Indahnya Persahabatan (Sebuah Fabel)

Pagi itu langit yang memayungi hutan tampak cerah. Udara yang segar dipenuhi suara kicauan burung yang menghuni pepohonan yang tumbuh berderet-deret. Tampak seekor ibu kelinci keluar dari lubang tempat tinggalnya di tanah. Dengan hidungnya yang selalu bergerak-gerak ia mengendus udara dengan penuh semangat. Ia lalu melompat menjauhi lubang untuk berjalan-jalan.  Di sekitarnya hutan sudah tampak ramai. Beraneka hewan berlalu lalang di atas tanah yang tertutup rumput tebal. Tidak terkecuali sebuah sosok yang muncul dari semak-semak. Dengan langkah ringan yang tidak menimbulkan suara ia melenggang dengan anggun melintasi hamparan rumput yang melapisi tanah. Dengan penuh semangat Ibu Kelinci melompat-lompat menghampirinya.

 

“Selamat pagi, Ibu Kucing Hutan. Apa kabar?” sapanya ramah. Namun sang kucing hutan tidak menjawab. Ia hanya melirik sedikit sebelum berjalan kembali. Sikapnya begitu angkuh sehingga Ibu Kelinci menggeleng-gelengkan kepala. Sejak dulu tetangganya itu selalu bersikap begitu.

 

“Dia sombong sekali ya.” Sebuah suara mencicit mengejutkan Ibu Kelinci yang masih memandangi kepergian sosok yang disapanya tadi. Ia menoleh. Tampak seekor tikus putih yang tinggal di dekat lubangnya berdiri di belakangnya.  Ibu Tikus mengikuti arah pandang Ibu Kelinci dengan wajah yang tampak kesal. Ibu Kelinci tersenyum.

 

“Selamat pagi, Ibu Tikus. Mau ke mana?”

 

Sang tikus menggelengkan kepala.

 

“Jalan-jalan saja. Pagi yang indah ya,” jawabnya membalas sapaan Ibu Kelinci. Ibu Kelinci berbulu putih polos itu lalu kembali ke lubangnya. Semua anaknya yang berjumlah enam ekor sudah bangun dan kini sedang bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Mereka adalah Connie, Grico, Oric, Nix, Cherry, dan si bungsu Bonnie. Saat Ibu Kelinci melompat masuk dilihatnya keenam anaknya sudah duduk dengan manis mengelilingi meja makan. Connie, si sulung tampak sedang membagikan potongan wortel kepada kelima saudaranya. Mereka makan dengan lahap hingga jam dinding menunjukkan pukul tujuh.

 

“Kami berangkat dulu, Bu. Bye,” Grico, anak kelinci berbulu putih dengan hidung dan telinga berbulu hitam melompat turun dari kursinya dan melesat ke ambang lubang.

 

“Hei, tunggu!” Satu persatu kelima saudaranya menyelesaikan sarapan mereka dan bergegas menyusul sambil berseru. Dengan sigap mereka melompat-lompat menuju ambang lubang yang merupakan pintu masuk ke sarang mereka yang nyaman. Setiba di luar seekor anak kucing hutan menyongsong mereka.

 

“Halo Felix, mau berangkat bersama?” sapa Grico kepada anak kucing hutan bernama Felix itu. Kucing kecil yang pada awalnya terlihat malu-malu itu menjadi gembira.

 

“Tentu saja!” jawabnya antusias. Ia lalu berjalan di samping Grico dan saudara-saudaranya yang melompat-lompat. Setiba di gerbang sekolah yang ditandai dengan dua batang kayu yang ditumbuhi jamur berwarna-warni mereka semua menyebar menuju kelas masing-masing. Felix dan Grico masuk ke kelas yang sama. Tidak lama kemudian pelajaran dimulai. Pelajaran pertama hari itu adalah herbalogi yang diajarkan oleh Bu Cervina, seekor rusa betina yang masih muda. Pelajaran itu berlangsung tertib. Semua murid menyukai Bu Cervina yang pandai membuat pelajarannya menjadi menarik, sehingga mereka selalu antusias mengikuti pelajaran.

 

“Hai Felix, apa kabar?” Mia, seekor anak kucing hutan lain melompat turun dari bangkunya. Kedua temannya, sesama anak kucing hutan bernama Leo dan Tama yang duduk berdekatan tampak tidak peduli pada anak-anak lain. Ia menghampiri bangku Felix. Saat itu lonceng tanda jam istirahat baru saja berdentang.

 

“Baik,” sahut Felix singkat. “Eh, sampai mana kita tadi?”

 

Ia melanjutkan percakapannya dengan Grico yang duduk sebangku dengannya. Mia yang merasa diacuhkan menjadi kesal. Ia heran sendiri mengapa Felix lebih suka berteman dengan para kelinci alih-alih dengan spesiesnya sendiri. Maka saat lonceng pulang sekolah berdentang Mia cepat-cepat menghampiri Felix yang hendak berjalan ke luar kelas. Grico yang hari itu mendapat giliran piket tidak bisa pulang bersama anak kucing itu.

 

“Felix,” panggilnya. “Kenapa sih kamu nggak pernah mau main sama aku, Leo, dan Tama?”

 

Felix melirik malas. Ia tidak suka pada Mia, Leo, dan Tama karena dianggapnya mereka sombong dan hanya mau berteman dengan kelompoknya sendiri saja. Buat apa berteman dengan binatang yang begitu? Pikirnya. Maka ia mempercepat langkahnya meninggalkan Mia yang masih mengikutinya. Kucing betina kecil itu terlihat kesal. Felix sangat bersyukur karena tiba-tiba ada serombongan murid kelas lain yang lewat dekat sekali dengannya, dan karenanya menghalangi Mia. Felix pun cepat-cepat pulang. Ia tidak mau membuang waktu dengan mengobrol dengan murid-murid lainnya.

 

Setiba di rumahnya Felix disambut oleh ibunya yang sedang berbaring di kursi malas.

 

“Bagaimana di sekolah tadi?” tanyanya sambil lalu. Ia menggeliat sementara menanti jawaban putranya.

 

“Baik-baik saja,” gumam Felix sambil berbaring tengkurap di lantai beralas karpet. Ia melipat kedua lengannya di dada.

 

“Hmmm.” Ibunya membelalakkan matanya yang cemerlang dan menatap Felix dari atas kursi malas. “Ibu lihat kamu senang bergaul dengan para kelinci itu ya.”

 

Felix mendongak. Keterkejutan terbayang di wajahnya karena mendengar nada menegur dalam suara ibunya. “Memangnya kenapa? Mereka baik. Aku senang berteman dengan mereka.”

 

“Sayangku, sebaiknya kamu jangan salah memilih teman,” ujar sang ibu lagi. “Mereka tidak seperti kita. Kita lebih kuat, lebih lincah, lebih cerdik. Apa kamu kenal Mia dan Leo? Mereka pasti lebih cocok berteman dengan kamu daripada kelinci-kelinci itu.”

 

Felix terkejut.  Kedua telinganya tegak dan punggungnya melengkung kaku pertanda ia tersinggung. Ia berdiri dan menatap ibunya lekat-lekat. Ia tidak percaya bahwa tadi ibunya telah berkata begitu. Kekesalan tumbuh di hatinya. Mengapa ibunya seenaknya mengatur-ngatur?

 

“Aku nggak suka mereka,” ujarnya ketus. “Mereka sombong.”

 

Ibunya kini duduk tegak.

 

“Jangan salah, Felix. Mia, Leo, dan Tama sudah lakukan hal yang benar. Coba pikir, bagaimana kalau kamu sedang bermain dengan para kelinci itu? Kamu bisa memanjat pohon dengan mudah, tapi mereka tidak.”

 

Felix terdiam. Betul juga kata ibunya. Ia memang sering kesal karena Grico dan saudara-saudaranya tidak bisa mengikutinya memanjat pohon.

 

“Betul kan?” Ibu Kucing Hutan melirik putranya yang tampak termangu.

 

“Lagipula kamu tidak pantas bergaul dengan mereka. Kita ini keturunan bangsawan. Lihat saja, kita lebih cantik daripada mereka.”

 

Felix tidak menjawab. Ia mengakui bahwa ibunya memang terlihat cantik dengan gerak-gerik yang anggun dan bulu hitam yang dihiasi belang-belang coklat kemerahan. Namun dirinya tidak bisa menerima jika hal itu dijadikan alasan untuk melarangnya berteman dengan para kelinci.

 

“Aku nggak peduli,” ujarnya dengan nada ketus. “Aku nggak butuh teman yang bisa memanjat pohon. Aku butuh teman yang baik.”Ia melangkah pergi dengan kesal. Ibunya pun tidak berusaha menghalanginya. Felix merasa kejengkelannya sudah sampai di ubun-ubun. Apa sih salahnya berteman dengan kelinci? Masa bodoh mereka bisa memanjat atau tidak, yang penting adalah mereka bisa bersahabat. Felix terus melangkah tanpa mempedulikan arah. Kumisnya yang terkadang bergerak membantunya menghindari benda-benda yang menghalangi langkahnya. Setelah kakinya pegal pertanda ia telah berjalan cukup jauh, barulah Felix memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ia merasa agak kaget karena ia kini berada di sebuah tempat yang tidak dikenalnya. Tempat itu kosong tanpa satu makhluk hidup pun, bahkan rumput pun tidak ada. Felix memandang sekitarnya dengan bingung. Ia agak menyesal karena berjalan sambil melamun, sehingga sekarang ia tersesat.

 

Mendadak terdengar suara berisik yang membuat Felix melompat kaget. Cepat-cepat ia mundur. Kepalanya menoleh ke sana-kemari dengan bingung. Tempat apa ini? Anak kucing itu tidak tahu bahwa ia berada di tengah sebuah proyek pembangunan perumahan. Di mana-mana sosok-sosok besar yang berjalan dengan sepasang kaki bermunculan. Mereka mulai sibuk bersama dengan benda-benda aneh yang mengeluarkan suara bising.

 

Felix menoleh ke sana kemari dengan ketakutan. Anak kucing itu tidak mengerti apa yang dilihatnya. Ia berusaha menghindar dari orang-orang yang berjalan ke arahnya.  Ketakutannya makin memuncak. Ia ingin pulang, namun tidak ada jalan untuk lari. Tempat itu telah dipenuhi oleh makhluk-makhluk berkaki dua yang sibuk. Lagi pula ia tidak tahu jalan pulang. Ia mulai mengeong-ngeong panik. Salah satu makhluk berkaki dua yang tidak lain adalah manusia melangkah mendekat.

 

Felix melangkah mundur, namun langkahnya terhalang oleh sebuah dinding yang sudah berdiri. Ia menggeram saat sepasang tangan terulur dan mencoba menangkapnya. Felix belum pernah melihat makhluk berkaki dua itu sebelumnya. Ia makin merapat ke dinding dengan panik. Otaknya serasa beku oleh ketakutannya. Tidak ada lagi yang bisa dipikirkannya, sehingga saat tangan itu nyaris meraihnya ia tidak bisa berbuat lain selain menggigitnya.

 

“Hei!” Makhluk itu menarik tangannya yang terluka. Namun Felix belum bisa bernapas lega. Seorang manusia lainnya berjalan mendekat dan secepat kilat menyelubungi tubuh sang anak kucing dengan karung. Felix meronta, namun tangan-tangan yang memegangnya jauh lebih kuat. Karung itu lalu diikat erat-erat, sehingga Felix tidak bisa keluar. Sesaat kemudian, anak kucing hutan yang terbungkus dalam karung itu pun merasa dirinya terangkat. Para pekerja itu melangkah pergi sambil membawa Felix yang terbungkus karung. Felix mengeong-ngeong dengan panik. Ia mendengar para manusia itu berbicara, namun ia tidak mengerti sepatah katapun. Ia tidak tahu bahwa mereka sedang membicarakannya.

 

Salah seorang manusia itu berjalan mengiringi kawan-kawannya yang memegang karung sambil memijit-mijit jarinya yang terluka. Darah tampak membasahi ujung jarinya. Rupanya ia adalah orang yang tadi digigit oleh Felix. Ia mendesis sambil mengamati jarinya.

 

“Kamu harus segera ke klinik, Sam. Siapa tahu gigitan kucing itu menularkan penyakit,” ujar kawannya yang memegangi karung erat-erat. Sam mengangguk.

 

“Sial, kucing liar seperti ini memang berbahaya,” jawabnya setengah mengeluh.  “Namun sepertinya lumayan untuk dijual. Lihat saja warnanya yang cantik.”

 

Mereka tidak berbicara lagi. Felix merasa bahwa dirinya diletakkan di sebuah permukaan yang datar. Ia meronta dengan kuat dan juga berusaha mencakar karung, namun tidak ada hasilnya. Dicobanya lagi dan lagi, namun hasilnya tetap sama. Karung itu tetap utuh. Felix makin bingung. Ia mengeong keras-keras, namun suara-suara kesibukan di sekitarnya membuat suaranya sendiri tidak terdengar.

 

Sementara itu di dalam hutan Ibu Kucing Hutan membuka matanya dan menggeliat. Tidur siangnya kali ini lelap sekali, sehingga kini ia merasa segar.

 

“Felix, kamu di mana?” panggilnya kepada putra semata wayangnya. Ia melompat turun dari kursi malas dan menoleh-ke sana kemari ketika Felix tidak kunjung menjawab. Kedua telinganya bergerak-gerak.

 

“Felix,” ia memanggil lagi, namun hasilnya tetap sama. “Mungkin sedang bermain,” pikirnya. Ia lalu kembali merebahkan diri di kursi malas. Tanpa sengaja matanya yang berwarna kuning melirik jam dinding. Dengan heran ia mendapati bahwa tidur siangnya kali ini lebih lama daripada biasanya. Berarti putranya sudah cukup lama meninggalkan rumah. Ia ingat Felix pergi sebelum ia tidur. Tadi anak itu terlihat kesal karena ia mengkritik teman-teman Felix. Ibu Kucing Hutan merasa heran. Tidak biasanya anaknya pergi bermain selama itu.

 

Felix tidak punya banyak teman, sehingga anak kucing hutan itu biasanya hanya berjalan-jalan sendirian di sekitar rumah. Namun itu dulu, sebelum keluarga kelinci pindah ke dekat rumah mereka dan membangun sarang di sana setahun lalu. Sejak itulah Felix menjadi akrab dengan anak-anak kelinci itu dan sering bermain dengan mereka.

 

Selagi Ibu Kucing Hutan sedang kebingungan, sebuah suara yang melengking menusuk telinganya.

 

“Lalalala, tam tam tam,”

 

Kemudian disusul siulan panjang diiringi petikan gitar yang pas-pasan. Ibu Kucing Hutan terkejut.

 

“Berisik!” teriaknya. “Kalau mau ngamen jangan di sini. Apa nggak ada tempat lain?”

 

Matanya melotot ke arah sosok yang bersandar di pohon. Ia adalah seekor burung nuri yang biasanya disapa dengan nama Chip. Tubuhnya didominasi oleh bulu berwarna merah, sedangkan kedua sayapnya yang memegang gitar berwarna hijau. Ia tampak santai. Tanpa menunjukkan tanda-tanda mendengarkan seruan Ibu Kucing Hutan ia meneruskan nyanyiannya yang bernada tinggi melengking. Ibu Kucing Hutan berusaha mengabaikan nyanyian yang bising itu. Pandangannya tertuju pada anak-anak kelinci yang sedang bermain di dekat lubang mereka. Tanpa pikir panjang ia melangkahkan kakinya yang tidak pernah menimbulkan suara ke arah mereka.

 

“Halo anak-anak,” sapanya saat berada di dekat mereka. “Apakah kalian melihat Felix?”

 

Grico dan kelima saudaranya memandangnya dengan heran. Baru kali inilah mereka mendengar Ibu Kucing Hutan berbicara pada mereka. Grico menggelengkan kepala.

 

“Nggak, Bu. Aku nggak lihat dia sejak pulang sekolah tadi,” jawabnya dengan sopan. “Apa dia belum pulang ke rumah?”

 

Ibu Kucing Hutan tidak menjawab. Tanpa berkata apa-apa ia berbalik dan berjalan menuju si burung nuri yang masih bernyanyi dengan penuh semangat sambil memainkan gitar yang dibawanya. Suaranya jauh dari menyenangkan, sehingga kedua telinga Ibu Kucing Hutan melipat ke dalam. Sambil menggemeretakkan gigi ia bertanya kepada sang burung.

 

“Hei, kamu lihat anakku tidak?” tanyanya dengan suara keras untuk mengatasi suara gitar. Chip bersikap seolah tidak mendengar pertanyaan itu, sehingga Ibu Kucing Hutan terpaksa mengulanginya dengan lebih keras. Chip menghentikan permainan gitarnya, namun matanya hanya melirik pada Ibu Kucing Hutan dengan sikap acuh tak acuh.

 

“Kenapa aku mesti lihat dia?” Ia balas bertanya sambil mengangkat gitarnya dan mulai bermain lagi. “Mau bersedekah?”

 

Ia menunjuk dengan paruh kuningnya yang melengkung ke arah tampah kecil di tanah. Di tampah itulah hewan-hewan di hutan biasa memberi sedekah kepada burung nuri itu. Biasanya berupa barang yang tidak terpakai,  uang, atau makanan. Ibu Kucing Hutan mendecakkan lidah tidak sabar. Dari saku roknya ia mengeluarkan sekeping uang lalu melemparnya ke tampah. Dengan mata sayu Chip memandang koin itu.

 

“Sedikit sekali,” gumamnya lirih. “Di dunia ini tidak ada yang gratis.”

 

Ibu Kucing Hutan naik pitam. Ia merogoh sakunya lagi, mengeluarkan sekeping uang, dan melemparkannya ke tampah.

 

“Jawab yang benar. Kau lihat putraku atau tidak?” serunya marah. Dengan malas Chip membuka paruhnya.

 

“Tadi kulihat anak kucing itu berjalan sambil melamun ke arah sana.” Ia menunjuk dengan paruhnya ke belakang punggungnya.

 

“Ke mana? Katakan yang jelas,” desak Ibu Kucing Hutan. Kekhawatirannya makin membesar karena hingga sore menjelang anaknya tidak kunjung muncul. Ketika Chip hendak menjawab terdengar kegaduhan dari arah yang tidak terlalu jauh dari mereka. Terdengar suara bising yang kian mendekat, diikuti oleh suara debam yang menggetarkan tanah. Hewan-hewan berlarian panik sambil berseru-seru.

 

“Manusia!” teriak mereka. “Pepohonan tumbang!”

 

Dalam suasana kacau balau itu Chip langsung terbang. Ibu Kucing Hutan, para kelinci, dan para tikus terkejut. Mereka melihat pepohonan bertumbangan. Kian lama kian dekat ke wilayah mereka.

 

“Cepat! Kita harus lari,” seru Ibu Kelinci kepada keenam anaknya. Mereka langsung melesat ke arah yang diperkirakan masih aman.  Para tikus bermunculan dari lubang mereka sambil bercericit panik . Udara dipenuhi debu yang beterbangan dari batang-batang kayu raksasa yang berjatuhan ke tanah.

 

“Felix! Di mana kau?” Ibu Kucing Hutan berteriak-teriak panik. Ia tidak bisa membayangkan anaknya sendirian di tengah peristiwa seperti itu.

 

“Ayo, lari! Lariii!” Burung-burung yang beterbangan dengan gerakan kalang kabut berkicau melengking memberi peringatan.  Mendadak pohon yang tadi dijadikan tempat bersandar oleh Chip berderak. Ibu Kucing Hutan sangat terkejut. Tanpa sempat  berpikir ia berlari meninggalkan tempat itu.  Ia menoleh ketika ada yang memanggilnya.

 

“Ibu Kucing Hutan! Kemari,” panggil Pak Tikus. Ia berdiri sendirian di depan sebuah lubang. “Lubang ini menuju ke tempat yang aman. Ayo masuklah.”

 

“Namun lubang ini terlalu kecil. Ibu Kucing Hutan tidak bisa masuk,” bantah sebuah suara dari dalam semak. Sesaat kemudian Ibu Kelinci muncul diikuti keenam anaknya. “Biar kuperlebar saja.”

 

Tanpa menunggu persetujuan Ibu Kelinci mulai bekerja. Ia menggali tanah sehingga lubang itu menjadi lebih lebar.

 

“Cepatlah, Bu Kelinci! Para manusia itu mendekat,” seru Pak Tikus. Ia tidak terlalu mengkhawatirkan keluarganya karena mereka telah masuk terlebih dahulu ke dalam lubang sehingga mungkin sekarang sudah tiba di seberang. Tidak lama kemudian terciptalah sebuah lubang besar di tanah.

 

“Anda tunggu apa lagi? Ayo cepat masuk,” desak Pak Tikus. Ibu Kucing Hutan memandang lorong itu dengan sangsi. Namun suara mesin dan debam pohon tumbang yang kian dekat tidak memberinya banyak waktu. Cepat-cepat ia menyelinap ke dalamnya. Segera setelah ia masuk beberapa orang pria datang dan menebang pohon yang ada di dekat tempat itu.

 

Satu jam kemudian mereka tiba di bagian hutan yang lebih dalam. Pepohonan di sana tumbuh sangat rapat sehingga suasananya terasa hening. Ibu Kucing Hutan yang sudah kelelahan berhenti di dekat keluarga kelinci. Napasnya tersengal-sengal. Tidak jauh darinya nampak keluarga tikus yang juga sudah kepayahan. Selama beberapa saat tidak ada yang buka suara. Mendadak keheningan dipecahkan oleh suara sedu sedan. Ternyata Ibu Kucing Hutan menangis.

 

“Felix, Felix anakku,” ratapnya. “Dia pasti kebingungan mencariku.”

 

Ibu Kelinci dan Ibu Tikus menoleh. Sejenak mereka berpandangan tanpa tahu harus berbuat apa.

 

“Sudahlah Ibu Kucing Hutan, jangan menangis.” Ibu Kelinci memberanikan diri membujuk. Ibu Kucing Hutan menggeram.

 

“Mudah saja kamu bicara. Kamu kehilangan rumah tapi anak-anakmu selamat. Aku tidak tahu nasib anakku.” Ia menangis lagi. Suaranya begitu penuh kepedihan sehingga keluarga kelinci dan keluarga tikus menjadi terharu. Beberapa dari mereka bahkan turut meneteskan air mata.

 

“Nggak ada gunanya menyesali hal yang sudah terjadi,” ujar Chip yang tiba-tiba muncul dari rerimbunan pohon. Dengan mulus ia mendarat di dekat keluarga kelinci. Ibu Kucing Hutan melotot memandang burung nuri berwarna cerah itu.

 

“Kalau tidak bisa membantu diamlah,” gertak kucing hutan betina itu. Ia menggeram memperkuat ancamannya.

 

“Ngomong apa sih kamu?” bisik Ibu Kelinci dengan nada tajam. “Kita semua sedang terancam, jadi jangan macam-macam. Apa kamu nggak takut mati?”

 

Chip menyandarkan diri ke batang pohon dengan sikap santai.

 

“Nggak tuh. Buat apa takut?” Ia memetik beberapa nada dari gitar yang tersandang di depan tubuhnya. “Kalau sudah waktunya mati ya mati. Nggak usah dipusinkan.”

 

 

Nada suaranya yang ringan membuat Ibu Kucing Hutan menatapnya lekat-lekat seperti hendak menelannya.

 

“Apa yang kamu lihat dari atas?” tanyanya dengan mencoba menyabarkan diri. “Kamu bisa terbang. Tentunya ada yang kamu lihat.”

 

Chip mengeluarkan suara siulan dari sela-sela paruhnya.

 

“Ya, ada,” gumamnya. Kemudian dengan sengaja ia mengguncangkan tubuhnya sehingga tas kecil yang terlilit di perutnya bergerak. Dari dalamnya terdengar suara bergemerincing. “Tentunya Ibu tahu persis bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini.”

 

Ibu Kucing Hutan meraung marah, namun kemudian ia melempar beberapa keping uang ke kaki Chip.

 

“Terima kasih,” ujar burung itu sambil memungut koin-koin itu dan memasukkannya ke tas kecilnya. “Selama terbang tadi aku melewati sebuah tempat di tepi hutan. Ternyata di sana para manusia sedang membuat benda-benda yang mereka sebut rumah.”

 

Ia berhenti untuk mengamati reaksi para pendengarnya.

 

“Lalu apa?” desak Ibu Kucing Hutan. “Apakah kau melihat putraku?”

 

Chip bersikap seolah tidak terpengaruh.

 

“Aku melihat banyak manusia dan benda-benda aneh yang sangat bising. Di sanalah aku melihat seekor anak kucing hutan. Ia rupanya tersesat di sana. Para manusia itu lalu menangkap dan memasukkannya ke karung.”

 

Dengan acuh tak acuh ia bersedekap. Ibu Kucing Hutan menjerit.

 

“Anak kucing? Katakan, apakah itu anakku?”

 

Chip mengangguk.

 

“Kalau begitu aku harus ke sana,” ujar Ibu Kucing Hutan dengan napas tersengal. “Aku harus menolong anakku.”

 

“Terserah,” jawab Chip. “Namun coba pikir baik-baik. Tubuhmu terlalu besar sehingga pasti akan mudah terlihat oleh manusia. Bukan tidak mungkin kau akan mengalami hal yang sama dengan anakmu.”

 

Ibu Kucing Hutan menggeram.

 

“Aku tidak peduli,” ujarnya. Mendadak salah satu anak tikus menepuk tangannya.

 

“Aha! Aku tahu. Aku dan saudara-saudarakulah yang akan pergi. Kami kecil, kami bisa menyelinap tanpa ketahuan.” Mata anak tikus yang bernama Tink itu berbinar-binar. “Lagipula kan kau bilang tadi bahwa Felix terkurung di dalam karung. Itu soal mudah! Kami akan menggerogoti karung itu hingga Felix bisa keluar.”

 

Grico bersorak.

 

“Idemu hebat sekali, Tink! Ayo kita berangkat,” ujarnya bersemangat. Kemuraman yang menyelimuti wajahnya karena mengkhawatirkan sahabatnya hilang.

 

“Aku ikut,” Ibu Kucing Hutan segera berkata, namun Chip menggeleng.

 

“Kau akan terlihat mencolok. Biarkan anak-anak ini bekerja,” timpal Pak Tikus.

 

“Aku bisa memanjat pohon dan mengamati suasana dari atas,” bantah sang kucing hutan  dengan nada yakin. “Demikian pula kalau ada manusia melihatku. Aku bisa lari ke pohon sedangkan anak-anak ini tidak.”

 

Dengan pandangan meremehkan ia memandang anak-anak kelinci dan para tikus itu sekilas. Chip terkekeh.

 

“Di sana nggak ada pohon,” tambahnya kalem sehingga Ibu Kucing Hutan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sekali itu tidak ada yang membantah. Semua lalu menyatakan persetujuannya pada rencana Tink. Ibu Kucing Hutan pun terpaksa mengakui bahwa rencana itu adalah hal terbaik yang bisa dilakukan saat ini. Dengan lesu ia duduk di hamparan rumput sambil mengawasi kepergian Grico dan kedua belas anak tikus. Ibu Kelinci dan Ibu Tikus nampak khawatir namun anak-anak mereka terus meyakinkan bahwa mereka akan berhati-hati.

 

“Kita mesti lewat mana?” tanya Chiku, salah satu adik Tink setelah jauh dari tempat persembunyian keluarga mereka. Tink tersenyum.

 

“Tenang saja. Kau tadi dengar petunjuk Chip mengenai lokasi proyek itu kan? Kita tinggal mendengarkan. Di mana ada alat berat bekerja, pasti itulah tempatnya.”

 

Namun kenyataannya tidak semudah itu. Hari yang sudah sore dengan cepat berganti malam. Udara menjadi gelap dan dingin. Suara-suara mesin pun mulai berhenti.

 

“Kita istirahat dulu malam ini,” ujar Tink. Mereka pun bergotong-royong membuat lubang. Selagi bekerja mendadak telinga salah satu anak tikus menangkap sebuah suara.

 

“Suara apa itu?” bisiknya pada saudara-saudaranya. Kedua telinganya bergerak-gerak gelisah.

 

“Ah, mungkin Cuma perasaanmu saja! Hutan ini sunyi sekali,” bantah Chiku yang sedang menggali di dalam lubang. Grico terdiam. Telinganya bergerak-gerak waspada. Sekilas tadi ia mendengar suara geraman rendah. Begitu rendahnya sehingga nyaris tidak terdengar.

 

“Sssst, dengar!” Ia berbisik kepada Tink dan kesebelas saudaranya. Para tikus serentak terdiam.

 

“Itu! Di sana!” seru Dot, anak tikus yang memiliki bulatan hitam besar di punggungnya yang berwarna dasar putih. Saudara-saudaranya segera menyadari bahaya yang mengintai. Di sela-sela pepohonan tampak berpasang-pasang mata yang berkilauan.

 

“Itu serigala! Lari!” seru Grico. Sambil menjerit-jerit mereka lari berhamburan. Baru kali inilah anak-anak itu mengalami peristiwa yang mengancam nyawa mereka tanpa kehadiran orang tua yang mendampingi. Suara geraman itu makin dekat.

 

“Masuk ke semak-semak!” perintah Grico. Kedua belas tikus tanpa sempat berpikir menurutinya. Mereka menerobos semak-semak yang tumbuh di dekat mereka.

 

“Kurasa kita sudah aman,” ujar Dot dengan napas terputus-putus. Suara desisan yang tiba-tiba terdengar mengejutkan mereka.

 

“Halo anak-anak. Mau menginap di sini ya?” Terdengar sebuah suara dari sesuatu yang tampak seperti gulungan sulur tanaman.

 

“Ya,” ujar Dot yang sudah kelelahan. Perjalanan sejak sore tadi disambung kejutan yang tidak menyenangkan dari mata-mata yang berkilau telah menguras tenaganya. Grico terkejut ketika gulungan itu bergerak. Ia segera menyadari apa itu.

 

“Itu ular! Lari!” ujarnya. Namun sebuah pikiran melintas di kepalanya. Mereka terjebak. Jika keluar dari semak-semak pastilah mereka akan terlihat oleh para serigala. Dan bila tetap di dalam semak mereka akan menjadi mangsa ular. Namun tidak ada pilihan lain. Tink menyeret Dot yang nyaris tidak bisa berlari lagi. Ia mengikuti Grico yang berlari kalang kabut keluar dari semak.

 

“Syukurlah para serigala itu sudah pergi,” ujar Chiku . Akhirnya mereka berhasil menemukan tempat yang aman untuk beristirahat. Dengan bahu membahu Grico dan kedua belas anak tikus bekerja melubangi tanah. Setelah selesai mereka pun segera terlelap tidur menanti esok hari. Ketika matahari terbit beberapa jam kemudian mereka kembali melanjutkan perjalanan.

 

“Itu dia manusianya,” ujar Tink kepada saudara-saudaranya yang bersembunyi di balik sebongkah batu. Debu mengepul dari pekerjaan itu dimana para pekerja sedang sibuk membangun perumahan.

 

“Ya, tidak salah lagi,” Grico menjawab dengan bersemangat. “Ayo kita cari karungnya selagi para manusia itu sibuk.”

 

Mereka lalu berjalan berkeliling. Benar-benar melelahkan karena areal proyek tersebut sangat luas.

 

“Aku lelah. Istirahat dulu dong!” seru Dot. Tink menoleh kepada adiknya dengan rasa tidak percaya.

 

“Kita kan sudah istirahat semalaman. Kau mau menolong Felix tidak sih? Lagipula kita sudah sampai sejauh ini,” ujarnya. Dot menguap.

 

“Aku kan Cuma minta istirahat sebentar saja! Kau ini seperti yang tidak lapar saja. Kita belum sarapan,” balas Dot dengan mengiba. Perutnya berkeruyuk karena sejak semalam belum terisi apapun. Sementara itu Grico diam saja. Ia mengamati sekeliling mencari karung yang diceritakan Chip tempo hari.

 

“Terserah padamu. Kamu kan yang mengajukan diri untuk ikut?” Tink masih saja beradu mulut dengan adiknya. Grico menepuk punggungnya. Ia menoleh. Rasa kesal masih tampak di matanya. “Apa?”

 

Grico menunjuk sebuah bungkusan yang tergeletak di dalam sebuah mobil jeep. Mesin mobil itu menggerung tanda akan berangkat.

 

“Itu karungnya!” ujar Chiku. “Kita harus naik ke sana.”

 

“Ngomong sih gampang,” jawab Grico. Ia tampak bingung. “Aku nggak bisa memanjat.”

 

Para tikus terdiam seolah baru menyadari kenyataan itu.

 

“Maaf sobat, aku tidak bermaksud menyinggungmu,” ujar Chiku setelah pulih dari keterkejutannya.

 

“Itu dia!” seru Tink tiba-tiba sambil bertepuk tangan. Grico dan kesebelas anak tikus terkejut dan memandangnya.

 

“Ada apa?” tanya Chiku. Tink tersenyum. Ia menunjuk ke arah belakang jeep.

 

“Kalian lihat tumpukan bata itu? Kita bisa naik lewat situ, lalu melompat ke dalam jeep,” ujarnya. “Ayo!”

 

Para tikus berlari ke arah tumpukan bata.

 

“Cepat! Mobil itu mau pergi,” seru Tink pada saudara-saudaranya. Satu persatu mereka memanjat tumpukan itu. Kemudian tibalah giliran Grico. Ia menguatkan kaki-kakinya, bersiap untuk melompat. Lompatan pertama berlangsung mulus. Ia lalu melompat lagi ke tumpukan yang lebih tinggi. Para tikus berlari ke tepi tumpukan yang terdekat dengan jeep. Satu persatu melompat ke dalam jeep. Mendadak mobil mulai bergerak. Tink dan kesebelas saudaranya mulai panik.

 

“Ayo Grico! Cepat lompat,” seru mereka. Grico menarik napas. Jarak antara tumpukan bata dengan mobil mulai renggang. Ia harus cepat-cepat. Ia melompat. Hatinya berdebar-debar. Bagaimana jika ia tidak bisa sampai ke jeep? Jarak yang harus dilompatinya semakin jauh.  Ia tidak bisa membayangkan seandainya ia gagal mencapai jeep. Ia akan jatuh ke tanah, padahal tumpukan bata itu tingginya hampir dua meter dari tanah. Namun akhirnya ia berhasil juga. Para tikus bersorak ketika Grico jatuh berdebum di dekat mereka.

 

“Felix, Felix, apakah kau bisa mendengarku?” tanya Grico dengan suara keras. Sementara itu di dalam karung Felix tidak bisa mempercayai telinganya. Mimpikah ia? Itu jelas-jelas suara sahabatnya.

 

“Ya, tentu saja!” jawabnya dengan gembira. Ia sangat lega. Sudah sejak kemarin ia memikirkan bagaimana caranya pulang. Ia sudah putus asa karenanya.

 

“Namun aku terkurung di kantung ini. Aku nggak bisa keluar.” Suara anak kucing itu berubah suram.

 

“Tenang saja,” Grico menenangkan.  “Aku bersama teman-teman kita para tikus. Mereka akan membebaskanmu.”

 

Mereka mulai bekerja. Tink dan kesebelas saudaranya menancapkan gigi mereka yang tajam ke permukaan karung. Tidak lama kemudian terbukalah sebuah lubang lebar di permukaan karung. Felix melangkah keluar. Ia tampak gembira dan lega. Matanya yang cemerlang tampak makin lebar karena senang.

 

“Teman-teman, kalian sudah menolongku. Terima kasih banyak,” ujarnya. Mereka tertawa. Namun Tink terlihat bingung.

 

“Bagaimana kita bisa pulang?” gumamnya lirih seakan bertanya pada diri sendiri. Kawan-kawannya terdiam seolah baru menyadari hal itu. Mereka kini berada di jeep yang melaju kencang.

 

“Kita tunggu saja sampai benda ini berhenti,” ujar Chiku dengan nada tidak yakin.

 

“Yah, sepertinya hanya itu yang bisa dilakukan sekarang,” ujar Tink. Ia menjadi khawatir. Ke mana jeep itu akan membawa mereka? Dan kapankah akan berhenti?”

 

“Kita istirahat saja dulu,” timpal Dot. Namun selama perjalanan itu mereka tidak bisa rileks. Kegelisahan terus menerus menghantui mereka.Felix mulai putus asa. Kelegaan yang sempat muncul kini lenyap entah ke mana. Ia melirik wajah kawan-kawannya yang juga tampak suram.

 

“Maafkan aku, teman-teman,” gumamnya. “Gara-gara aku kalian jadi terancam bahaya.”

 

Ticko, salah satu adik Tink yang sejak tadi diam saja berdiri. Ia terkekeh.

 

“Jangan putus asa, Felix. Ini sebuah petualangan baru kan?”

 

Mereka tertawa.

 

“Betul juga,” sahut Tink. “Kita anggap saja begitu.”

 

Tanpa diduga tiba-tiba mobil berhenti. Rupanya kendaraan itu hanya digunakan untuk mengawasi pekerjaan di satu areal yang sama. Areal itu memang sangat luas sehingga dibutuhkan sebuah mobil untuk menjelajahinya. Grico, Tink, Felix, dan anak-anak tikus tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mereka berlompatan turun dari jeep.

 

“Kita pulang!” sorak Dot. Tink tertawa melihat tingkah adiknya.

 

“Perjalanan masih jauh, Dot,” ujarnya mengingatkan.

 

Sementara itu jauh di dalam hutan Ibu Kucing Hutan tampak gelisah. Ia berjalan mondar-mandir di antara pepohonan. Sudah dua hari anaknya hilang. Tidak jauh darinya Ibu Kelinci, Ibu Tikus, dan Pak Tikus juga terlihat cemas. Tidak seorang pun dari mereka berbicara. Keheningan di hutan itu hanya dipecahkan oleh Chip yang asyik bernyanyi sambil memetik gitar.  Sebuah tampah yang berisi beberapa buah-buahan terletak di tanah di depan kakinya. Beberapa burung lain yang tinggal di sekitar sana juga turut bernyanyi. Mendadak Chip menghentikan nyanyiannya. Ia menelengkan kepala ke arah belakangnya.

 

“Aku mendengar sesuatu,” ujarnya. Mendengarnya kesemua hewan di tempat itu memasang telinga. Benar saja. Ada suara-suara langkah ringan diselingi tawa dan percakapan. Wajah Ibu Kelinci menjadi cerah.

 

“Itu anak-anak!” ujarnya. Mereka semua diam menunggu.

 

“Ibu, aku pulang!” seru sebuah suara dari balik pohon.

 

“Itu Felix!” seru Ibu Kucing Hutan. Ia langsung berlari ke arah suara. Dari sana bermunculanlah Felix, Grico, dan kedua belas anak tikus.

 

“Kalian sudah pulang!” Para orang tua mereka segera menghampiri. Mereka memeluk anak mereka masing-masing.

 

“Sepuluh, sebelas, dua belas,” terdengar suara Ibu Tikus menghitung dengan wajah tegang.

 

“Nggak usah khawatir, Bu. Kami semua lengkap,” ujar Tink. Ibunya memeluknya.

 

“Syukurlah kalian selamat! Bagaimana ceritanya? Ayah ingin dengar,” sela Pak Tikus. Istrinya menyikutnya.

 

“Anak-anak masih lelah. Biarkan mereka istirahat dulu,” tegurnya.

 

“Nggak apa-apa, Ma,” ujar Tink. Ia lalu menceritakan semuanya. Mulai dari diintai serigala, masuk ke sarang ular, hingga berusaha untuk masuk ke dalam jeep untuk menolong Felix. Selama Tink bercerita Ibu Kucing Hutan mendengarkan dengan ternganga. Ia tidak menyangka bahwa persahabatan antara anaknya dengan anak-anak kelinci dan tikus telah terjalin erat. Betapa mulianya hati para kelinci dan tikus itu yang rela menantang bahaya demi sahabat mereka. Matanya menjadi berkaca-kaca karena terharu.

 

“Terima kasih, anak-anak,” ujarnya sehingga mengejutkan semua hewan yang turut mendengarkan. Di dalam hati ia merasa menyesal telah melarang Felix berteman dengan para kelinci. Ternyata merekalah yang ada ketika ia dan anaknya dalam kesulitan. Bukan keluarga Mia dan Leo, kucing hutan lain yang lari entah ke mana. Tink, Felix, dan Grico tersenyum.

 

“Kita makan dulu yuk. Sejak pagi kita belum makan,” tiba-tiba Dot menyela. Anak-anak itu segera masuk ke gua yang dibangun keluarga kelinci. Di sana Connie telah menyiapkan aneka masakan ibunya. Tinggallah Ibu Kucing Hutan, Ibu Kelinci, Ibu Tikus, dan Pak Tikus di luar gua.  Chip sudah pergi entah ke mana. Ibu Kucing Hutan tampak malu-malu.

 

“Maafkan saya, ibu-ibu dan bapak. Selama ini saya telah bersikap sombong kepada kalian. Kini mata saya terbuka bahwa sikap itu tidak ada artinya,” ujarnya.  Ibu Kelinci tersenyum dan mengangguk.

 

“Kami tidak pernah membencimu, Ibu Kucing Hutan. Syukurlah anak-anak selamat. Mari kita masuk untuk ikut makan.”

 

Bersama-sama Ibu Kelinci, Ibu Tikus, dan Pak Tikus melangkah masuk ke gua. Dengan langkah ringan Ibu Kucing Hutan melenggang mengikuti mereka. Kini ia paham bahwa persahabatan tidak memandang perbedaan fisik. Persahabatan tidak tergantung dari apakah mereka bisa melakukan hal yang sama atau tidak. Dengan ketulusan hati dan kerelaan untuk saling tolong menolong maka dunia akan menjadi indah, seindah persahabatan anak-anak mereka.

 

Subang, 2014

Last Updated on 9 bulan by Redaksi

Oleh Cchrysanova Dewi

Chrysanova Prashelly Dewi adalah alumni Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Subang. Gadis yang mengalami ketunanetraan sejak berusia lima belas tahun ini gemar menulis, membaca, dan mendengarkan musik

1 komentar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *