Bukankah Aku Tak Mendengar

Ketika aku membuka mata, ibu sudah berdiri di samping ranjang. Ia berkacak pinggang sambil terus memandangiku. Bibirnya terus saja bergerak tak kunjung diam. Jika saja aku dapat mendengar, pasti aku tahu apa yang diomelkannya.  

            “Ayo bangun !!!” hanya kalimat itu yang tertangkap oleh mataku.

            “ Iya ibu “ jawabku dengan menganggukkan kepala. Segera saja aku bangkit dan menuju ke kamar mandi.

            Tak sampai semenit kemudian, langkahku terhenti. Ada sekelebat ingatan yang muncul. Ingatan tentang mimpiku kemarin malam. Dia, untuk pertama kalinya berkunjung dalam tidurku. Seorang wanita yang tak pernah kukenal sebelumnya. Namun entah mengapa, aku dapat merasakan bahwa dia adalah diriku. Apapun yang dia rasakan, aku merasakannya juga. Kita sangat dekat. Bahkan, tanpa bicara pun kita dapat saling mengerti dan tertawa bersama. Pada mimpi itu, aku seolah dapat berbicara dengannya. Bahkan terlalu banyak waktu yang kita habiskan hanya untuk mengobrol.

            “ Raka,… kenapa diam saja ? kau akan telat berangkat ke sekolah !!“ lamunanku dibuyarkan oleh senggolan ibu.

            Satu jam berikutnya, keadaan sudah berubah. Aku berada diantara teman-temanku di sudut ruangan ini. Termenung memikirkan “Dia”. Saat seperti inilah yang dimanfaatkan teman-temanku untuk berbuat iseng. Dalam sekejap saja ketika aku tersadar dari lamunan, penampilanku sudah berubah. Rambutku terkuncir disana-sini. Pipi dan jidatku pun tak lolos dari coret-coretan mereka. Kubiarkan saja mereka melakukan ini padaku. Aku tidak terlalu peduli untuk saat ini.

            “Bu !!” tangan kanan ku terangkat. Setelah itu kuberikan isyarat pada Bu Sofi untuk mengijinkanku membersihkan wajah di kamar mandi.

            “ Iya, silahkan” jawabnya lembut, menurutku.

            Aku sudah berdiri di depan kran air. Ketika kuputar kran itu, tidak ada suara air yang mengalir. Tapi dapat kurasakan dinginnya air saat menyentuh telapak tanganku. Aku terlalu asik memain-mainkan air di tanganku. Hingga tiba-tiba,

            “  Raka!” aku mendengar seseorang memanggil namaku. Tunggu, mendengar ? Ah Tak mungkin! Aku tak bisa mendengar, mungkin cuma khayalanku saja.

            “ Raka!” suara itu kembali terdengar. Semakin jelas. Semakin lama, semakin dekat rasanya. Dari mana suara itu berasal? Siapa yang memanggilku?.

            Aku sudah terlanjur penasaran dengan suara itu. Langkahku tidak mengiringku kembali ke kelas. Justru kini aku sedang mencari-cari orang yang memanggilku itu. Tak jauh dari kamar mandi, terlihat seorang wanita berdiri di pojok lapangan sekolah. Dari seragam yang dipakainya, dapat kupastikan dia bukanlah siswa disini. Lantas, siapakah dia?

            “ Raka!” wanita itu melambaikan tangan ke arahku. Aku mulai kebingungan dibuatnya. Ku balas lambaian tangannya dengan canggung.

            “ Raka!” dia kembali berteriak. Aku benar-benar tak mengerti dengan sikapnya. Eits,sebentar. Sepertinya dia tidak sedang menyapaku.

Dalam sekejap, kejadian tak terduga terjadi. Seseorang berlari dari balik punggungku dengan begitu cepatnya. Laki-laki itu menghampirinya, mereka berdua bertemu. Saling bertatapan dalam beberapa detik dan mereka tersenyum. Ah sial ! Laki-laki itulah yang di panggilnya. Mungkin dia juga memiliki nama yang sama denganku.

            Entahlah! Aku tidak mengerti kenapa aku tidak bisa beranjak dari tempat ini. Aku seolah sedang menonton sinetron didepanku. Mereka mungkin telah sadar ada penonton yang tak diharapkan disini. Kini, mereka menatap ke arahku dan tanpa sadar, mataku bertemu dengan mata wanita itu. Saat itulah jantungku seolah lupa untuk bergerak. Tak salah lagi, wanita itu adalah “Dia” yang ada dalam mimpiku. Tapi, kenapa aku memimpikannya? bukankah sebelumnya aku tak pernah tahu siapa dia? Ah, bahkan sekarang pun aku tak tahu siapa dia sebenarnya!

            “ Ada yang bisa kubantu?” dia berdiri di depanku. Dia bertanya kepadaku. Sebentar lagi, kita akan saling bercakap-cakap seperti dalam mimpiku. Tunggu, sebentar lagi.

            “ A……..a…..” tak ada suara yang keluar. Oh Tuhan !

            “ Kau baik-baik saja ?” tanyanya khawatir.

            “Iya” aku hanya mengangguk dan segera pergi dari tempat itu. Aku merasa malu kepadanya.

            Malam ini, aku memimpikannya lagi. Tapi tak seperti hari kemarin, kali ini kita duduk tanpa membuka mulut sedikit pun. Kita sama-sama diam. Lama sekali. Hingga aku terbangun, dan tidak terjadi apa-apa dalam mimpiku.

            “ Hai, siapa namamu ?” aku menggerak-gerakkan tangan. Aku berusaha mendekati laki-laki yang kemarin bertemu wanita itu. Ternyata, dia adalah siswa sekolah ini juga. Kelas sebelah tepatnya. Dan sekarang aku tahu bahwa dia juga seorang penyandang tuna wicara. Tapi dia tidak sepertiku. Telinganya masih berfungsi dengan baik.

            “ Raditya Adi “ Dia menuliskan namanya di selembar kertas. Aku membaca namanya secara detail. Lho? kok Raditya? kok Adi ? Dimana kata-kata “Raka” ?

             “ Aku harus memanggilmu apa? ” seperti halnya surat-menyurat, aku menulis balasan di kertas yang tadi ia berikan kepadaku.
            “ La….diiit” jawabnya tak jelas. Namun itu sudah cukup bagiku. Aku sudah dapat membaca bibirnya.
            “ Siapa wanita yang kemarin datang kesini?” tanyaku langsung ke tujuan. Sejenak, aku tidak memikirkan tentang namanya. Untung saja, dia langsung tanggap setelah membaca bahasa gerakku.

            “ Dia kakakku. Namanya Risma ” rasanya pikiranku mendadak kosong ketika tahu nama “Dia”.

            “ Apa kau sakit? “ Radit bertanya. Dan tanpa sadar aku mengangguk.

            “ Kamu ingin ketemu kakakku ? Dia juga seorang dokter “ jelasnya dalam bahasa isyarat.

            “ Apa boleh minta nomer Hpnya?

            “ Tentu ” dia mengangguk dan menuliskan beberapa angka di secarik kertas, kemudian ia berikan secarik kertas tersebut padaku.

            Sudah hampir jam sebelas malam. Mataku tak kunjung menutup. Yang kulihat hanyalah kertas di tanganku ini. Perasaanku benar-benar tak tenang.

            ‘Apa benar ini dokter Risma?’ kuberanikan diri mengetik pesan singkat. Namun setelah aku membacanya berulang kali, kalimat itu aku hapus lagi. Aku mulai ragu. Diam sejenak. Lima menit kemudian, aku mengetik lagi. Kalimat yang aku ketik sama persis dengan sebelumnya. Setelah itu, aku masukkan nomernya dan aku tekan tombol ‘kirim’.

            Klik !  HP ku berbunyi, pertanda pesanku terkirim.

Tak beberapa lama, Hpku berbunyi lagi. Aku baca nama pengirimnya. Ah ini balasan darinya !

            ‘ Iya, saya Risma. Kalau boleh tahu ini siapa ? ’

Aku semakin bingung harus bagaimana menjawabnya. Aku tidak boleh berhenti disini.

            ‘Aku temannya Radit yang kemarin siang di lapangan’

Aku merasa terlalu polos. Aku tidak pandai berbohong. Semoga saja dia masih ingat denganku.

            ‘Oh,… iya aku ingat. Ada apa dek ?’

            ‘ Kata Radit, kakak ini dokter yang hebat. Jadi, aku disuruh periksa ke kakak’

Kali ini ada kalimat yang sengaja aku tambah-tambahkan.

            ‘ Memangnya kamu sakit apa ?’

            ‘ Entahlah kak! Akhir-akhir ini badanku rasanya aneh. Aku sudah periksa ke dokter, tapi kata mereka aku baik-baik saja’

            ‘ Memang anehnya gimana?’

            ‘ Aku sering mendengar ada yang memanggil namaku’ balasku singkat.

            ‘ Itu kan wajar. Dimana anehnya ?’

            ‘ Masalahnya aku tidak bisa mendengar ‘

Selang beberapa menit tak ada balasan. Hp ku tak kunjung berdering. Aku mulai berpikiran yang tidak-tidak. Sampai akhirnya,……Klik ! Ada balasan darinya.

            ‘ Baiklah, bisakah besok kamu datang ke tempat praktikku sepulang sekolah ?’

Oh Tuhan ! ini jawaban yang benar-benar tak terduga.

            ‘ Iya kakak,…. Oh iya, apakah kakak tahu namaku ?’ Aku berharap saat itu aku tidak salah mendengar.

            ‘ Oh iya aku lupa bertanya. Siapa namamu ?’ Yaah, ia tak tahu namaku, apa itu semua cuma halusinasi ? Entahlah !

            ‘ Namaku Raka’

Ini adalah pesan terakhir malam ini dan aku pun sudah tertidur pulas sesaat pesan ini terkirim.

            Esok harinya. Seperti yang ia minta, aku datang ke tempat prakteknya. Lama sekali aku menunggu giliran masuk. Nomor urut yang kupegang tak kunjung dipanggil-panggil oleh suster penjaga. Tempat ini begitu dingin. Sangking kedinginannya, tanpa sadar aku tertidur di kursi ruang tunggu ini.

            Semua lampu seketika padam. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku ketakutan dan tubuhku menggigil kedinginan.

            “Tolong,……” suaraku begitu parau. Aku lelah berteriak karena tak ada satu orang pun yang menyahut. Semua orang telah pergi. Aku sendirian disini.

            “ Hiks…..Hiks….” aku mendengar seseorang menangis. Aku mencari asal suaranya.

            “Kenapa kau menangis ?” aku bertanya pada wanita di sudut ruangan itu. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Aku tidak bisa mengenalinya.

            “ Entahlah,…” jawabnya singkat.

            “ Apakah kau takut kegelapan sepertiku?” aku mencoba menerka

            “ Aku,…. aku tidak bisa melihat,… hiks hiks” dia menangis lagi.

            “ Tenanglah,… Jika lampunya sudah nyala, kau pasti dapat melihat lagi,..”

            “ Tidak,…. tidak,… aku tetap tidak akan bisa melihat…” dia mendongakkan kepalanya. Dia melihat ke arahku. Aku melihat wajahnya. Dan aku tersentak seketika !

            “ Kakak ???” aku kaget melihat Risma yang duduk disana

            “Lihatlah mataku “ aku terpaku menatap matanya. Itu bukan mata yang biasa aku lihat. Itu bukan matanya. Tapi aku sadar, aku mengenalinya. Itu,….Itu seperti,…. Itu seperti mataku !

            “Mas,…Mas !!!” aku mendengar suara lain memanggilku. Bersamaan dengan itu, aku rasakan tubuhku digoyang-goyangkan. Tak lama, mataku terbuka. Aku melihat warna putih dimana-mana. Tak ada lagi kegelapan. Aku bangun dari tidurku.

            “ Mas, sekarang giliranmu yang masuk” kata suster yang berdiri disampingku.

            “Baik suster”  Setelah kukerjap-kerjapkan mataku sesaat, aku mulai bangkit dari kursi. Kuregangkan badanku. Kujernihkan pikiranku.

            “ Kamu Raka ?” tanyanya ketika aku sudah duduk di kursi pasien.

            “ Iya” aku mengangguk

            Dia lalu memeriksa telingaku dengan lampu senter. Dari telinga kanan ke telinga kiri, lalu di ulang berulang kali.

            “ Aku tidak menemukan masalah pada telingamu” aku membaca bahasa bibirnya.

            “Aku bingung” tanganku memberi isyarat.

            “ Mungkin kamu hanya berhalusinasi”

            “Entahlah” aku mengangkat bahu.

            “ Baiklah nanti kita lanjutkan. Sekarang waktunya makan siang” Dia menunjuk jam tangannya.

            “ Bolehkah aku ikut ?” Aku bingung mencerna pikiranku sendiri. Kata-kataku keluar begitu saja.

            “ Baiklah. Ayo !”

            Lalu lintas siang itu terasa sangat lenggang. Semua kendaraan di jalan itu berjalan perlahan. Seolah mereka memberi kesempatan untuk aku dan Risma menyebrang.

            “Ayo kita ke sana” kata Risma menunjuk warung biru di seberang jalan. Senyuman mengembang di wajahnya. Mungkin dia sudah tak sabar lagi untuk makan. Aku dapat melihat langkahnya yang semakin cepat. Bahkan tanganku sudah tak sanggup mencegahnya berlari. Aku tertinggal di belakang. Ku awasi setiap sisi jalan. Kepalaku tak kunjung berhenti menoleh dari kanan ke kiri lalu ke kanan dan seterusnya. Dan dalam sekejap saja, ketika aku melihat ke kanan untuk kesekian kalinya, apa yang aku khawatirkan terjadi. Mobil itu terlalu cepat. Bahkan untuk mencernanya saja aku tak sempat. Dan tabrakan itu pun tak bisa kucegah. Tubuh Risma langsung terkapar disana. Aku ingin berteriak meminta tolong tapi tak bisa. Aku bingung. Sungguh !
            Orang-orang mulai mengerumuninya. Mereka juga bingung sepertiku. Mereka mendiskusikan bagaimana membawanya ke rumah sakit. Sebuah mobil pick up yang lewat saat itu diberhentikan. Dan kini aku dan Risma ada di bagian belakang mobil.

            Ini kali keduanya aku merasakan dinginnya rumah sakit di hari yang sama. Aku menunggunya bangun dari tidur. Aku mulai merasa lelah. Sudah tiga hari ini, dia tak kunjung sadar. Radit dan kedua orang tua Risma terus menerus menangis di sampingnya. Tak tega aku melihatnya.

            “Raka,… dia sadar !!” Radit terengah-engah ketika berlari menghampiriku. Aku yang dihampirinya begitu terkejut dibuatnya. Segera aku masuk ke ruangan Risma dirawat. Aku dapat melihatnya menerawang ke atas. Benar ! Radit Benar ! Dia memang sudah sadar

“ Hiks,….hiks,…hiks,…” Biarpun aku tak dapat mendengarnya, aku tahu dia sedang menangis. Aku melihat wajahnya basah karena air mata. Aku mendekatinya.

            “ Raka.” aku melihat bibirnya memanggil namaku.

            “ Raka,” dia kembali memanggil namaku. Lagi dan lagi. Padahal aku sudah banyak kali menganggukkan kepala. Aku mulai memikirkan apa yang terjadi.

            Aku melihat matanya. Matanya yang bulat, coklat, dan benar-benar indah. Hanya saja mata itu terasa aneh. Mereka tak berkedip sedikitpun. Aku pun menggoyang-goyangkan tangan di depan wajahnya. Namun mata itu tak pernah berkedip.

            Tepat seminggu Risma di rawat di rumah sakit, aku membawanya jalan-jalan menghirup udara segar. Kita menyempatkan duduk sejenak di halaman rumah sakit. Saat itulah, Risma memberiku secarik kertas. Aku melihat kertas itu di corat-coret tak karuan. Awalnya aku tak mengerti. Tapi setelah aku amati lagi, yang aku lihat bukanlah coret-coretan, itu adalah sebuah tulisan. Aku membacanya.

Raka,…… 

Bolehkah aku bertanya?

Siapa kamu?

Kenapa kamu masih menemaniku?

Tidakkah itu melelahkan?

Toh, kamu Cuma teman Radit

 

Dan , Bolehkah aku bertanya lagi?

Siapa kamu sebenarnya?

Kenapa aku memimpikanmu dalam pingsanku?

Disana, di bangku itu, kita bercengkrama tanpa lelah.

Bukankah sebelumnya kita tak saling kenal?

 

Dan  satu pertanyaan terakhir,….

Kenapa aku seolah dapat melihatmu meski mataku tak dapat melihat ?

Aku pernah menanyakannya pada dokter, dan kata mereka ‘aku baik-baik saja’.

 

“ Mungkin dulu aku mendengarmu, karena perasaanku adalah alat bantu dengarku “

Last Updated on 11 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *