Jakarta, Kartunet – Debat terakhir di Pilgub DKI 2017 menghadirkan banyak janji untuk pemilih disabilitas. Pada dasarnya semua kandidat punya komitmen yang baik untuk perbaikan kota yang lebih ramah difabel, akan tetapi ada beberapa hal yang masih dirasakan kurang mengingat keterbatasan durasi debat.
Pertama, ada yang dilupakan kandidat ketika bicara soal sarana transportasi yang aksesibel, yaitu pembangunan inklusif yang holistik. Tidak cukup hanya dengan ada ramp untuk kursi roda maka sebuah halte atau jembatan penyeberangan dikatakan sudah ramah difabel. Perlu ada petugas pengawasan pembangunan yang tahu standar universal design dan perspektif disabilitas, sehingga jangan sampai sebuah halte sudah ada ramp, tapi jarak antara platform halte dan lantai bus ketika berhenti sangat jauh, jadi menyulitkan pengguna kursi roda untuk naik. Selain itu, SDM petugas yang melayani pun harus terlatih jadi tak kebingungan ketika membantu penyandang disabilitas.
Perihal aksesibilitas bangunan publik pun kurang diangkat oleh para kandidat. Padahal gedung pemerintah atau swasta yang belum aksesibel, sering menjadi alasan penolakan penyandang disabilitas dilayani atau bekerja. Banyak kasus penolakan siswa berkebutuhan khusus oleh pihak sekolah hanya karena gedung tidak dilengkapi lift atau ramp untuk pengguna kursi roda. Atau alasan klise perusahaan tak menerima karyawan dengan disabilitas, karena lokasi kerja di lantai atas yang sulit dijangkau. Berbagai kendala tersebut seyogyanya dapat diatasi oleh pemerintah jika melakukan pengawasan terhadap standarisasi gedung dan bangunan publik yang akses untuk semua.
Lebih jauh, aksesibilitas tempat ibadah pun yang merupakan kebutuhan rohani sangat mendasar pun tak terjamah. Ironis ketika isu agama mencuat di perhelatan Pilkada tahun ini, tapi tidak diungkapkan itikad untuk menjadikan tempat-tempat ibadah dapat diakses oleh para tunanetra dan pengguna kursi roda, atau bagaimana adanya penerjemah bahasa isyarat saat khutbah Jum’at. Untuk banyak masjid di Jakarta, sangat menyulitkan untuk pengguna kursi roda masuk karena jalur berupa tangga berundak.
Tentu saja aksesibilitas fisik tersebut juga harus disertai dengan pemahaman yang baik pihak pengelolanya. Misal di lantai ada guiding block untuk pejalan kaki yang tunanetra, jangan malah diletakkan pot-pot tanaman karena tak paham apa fungsinya. Atau sempat ada pengguna kursi roda yang dicegah untuk masuk musholla oleh merbot (penglola masjid) karena dikira kursi rodanya kotor.
Sektor lapangan kerja menjadi salah satu fokus utama yang diangkat saat debat. Akan tetapi perspektif para kandidat untuk memberdayakan penyandang disabilitas nampaknya belum sepenuhnya inklusif. Beberapa kali mereka hanya menyebutkan bahwa penyandang disabilitas dapat dipekerjakan pada bidang-bidang yang sifatnya non-karir atau honorer. Padahal saat ini penyandang disabilitas sudah cukup banyak yang mencapai pendidikan tinggi, dan layak juga menjadi birokrat dalam pemerintahan.
Latar belakang pendidikannya pun tidak seperti beberapa tahun lalu yang hanya bidang kesejahteraan sosial. Hal ini seharusnya dipandang lebih luas oleh para kandidat dan memberikan kesempatan para difabel yang memiliki kualifikasi agar benar-benar setara dengan lainnya. Tak boleh lagi alokasi formasi CPNS harus diberikan persyaratan jenis disabilitas tertentu. Tentu hal itu akan membatasi penyandang disabilitas yang pendidikannya memenuhi syarat di bidang lain, tapi tak dapat masuk karena alokasi untuk penyandang disabilitas bukan di formasi tersebut.
Terakhir, masih ada persoalan mindset yang belum sepenuhnya inklusif ketika bicara mengenai pelibatan penyandang disabilitas. Bahwa sudah seharusnya tiap kebijakan yang akan menyasar pada sebuah lapisan di masyarakat, seyogyanya kelompok tersebut dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengawasannya. Akan tetapi hal itu tidaklah cukup. Penyandang disabilitas masih belum sepenuhnya dianggap sebagai bagian dari subjek pembangunan.
Yang ideal adalah kelompok difabel bukan hanya dijadikan narasumber dalam proses konsultasi, tapi juga diberi kesempatan untuk jadi subjek aktif di dalamnya. Mereka juga harus ada di badan pemerintah yang menangani pendidikan, pekerjaan umum, transportasi, kesejahteraan, dll. Sebab ketika mereka memang berada di dalamnya dan mengerjakan hal tersebut, dampaknya akan berbeda ketika hanya dilibatkan sebagai narasumber atau pihak pengawas. Jika demikian maka masih ada kesan bahwa penyandang disabilitas sebagai objek belaka.
Tentu siapapun kandidat yang terpilih untuk Jakarta 2017, semua kebutuhan penyandang disabilitas dapat diakomodasi dengan baik. Menempatkan penyandang disabilitas sebagai warga kota yang bukan sekedar objek, tapi juga subjek aktif dan setara.(DPM)