Diskriminasi SNMPTN 2014 Ditanggapi Berbeda oleh Perguruan Tinggi

Jakarta – Protes keras dari komunitas disabilitas mengenai persyaratan di SNMPTN 2014 yang dinilai diskriminatif mendapat tanggapan berbeda. Ada yang langsung bereaksi dengan menghapus persyaratan-persyaratan yang dianggap diskriminatif, tapi ada juga yang masih mengkajinya dan menganggap bahwa persyaratan tersebut demi kepentingan mahasiswa disabilitas.

Di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, sesaat setelah kasus ini mencuat, ada inisiatif dari perwakilan mahasiswa dan UKM Peduli Difabel untuk melakukan audiensi dengan pihak rektorat. Pertemuan itu menghasilkan beberapa pemahaman yang diantaranya bahwa pihak universitas menyadari mungkin ada rasa iba yang berlebihan sehingga aturan tersebut ada, dan berjanji untuk menghapus persyaratan tidak disabilitas tersebut dari SNMPTN 2014. Setelah dicek hari ini di situs resmi SNMPTN.ac.id (20-03), persyaratan tersebut tidak lagi ditemui pada jurusan-jurusan rumpun IPS, akan tetapi masih ada beberapa di rumpun IPA.

Berbeda dengan UGM, Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) mengatakan dalam Okezone.com (19-03) bahwa mereka masih akan mengkaji ulang ketentuan tersebut. Humas SNMPTN dari ITS Dr. Ismaini Zain, memaparkan, kontroversi ini masih dikaji mendalam oleh ITS. Meski demikian, Ismaini tidak menyatakan ITS melarang penyandang disabilitas melamar ke ITS.

“Sebenarnya, kami selama ini menerima penyandang disabilitas, tapi sifatnya terbatas, karena kebutuhan masing-masing jurusan,” ujar Ismaini, seperti dikutip dari Antara, Rabu (19-03).

Humas SNMPTN kampus yang berlokasi di Suarabaya tersebut menegaskan, pihaknya merespons keberatan para penyandang disabilitas tentang persyaratan tersebut. Kontroversi ini muncul, kata Ismaini, adalah karena daftar isian pendaftaran SNMPTN 2014 memuat persyaratan khusus tersebut. Akibatnya, protes banyak kalangan pun mencuat.

“Kami akan melakukan kajian, tapi bukan untuk SNMPTN 2014, melainkan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2014,” tutur Sekretaris Lembaga Pengembangan Pendidikan, Kemahasiswaan, dan Hubungan Alumni ITS itu.

Dalam situs resmi SNMPTN.ac.id, ITS memang tidak mensyaratkan sebuah jurusan tidak menerima penyandang disabilitas sama sekali. Akan tetapi minimal ada satu jenis disabilitas yang masih dilarang masuk jurusan-jurusan di ITS. Contoh seperti di jurusan Managemen Bisnis, masih ada persyaratan kode 1 atau tidak boleh tunanetra. Padahal secara logika, tunanetra memiliki kemampuan untuk mengembangkan bisnis apalagi dibantu dengan teknologi komputer dan internet.

Sedangkan di PTN lainnya, juga ada perubahan yang signifikan. Sudah banyak persyaratan yang dihapuskan meski tidak seluruhnya. Seperti di Universitas Indonesia, pada jurusan Psikologi sudah tidak ditemui lagi persyaratan mengenai disabilitqas. Akan tetapi untuk jurusan-jurusan rumpun IPA masih ditemui persyaratan yang tak jauh berbeda. Sama halnya dengan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), memang sudah ada perubahan tapi belum menyeluruh.

Perbedaan reaksi ini merupakan hasil dari belum tercapainya kesepahaman antara pihak program studi di masing-masing PTN dengan komunitas disabilitas yang paham pada isu tersebut. Sebelum menentukan akan menghapus atau tidak, seyogyanya ada dialog agar pihak akademik paham seperti apa perkembangan yang ada di penyandang disabilitas saat ini. Dengan dukungan teknologi, bukan jadi masalah lagi bagi tunanetra misalnya untuk membaca dan menulis digital. Begitu pula dengan disabilitas lainnya yang perlu didengarkan keinginan mereka dan diakomodasi oleh PTN.

Selain itu, yang patut menjadi perhatian adalah bagaimana kesiapan siswa-siswa berkebutuhan khusus di sekolah menengah atas agar mampu bersaing pada seleksi yang sifatnya nasional atau lokal masuk PTN. Sistem pendidikan inklusif harus dapat mengakomodasi kebutuhan tersebut, dan memberikan bimbingan khusus bagi mereka agar lebih kompetitif. Jangan sampai persyaratan telah dihapus seluruhnya, tapi minim jumlah penyandang disabilitas yang dapat menembus seleksi nasional yang dikenal sangat ketat.(DPM)

Last Updated on 6 tahun by Redaksi

Oleh Dimas Prasetyo Muharam

Pemimpin redaksi Kartunet.com. Pria kelahiran Jakarta 30 tahun yang lalu ini hobi menulis dan betah berlama-lama di depan komputer. Lulus dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia 2012, dan pernah merasakan kuliah singkat 3 bulan di Flinders University, Australia pada musim semi 2013. Mengalami disabilitas penglihatan sejak usia 12 tahun, tapi tak merasa jadi tunanetra selama masih ada free wifi dan promo ojek online. Saat ini juga berstatus PNS Peneliti di Puspendik Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Kunjungi blog pribadinya di www.dimasmuharam.com.

2 komentar

    1. Alhamdulillah kalo sudah kembali ke jalan yang benar. hehe. tapi jangan lupa, hal terpenting adalah agar bagaimana makin banyak penyandang disabilitas yang dapat mengenyam pendidikan di perguruan-perguruan tinggi yang memang disubsidi oleh negara. Harus ada upaya peningkatan kualitas sejak di SMA inklusif agar mampu bersaing dalam seleksi nasional, atau affirmative action untuk memberikan akses khusus sementara bagi calon mahasiswa disabilitas. itu yang jauh lebih penting dari sekedar menghapus diskriminasi. Sebab hanya dengan tangan-tangan kita sendiri stigma itu akan berubah lambat laun

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *