Dengarlah walau Engkau Tak Bisa Mendengar

Akhirnya gerbang sekolah terlihat walau beberapa kendaraan sedikit menghalangi pandanganku. Ku deraskan langkahku. Tak kudapati keramaian, mungkin hari masih terlalu pagi. Belum tampak lalu lalangnya penghuni sekolah ini, tapi dari jauh kulihat ada seseorang yang sedang duduk termenung di bangku panjang depan kelasku. Ternyata Reza, sahabat karibku yang penyabar.

”Assalamualaikum Za !”

”Eh… Walaikumsalam.” Reza tampak terkejut dengan kedatanganku. Segera ia menggeser posisinya, pertanda ia mengizinkanku duduk di sampingnya.

”Pagi-pagi kok sudah melamun Za ? Ada masalah ?” aku penasaran.

”Nggak ada kok Di, semuanya baik-baik saja. Aku hanya dengar lagu.”

“Hah ???? Dengar musik ?????” aku heran. Heran bukan buatan.

Kulirik Reza. Benar katanya. Sebuah headset hitam hinggap di kedua telinganya. Tapi baru kali ini aku melihatnya mendengar musik menggunakan headset, serius pula. Dia termasuk orang yang kurang suka dengan musik, katanya hanya buang-buang waktu. Beda denganku, walaupun perempuan tapi aku pandai bernyanyi dan bisa memainkan beberapa alat musik, salah satunya gitar.

Sering aku berdebat dengan Reza hanya karena musik. Tapi kami tetap bersahabat. Dan ini bagai keanehan sekaligus kejutan bagiku bisa melihatnya mau mendengar musik, jadi kubiarkan saja sahabatku ini menikmati musiknya sendiri tanpa diganggu oleh kehadiranku. Aku tersenyum geli melihatnya menghayati musiknya.

”Di …!” dia memanggilku. Aku menoleh.

Sebenarnya nama lengkapku Arindi Ayu Khaerani, tapi olehnya aku sering dipanggil Arindi, atau kalau dia lagi hemat berbicara, dia hanya memanggilku dengan kata Di.

”Iya Za. Ada apa ?” aku menatapnya.

”Ajari aku main gitar yah ???.” pintanya singkat dengan sedikit memelas sekaligus menahan malu.

”Kamu lagi ngigau Za ? Kamu kan nggak suka musik, kok tiba-tiba pengen diajarin main gitar ?” tanyaku heran sekaligus kaget karena tak percaya.

”Sudahlah Di, nggak usah dibahas. Kamu mau nggak ngajarin aku main gitar ?”

”Iya, iya aku mau,” kuaminkan permintaannya sembari keheranan tetap memenuhi kepalaku.

Aku menggeleng tak percaya. Tapi dia hanya melempar senyum khasnya ke arahku. Pasti akan sangat sulit mengajari orang yang tak berbakat bahkan tak berminat seperti Reza, pikirku.

                                                          ***

Sejak satu jam lalu hingga sekarang hujan masih saja deras. Mungkin Reza tidak akan datang ke rumah sore ini. Sudah hampir seminggu ia belajar memainkan gitar di rumah, dan setiap sore pula ia menyita waktu santaiku. Tapi aku ikhlas meluangkan waktu untuk sahabatku yang satu ini. Baru ingin ku tutup jendela, ku dengar deru motor membahana. Tenyata Reza. Ia mengenakan jas hujan dengan menunggangi motor bebek kesayangannya.

”Wah wah, ternyata anak mami berani juga menantang hujan deras hanya untuk belajar main gitar yah???” ledekku sembari memperhatikannya sibuk merapikan jas hujan.

”Tak usah meledek Di, ayo cepat ambil gitarmu. Dan ajari aku lagu yang kemarin.” pinta Reza sambil membenarkan posisi duduknya di kursi teras.

”Iya, iya. Dasar cerewet,” kubalasnya dengan ketus sambil berlari ke kamar. Dan tiba-tiba Ibuku datang menghampiri Reza.

”Eh ,,, Nak Reza. Sudah lama ?” tanya Ibu Arindi.

”Belum tante, ini juga baru tiba,” balas Reza sembari berdiri dari duduknya dan sedikit menundukkan kepalanya.

Reza memang anak yang sopan kepada orang yang lebih tua. Tak heran jika ia jadi anak kesayangan ibunya.

”Bagaimana kabar ibumu Za ?” tanya ibuku lagi.

“Alhamdulillah mama sehat tante,” jawab Reza dengan raut wajah sedikit lain, seperti ada kesedihan.

“Alhamdulillah kalau ibumu sehat. Oh iya, tante masuk dulu yah nak, itu Arindi sudah datang.”

“Iya Tante,” Reza menundukkan kepalanya.

“Maaf Za tadi agak lama, aku sekalian bikin minum,” tukasku sambil meletakkan secangkir teh hangat.

“Wah, wah. Cewek tomboy pandai juga bikin teh. Hahaha,” kini giliran Reza yg meledekku.

”Yaiyalah, Ibu kan baru tiba dari pasar jadi aku yang bikinin minum. Oh iya, ini gitarnya, coba kau mainkan lagu yang kemarin,” pintaku sambil menawarkan gitar kearahnya.

Dan tak segan ia langsung melantunkan lagunya. Dan tiba-tiba seisi rumah menjadi gaduh karena petikan gitarnya yang kasar ditambah suaranya yang cempreng bagaikan kaleng bekas yang dipukul sana-sini. Mengerikan pikirku.

”Waduh Za, sudah seminggu kita belajar tapi caramu memetik senar gitar tak juga bisa benar. Jarimu terlalu kasar. Sepertinya kamu memang nggak berbakat main gitar Za. Hahahahahaha,” aku tertawa puas.

”Tak ada bakat, minatpun jadi. Pokonya aku harus bisa bernyanyi sambil memainkan gitar Di,” ia optimis dan kembali memainkan gitar dengan suara cemprengnya.

Aku hanya menatapinya curiga. Sebenarnya untuk apa dia belajar bermain gitar. Dia kan tak suka musik. Tapi dia juga tak pernah mau mengatakan alasanya. Aku hanya bisa mengajarinya sambil penasaran dan geli tentunya. Aku tertawa sembunyi-sembunyi.

                                                                         ***

Sudah  hampir satu bulan  Reza belajar gitar denganku, tapi belum ada peningkatan yang berarti. Padahal kebanyakan orang, waktu sebulan mereka sudah mampu membawakan beberapa lagu. Mungkin dia memang tak berbakat, sebenarnya aku juga mulai bosan mengajarinya. Tapi melihat kegigihannya aku benar-benar salut, sampai-sampai ia membeli beberapa majalah musik dan dibawanya ke sekolah. Betul-betul gigih sahabatku yang satu ini.

Tapi sudah hampir seminggu Reza tak lagi datang ke rumah untuk belajar bermain gitar, mungkin dia sudah bosan atau bahkan menyerah. Baguslah, aku juga sebenarnya sudah mati akal mengajarinya. Tapi kabar yang kudengar ibunya lagi sakit dan dia menemaninya di rumah sakit. Dia juga sempat mengirim sms dan memberi kabar demikian, namun katanya ibunya hanya sakit ringan.

Sebenarnya aku bingung, sakit ringan tapi sampai masuk rumah sakit. Aneh juga pikirku. Tapi meskipun begitu, aku sebagai sahabat dekatnya merasa berduka. Walupun sebenarnya aku belum pernah berbicara langsung kepada ibunya karena Reza tak pernah mengajakku ke rumahnya. Tapi tetap kuniatkan untuk menjenguk ibunya, itu pun setelah acara pentas seni lagu akustik lusa nanti. Karena aku akan mengikuti pentas seni itu, dan aku harus mempersiapkan diri, paling tidak dalam dua hari terakhir.

                                                                        *****

Dan akhirnya malam itu tiba, malam dimana pentas seni yang aku tunggu-tunggu digelar. Waktunya aku memperlihatkan kepiawaianku memainkan gitar. Walaupun akan banyak pemain gitar lain yang lebih handal dibandingku, tapi aku punya nilai plus karena aku seorang perempuan dan kebanyakan peserta pentas seni ialah para kaum adam. Aku harus menampilkan yang terbaik. Sayang Reza tak bisa hadir melihatku tampil.

Acara malam ini betul-betul meriah. Penonton meluap. Riuh sorak dan tepuk tangan mendayu-dayu. Aku urutan ke-37 dari 48 peserta. Pasti akan sangat lama menunggu, apa lagi dalam keadaan tegang menunggu giliran. Tapi semoga aku bisa menguasai diri malam ini.

Dan akhirnya setelah lama menunggu tiba juga giliranku. Alhamdulillah, aku mampu menguasai panggung dengan menampilkan yang terbaik. Akhirnya malam ini bisa terlewati dengan sempurna olehku. Aku bisa segera menjenguk Ibu Reza, dan menyampaikan tentang penampilanku di pentas ini. Ditengah kebahagiaanku, tiba-tiba seseorang memanggilku dari jauh.

“Arindi …!!!” kulihat seseorang berlari ke arahku di tengah keramaian.

Aku menoleh sana-sini. ternyata Ikin, teman sekelasku. Belum juga sempat ku balas menyapanya, di menyerobot.

”Gawat Arindi, dia urutan terakhir,” ucapnya sambil menghela nafasnya yang kacau. Nafasnya kembang kempis tak karuan.

”Gawat apanya ? Siapa yang kamu maksud urutan  terakhir ?” tanyaku penasaran.

”Sahabatmu, Di …..” suara Ikin tampak samar karena nafasnya yang tak teratur.

”Aku punya banyak sababat Kin, siapa sih yang kamu maksud ?” aku makin penasaran

”Reza Di. Dia juga ikut tampil malam ini,” ucap Ikin sembari menatapku heran.

“Apa ??? Tidak mungkin dia ikut. Dia kan baru belajar bermain gitar, lagi pula dia juga belum mahir. Jangan bercanda, dia tidak mungkin ikut,” aku memekak tanda tak percaya.

Segera aku menoleh ke tempat para peserta. Dan benar saja, Reza ada di sana. Gawat, dia bisa ditertawakan karena suara cemprengnya. Aku gelisah dan sangat khawatir. Pasti penampilannya akan memalukan. Ya Tuhan, apa yang akan terjadi. Semua yang hadir disini adalah para pemusik yang cukup handal. Pasti penampilannya akan membuat mereka tertawa. Malam ini akan menjadi kacau.

Akhirnya tiba giliran Reza untuk tampil. Aku tahu, di saat yang sama para teman sekelasku yang hadir malam ini akan sangat terkejut melihat Reza tampil malam ini. Ikin yang ada disampingku pun tak mampu berkata, ia hanya menatap ke panggung dengan mulut ternganga. Kulihat Reza menaiki panggung dengan menundukkkan kepalanya. Kutatap jelas dia. Astaga mengapa rambutnya terlihat acak-acakan. Mengapa ibunya tak merapikan rambutnya. Kemeja yang ia kenakan juga tampak lusuh, ditambah wajahnya yang agak murung. Apa tak ada orang yang merapikan penampilannya di rumah?. Ini akan menjadi malam yang menyedihkan sekaligus memalukan untuk Reza, termasuk aku sahabatnya.

Yang membuatku terbelalak, tak kusangka ternyata dia akan menyanyikan lagu yang tak pernah ada di benakku, ”Right Here Waiting For You” milik Richard Max. Walaupun ia mahir berbahasa inggris, tapi lagu itu akan sangat sulit dibawakan menggunakan gitar tunggal karena lagu fenomenal itu dinyanyikan menggunakan piano. Pemain gitar hebatpun butuh waktu yang cukup lama untuk membawakan lagu itu dalam versi akustik, apa lagi pemain gitar pemula bersuara cempreng seperti Reza. Aku betul-betul tak akan mampu melihat penampilan Reza malam ini. Kuhibahkan kedua telapak tangan ke wajahku, aku tak ingin melihatnya mempermalukan dirinya.

Kudengar tepuk ria para penonton, dan segera terdiam ketika Reza mulai mengambil posisi. Aku tetap menutup wajahku. Aku khawatir, aku takut, ia pasti ditertawakan. Kudengar ia mulai memetik senar gitar  memainkan lagunya. Tak kusangka jari jemarinya menari lembut di atas senar gitarnya. Suara petikan merdu nan mempesona keluar dari gitanya. Begitu indah, petikan gitarnya begitu membuat telinga ini tersengat. Mulai ia melantunkan liriknya, suaranya begitu lirih dan mendalam. Lirik yang dia bawakan begitu lancar bersanding dengan petikan gitarnya. Semua orang terdiam, hanyut. Aku terbelalak tak percaya. Masiht erbayang bagaimana rumahku gaduh dibuatnya karena suara cemprengnya. Dan sekarang ia tampil sangat berbeda.

Kulihat, ia menitikkan air matanya. Tapi ia tetap melanjutkan lagunya. Dalam, sangat dalam ia membawakan lagu itu. Semua orang yang mendengarnya akan merasa haru dan terbawa dalam melodinya. Aku terpana, aku juga terheran-heran dibuatnya. Dan ia tetap memainkan gitarnya. Sangat mengharukan, ia seakan mampu membawa penonton ke dalam musiknya. Dan gedung menjadi hening, yang terdengar hanya suara gitar dan suaranya yang lirih. Selama kurang dari 5 menit kami dibuai oleh penampilannya, dan tak terasa lagunya pun berakhir. Sempurna. Ia berhasil membawakan lagu itu tanpa cacat sedikitpun. Tak seorangpun akan percaya bahwa ia baru saja belajar memainkan gitar. Karena malam ini ia tampil bak pemusik handal. Tak satupun penonton yang tak bertepuk tangan. Kulihat wajah Reza sembab karena air mata. Segera ia meletakkan gitarnya sembari mendekatkan microphone ke arahnya. Ia sepertinya akan mengatakan sesuatu. Penonton terdiam.

“Lagu ini aku persembahkan kepada Ibuku tercinta. Ibuku tak bisa mendengar sejak ia lahir, tapi aku mau mempersembahkan lagu untuknya. Meskipun sore ini, beliau wafat. Dan aku yakin, malam ini ibu hadir disini dan untuk pertama kalinya ia bisa mendengarku bernyanyi,” Reza tampak tak mampu menahan tangisnya, ia sesenggukan dan membuat para penonton bertambah haru. Tak ada satupun penonton malam ini yang tak menitikkan air mata termasuk aku sendiri.

Inikah kekuatan yang dinamakan kasih sayang. Reza yang begitu benci dengan musik tiba-tiba ingin belajar memainkan gitar. Dan bahkan rela menghabiskan waktunya hanya untuk belajar memetik senar gitar. Dan itu dilakukannya hanya untuk mempersembahkan sebuah lagu untuk ibunya, meskipun ia tahu ibunya tak bisa mendengar. Tak kusangka kegigihanya tersulut karena kasih terhadap ibunya. Aku tersenyum dalam tangisku.

”Terima kasih Za, kau mengajariku sesuatu yang sangat berharga malam ini,” hatiku berdecak kagum.

Editor: Putri Istiqomah Priyatna

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *