Pernahkah kamu berada pada sebuah situasi, dimana kematian seakan sudah di ambang kerongkongan? Jika ya, masih ingat dong apa dan bagaimana rasanya? Ya, sekelumit kisah ini mungkin akan sedikit memberi gambaran, kalau-kalau suatu waktu akan terjadi pula pada kamu kartuneters!
Saat itu seminggu pasca idul fitri 2 tahun lalu. Udara sore yang kurang bersahabat karena tumben terasa sedikit panas, membuat aku meneguk beberapa gelas minuman berkadar gula. Kalau gak salah namanya ‘ale-ale’. Sambil asik minum aku bersama beberapa ponakan terus menonton siaran TV. Perlahan namun pasti, aku mulai merasakan nyeri pada ulu hati.
Awalnya yang hanya terasa sesekali masih aku abaikan dengan mengusap atau posisi tidur yang miring kanan miring kiri. Namun tak sampai 15 menit, rasa nyeri berubah menjadi rasa sakit yang hebat.
Karena aku tak mau mengganggu orang rumah, akupun memutuskan pergi ke kamar, mengunci rapat pintu lalu mebaluri perutku dengan minyak angin sebanyak-banyaknya. Aku merasakan bagian permukaan perut sedikit panas ditambah kembung dan tentu rasa sakit yang sudah merata. Dalam seleimut aku berdoa agar sakit yang kukira mag itu cepat berlalu. Namun sampai setengah jam bukannya makin membaik, perutku malah semakin sakit sehingga aku tak bisa lagi menahan untuk tidak menangis.
Mula-mula aku hanya merintih guna menutup rasa sakit karena tak mau mengganggu ibu yang saat itu juga beliau dalam kondisi kurang sehat. Sayangnya, rasa sakit yang tak mau kompromi membuat rintihan harus berubah jadi tangis yang cukup keras. Jelas itu didengar oleh ibuku yang tengah beristirahat di kamar sebelah. Ibuku datang, dia sigap menolong dengan mengurut, mengelus-elus sampai menempelkan botol air panas di atas perutku. Memang begitu kebiasaanku saat mag kambuh atau merasakan mules saat menstruasi. Saat itulah aku bisa sedikit mereda tangisan dan rintihan, semata-mata karena ibuku sudah ada membantu dan keberadaannyalah yang membuat aku sungkan untuk berkeluh kesah demi menjaga fikirannya.
Namun apa mau dikata, karena sepertinya rasa sakit yang aneh itupun tak mau beranjak. Malah semakin larut malam semakin menyengat pori-pori lambungku. Saat itu aku sudah tak bisa mengendalikan diri, bergulingan di lantai sambil menjerit-jerit membuat semua orang rumah panic.
Akhirnya ibuku memanggil saudara sepupu untuk mengantar ke dokter. Tetap didampingi ibu akupun berangkat ke rumah seorang mantri desa yang rumahnya cukup jauh dari rumahku. Setibanya di sana mantri itu tidak lantas memeriksa lambungku, dia hanya memberi beberapa tablet obat dan menyuruhku pulang. Dengan sabar dan antosias untuk sembuh akupun meneguk 3 butir obat setelah memaksa menjejalkan sepotong roti. Namun lagi-lagi obat, air dan seluruh isi perut tertumpah kembali dengan proses muntah yang amat menyakitkan.
Setelah apapun yang kumasukan ke dalam perut ini tak ada yang berhasil, akupun tersungkur dan kembali menangis. Rasa sakit itu semakin menjalar hamper pada seluruh bagian perut dan dada. Sementara ibuku, wanita hebat di seluruh dunia, semoga Allah senantiasa menjamunya di sana, Hanya duduk tertegun merasakan kebingungan sekaligus kecemasan atas rasa sakitku.
Hingga tepat jam dinding berbunyi 12 kali, aku sudah tak bisa mengontrol diri. Aku kemudian berjalan mondar-mandir sambil memegangi perut, keluar masuk rumah tak peduli udara dingin kampung yang menusuk kulit, tak peduli jam-jam itu orang-orang merasa terganggu dengan jeritanku.
Yang pasti waktu itu aku memang merasa sudah kehilangan separuh kesadaran. Puncaknya, aku kemudian menjatuhkan diri ke lantai dan menjambak-jambak rambut sampai memukul-mukulkan kepala ke tembok. Melihat kondisiku yang sudah tak terkendali, Ibuku yang seolah tetap tenang lalu mengguyur kepalaku dengan segelas air. Diusapnya wajahku dan dibimbingnya aku untuk ber-istighfar. Maka akupun berusaha menenangkan diri. Saat itulah kakak perempuanku tiba-tiba datang dari dapur, menyodorkan dua sium bawang putih berukuran besar yang sudah dimemarkan. Membuat perutku semakin mual dan jijik karena harus meminumnya. Tapi lagi lagi aku menginginkan rasa sakit luar biasa ini cepat pergi, maka apapun caranya saat itu akan aku lakukan. Akhirnya, dengan sisa-sisa tenaga aku meneguk paksa dua bawang putih dengan segelas air. Alhamdulillah berhasil masuk, tapi tak lama kemudian keluar lagi, kali itu aku malah sudah tak sempat lari ke wastafel, langsung muntah mengenai baju ibuku.
Akupun kembali terkapar. Rasa sakit ini semakin lama semakin berlipat. Aku tak hanya kehilangan control, melainkan kehilangan harapan hidup. Aku lalu mengambil tangan ibuku dan meminta ampun, memintanya agar mendoakan perjalananku yang terakhir itu. Memintanya agar pencabutan pada nyawaku cepat berakhir.
Sementara ibuku, wanita penuh cinta dan ketegaran hidup luar biasa itu hanya mengelus rambutku dan mengatakan, bahwa siapapun akan pulang jika memang sudah pada waktunya. Aku kemudian berusaha mensedekapkan tangan, memejamkan mata, mengusir baying-bayang keramaian dan pengkafanan agar tidak terus berputar di kepala. Sementara lambungku terus berontak seakan-akan isinya ingin keluar melalui celah mana saja.
Pukul dua dini hari. Aku sudah kembali berada di atas sepeda motor sepupuku, meluncur sepanjang 5 kilometer menuju klinik 24 jam di batas kota. Dinginnya angin, sendunya subuh dan suara binatang-binatang malam tetap tak berpengaruh padaku, Karena hanya satu saja yang ingin aku dapat saat itu, yakni kesembuhan. Alhamdulillah, setelah berkali-kali memuntahkan sisa-sisa cairan di sepanjang perjalanan serta menahan segala rasa yang berkecamuk hebat, Aku kembali oktimis melanjutkan hidup.
Allah memberiku kesempatan lagi untuk menunaikan segala harap dan cita yang belum tersampaikan, melewati tangan seorang dokter kini aku bisa kembali membangun puing-puing harapan dan gundukan keinginan.
Nah, nah, nah! Segitu cerita sekaligus renunganku mala mini. Semoga ada hikmahnya buat kita semua. Maaf tak editing dulu sebab aku sudah cukup lelah, karena harus kembali mengenang peristiwa hebat itu. Semoga masih dapat dibaca dengan baik.
SALAM MANIS DARIKU.
oya yah! kirain gak kekirim loh tulisannya, soalnya gak aku safe juga. hehe, ternyata ada yah? berarti kemarin kekirim banyak dong yah? kz aku sampai berkali2 kopas ke kolom edit. thanks ya admin yang baik hatii. hehe.
Hebat! masih bisa bertahan untuk naik motor malem2.
Setuju ama komen di atas, belum pernah ngalamin, paling mati sementara lewat tidur..
Mungkin pernah berefleksi kapan ya saya akan dipanggil oleh-Nya? Kehilangan semua yang ada di dunia ini. Keluarga, teman, sahabat. Semua akan sirna. Heeem jadi takut deh, so jadi mau lebih banyak lagi berbuat baik karena nanti ga akan ada yang menolong diri kita selain amal kebaikan kita sendiri selama di dunia ini. Ya dunia! yang hanya sementara!
Manusia tidak akan kehilangan apa-apa sebab dia tak pernah memiliki apa-apa.
Belum pernah, cuma kalau mati sesaat si sudah yakni saat todur hehe…. nice tuh pengalaman Near Death of Experiencenya, bisa terbaca dengan baik kok. Hah jadi ingat kisah……
halo, sudah kami bantu publish ya tulisannya. terima kasih 🙂