memang aku baru saja melihat seorang bidadari yang sesungguhnya.

Aku tak pernah tahu bagaimana rasanya jatuh cinta atau mengagumi sesuatu hal yang biasa dialami oleh para manusia. Mungkin inilah rasanya bagaimana reaksi kimiawi berlangsung ketika engkau menyukai pasanganmu.

“Baiklah, Mia, aku akan mainkan sedikit lagu dengan biola ini dan rasakan setiap nadanya merasuki jiwamu,” bisik Jenn kepada Mia sebelum ia mulai memainkan biolanya.

Oh, Tuhan, suara permainan biola itu sangat indah dan mungkin alunannya bisa memanggil seluruh malaikat di surga. Kunikmati setiap gesekan biola dari tangan halus Jenn, seakan aku tak mau ia pergi dari sisiku. Aku duduk di samping Mia dan tentu saja tidak ada yang melihat sosokku di sini kecuali Mia sendiri. Tak sadar tingkahku menjadi aneh dan salah tingkah ketika mataku beradu pandang dengan mata Jenn. Bodohnya aku karena toh Jenn tidak bisa melihatku, mengapa aku harus menjadi orang lain pada saat itu.

 

12 Februari 1981

Itulah pertemuan pertamaku dengan Jenn. Sejak itu aku selalu berada di mana pun Jenn berada. Sampai-sampai aku melalaikan tugasku sebagai malaikat penjaga. Kulihat siang itu matahari tampak terik di sudut jalan kota kecil di selatan Brooklyn ini. Jenn terlihat berjalan menyusuri trotoar menuju tempatnya biasa mengajar vokal.

“Selamat siang, Martha,” sapa Jenn kepada petugas penyapu jalan bernama Martha.

“Siang juga. Coba lihat, dirimu tampak cantik sekali hari ini, Jenn,” ujar wanita berkulit hitam itu diiringi ucapan terima kasih dengan senyuman tulus Jenn saat itu.

Gadis itu sungguh hebat, meski tidak melihat, ia bisa mengetahui apa yang ada di sekitarnya dengan baik karena intuisinya amat tajam. Jenn pun dikenal sebagai gadis cantik yang ramah di lingkungan tempatnya tinggal. Gadis ini amat mandiri.

Jenn terkena glukoma semenjak ia berusia 2 tahun. Ayah dan ibunya sudah bercerai saat ia masih dalam kandungan sang ibu. Akibat pendarahan yang hebat, ibunda Jenn meninggal dunia ketika ia dilahirkan. Neneknyalah yang sampai kini merawat Jenn dengan penuh kasih sayang.

*

Kreeek…. Terdengar pintu terbuka.

“Jenn sayang, kau sudah pulang rupanya. Bagaimana pekerjaanmu hari ini?” tanya sang nenek sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir ketika Jenn baru pulang.

“Aku senang karena aku akan dipromosikan oleh kepala sekolah untuk menjadi guru kesenian yang baru,” ujar Jenn sambil tersenyum riang, yang disambut pelukan hangat sang nenek.

Mereka berdua tinggal di sebuah apartemen kecil yang mungkin harga sewanya tak lebih dari 100 dolar per bulannya.

 

18 April 1981

Hari ini adalah hari besarku. Aku berniat menemui Tuhan karena ada sesuatu hal yang harus aku bicarakan. Aku ingin meminta sesuatu kepada Tuhan agar satu-satunya keinginanku dikabulkan.

Braaak…! Aku membuka pintu besar yang terbuat dari emas itu menuju ke sebuah ruangan terang besar nan megah. Istana ini adalah kediaman Tuhan.

Perlahan kubuka suaraku.

“Selamat pagi, Tuhanku,” ujarku dengan pasti.

“Ya, ada apa, Michael?” tanya Tuhan kepadaku. “Aku sudah tahu maksud kedatanganmu ke sini, Michael,” sambungnya.

“Aku ingin menjadi seorang manusia agar aku bisa bersama gadis pujaanku,” pintaku kepada Tuhan.

“Baiklah, aku akan mengabulkan permintaanmu, tapi ada satu hal yang harus kautaati, Michael,” ucap Tuhan. “Kau tidak akan pernah bisa lagi menjadi malaikat jika kau sudah menjadi seorang manusia. Ingatlah, kau juga tidak bisa melawan takdirku,” ujar Tuhan kepadaku.

“Ya, aku akan melakukan apa saja asal aku bisa mencintainya walau aku harus merasakan sakitnya berdarah sama seperti manusia lainnya,” ucapku dengan lantang tanpa bisa menyembunyikan kebahagiaanku.

*

Kepalaku terasa berat saat aku membuka mata. Terhenyak saat menemukan diriku di atas sebuah tempat tidur berantakan di dalam sebuah mobil karavan yang terlihat sudah rusak dan tua. Aku bangkit menuju ke sebuah cermin di kamar mandi sempit dan bau di sudut ruangan. Tampaklah seorang pria tampan berambut hitam ikal dengan bola mata kecokelatan dan kulit putih pucat seperti bayi. Ya, inilah diriku, dan sambil berteriak kegirangan aku menari seperti anak kecil sepanjang pagi yang cerah itu.

“Wuhuuu…!” teriakku hingga membuat para burung yang hinggap di atas karavan ini kabur beterbangan.

 

20 April 1981

Sepanjang jalan aku terus bernyanyi. Langkahku pasti menusuri jalan setapak Lincoln 27th Avenue. Jalan ini satu-satunya jalan menuju tempat Jenn bekerja di sebuah sekolah musik di kota kecil di selatan Brooklyn ini. Dari seberang jalan kulihat Jenn sedang memasuki sebuah kafetaria untuk santap siang. Aku berpikir keras bagaimana caranya memulai sebuah percakapan, apalagi dengan seseorang yang aku puja.

Jenn membawa baki ke sebuah meja di sudut kafetaria. Aku yang berjalan di belakangnya, mulai berkata sesuatu saat gadis cantik itu mengempaskan dirinya ke sebuah kursi.

“Maaf, bolehkah saya duduk di sini? Saya tak menyangka begitu banyak orang yang kelaparan siang hari ini,” ujarku sambil setengah becanda.

“Oh, boleh, silakan, dan tampaknya saya memang duduk sendiri,” jawab Jenn kepadaku.

Ya, itulah perkenalan kami yang pertama dan tak akan kulupakan hari itu. Sejak saat itu mulailah kami sering bertemu dan bahkan Jenn memperkenalkanku kepada Jemima Russell, sang nenek tercinta.

*

“Silakan duduk,  Michael. Saya memang sedang membutuhkan seorang petugas penjaga Brooklyn City Zoo ini. Asisten saya akan memberikan seragam, tanda pengenal, dan semua yang kamu butuhkan. Selamat, dan kamu bisa mulai bekerja esok hari,” ujar Mr. Robb Keith, kepala pengawas kebun binatang satu-sattunya di Kota Brooklyn ini.

Aku memang bertekad akan bekerja keras untuk membahagiakan Jenn. Aku jalani setiap hariku dengan penuh semangat. Hampir semua pengunjung, anak-anak dan rekan kerja menyukaiku karena aku dikenal ramah, hangat, serta memiliki selera humor yang cukup menghibur mereka.

Tak terasa dua bulan sudah aku bekerja dan tibalah waktuku menerima upah kerjaku di bulan ini. Dengan rasa haru aku masuki sebuah toko perhiasan untuk membeli sebuah cincin untuk Jenn. Tak lupa aku mampir di sebuah toko bunga di ujung jalan seberang apartemen Jenn. Malam itu sungguh istimewa karena malam itulah aku melamar kekasih hatiku.

Kami tiba di sebuah taman kota setelah makan malam. Di bawah hujan rintik kecil itu kulamar Jenn.

“Jenn, tak ada yang bisa membuatku bahagia selain dirimu. Maukah engkau menikah denganku?” pintaku kepada Jenn.

Masih kuingat air mata bahagia itu mengalir di pipi Jenn kala itu dan diikuti oleh anggukan kepalanya tanda setuju.

 

2 Juni 1982

Dan, di sinilah kami sedang merayakan bulan madu kami. Bukan, bukan di atas gondola menyusuri Sungai Venice di Italia atau di depan Taj Mahal India. Kami hanya saling berpelukan di atas sofa di ruang keluarga kami yang kecil ini. Aku sangat mencintai Jenn dengan segenap hatiku dan tampaknya seluruh dunia tahu akan hal itu.

“Michael, aku sangat bahagia karena Tuhan mempertemukan kita,” bisik Jenn, diikuti kecupan mesranya yang mendarat di keningku malam itu, setahun setelah pernikahan kami.

Jenn tengah mengandung bayi kami. Walau usia kandungannya baru menginjak 2 minggu namun aku sudah tak sabar lagi menantikan seorang anak di istana kecil kami. Yang paling membuatku bangga adalah aku menikahi seorang perempuan yang sangat mandiri. Jenn selalu keberatan jika aku ingin mengantar atau menjemputnya di tempat kerjanya. Ia bersikeras dan lebih memilih berangkat kerja dengan bus setiap harinya.

Pagi itu, udara terasa lebih dingin daripada biasanya. Langit tampak mendung dan Jenn bersiap-siap ke sekolah untuk mengajar. Dengan tongkat yang menjadi penuntunnya, Jenn setengah berlari menuju pemberhentian bus tak jauh dari taman kota dekat tempat tinggal kami. Belum lama menunggu akhirnya bus yang menuju pusat kota itu pun datang. Pintu bus terbuka otomatis dan Jenn menapaki anak tangga menuju bangku penumpang.

Tiba-tiba sang sopir bus itu berkata kepada Jenn,

“Wah, Anda adalah seorang wanita paling beruntung yang pernah saya kenal, Nona,” ucap lantang sang sopir.

“Kenapa Anda bisa bilang begitu, Pak?’” tanya Jenn kepada sopir berkepala botak itu.

“Saya selalu melihat seorang pria tampan dan gagah berambut hitam pekat dengan senyumnya yang khas berjalan di belakang Anda seakan menjaga dan mengawasi Anda. Setiap pagi saya melihat pria tersebut di belakang Anda, dan tak lupa ia mengembuskan ciuman lewat telapak tangannya untuk Anda ketika Anda menaiki bus ini. Oh ya, tentu saja di waktu sore hari Anda pulang pun saya selalu melihat pria itu menunggu Anda turun dari bus ini, hampir setiap hari,” sambung sang sopir.

Seketika air mata hangat turun perlahan dari mata Jenn dan ia menyadari bahwa aku benar-benar adalah malaikat penjaga untuknya.

Malam itu kami habiskan dengan memasak makan malam kami bersama. Terdengar suara derungan mesin mobil dan suara tawa anak-anak remaja yang mengendarai mobil ayah mereka sambil kebut-kebutan. Suasana itu kerap terdengar di lingkungan rumah kami dan tak jarang sering membuat kegaduhan.

Setelah bersantap, Jenn pamit ke luar rumah untuk membuang sampah sambil aku mencuci piring dengan iringan musik The Beatles.

Tak lama berselang, aku mendengar suara letusan senjata api di pekarangan rumah.

Dor, dor…!

Suara itu kembali terdengar. Aku sangat panik dan segera berlari melihat apa yang terjadi. Tubuhku lemas melihat Jenn tersungkur di tanah bersimbah darah tepat di sisi lambungnya. Aku berlari mendekatinya sambil berteriak memanggil namanya, berusaha memberikan pertolongan.

Tak kusadari aku berteriak keras,

“Jenn! Semua, tolong aku!”

Kulihat Pak Dave Gynes, tetanggaku, keluar rumah bersama istrinya untuk membantuku mengantarkan kami ke rumah sakit.

*

Di sinilah aku duduk, di ruang tunggu Instalasi Gawat Darurat Brooklyn Memorial Hospital. Seorang wanita berbaju seragam operasi dengan tutup kepala dan penutup mulut mendatangiku.

“Permisi, Andakah Tuan Michael?” tanyanya kepadaku.

Aku hanya dapat mengangguk.

“Kami turut berduka cita. Istri dan bayi kalian tak bisa kami selamatkan…,” ujar sang dokter kepadaku dengan terbata.

Aku berlari ke dalam kamar operasi dengan tangisan yang sangat memilukan. Kupeluk Jenn-ku untuk terakhir kalinya sambil kubisikkan kata-kata cinta di telinganya.

Dari penyelidikan polisi kemudian, aku tahu bahwa penembakan itu dilakukan oleh para remaja pengendara mobil yang sebelumnya membeli senjata api secara ilegal. Walau mereka sudah berhasil ditangkap, tetap saja mereka tidak bisa mengembalikan Jenn kepadaku.

Di kamar, setelah upacara pemakaman, aku menangis terisak melihat kumpulan foto kami yang tak pernah dilihat oleh Jenn. Kuhabiskan malam dengan minuman keras, berusaha menghapus kesedihan, meskipun sesungguhnya aku sangat membenci alkohol.

 

8 Oktober 1982

Kini kuhabiskan hariku sebagai seorang manusia dan seorang pria kesepian. Sudah lama aku tutup hatiku untuk wanita lain. Aku belajar bermain biola dan bekerja sebagai pemain biola keliling di stasiun kereta bawah tanah bernama Boston Subway District, pergi jauh dari semua kenangan hidupku.

Aku terpaksa menjual rumah dan pindah ke kota lain, hidup di sebuah flat sewaan yang murah dan kecil di pinggiran Kota Boston. Aku pernah mencoba bunuh diri tetapi aku teringat pesan Tuhan, bahwa jika aku mengakhiri hidup di luar takdir-Nya, aku tak akan bisa bertemu Jenn lagi di surga untuk selamanya.

Maka, di sinilah aku menghabiskan sisa usiaku, entah sampai kapan. Aku belajar bahwa terkadang kita harus berdarah sebelum merasakan bahagia. Jika engkau mendengar suara lirih alunan biola di malam hari, mungkin itu adalah suara biolaku yang mengisyaratkan kepedihan hatiku yang mendalam.

***
Editor: Putri Istiqomah Priyatna

 

Penulis: Hendro Utomo

Penulis berusia 32 tahun ini, memiliki gaya tulisan yang lugas dan deskriptif. Meski tunanetra, penulis sangatlah menyukai dunia menulis dan literatur. Ayo berteman dengan penulis yang pernah bekerja sebagai managing editor dan wartawan ini di Facebook, dengan nama: hendro.utomo1.

Last Updated on 11 tahun by Redaksi

Oleh Hendro Utomo

satu hal yang menarik adalah saya seorang tunanetra sekaligus marketing supervisor serta copywritting

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *