CITRA LEMBAYUNG

Udara di rumah itu berubah drastis. Aroma hujan yang tadinya sangat disukai Aba kini mengembalikan pada peristiwa 40 tahun lalu. Suara letupan seperti mercon, dan teriakan-teriakan orang-orang yang marah dan tangisan minta tolong Emak membawa suasana hati Aba tak menentu. Dalam lubuk hatinya, ia ingin melihat apa yang terjadi waktu itu, hanya saja Aba memang terlahir tidak melihat. Sejak dilahirkan, hingga sekarang Aba tetap memendam luka dalam ingatannya. Suara parau Emaknya, mengiringi hidup Aba selama ini. Hingga Putri satu-satunya mengingatkan kembali ke masa itu. #Cerpen #KisahKlasikMasaLampau

Tahun 1970. Kejadian pagi ini tidak pernah membuat anak itu menyesal. Malah ia sangat senang melakukannya. Ia telah melakukannya berkali-kali, di tempat yang berbeda-beda. Hanya saja, rasanya kali ini berbeda. Anak itu telah dewasa, ia tahu kali ini Abanya sudah pada batas kesabarannya. Namun, anak itu tetap merasa perbuatannya tadi pagi benar.

“kenapa kau ini? Coba lihat! Gigi rontok, hidung patah, dan muka-mukanya lebam-lebam. Itu semua terjadi pada anak laki-laki. Tidak hanya satu tiga siswa kau hajar bersamaan. Itu sangat mengerikan. Apa Aba pernah mengajarkanmu untuk menghajar anak laki-laki di sekolah, Lembayung?”

Sontak Lembayung kaget, Ia tidak pernah dipanggil dengan nama belakangnya sebelumnya. Yang ia tahu, Abanya hanya memanggilnya dengan Putriku atau anakku, terkadang pula, dengan nama depannya. Tapi kali ini berbeda, amarah itu benar-benar diekspresikan oleh Abanya dengan sangat elegan. Namun, Lembayung telah siap menerima segala bentuk ceramah dari Abanya.

“mereka menghina Aba….” jawab Lembayung.

“mereka mengejekku bahwa aku adalah anak orang buta yang tidak bisa apa-apa” lanjut Lembayung.

“jadi, kau percaya perkataan mereka??” pangkas Aba Lembayung.

“tentu saja tidakk….!!! aku tahu Aba meski tak dapat melihat, Aba seorang musisi dan tukang pijat, dan Aba juga telah merawatku hingga dewasa seperti ini” jawab Lembayung menimpali.

“lantas, kenapa kau pukuli mereka? Kau tahu, hanya karena Abamu ini bersaudara dengan Kepala Sekolah, kau masih dapat bersekolah di tempat itu. Tapi jika terjadi lagi, Pamanmu juga tak dapat menolong kau. Lembayung mengertikah dirimu putriku?” seru Aba.

Dengan sedikit terisak sambil menahan tangis Lembayung menjawab, “mereka juga bilang, kalau Aba adalah dukun santet, budak setan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan jin”

“apa-apaan kau ini, tadi kau mengatakan bahwa Abamu ini tidak bisa apa-apa. Sekarang kau bilang mereka menganggap Aba ini palayan setan dan dukun santent, begitu, apa kau berbohong pada Aba kali ini?????” balas Aba.

Langit sore yang menahan hujan kini tak lagi dapat terbendung. Air pun turun membasahi bumi. Bebarengan dengan turun hujan, Lembayung meneteskan air mata sambil menatap nanar Abanya. Menahan isak tangisnya, Lembayung pun berteriak.

Baca:  Wanita Berselendang Pelangi

“apa Aba tahu, mereka juga menyebut Aba itu kualat gara-gara Bapak Aba yang dulunya adalah pemberontak. Orang yang melawan negara pasti kualat kata mereka begitu, dan aku tidak berbohong.”

“jaga bicaramu terhadap Almarhum Kakekmu” teriak Aba keras.

“bukan aku yang bilang tapi mereka!!” jawab Lembayung tak kalah kerasnya.

“sudah berapa kali aku cerita, Kakekmu bukan pemberontak, Dia adalah pejuang kemerdekaan.”

“KATAKAN ITU PADA MEREKA…..!!!!” Teriak Lembayung.

“buktikan itu… Buktikan jika Aba bukan anak pemberontak!”

Udara di rumah itu berubah drastis. Aroma hujan yang tadinya sangat disukai Aba kini mengembalikan pada peristiwa 40 tahun lalu. Suara letupan seperti mercon, dan teriakan-teriakan orang-orang yang marah dan tangisan minta tolong Emak membawa suasana hati Aba tak menentu. Dalam lubuk hatinya, ia ingin melihat apa yang terjadi waktu itu, hanya saja Aba memang terlahir tidak melihat. Sejak dilahirkan, hingga sekarang Aba tetap memendam luka dalam ingatannya. Suara parau Emaknya, mengiringi hidup Aba selama ini. Hingga Putri satu-satunya mengingatkan kembali ke masa itu. Ia tahu selama ini, ia tidak dapat menjelaskan siapa Bapaknya dan sebenarnya bagaimana asal usul keluarganya. Aba hanya tahu kejadian yang menimpanya dan pesan terkhir Emaknya untuk tetap percaya pada cerita-cerita perjuangan Bapaknya.

Meski penginderaan itu terhalang sesuatu yang tak dapat digambarkan kepada siapapun. Aba tahu, jika ia tidak dapat menyembunyikan air matanya. Diiringi oleh tempo tetasan air hujan yang masuk ke rumah, air mata itu terus mengalir di kulit pipinya yang kecoklatan. Saat ini, hal yang paling diinginkan Aba adalah membentak anak itu. Namun ia sadar bahwa hanya putrinya, Citra Lembayung adalah satu-satunya kebenaran yang Ia miliki, satu-satunya kebenaran yang mengiringinya, dan satu-satunya kebernaran yang membuatnya bertahan setelah kepergian Bapak dan Emaknya. Bahkan, kepergian Istrinya setelah melahirkan Lembayung membuatnya yang selama ini berpikir untuk lebih keras berjalan di tengah kegelapan dunia, meski terkadang Ia harus kerepotan menjelaskan kecantikan Ibunya ketika ditanya oleh Lembayung.

Bersandar pada kursi reotnya, Aba bertanya dengan intonasi yang rendah namun tetap tajam.

“Dengar Putriku, apa yang kau inginkan?”

“Aba hanya ingin kau sekolah hingga menjadi seorang Insinyur atau seorang Dokter.” Tambahnya.

“Aku hanya ingin membela Aba” jawab putrinya.

“kalau begitu, bela Abamu ini dengan diammu dan teruslah bersekolah” ujar Aba tajam.

“peduli apa aku dengan sarjana, jika saat ini saja aku harus diam. Lagipula kenapa harus diam, orang-orang seperti itu pantas mendapat pelajaran”

Lembayung telah siap dengan seluruh konsekuensi. Ia akan tetap membela Abanya meski Abanya tidak ingin dibela. Lembayung telah siap bahwa kata-kata yang akan terlontar dari mulutnya akan membuat hati Abanya sakit. Namun, Ia sudah tidak kuasa. Ia sangat jengkel bukan kepayang. Aba yang telah dibelanya menganngap dirinya berbohong dan menyuruhnya untuk diam saja.

“kenapa harus diam saja, tidak ingatkah Aba dengan perjuangan Mbah Kakung??”

Aba sontak berdiri dan berteriak menimpali tanya Lembayung, “Diam…!!!!”

Baca:  Catatan Simpang Tiga

“Sudah berapa kali Aba katakan, jangan berbicara seperti itu terhadap Almarhum Mbah Kakungmu!”

Lembayung kaku terdiam mendengar gelegar suara Abanya yang keras. Air mata yang mulai mengering, kini mengalir dengan deras. Ia tak menyangka Aba akan sekeras ini terhadapnya. Selama tujuh belas tahun hidupnya tidak pernah merasakan amarah yang sedashyat ini.

“kalau begitu, jika Aba ingin aku diam, berdoalah biar aku buta seperti Aba, mungkin juga aku akan diam seperti Aba.” Teriak Lembayung.

“Gusti Allah lebih tahu siapa yang lebih pandai untuk hidup tidak melihat daripadamu. CAMKAN ITUU…….!!!!” jawab Aba.

“tapi, Aba tidak akan pernah tahu rasanya sakit melihat orang yang aku sayangi harus dihina…. AKU BENCI ABA…!!!!”

Lembayung berlari meninggalkan Abanya sendiri di ruang tengah menuju kamarnya. Sambil terisak, Lembayung meraih gagang pintu dan menguncinya. Tak pernah Lembayung merasa seperti ini. Ia sangat membenci Abanya. Ia tak peduli harus menjadi apa kelak yang Ia tahu hanya, bagaimana menyerang orang-orang yang menghina Abanya. Di atas kasur yang jauh dari kemewahan, Ia menangis dan menyesali sabar dan diam Abanya terhadap orang-orang yang tidak adil kepada keluarganya.

Setelah beberapa menit terdiam dan menangis di atas kasur. Terdengar ketukan lembut dari pintu kamarnya. “Nak, Aba minta maaf jika Aba telah membentakmu….”

Suara itu yang ditunggu oleh Lembayung. Suara dengan intonasi menenangkan, suara yang selama ini mengayomi rumah meski penuh keserdehanaan, suara yang sangat dirindukan, suara yang saat ini Lembayung akan berbuat segalanya untuk mendengarkannya. Kendati begitu, Lembayung tidak segera membukakan pintunya. Sampai akhirnya terdengar suara dobrakan yang lebih keras dari pintu depan rumahnya.

Lembayung pun sontak kaget mendengar suara itu. Selang dobrakan itu, suara seorang pria menyeruak memanggil-manggil nama Abanya.

“Suroso, di mana Kau….!!!!”

Lembayung pun berdiri namun masih terkaku pada tempatnya. Ia ingin sekali membantu aAbanya melihat siapa yang datang, namun Ia ragu ada ketakutan dalam hatinya. Suara yang memanggil Abanya, bukanlah suara yang dikenalinya. Kembali lagi Lembayung tersentak dengan kengerian, kali ini suara kesakitan Abanya yang Ia dengar dari balik pintu kamarnya. Tanpa berpikir panjang, Lembayung pun berlari dan segera membuka pintu kamarnya.

Betapa kagetnya Ia ketika melihat Abanya jatuh terlentang di hadapannya. Darah segar mengalir dari hidung mancung yang terlihat aneh. Ada gigi-gigi yang tanggal di lantai. Pipinya bengkak seperti terhantam benda tumpul. Tampak di hadapan Lembayung dua orang mengenakan jas hujan berwarna hitam sedang tertawa terbahak-bahak. Salah satunya menodongkan bedil yang sering Lembayung lihat di sebuah film yang diputar pada tanggal tertentu di televisi hitam putih di kantor Kelurahan. Ia ingat betul bentuk bedil itu, namun ia tidak dapat mengatakan jenis dan merk senjata itu. Moncong bedil itu diarahkan tepat ke wajah Abanya yang terbaring terlentang kesakitan di lantai. Salah satu orang berjas hujan itu, berbalik kepadanya. Meski Ia tahu salah seorang itu melihat kepadanya ,namun Ia tak dapat melihat jelas wajah di balik tudung jas hujan tersebut.

“Lihat dia. Lihat gadis cantik itu, apa dia anakmu, apakah kau tahu, kau punya anak yang cantik…??” kata salah seorang misterius itu.

Baca:  Aku, Biru Putihku

Dengan tersengal, Aba memohon “jangan, jangan…. Jangan bunuh anakku…”

“Nak… lari dari sini selamatkan dirimu…..”

Aba mencoba sekuat tenaga berteriak, tapi suaranya tidak jelas dengan banyaknya darah yang keluar dari mulutnya.

Lidah lembayung yang keluh ingin rasanya berteria, “jangan sakiti Abaku”. Namun, Ia kesulitan mengeluarkan suara, Ia sangat ketakutan, badannya kaku terdiam sambil menatap penjahat yang melukai Abanya. Hingga salah seorang dari mereka berkata.

“habisi orang tua itu!”

Seketika suara ledakan mercon itu membangunkan Lembayung dari tidurnya. Keringat membasahi tubuh Lembayung. Ia merasa tenang bahwa yang dialami tadi adalah mimpi buruk, sampai akhirnya Ia mencoba menegakan badan dan dilihat pintu kamarnya masih tertutup rapat. Dilihatnya jam beker usang pemberian Abanya itu. Jam setengah dua belas. Ia berpikir harusnya aku meminta maaf pada Aba. Jika Aba belum tidur, biasanya Aba akan meminta untuk dibuatkan secangkir kopi. Kembali Ia menatap pintu yang tertutup rapat itu. Muncul keraguan dalam dirinya. Ada sesuatu yang menganjal di hatinya. Tak biasanya rumah sesepi ini pikirnya. Lembayung selalu dengar Abanya mengorok atau jika Abanya tidak bisa tidur dia akan memainkan sulingnya, atau terkadang Aba mengobrol bersama di teras rumah sampai waktu sholat Subuh. Kali ini, rumah sangat sepi, seperti tidak ada seorang pun di rumah itu selain dirinya. Tiba-tiba ketakutan menjalri sekujur tubuhnya. Ia merasa nafasnya terasa berat. Sampai akhirnya, Ia mendengar suara, bukan suara Abanya tapi suara seorang perempuan yang sangat familiar memangil namanya.

“Nak… Nak Citra…..”

Dengan tergesa, Ia membuka pintu kamar dan berlari menuju pintu depan di rumah yang kecil itu. Terkejut Ia menemukan tetangganya, Bulek Siti dan beberapa orang berada di belakangnya.

“Nak… Abamu Nak citra.. Abamu…..” seru bulek Siti.

“kenapa Aba , Bulek?” tanya Lembayung bingung.

“Abamu diangkut ke truk bersama Rusdi dan Karman””mereka bilang ada pembersihan dari ilmu hitam Nak, beberapa dari kami yang menghalangi dan berusaha menjelaskan bahwa abamu bukan seorang dukun ikut dihajar pula.” Imbuh Bulek Siti.

“siapa mereka Bulek dan Aba dibawa ke mana?”tanya Lembayung histeris.

“tidak tahu, mereka membawa bedil Nduk, bedil yang sangat menakutkan. Mereka yang membawa Abamu mengenakan jaket hitam dan celana jeans. Rambut mereka gundul Nduk. Mereka menangkap banyak orang di kampung Aba, Rusdi dan Karman yang dibawa yang melawan seperti Pak Giman juga diangkut Nduk….”

Lembayung terhayung. Matanya terhayung di pelukan Bulek Siti. Matanya terasa panas. Dengan terisak-isak Lembayung menyebut terus Abanya. Dalam penuh kekalutan dan keputusasaan, Lembayung tahu bahwa mimpinya menjadi kenyataan. Ia tidak pernah membayangkan bahwa hari ini adalah hari terakhir Ia melihat dan mendengar suara Abanya.

Memori kejadian itu terpatri hingga lima belas tahun setelahnya. Bagi Lembayung, Aba adalah segalanya. Mungkin, Ia tak pernah tahu Abanya akan memaafkan dirinya. Namun, hanya satu yang Ia tahu, dirinya akan selalu mencintai Abanya. Meski bukan seorang Dokter atau Insinyur, Lembayung mencoba jalan lain untuk tetap menjadi seorang Sejarahwan, demi membuka batasan-batasan indera yang tidak dapat digambarkan oleh kekuasaan.

*TAMAT*

 

Download:

Citra Lembayung by Dendy Arifianto

Bagikan artikel ini
Dendy Arifianto
Dendy Arifianto

Aku berfikir, karena itulah aku ada.

Articles: 2

6 Comments

Leave a Reply