Pemberian Terakhir

|Cerpen tentang pengabdian dan kerinduan seorang anak pada ayahnya. Selamat membaca.

Hari-hari menjelang idul fitri kira-kira empat bulan setelah pertemuan terakhir Tri dengan Kak Eka, Ia sudah mempunyai cukup uang untuk membeli mobil. Ia berencana untuk membeli mobil dan di tempat yang pernah ditunjukan oleh ayahnya di Jakarta.
“Semoga saja tempatnya belum tutup” Ucap Tri saat Ia baru saja keluar dari stasiun gambirr.
Selama menjadi manager, Ia beberapa kali berkunjung ke Jakarta untuk tujuan bisnis. Tapi sekarang berbeda. Ia merasa seperti anak SMP lagi yang sedang berjalan-jalan bersama ayahnya.
Di dalam bis kota, Ia melihat sekeliling di jalan yang sama seperti 12 tahun yang lalu. Tapi bangunan yang berada di pinggirnya sudah banyak yang berbeda. Sekarang tak ada lagi jalur hijau dan terisi oleh gedung-gedung tinggi. Kekhawatiran mulai menyergapnya jika tempat itu sudah tak ada lagi. Saat bus kota berhenti di trafic light, Ia menoleh ke sebelah kiri dan terlihat show room yang sama dengan kenangannya 12 tahun yang lalu. Segera Ia turun sebelum lampu berubah dari kuning ke hijau. Ia mengangkat sedikit daun topi yang ia kenakan untuk dapat melihat lebih jelas bangunan yang ada dihadapannya sekarang. Show Room itu sudah lebih luas dan bagus. Kemudian setelah benar-benar yakin, Ia masuk ke tempat itu.

Baca:  Ceritaku (1-4)

Tampa berlama-lama, Ia langsung memesan mobil Kijang keluaran tahun 2000 seperti apa yang diinginkan ayahnya. Karena ingin membayar cash, ia harus mengambil uang terlebih dahulu di bank. Untunglah bank tersebut letaknya persis di sebelah show room.

Beberapa menit kemudian, ia sudah mengambil uang beberapa puluh juta dari tabungannya.
“Ayah, aku berhasil mewujudkan impianmu” ucap syukurnya dalam hati.
Tri menerima amplop itu dan ingin mengucapkan terima kasih ketika Ia tak sengaja melihat name tag yang ada di dada pegawai wanita bank itu. “Indah Rosalia” nama yang tertulis. Otaknya bekerja untuk mengingat arsip nama yang ada di sana. Tapi ternyata hatinya lebih cepat mendeteksinya. Seperti ada aliran kecil listrik saat pandangan mereka bertabrakan. Wajah cantik dihadapannya juga terlihat ekspresi tidak percaya sama sepertinya.
“Indah, itu benar kamu?”
“Maaf, mungkin saya salah orang. Benar mas Tri Kusumo teman saya sewaktu SMA?” Jari Indah menunjuk ke nama yang ada di buku tabungan.
“Iya ini Aku Tri teman kamu. Kok kamu bisa ada di Jakarta dan apa kamu sudah tidak….”
“Hai mas, kalo mau pacaran jangan di sini dong, banyak yang ngantri nih!” Tegur seorang ibu-ibu dari belakang Tri.
“Ceritanya panjang, nanti aku ceritakan” jelas Indah singkat.

Tri meninggalkan loket dan meminta maaf pada orang yang menegurnya tadi. Ia duduk di salah satu kursi panjang dan sesekali melirik ke arah Indah yang sedang bekerja. Indah pun sesekali memberi senyum manis. Wajah Indah sekarang sangat berbeda sekali dengan 7 tahun yang lalu. Kalau masalah cantik, itu sih tak berubah sedikitpun. Tapi auranya sekarang kelihatan lebih cerah dan penuh optimis.

Kenangan 7 tahun lalu menghujani fikirannya. Saat itu perpisahan yang tidak mengenakan setelah mereka lulus SMA.
“Aku tak mau kamu tinggalkan”
kalimat pertama yang diucapkan Indah setelah setengah jam hening. Mereka sedang berada di salah satu sudut kantin sekolah. Tri duduk dihadapannya memandangi lekat-lekat sepiring sio may yang belum disentuhnya.
“Keputusanku sudah bulat untuk melanjutkan pendidikan di Bandung.” jawab Tri dengan tidak memandang mata Indah yang sudah mulai berkaca-kaca.
“Tapi aku mencintaimu….”
“Tidak, aku tidak bisa menerimamu jika kamu belum mengikuti langkahku. Selamat tinggal”

Baca:  Romantika Cinta di Hari Merdeka

Tri berdiri dan meninggalkan Indah masih dengan tidak memandang matanya. Ia berjalan cepat keluar dari kantin. Setelah beberapa langkah di tempat yang tak terlihat oleh Indah, Ia berhenti dan berbalik. Dari kejauhan Indah terlihat sedang merunduk dan sepertinya sedang menangis. Tri tidak tega melihat orang yang dicintainya menangis, apalagi itu karenanya.
“Maaf in, aku tetap pada prinsipku sebelum kamu melepaskan diri dari barang haram itu…”.*

Jarum pendek jam dinding hampir menyentuh ke angka empat. Bertepatan dengan itu Indah mendekati Tri yang masih duduk menunggu.
“Kamu tinggal di Jakarta?” tanya Indah setelah menutup tas perginya.
“Tidak, aku di sini mau…”
Tri langsung teringat dengan apa tujuannya di kota ini. Ia bangkit dan memberi isyarat pada Indah untuk mengikutinya.
Untung saja Show room itu belum tutup. Tri mendatangi manager show room yang kelihatan sudah bosan menunggu sambil menimang-nimang kunci.
“Ah, I kira you mau tipu I,” kata manager itu saat melihat Tri datang.
Manager menghitung ulang uang yang disodorkan oleh Tri. Setelah deal, Tri menerima kunci mobil dan surat-suratnya. Tri memandang mobil baru untuk hadiah Ayahnya yang sudah bernomor kendaraan. Untuk masalah plat yang biasanya membutuhkan waktu beberapa hari, dengan sedikit uang pelicin semuanya jadi sangat cepat.
“Kamu mau pulang kan, bagaimana jika aku antar?” kata Tri ketika melihat Indah yang baru masuk.
Indah mengangguk pelan. Mereka masuk dan langsung melesat.

Di dalam mobil suasana terasa hening. Tak ada yang berani memulai terlebih dahulu pembicaraan. Sesekali Tri melirik ke kaca spion depan untuk melihat wajah Indah. Semuanya menjadi lebih baik dari terakhir mereka bertemu. Kecuali pada tatapan matanya. Dahulu tatapan mata yang begitu penuh cinta kepadanya, sekarang hambar, tak ada yang spesial. Setelah beberapa menit, Indah mulai bicara. Itu pun hanya untuk memberi tahu arah jalan menuju rumahnya. Ia sama sekali tak bertanya bagaimana kabarku, atau apalah tentang aku. Seperti ada hijab antara kami berdua yang tak terlihat.

Mereka tiba di rumah Indah. Indah tinggal bersama Ibunya yang seorang janda. Tri dipersilakan masuk dan duduk di sova. Setelah beberapa menit menunggu, seorang perempuan tua mendatanginya. Ibu Indah yang sudah mengenal Tri menyambut dengan hangat. Rupanya dia hanya tahu bahwa Tri kuliah di Bandung tanpa mengetahui hubungan mereka. Tri lama mengobrol dengan Ibu Indah sampai Indah datang dan Ia mohon diri. Indah sekarang sudah berganti pakaian santai. Kulitnya yang putih bersih dan rambutnya yang hitam panjang membuat pakaian apa saja yang dikenakan semakin mempercantik dirinya.
“Aku turut senang dengan prestasimu sebagai manager keuangan di Bandung” kata Indah membuka percakapan setelah duduk di sova.
‘Ah pasti dia tahu dari majalah brengsek itu!’ umpatnya dalam hati.
“Thanks, tapi yang lebih penting, bagaimana kabarmu selama ini. Terus apa kamu masih….”
“ternyata kamu masih seperti dulu Tri, selalu lebih mementingkan orang lain daripada diri sendiri” senyum Indah yang tidak menatap Tri sama sekali.
‘Apakah Ia ingin membalas perlakuanku waktu itu?’ tanya Tri dalam hati.
“Aku sudah tidak nge-drugs” lanjut Indah.
“Ini semua karena kamu”
“Aku, kok bisa?”
“well, aku berusaha untuk menjadi apa yang kamu inginkan. Aku berusaha keras melepaskan diri dari jeratan barang haram itu. Sambil terus memotivasi diriku bahwa suatu hari nanti pria yang dulu aku cintai akan melihatku berubah dan kembali”
Tri tak mengerti dengan kata dulu itu. Tapi semua itu terjawab saat Ia melihat setumpuk kertas undangan yang ada di meja. Ia mengambil salah satunya yang ternyata berisi surat undangan pernikahan antara Indah dengan pria yang tidak dikenalnya.
“Itu undangan pernikahanku dengan Rendy teman satu kantor” kata Indah setelah melihat Tri memegang selembar dari tumpukan surat undangan.
Entah mengapa Tri tidak merasa cemburu atau tidak suka. Mungkin memang Ia adalah orang yang dulu Indah Cintai dan sekarang pun Ia sudah mengikhlaskan kebahagian Indah untuk orang lain. Kebahagian yang lebih utama lagi adalah karena Indah sudah tidak kecanduan lagi sehinga dapat hidup dengan normal.
“OH, congratulation ya!. Tapi boleh kan aku ambil satu?”
Indah sekarang menatap mata bahagia dari Tri dan Ia tersenyum.
“Thanks ya, aku pasti datang ke moment bahagia dari sahabat terbaikku ini. By the way, boleh kan aku menginap di Sova ini semalam?” pinta tri dengan nada yang dimanja-manjakan.
“Oh kalau buat anak manja seperti kamu sih pantasnya di kandang ayam sebelah!”
Mereka pun tertawa terbahak-bahak. Tri menikmati saat-saat ini. Mereka seperti dua sahabat yang lama tidak bertemu. Tak ada dendam, tak ada amarah.

Baca:  Laras Sang Embun Hitam
Bagikan artikel ini
Dimas Prasetyo Muharam
Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

Articles: 313

3 Comments

Leave a Reply