Pemberian Terakhir

Sebenarnya Tri dipersilahkan oleh Ibu Indah untuk tidur di kamar tamu. Tapi Ia tertidur karena kelelahan setelah membantu menulis nama-nama teman SMA yang akan diundang. Pada tepat jam 2 dini hari, Handphone tri berdering. Tri terbangun malas dan saat ingin mengangkat panggilan itu baterainya habis dan pangilan terputus. Tri tertidur kembali pulas tak perduli.*

Teriakan anak-anak mengajak sahur membangunkannya. Ia bangun dengan perasaan yang tidak enak.
“Ada apa ya, sepertinya ada yang tidak beres. Ah, mungkin ini hanya perasaan saja”
Saat mentari pagi sudah agak tinggi, Tri pamit kepada Indah dan Ibunya. Ia janji akan menemui Indah untuk bantu-bantu mempersiapkan acara pernikahan setelah pulang dari Solo.

Di perjalanan ia bersyukur tidak menemui halangan yang berarti. Karena jalur pantura yang Ia lalui macet di hari-hari menjelang Idul Fitri ini. Sehingga perjalanan yang normal dapat ditempuh selama 12 jam, bisa molor menjadi 18 jam lebih. Saat sedang beristirahat mengisi bensin di Cirebon, Ia menemui handphonenya tidak aktif karena baterainya habis. Ia lupa tidak mengisinya sebelum berangkat tadi. Merasa memang Ia tak ingin diganggu, Ia memasukannya kembali ke dalam saku.

Tepat sehabis sholat subuh, Mobil Tri memasuki kawasan kota Solo. Masih satu jam lagi untuk mencapai ke rumah orang tuanya.
“ayah pasti akan senang melihat apa yang aku bawa”.

Sinar mentari tua perlahan tapi pasti berhasil menerangi kota yang sudah siap untuk beraktifitas. Mobil Tri tiba di depan halaman rumah kuno peninggalan kakek neneknya. Ia berjalan santai menuju ke pintu rumah dan terlihat Ibu Tri keluar dari dalamnya. Tampak senyum dari wajahnya yang lesu ketika melihat Tri yang datang. Tri langsung memeluk Ibunya itu dan bertanya di mana ayah. Tapi Ibu tidak menjawab malah memalingkan wajahnya ke arah Kak Eka yang muncul di ruang tamu bersama Fika dan Fiko anak kembarnya. Tri memeluk Kak Eka dan kedua keponakannya yang lucu-lucu itu.
“Kak Eka, ayah di mana?” Tanya Tri kembali.
Kak Eka mematung tak bicara. Ia dan Ibu menukar pandang tak bersuara.
“Loh om Tri aneh sih, kakek kan sudah…” ucapan Fika terputus saat Kak Eka menyuruh anaknya diam.
Tri merasa ada kejanggalan di antara mereka semua. Ia berkeliling rumah untuk mencari keberadaan Ayah. Tapi saat melihat ke kamar Ayah yang dilihatnya terakhir 5 tahun yang lalu, perubahan terjadi di sana. Kamar itu kosong dari perabot. Pakaian dan semua barang-barang pribadi ayah tak terlihat di seluruh sudut kamar. Tri mulai merasa tidak enak. Kak Eka muncul di belakang dan memberi isyarat untuk mengikutinya. Tri mengikuti Kakaknya tanpa protes. Ia berjalan ke luar rumah dan setelah sepuluh menit, Kak Eka menghentikan langkahnya di depan pemakaman umum.

Tri tidak percaya dengan apa yang dimaksudkan Kak Eka, tapi Ia berusaha mengerti. Spontan Tri berlari ke tengah kompleks pemakaman. Ia berhenti dan berteriak kepada Kak Eka yang masih berada jauh di belakang.
“Di mana Kak!!”
Kak Eka menunjuk ke satu arah dan Tri menuju ke sana. Serasa jantungnya naik ke leher, Ia melihat batu nisan yang bertuliskan nama ayahnya. Ia pun berlutut dan tak tertahan lagi air mata yang segera membanjir keluar.

Semua sudah terlambat
Tak ada lagi cinta dari seorang ayah
Mencoba menantang kasih mentari
Tak terbalaskan semua pedih dan beri.

Satu jam Kak Eka menunggu Tri yang menangis dan berdo’a di atas makam ayah. Saat hari mulai terik, Kak Eka menyentuh bahu Tri mengajaknya pulang. Tri menuruti ajakan kakaknya. Sambil mengelap Air mata di pipi, Tri mulai bangkit berdiri.
“Oh iya, tunggu kak!” cegah Tri ketika Kakaknya sudah mulai berjalan.
Tri kembali berlutut di pinggir makam ayahnya. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku. Di ambilnya salah satu kunci cadangan mobil yang bermaksud sebagai hadiah untuk ayah. Kunci itu Ia genggam dan berbisik di tangannya.
“Ayah, maafkan aku belum sempat membalas kasihmu. Semoga Allah membalas kebaikanmu yang tak ternilai”
Tri membuat sedikit celah di tanah makam. Kemudian dipendamnya kunci itu dalam-dalam.

Last Updated on 13 tahun by Dimas Prasetyo Muharam

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

3 komentar

    1. oo, itu bukan bersambung. cuma dibagi2 ke dalam beberapa bagian saja. klik saja halaman berikutnya. itu biar loading tidak terlalu berat saja. anyway, thanks sudah baca 🙂

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *