Dia memang aneh, Oh, tidak, bukan aneh, tapi unik. Sepintas lalu, ia tampak seperti merpati pada umumnya. Cantik dengan bulu putih bersih. Tak ada setitik noda pun menempel di sana. kakinya ramping dengan jari-jari lentik yang dapat mencengkeram dengan sangat kuat. Paruhnya pun mampu menghancurkan biji-bijian dengan hanya sekali patuk.
Ia tinggal bersama dengan sepuluh ekor merpati lain yang beragam jenis dan warnanya. Seorang penyayang binatang membuat kandang khusus agar mereka bisa tinggal dengan nyaman. Mereka pun bebas terbang ke mana mereka suka. Pintu kandang selalu terbuka. Tapi sepertinya, ia tak bisa menikmati itu semua.Tahukah kau, mengapa?
Mari mendekat, dan amati setiap senti pada tubuh Si Cantik itu. Engkau tak kan mendapati setitik celapun kecuali pada kakinya. Kakinya?
Ya, betul. Masing-masing kaki merpati itu berjari enam. Itulah yang menyebabkan segala keanehan-eh, keunikan pada tingkah laku tokoh utama kita ini. Dirinya merasa berbeda. Ia jadi segan berbicara. Setiap ada yang mendekat, ia pasti langsung menghindar. Maka tak heran, kalau Si Jari Enam di kenal sebagai seekor merpati penyendiri yang sulit berkawan.
* * *
Suatu hari, terjadi peristiwa yang menghebohkan di kandang. Si jari enam menghilang. Ia tak ada di tempat biasa. Awalnya semua mengira ia hanya pergi sebentar untuk mencari makan, atau menghirup udara segar. Tapi hingga hari menjelang petang, ia tak juga pulang. Dan ini sudah diluar kewajaran. Ramai seluruh isi kandang membicarakannya.
“Mungkin dia tersesat.” Seru merpati berbulu abu-abu sambil mengembangkan sayapnya.
“Mungkin dia terkena musibah.” Ujar si coklat seraya merundukkan kepala.
“Mungkin dia sudah menemukan pasangan, dan lagi asyik pacaran sampai lupa pulang.” Si belang berkata sambil melompat ke kiri dan ke kanan.
“Apa pun alasannya, kita harus mencari dan menemukannya. Biar bagaimanapun juga, dia adalah bagian dari kita” Merpati putih jantan yang bertubuh paling besar mencoba ambil keputusan. Ia memang pemimpin dalam kelompok itu. Dan setiap perkataannya selalu di turuti. Maka seluruh isi kandang pun segera berhamburan keluar.
* * *
Lalu ke manakah perginya si jari enam?
Pagi-pagi sekali sebelum yang lain bangun, dia sudah terbang meninggalkan kandang. Awalnya ia hanya ingin pergi sebentar mencari makan. Tempat favoritnya adalah tepi hutan yang terletak tak jauh di belakang kandang. Biasanya, pagi-pagi seperti ini, banyak biji-bijian yang jatuh ke tanah. Tempat itu pun jarang di kunjungi. Menurut cerita yang beredar, banyak hewan-hewan buas dan haus darah berkeliaran di sana. Tapi itu tak masalah. Toh, ia hanya akan terbang di tepian saja. Lagipula selama ini, dia sudah sering kesana, dan tak pernah ada kejadian yang berbahaya menimpanya.
Maka pergilah Si jari enam. Ketika Ia tengah bertengger di sebatang dahan rendah, seekor kupu-kupu dengan sepasang sayap kunig berbintik biru melintas di depannya. Dia belum pernah melihat kupu-kupu secantik itu sebelumnya. Hatinya pun tergerak ingin melihat lebih dekat. Namun ketika hendak di dekati, makhluk mungil nan lincah itu terbang menghindar. Mereka pun kemudian terlihat saling kejar. Si Menrpati mengejar hingga tak sadar ia telah masuk jauh ke dalam hutan. Dan, tatkala mereka telah sampai di tepi sebuah sungai, kupu-kupu itu menghilang di telan rimbunnya dedaunan.
Beberapa saat setelah buruannya menghilang, barulah Si jari Enam sadar kalau ia telah pergi terlalu jauh. Begitu terkejutnya ia hingga tak tahu harus berbuat apa. Rasa takut datang mengisi ulu hatinya. Jantungnya berdegup kencang hingga membuat tubuh gemetar. Sayap yang tadi mengepak, kini tertutup menyembunyikan leher hingga kepala. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya deretan hijau pohon-pohon besar. Di balik pagar hidup itu, terdengar gemericik air bercampur teriakan hewan yang tidak ia kenal..
“Aduh, kemana aku harus terbang supaya bisa pulang?”
Seingatnya, ia tadi datang dari arah matahari terbit. Tapi matahari kini telah merangkak naik hingga hampir di atas kepala. Di cobanya melihat ke tanah. Tampak hampir semua bayangan menuju ke satu arah. Aha! kini ia tahu harus pergi ke mana. Merpati mungil itu pun segera mengepakkan sayapnya dan bergerak menjauhi arah bayangan. Namun sampai lelah ia terbang, tak di temuinya tanda-tanda batas hutan. Sepertinya dari tadi ia hanya berputar-putar. Matahari pun telah hampir terbenam.
Takut menjelma menjadi cemas. Cemas berganti panik. Dalam kepanikannya, Si Jari Enam terbang ke sana kemari tak tentu arah. Sementara dibawah, suara air mengalir semakin jelas. Tiba-tiba tenggorokannya menjadi sangat kering. Ia merasa sangat haus.
Naluri membawanya mendarat di sebuah batu besar di tengah aliran sungai. Arus air menerpa batu itu dan menyentuh kaki si Merpati. Dingin segera merambat dari jari hingga ke kepala. Sejenak ia ragu apakah akan meneruskan niatnya. Tapi haus di tenggorokan, membawa kepala si Merpati merunduk dan menyentuhkan paruhnya ke air.
Beberapa teguk air telah masuk membasahi lehernya ketika tiba-tiba ia merasakan perubahan pada air itu. Rasanya menjadi agak asin, warnanya pun berubah menjadi merah, sementara bau amis tercium menyengat. Sepertinya air sungai telah berubah menjadi darah.
Si Jari Enam menarik paruhnya dari dalam air. Kepalanya terangkat dan alangkah terkejutnya ia begitu melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Puluhan ekor ikan buas menyerang seekor kelinci hutan. Kulit kelinci itu kerkelupas. Dagingnya pun kandas di cabik makhluk-makhluk mengerikan itu. Dalam waktu singkat, si kelinci malang telah berubah bentuk menjadi tulang-belulang yang berserakan.
Begitu takutnya si Merpati hingga membuat tubuhnya bergetar hebat. Di bayangkannya, apa jadinya kalau ikan-ikan ganas itu menyerang dirinya. Dan ternyata, ketakutan itu benar-benar terjadi. Secepat kilat ikan-ikan haus darah itu berbalik dan meluncur tepat ke arahnya. Gerakan tak terduga makhluk-makhluk air itu membuat si Merpati seperti hilang akal. Ia hanya berdiri kaku mencengkram batu pijakannya tanpa tahu apa yang harus ia lakukan.
Gerombolan buas itu semakin dekat. Dan ketika mereka hampir saja menjangkau kaki Si Merpati, tiba-tiba tanpa di duga, sesuatu menyambarnya dari atas. Ia di bawa terbang oleh seekor makhluk yang bertubuh panjang melingkar-lingkar. Makhluk itu membawanya menjauhi sungai. Dan ketika mereka sampai di sebuah daerah yang agak lapang, makhluk itu melepaskannya.
Si Merpati bisa bernafas agak lebih lega sekarang. Tapi itu hanya beberapa saat. Sebab makhluk besar yang menangkapnya tadi kini mendesis kencang. Lehernya terangkat tinggi, sementara mulutnya membuka lebar, menampakan sederetan gigi yang besar dan tajam.
Makhluk itu merayap mendekat dan siap mematuk si merpati, tapi,
Bruuuk,,,,!!!!
Sebuah dahan kayu besar jatuh menimpa makhluk yang hampir saja merenggut nyawa Si Merpati. Ia mendesis lagi, kali ini suaranya terdengar lebih keras dari sebelumnya. Ia menggeliat, berusaha membebaskan tubuhnya yang panjang dari tindihan kayu besar itu.
Tapi tenaga yang di keluarkannya ternyata tidak cukup untuk membuat kayu bergerak. Dan belum sempat makhluk buas itu membebaskan diri, sebatang kayu lagi jatuh tepat menimpa kepala. Meski tidak sebesar kayu yang pertama, tapi hantaman itu ternyata mampu membuat kepala makhluk yang sedang mengganas itu luka. Darah segar keluar dari luka yang mengaga. Dan tak lama kemudian, ia pun kaku dan tak lagi bergerak.
Si Merpati yang nyaris menjadi mengsa, menyaksikan itu semua dengan paruh menganga. Belum sempat habis kekagetannya, beberapa ekor merpati turun dan menghampirinya.
“Kau sudah aman sekarang, Jangan takut. ”
Sebuah suara yang sepertinya ia kenal menyerunya dari belakang. Benar saja, ketika ia berputar, di hadapannya berdiri merpati jantan bertubuh kekar diiringi beberapa merpati lain yang ternyata adalah teman-temannya.
“Kami khawatir engkau masuk ke dalam hutan. Ternyata benar. Dan, …”
“Sudah cukup!!!” Si Jari Enam malah memotong kalimat itu dengan suara keras. Yang lain jadi terdiam.
“Kenapa kalian repot-repot mencariku? Biar saja aku mati. Toh, takkan ada yang peduli.” Lanjunya sambil menegakkan kepala.
“Kau salah, kami masih peduli padamu. Kalau tidak, tak kan mau kami susah-susah datang ke sini. Bagaimanapun juga, kau bagian dari kami.” Si Bulu Coklat menimpali seraya mendekat. Tapi Jari enam malah mundur menjauh.
“Tidak, aku bukan bagian dari kalian, aku makhluk lain!”
“Sudahlah.” Si pemimpin mencoba menenangkan. “Kami tahu kenapa kau berfikir begitu. Kau merisaukan jari-jari pada kakimu itu kan?”
“Sudah cukup!” Si Jari Enam berteriak dengan sangat keras. Butir-butir air mulai jatuh membasahi paruh.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia terbang dan membumbung tinggi. Sementara yang lain, hanya bisa menganga menatap kepergiannya. Beberapa saat berlalu seperti beku. Tak ada yang berani membuka suara, sampai sang pemimpin berkata.
“Aku harus menyusulnya.” Selesai menyelesaikan kalimat itu, Ia langsung melesat dan hilang dari pendangan.
* * *
Begitulah, Si Jari Enam terbang hingga berada di atas lautan. Sore telah berubah menjadi malam. Yang jadi penerangan kini hanya bulan dan bintang. Ia terus terbang sampai sebuah cahaya terang menyorotnya. Cahaya itu datang dari sebuah menara tinggi. Itulah mercusuar yang biasa menjadi panduan untuk kapal yang akan berlabuh. Rasa lelah datang menghampiri. Ia Mendekati mercusuar dan mendarat tepat di atapnya.
Baru beberapa saat melepas lelah, tiba-tiba saja dari arah belakang muncul seekor makhluk bertubuh besar hinggap di sebelahnya. Si Jari Enam memalingkan kepala. Begitu kagetnya ia melihat siapa yang datang menyusul.
“Kau.”
“Ya, aku. Aku mohon maaf atas kelancanganku tadi. Sungguh, aku tidak bermaksud untuk,,,”
“,,,mengejekku. Sudahlah. Toh, semua telah tahu siapa aku. Tak ada gunanya kau meminta maaf. Itu tak kan dapat mengubah semuanya. Aku tetaplah seekor merpati aneh berjari enam yang tak berguna.”
“Hei, kami tak pernah bilang seperti itu. Memikirkannya pun tidak. Semua yang kau ucapkan tadi hanyalah fikiran jelek yang ada dalam kepalamu.”
“Jadi kau menuduhku berfikir yang tidak-tidak terhadap kalian.”
“Bukan begitu, tapi cobalah kau fikir dengan kepala jernih. Apakah pernah kami mengejek, menghina, atau menjauhimu lantaran apa yng ada pada kakimu itu? Kami menganggapmu sama seperti yang lainnya, tak beda. Seandainya saja kau tahu,,,,,”
Belum sempat merpati pemimpin itu menyelesaikan kalimatnya. Sebuah suara yang memekakan telinga memecah udara. Di susul datangnya sebuah burung besi raksasa menghembuskan angin yang sangat kencang. Merpati bertubuh kekar tiba-tiba saja terhempas bagai bulu. Melayang menuju air laut yang sedang pasang. Sementara si jari enam, tanpa pikir panjang, langsung merunduk dan mencengkeram seutas kabel yang terhubung ke lampu mercusuar. Cengkramannya begitu kuat, menempel seperti lem super yang tak dapat di lepas.
Beberapa saat setelah burung besi itu pergi, Si Jari Enam baru teringat pemimpinnya yang tadi mengajaknya bicara. Tapi kini Merpati jantan itu sudah tak nampak.
“Jangan-jangan, dia di bawa oleh makhluk aneh tadi.”
Secepat kilat Si Jari Enam menuju ke arah perginya si burung besi. Sayapnya mengepak sangat cepat. Sementara matanya tajam mengawasi setiap jengkal daerah di sekelilingnya. Tiba-tiba matanya menangkap sebuah sosok putih di permukaan air. Sinar bulan menyorot sesuatu yang sepertinya mirip dengan apa yang ia cari. Oh, tidak, bukan mirip. Tapi itu memang si Pemimpin yang sedang terombang ambing di bawa ombak. Sesekali tubuhnya timbul tenggelam di bawa arus yang entah menuju ke mana.
Si Jari Enam terbang merendah. Niatnya hanya satu, yaitu menolong Si Pemimpin. Ia beradu cepat dengan arus air. Untung ada angin yang membantu mendorong tubuh mungilnya. Dan ketika posisinya tepat berada di atas tubuh yang lunglai itu, ke dua belas jarinya langsung mencengkeram dan mengangkatnya dari dalam air.
Mereka terus terbang hingga sampai di sebuah pantai. Si Jari Enam mendarat dan meletakkan tubuh tak berdaya itu di hamparan pasir. Merpati jantan yang nyaris teenggelam diam tak bergerak. Perutnya menggembung. Sepertinya Ia menelan banyak air. Si Jari Enam menekankan jari-jarinya kearah perut pemimpinnya itu. Paruh Si Pemimpin terbuka dan mengeluarkan banyak air. Setelah begitu banyak air dikeluarkan dari tubuhnya, Merpati jantan itu pun mulai menggerakkan kepala. Ia sudah sadar sekarang.
“Terima kasih.” Ucap si jantan lirih. Si Jari Enam hanya mengangguk.
“Aku tak menyangka kau begitu hebat,”’ Si pemimpin kembali berkata.
Mendengar itu, Si Jari Enam kaget bukan main.. Ia seperti baru saja terbangun dari sebuah mimpi. Kepalanya berdiri tegak. Sayapnya pun sedikit mengembang.
“Benarkah?” serunya.
“Benar, sungguh, kalau tidak karena keenam jarimu itu, mungkin sekarang aku sudah mati tenggelam.” Jawab si pemimpin sambil mengembangkan sebuah senyum.
“Dan satu hal lagi yang harus kau tahu. Lihatlah kakiku.” SI Pemimpin melanjutkan kalimatnya.
Si Jari Enam menuruti perintah itu. Tiba-tiba paruhnya menganga sangat lebar. Benarkah yang di lihatnya? Kedua kaki Merpati yang baru saja di selamatkannya itu masing-masing berjumlah dua
“Kakimu,,,”
“Ya benar. Jari-jari kakiku ini masing-masing berjumlah dua. Kau lebih beruntung daripada aku. Itulah mengapa ketika burung besi raksasa tadi datang, aku langsung jatuh. Ke empat jariku ini tidak cukup kuat menahan derasnya angin.”
Si Jari Enam terdiam. Ia baru menyadari. Betapa asyiknya ia mengurung diri dan tenggelam dalam ketidak puasan karena mendapati dirinya berbeda dari yang lain. Sampai-sampai ia tidak mengetahui, bahwa ternyata ia tidak sendiri. Masih ada makhluk lain yang senasib dengannya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, makhluk itu ternyata adalah kawannya sendiri.
“Sudahlah, sekarang kita istirahat dulu di sini. Besok kita harus kembali. Teman-teman yang lain pasti cemas memikirkan kita.
Si Jari Enam mengangguk. Semakin takjub ia pada pemimpinnya itu. Dan sekali lagi. Setiap perkataan pemimpin adalah perintah. Maka tak ada pilihan lain kecuali melaksanakannya.
Penulis: Satrio Budi Utomo
Redaktur: Putri Istiqomah Priyatna