Desa itu terletak jauh di lereng pegunungan yang amat tinggi sehingga puncaknya yang menjulang akan tampak tersaput awan putih dari kejauhan. Pemandangan yang indah sekali tentunya dengan dilatarbelakangi langit biru yang luas.
Tak terhitung berapa kali sudah manusia-manusia fana yang datang dan pergi dalam sejarah menorehkan gambaran itu di dalam lukisan-lukisan yang mereka buat sebaik-baiknya dengan mengandalkan daya cipta mereka. Sejak zaman manusia-manusia primitif yang tinggal di dalam gua sampai manusia moderen yang dengan bangga menyatakan diri sebagai makhluk beradab yang tinggal di gedung-gedung mewah.
Sudah beribu-ribu tahun gunung itu berdiri dengan gagahnya dengan menopang miliaran kehidupan yang bertebaran di lereng-lerengnya,tak terkecuali sebuah desa kecil yang akan menorehkan namanya dalam lembaran sejarah negeri tersebut.
Desa itu tidak berbeda dengan desa-desa lain di lereng gunung dengan padang rumput terbuka yang diselingi pepohonan tempat burung-burung bernyanyi setiap matahari terbit dan menetaskan telur-telur mereka. Maka generasi yang baru pun muncul menggantikan burung-burung yang telah berjatuhan ke tanah bagaikan daun-daun gugur. Sungai-sungai mengalir memberikan sandaran hidup bagi pemukiman-pemukiman yang tumbuh di sepanjang tepiannya.
Di salah satu dusun itulah seorang anak manusia akan memulai perjalanannya menuju masa depan. Nama anak itu Rugald. Ia dikenal warga desanya sebagai remaja malang yang tinggal seorang diri di gubuknya yang terletak di pinggir desa. Ia tidak memiliki seorangpun untuk bersandar dan menggantungkan hidup di usianya yang masih muda. Tidak seorang pun yang mengetahui ke mana orang tuanya. Bagi Rugald sendiri itu tidak menjadi masalah.
Setiap hari ia pergi ke hutan untuk mencari pengisi perut. Cara hidupnya mengingatkan orang pada pelajaran-pelajaran yang mereka terima dari guru-guru mereka tentang bangsa-bangsa primitif yang pernah dan masih menghuni beberapa bagian bumi ini. Kendati demikian tidak ada yang menyangkal bahwa Rugald mampu membaur dengan baik dalam pergaulan masyarakat sekitar.
Para tetangga biasa memanfaatkan tangan dan kakinya yang tangkas untuk membantu pekerjaan mereka. Rugald yang tidak pernah mendapat pendidikan resmi pun dapat mengetahui banyak hal dari pengalamannya. Dari mulai bercocok tanam,membuat gerabah dan berbagai hal lain. Tidak ada orang yang pernah mendengarnya mengeluh. Hari-harinya selalu diisi dengan senyum tulus di bibirnya. Dan orang-orang pun tidak ada yang tak menyukainya. Ia selalu senang membantu mereka yang memerlukan tenaganya,tak terkecuali mereka yang mengajaknya berburu dengan upah bagian dari hasil buruan.
Rugald sangat ahli dalam berburu. Tangan dan kakinya bergerak seirama dengan lincah melempar lembing atau pisau untuk melumpuhkan sasarannya. Ia bagaikan sudah menyatu dengan hutan. Para hewan seakan takluk di tangannya dan hewan sebuas apapun seolah tidak mampu menggapainya. Dengan gesit ia akan melompat menghindari kejaran hewan berbahaya dan bersembunyi sampai hewan itu pergi.
Suatu hari di musim panas yang cerah di mana angin berhembus sepoi-sepoi menghembus dedaunan di pohon seperti biasa Rugald mengulurkan tangan kurusnya yang legam terbakar matahari pada seorang tetangga yang bekerja sebagai petani. Pria setengah baya yang rambutnya sudah beruban di sana sini itu meminta bantuan Rugald untuk menangani tikus yang merajalela di petak ladangnya.
“Binatang itu telah membuat beberapa panen saya gagal,” demikian keluh petani itu dengan nada lelah. “Sudah ratusan kali saya coba menangani mereka namun selalu gagal.”
Rugald tentu saja merasa tertantang dengan tugas itu. Malam itu ia pun bersiap untuk membasmi hewan-hewan pengerat mungil yang telah merusak ladang tetangganya. Dengan tatapan mata tajam yang waspada dan penuh kepercayaan diri ia turun ke ladang yang tampak parah itu. Tanaman-tanaman pangan yang dipelihara di sana dengan penuh perhatian dan kasih pemiliknya terlihat rusak. Ada yang terpotong dan tercabik-cabik. Beberapa yang lainnya terkulai dengan sebagiannya lenyap dan hanya menyisakan bekas-bekas gerigitan dan keratan gigi-gigi tikus. Di mana-mana di permukaan tanah jejak-jejak kaki tikus bertebaran seperti lubang-lubang bekas peluru.
Rugald menjelajahi lahan bekas pesta pora para tikus dengan langkah perlahan dan hati-hati. Sesekali, tanpa terduga ia melompat dengan tubuh terbungkuk. Sesaat kemudian terdengar jeritan memilukan yang membelah udara malam dan seekor tikus terkulai berlumur darah di ujung lembingnya.
Malam itu keberuntungan seakan enggan melepaskan diri dari Rugald. Dengan bersemangat ia melompat ke sana kemari membantai banyak tikus dengan lembingnya. Suatu kali ditemukannya seekor tikus di sudut ladang. Ia agak heran karena penampilannya tidak sama dengan hewan-hewan yang bergeletakan tanpa daya di dalam karung yang dibawanya.
Kepalanya yang berbulu putih nampak mencolok di tengah kegelapan malam sedangkan dari leher ke bawah berwarna hitam,tidak berbeda dengan para penghuni karung yang dipanggul Rugald di punggungnya. Mayat-mayat itu akan langsung dibakar hingga menjadi abu setelah perburuan ini selesai. Para petani yang sudah lelah menghadapi ulah para tikus itu akan senang melakukannya,untuk melampiaskan dendam mereka. .
Dengan mengandalkan gerakan kakinya yang gesit Rugald melompat bagai kucing yang hendak menerkam buruannya. Namun makhluk berkepala putih itu seakan sudah bisa membaca gerakan Rugald. Tanpa kesulitan sedikit pun ia menghilang di balik tanaman yang porak poranda. Rugald mengejarnya. Kekesalan terbit di hatinya.
Tikus-tikus bercericit kaget saat ia melewati tempat persembunyian mereka tetapi Rugald seolah tidak mendengarnya. Ia lupa sama sekali dengan tugasnya dan meneruskan mengejar tikus berkepala putih itu. Pikirannya yang jengkel terpusat pada tikus aneh yang berkelit dengan amat tangkas menghindari mata lembing yang terarah padanya.
Beberapa saat lalu sebelum menghilang ke balik tanaman Rugald sempat melihat mata tikus itu yang berkilauan bagai manik-manik hitam di wajahnya yang putih. Bagi Rugald mata itu seakan memancarkan ejekan. Saat Rugald berhasil memojokkannya di sudut ladang tanpa diduga tikus itu melompat dan meluncur cepat keluar dari area ladang. Gerakan yang tiba-tiba itu mengejutkan Rugald.
Ia menambah kecepatannya dan melesat ke dalam kegelapan malam. Senter yang dibawanya menerangi tanah,memperlihatkan jejak kaki tikus yang berlari sendirian menuju hutan. Rugald merasa agak kecewa. Lebatnya pepohonan di sana akan menyulitkannya.
Beberapa menit kemudian setelah menyibak belukar dan berzigzag menghindari pepohonan yang tumbuh menyebar Rugald berhasil mendesak makhluk itu merapat ke bawah sebatang pohon. Tangannya yang telanjang terulur dengan cepat membelah udara pegunungan yang membekukan. Ia seakan telah melupakan lembing. Ditangkapnya tikus itu.
Binatang itu meronta dengan segenap tenaganya hingga Rugald harus mengeratkan genggaman untuk mencegahnya kabur. Diangkatnya sang tikus ke depan matanya dan diamatinya hewan yang pantang menyerah itu. Seulas senyum mengembang di bibir anak laki-laki berusia lima belas tahun itu. Tubuh makhluk buruannya terasa hangat dan lembut di tangannya. Rugald merasa puas dengan kecepatan tangannya.
Namun beberapa saat kemudian sebuah pikiran yang membingungkan menghadangnya. Mau diapakan makhluk mungil itu? Rasanya sayang jika ia membunuh makhluk itu begitu saja setelah bersusah payah menyelusup hingga ke jantung hutan yang jauh untuk menangkapnya. Rugald menunduk memandang tikus yang kini berusaha menggigit tangannya itu. Mendadak cicitan liar yang terdengar dari tikus yang terperangkap itu menjadi bermakna di telinganya.
“Hai anak manusia, mau apa kau denganku? Kau telah bertindak kejam dengan membunuhi rakyatku jadi apakah kau mau membunuhku juga?”
Nyaris saja Rugald menjatuhkan tikus itu saking kagetnya. Ia memelototi tawanannya. Ia tidak percaya kalau tikus itu baru saja bicara padanya. Mata binatang itu menatapnya galak,tidak kehilangan nyali sekalipun sudah berada di ambang maut.
“Ayo,apa lagi yang kau tunggu?” Cicitan yang terdengar gagah berani itu menggugah Rugald.
“Apa kau tadi bicara?” tanyanya tanpa sadar. Kekesalannya seketika terhapus dari benaknya.
“Kau telah membunuhi rakyatku dengan sewenang-wenang. Walaupun aku mati tak bakal aku mengampunimu.” Tikus itu melotot pada penangkapnya.
Mata Rugald melebar dengan heran bercampur kesal.
“Apa maksudmu? Tentu saja itu akibat ulah kalian sendiri yang merusak tanaman dan membuat para petani merugi,” ia balas memelototi tikus itu.
Tatapan si kepala putih mengeras dan ia sama sekali tak berkedip.
“Kami tidak merusak. Kami tidak bermaksud merugikan kalian. Kami hanya cari makan,” hewan itu berkeras.
Rugald mendecakkan lidah tidak sabar.
“Diamlah tikus,tahu apa kau? Kalian jahat sekali. Sudah mencuri,kalian juga membuat kotor rumah-rumah dengan produk buangan kalian itu. Menjijikkan. Dan apa kau masih juga menyangkal bahwa kaummu menyebarkan berbagai penyakit yang telah membunuh jutaan orang?”
Tikus itu tidak menunjukkan tanda mau menutup mulut seperti yang dikehendaki Rugald.
“Tidak tahu diri. Kalian sendiri yang membuat penyakit-penyakit itu menyerang kalian. Kalian membiarkan rumah kalian kotor. Kalian memberi sebagian besar dari kami tempat yang nyaman untuk bersarang,dan setelah itu kalian seenaknya saja membantai dan mengusir kami. Kalian juga menjadikan kami kambing hitam dari masalah-masalah kalian, padahal kalian sendirilah yang menyebabkannya. Apa itu adil?”
Dengan kemarahan yang terpancar dari mata mungilnya tikus itu menatap Rugald lurus-lurus.
“Aku tidak habis pikir tentang kalian. Tindakan kalian tidak bisa dimengerti.””
Rugald terperangah. Belum pernah ia mendengar jalan pikiran seperti itu.
“Memalukan.” Rugald mendengar si tikus mengoceh lagi. “Kalian masih berani bicara dan mengampanyekan pemusnahan besar-besaran terhadap tikus hanya karena hal yang sudah menjadi adat istiadat kami selama berabad-abad. Dan hati-hatilah,anak muda. Kau ini masih sangat muda, jadi kau belum tahu apa-apa mengenai dunia ini. Kau mesti banyak belajar agar kau mengerti kesalahan kaummu.”
Rugald terdiam. Ocehan si tikus membuatnya tidak hanya terkejut. Ia termenung memikirkan kata-kata itu. Benarkah begitu?
Tikus itu masih memandangnya dengan marah.
“Bagaimana sekarang apa kau sudah mengerti?” cicitnya.
“Baiklah,aku tidak akan membunuhmu,” gumam Rugald.
Ia masih pusing akibat ceramah panjang si tikus. Ia mulai berjalan namun tidak melepaskan makhluk mungil itu dari genggamannya. Makhluk itu sudah berhenti memberontak.
Di sepanjang perjalanan menembus hutan yang lebat ia diam saja. Rugald pun tidak mengaja bicara makhluk yang di luar dugaan ternyata lebih cerdas darinya. Ia pun sangat jeli melihat kenyataan yang terjadi walau Rugald tidak bisa menerima begitu saja petuah-petuahnya. Hal itu jelas merupakan hal baru yang merasuki otak mudanya.
Dari sela-sela jemarinya si tikus menatapnya dengan mata hitam yang berkilau di wajahnya yang putih. Mendadak ia berkata lagi,
“Mengerti kau,Nak? Kehadiran kami adalah kehendak alam. Manusialah yang harus menyesuaikan diri, bukan kami. Waktu terus berubah dan umur mereka pun bertambah,jadi mengapa mereka tidak bisa berubah menjadi lebih baik?Dan kau juga,”
Si tikus yang jelas tidak mengenal rasa takut itu memandang wajah Rugald yang hampir-hampir kosong dengan serius. Remaja itu tidak berkata apa-apa sejak tadi,berusaha mencerna kata-kata sang tikus yang belum bisa dipahaminya.
“Kau juga harus belajar mengendalikan lidahmu. Manusia memiliki kecerdasan yang hebat,jadi mengapa kau tidak bisa bicara lebih sopan?”
Setiba di gubuknya yang sederhana di pinggir desa Rugald segera membaringkan diri di tempat tidurnya setelah membersihkan diri dari lumpur yang mengering dari ladang tadi. Benda yang sudah berumur beberapa kali lipat usianya itu berderit memprotes ketika anak laki-laki itu melompat ke atasnya.
Sepasang mata manik-manik menatapnya tajam dari sebuah sangkar kecil di sudut kamar. Sangkar itu terbuat dari logam yang kokoh sehingga sang tikus tidak bisa menggerogotinya. Dengan kesal tikus itu berkeliling dalam penjaranya dengan harapan sia-sia untuk menemukan jalan keluar. Seonggok keju yang tadi diletakkan Rugald di dasar sangkar tergeletak tak tersentuh. Kehilangan kebebasan dengan tiba-tiba menyebabkan selera makannya turut menghilang.
Bunyi menggeresek-geresek di bawah tempat tidurnya membuat Rugald terbangun. Ia segera membungkuk ke kolong tempat tidur sambil menajamkan mata. Sekejap kemudian ia berdiri lagi dengan seekor tikus hitam tergenggam di tangannya. Makhluk itu menggelepar-gelepar liar dan mencicit seru. Tiba-tiba telinga Rugald yang tajam mendengar suara dari arah sangkar. Suara itu bernada marah.
“Lepaskan cucuku,manusia! Tidak mengertikah kau dengan apa yang kukatakan tadi?”
Rugald melihat mata tikus berkepala putih itu seakan membesar dua kali lipat saking marahnya. Dua manik-manik yang memandang lurus ke arahnya itu terlihat seperti akan melompat keluar dari rongganya.
“Cucu?” ulang Rugald dengan nada heran bercampur kaget. “Jadi tikus ini kakekmu?”
Tikus yang tergenggam di tangan Rugald itu sejenak terdiam kaget mendengar Rugald bicara padanya. Rugald melongo memandangnya. “Kau juga bisa bicara?” tanyanya.
“Tentu saja semua tikus jika mau bisa membuat kata-kata mereka dimengerti oleh manusia.”
Rugald menggeleng-gelengkan kepalanya. Kata-kata yang diucapkan dengan ketus yang baru saja didengarnya berasal dari sudut ruangan tempat ia menempatkan si tikus berkepala putih.
“Benarkah?” bisiknya kepada makhluk mungil di tangannya.
“Be-benar.” Tikus itu mencicit dengan terbata-bata. “A-aku kemari untuk menolong kakekku. Kerabatku yang tinggal di hutan mengabarkan bahwa beliau ditangkap oleh seorang manusia sombong yang berdarah dingin.”
Ucapan yang berani itu mengagetkan Rugald,
“Apa katamu?” bentaknya marah.
Tikus mungil yang ukuran tubuhnya tidak sampai setengah dari tikus di dalam sangkar mencicit ketakutan,
“Itu bukan kata-kataku. Itu laporan yang disampaikan saudara-saudaraku.”
Dengan heran Rugald mendengar si tikus mungil yang berbulu hitam pekat itu terdengar nyaris menangis. Bersamaan dengan itu si kepala putih berseru memperingatkan.
“Jangan cengeng,Nak. Berapa kali aku mengajarimu bahwa cucu raja tikus harus kuat? Kau mesti menghadapi keadaan apapun dengan hati baja,termasuk kematian sekalipun.”
Ucapan itu sangat menggugah Rugald. Remaja itu lalu memandang tikus yang berada di dalam sangkar dengan terpesona. Rasa kagum terbit di hatinya. Ia merasa nyaris menghormati si tikus,bahkan ia hampir membayangkan kakeknya sendiri yang memberikan petuah itu. Mereka hanya tikus,gumamnya dalam hati. Ia mulai berpikir bahwa betapa banyak yang bisa dipelajarinya dari seekor tikus. Makhluk mungil di dalam sangkar itu benar bahwa masih banyak yang harus dipelajari Rugald.
Beberapa saat kemudian rugald sudah kembali berbaring di atas tempat tidurnya. Dua ekor tikus kini telah menghuni sangkar di sudut kamar. Namun cicit ribut dari si tikus hitam membuatnya tidak bisa tidur. Ia bangkit dengan kesal,
“Diamlah,apa kau tidak bisa diam? Tenang-tenang saja di dalam sana,bukankah aku sudah menyediakan makanan?”
Ia melotot melalui jeruji sangkar ke arah si tikus mungil. Tikus itu rupanya telah mendapatkan keberanian. Mata manik-maniknya balas menatap Rugald. Dengan tenang ia berkata,
”Aku tadi berusaha mengirimkan komando kepada pasukanku bahwa mereka belum bisa menyerang sekarang,.”
Ia diam,mata hitamnya mengawasi Rugald seakan ingin mengetahui reaksinya.
“Kau tidak sendirian?” tanya Rugald.
Si tikus mengeluarkan cicitan yang menyerupai tawa,
“Tentu saja tidak,” jawabnya. “Apa kaukira aku akan sendirian dalam misi sepenting ini? Tidak. Kami para tikus harus bersatu padu menghadapi manusia yang jauh lebih besar dari kami.”
Setelah ragu sejenak ia berkata lagi,
“Kalau tidak percaya lihatlah di depan pintu rumahmu. Banyak di antara kaum kami yang rela mati demi rajanya.”
Rugald membuka pintu pondoknya. Ia terhenyak karena perkataan cucu si raja tikus terbukti di depan matanya. Ratusan bahkan ribuan makhluk pengerat mungil berkumpul di hadapannya. Nyaris tidak kentara karena mereka bersembunyi di balik bayangan aneka benda yang ada di depan rumah namun mata Rugald yang tajam dapat melihat mereka. Merasa keberadaannya sudah diketahui serentak pasukan tikus itu menyerbu. Rugald mendengar cicit nyaring dari rombongan yang nampak mengerikan itu.
Namun ketika tikus-tikus itu hendak mengeroyok Rugald sebuah cicitan lain yang terdengar lebih nyaring menghentikan mereka. Rugald tercengang melihat pasukan berukuran mini itu serentak berhenti bergerak. Mereka tampak seperti prajurit yang terlatih dengan baik pada sekolah-sekolah kemiliteran. Rugald sangat terkesan. Ia demikian terpukau sehingga tidak bisa berkata apa-apa.
Saat itu sang raja tikus mengambil alih komando dari cucunya,
“Dengarkan aku,wahai rakyatku,” ia mulai berpidato. “Seperti yang kalian lihat aku tidak kekurangan suatu apapun. Maka kalian boleh pergi. Aku mengucapkan terimakasih atas kesetiaan kalian padaku. Aku akan memanggil kalian lagi bila tiba waktunya bagi kalian untuk menunjukkan jasa.”
Rugard merasa takjub melihat tikus-tikus itu merundukkan badan seolah memberi hormat. Bersamaan dengan itu satu persatu dari mereka menghilang di balik bayang-bayang. Namun sebelum tikus terakhir melesat pergi Rugald memanggil mereka.
“Kawan-kawanku para tikus,” panggilnya. “Mari masuk. Kebetulan aku masih punya beberapa potong keju,mungkin tidak cukup untuk kita semua namun kita dapat usahakan untuk saling berbagi.”
Tikus-tikus tidak langsung menjawab undangan itu. Si cucu raja tikus sangat terkejut. Ia tidak menyangka manusia ini akan berbuat begitu. Si raja tikus memperhatikan Rugald dengan sungguh-sungguh. Wajah remaja itu kelihatan bersungguh-sungguh. Tidak terlihat maksud lain yang tersembunyi di matanya yang menatap tajam.
Seekor tikus berjalan mendekati pintu dengan gerakan canggung. Karena tidak melihat adanya bahaya maka ia masuk ke dalam pondok. Melihatnya,tikus-tikus lain turut masuk ke dalam pondok. Satu persatu bergerak menuju pintu yang terbuka. Dengan sabar Rugald memegangi pintu itu agar tetap terbuka,memberi jalan pada pasukan tikus untuk masuk ke dalam pondok. Dalam sekejap pondok kecil itu telah dipenuhi tikus yang tinggal dengan Rugald dan tidak pergi lagi.
Sejak itu rumah Rugald tidak pernah sepi dari tikus-tikus yang berkeliaran dengan bebas. Rugald pun tidak pernah menolak tikus-tikus baru yang berdatangan. Ia merasa mendapatkan keluarga yang tidak pernah dimilikinya.
Namun semua tetangganya menjadi resah dengan perubahan ini. Mereka semua merasa jijik melihat rombongan tikus yang bebas berkeliaran di sekitar pondok Rugald sehingga satu persatu mereka pun mulai menjauhinya. Perubahan sikap ini sangat terasa bagi Rugald. Tidak ada lagi yang mau berbicara atau mendekati pondoknya,membuat Rugald makin tenggelam dalam komunitas tikus yang tinggal di rumahnya.
Suatu hari seorang gadis datang ke pondok Rugald. Ia berdiri agak jauh dari bangunan pondok itu,membuat Rugald kecewa karena seperti tetangga desanya yang lain gadis itu pun tidak menyukai kawan-kawan barunya.
Dengan ekspresi jijik gadis bernama Virin itu memanggil Rugald agar datang ke luar untuk menemuinya. Ketika Rugald datang ia menatapnya dengan sedih,
“Mengapa kau melakukan ini?”
“Melakukan apa?” tanya Rugald walaupun dalam hati ia sudah merasa bahwa kunjungan gadis yang sebaya dengannya ini ada hubungannya dengan tikus-tikusnya.
“Memelihara tikus-tikus itu,” jawab Virin. “Kau berubah. Dulu pondokmu bisa dibilang bersih. Namun sejak tikus-tikus itu datang pondok ini tidak lagi terlihat sebagai tempat tinggal manusia.” Suara gadis itu terdengar hampa. Beberapa kali ia menghela napas untuk menahan air mata.
Sudah sejak dulu ia menyukai Rugald yang jujur dan periang. Dulu ia tidak peduli dengan semua kekurangan Rugald, tetapi sekarang ini ia tidak lagi dapat mengerti tindakan remaja itu.
Rugald segera paham,
“Apakah kau mau meninggalkanku seperti orang-orang lain?” bisiknya pedih. “Tikus-tikusitu sudah menjadi keluargaku sekarang. Kuharap kau bisa mengerti.”
Rugald merasa merana sementara pandangannya menyusuri wajah Virin. Perasaannya terasa tercabik seperti dedaunan di ladang yang rusak tempo hari. Ia menyayangi gadis ini dan berharap bisa menjadikannya pendamping suatu hari nanti, namun mungkinkah?
Virin menggelengkan kepala keheranan. Matanya basah karena air mata yang tidak lagi dapat ditahan.
“Aku tidak habis pikir tentangmu,” ujarnya. “Tikus-tikus itu hewan menjijikkan. Mereka kotor. Mereka pembawa penyakit dan…”
Ia tidak lagi dapat meneruskan kalimatnya. Air mata membanjir di wajahnya. Rugald memegang tangan Virin.
“Dengarkan aku,” katanya lembut.
Lalu ia mengulangi semua yang pernah didengarnya dari si raja tikus.
“Tapi itu tidak berarti kau harus mengabaikan kenyataan dan mengumpulkan mereka seperti ini,” Virin berkata dengan nada marah. Matanya yang basah melotot.
Rugald menatapnya kecewa. Kepedihan memenuhinya. Jika gadis ini tidak juga mau memahami tindakannya maka apa yang akan terjadi? Rugald membiarkan angin yang berhembus mengacaukan rambutnya sementara ia menunggu Virin menyelesaikan tangisannya.
“Rugald,” ujar gadis itu tegas beberapa saat kemudian. Wajahnya sudah kering dan ia melotot memandang anak laki-laki yang pernah dekat di hatinya. “Jika kau begitu berkeras aku khawatir,” Suaranya nyaris bergetar namun wajahnya terlihat tegas. “Aku khawatir aku tidak bisa bersamamu lagi.”
Napas Rugald tersentak mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari mulut gadis itu. Ia merasa sulit mempercayai bahwa Virin benar-benar mengucapkannya namun pandangan mata gadis itu mempertegas kalimat yang ditakutkan Rugald itu.
“Tidak,” Rugald masih berusaha melunakkan hati Virin namun ia tidak yakin apa yang harus diucapkannya. “Mengertilah,Virin,” ia mendesak. “Apa kau tidak memikirkan perasaanku padamu?”
Namun, kalimat itu hanya membuat air mata gadis itu kembali tumpah. Ia menepiskan tangan Rugald yang menggenggam tangannya dan berbalik.
“Selamat tinggal,” bisiknya sebelum berlari pergi.
“Tunggu!” teriak Rugald.
Ia berniat mengejar Virin namun mendadak kakinya terasa lunglai. Tubuhnya gemetar dan kepalanya kosong. Tertatih-tatih ia melangkah masuk ke pondoknya. Ia segera masuk ke kamar dan menemukan raja tikus tengah berada di meja di samping tempat tidur.
Mata manik-maniknya menatap Rugald dengan sorot prihatin seakan tahu apa yang terjadi. Ia tidak lagi menempati sangkar. Rugald telah membebaskan para tikus melakukan apa pun di rumahnya. Seekor tikus lain baru saja melesat ke luar jendela. Mungkin raja tikus mengetahui segala yang terjadi darinya, pikir Rugald. Dengan perasaan hampa ia berkata,
“Sekarang tidak ada lagi manusia yang peduli padaku.”
“Sabar, Nak.” cicit si raja tikus. “Manusia memang begitu. Tidak mudah bagi mereka menerima sudut pandang pemikiran baru yang bertentangan dengan apa yang mereka pikirkan selama ini. Kami para tikus sudah biasa menghadapi resiko terbunuh kapan saja dan di mana saja.”
Kemudian ia menambahkan,”Tidak ada lagi tempat bagi kita di sini.”
Lalu ia menjelaskan bahwa bangsa tikus biasa hidup mengembara,menjelajah tempat demi tempat untuk mencari tempat tinggal baru. Mendengarnya mata Rugald menjadi bercahaya. Terbayang olehnya pegunungan dengan puncaknya yang seakan menusuk langit,lembah-lembah hijau penuh pepohonan dan hutan yang telah menjadi jiwanya. Sungai-sungai dan danau yang jernih penuh ikan dan airnya yang berkecipak. Awan putih yang memayungi kota dan desa-desa yang belum pernah dikunjunginya. Semua itu menunggu untuk dijelajahi dan Rugald akan melakukannya.
Ia kini tidak sendirian. Di mana-mana para tikus akan menyambutnya sebagai saudara. Tak ada lagi yang perlu ia takutkan. Maka pada malam harinya ia menyelinap di dalam kegelapan bersama raja tikus yang bertengger di bahunya.
Tidak ada yang melihatnya pergi namun seluruh penduduk menemukan bahwa tidak ada lagi seekor tikus pun di desa itu sejak Rugald pergi. Bisik-bisik yang menyebar mengatakan bahwa tikus-tikus itu turut pergi bersamanya. Rugald pun menempati tempat khusus di hati seluruh penduduk desa sebagai pahlawan yang telah menyelamatkan desa dari tikus yang merugikan. Dan selama berabad-abad setelahnya cerita tentang Rugald si anak yatim piatu itu tidak pernah berhenti. Diceritakan dari generasi ke generasi dan masih terus berlangsung entah sampai kapan.
Penulis: Chrysanova Dewi
Redaktur: Putri Istiqomah Priyatna