Kembalinya Sang Istri

Suasana di daerah Kota Antapani Bandung pagi ini tampak lengang. Masyarakat di daerah itu masih sibuk bergelung diatas tempat tidur dengan ditutupi selimbut. Yang ada hanya para pekerja seperti PNS, para pedagang, dan para pekerja lainnya yang sedang bersiap-siap untuk berangkat ke tempat tujuan. Aku terbangun saat pukul 05.00. Kubuka gorden jendela kamarku, kupandangi jalanan di sekitar rumahku yang masih berembun bekas hujan semalam. Lalu suara ibu mulai berteriak memanggil namaku. Kulihat ibu sedang sibuk memasak untuk kakakku Vina yang juga seorang PNS di Kota Bandung ini. Aku baru pulang dari Yogyakarta, setelah selama 4 tahun aku menempuh pendidikan di bangku kuliah. Dan selama 4 tahun itu, aku jarang pulang ke Kota Bandung. Paling hanya beberapa hari, lalu kembali lagi ke Yogyakarta untuk meneruskan kuliah disana. Aku adalah mahasiswa jebolan Universitas Gadjah Mada. Aku mengambil jurusan Pendidikan Sejarah disana. Semua teman-teman sekelasku kebanyakan adalah orang Jakarta dan Jawa Barat. Jadi sangat mudah bagiku berkomunikasi dengan bahasa sunda. Bahkan ada pula yang satu daerah denganku. Dia adalah Adelia. Aku dan dia bersahabat semenjak kami bertemu di kampus. Awalnya ketika pertama kali berkenalan, kami sama-sama canggung. Namun lama-kelamaan, kami jadi semakin akrab. Itu karena aku yang mendekatkan diri dengannya. Ibu menyuruhku membersihkan diri, lalu menyuruhku untuk pergi berbelanja ke pasar bersamanya.
“Begini, Nad. Stok makanan sudah hampir habis. Jadi hari ini kita harus pergi ke Pasar untuk berbelanja stok makanan.” Katanya.
Aku mengangguk lalu segera bersiap-siap. Selama di pasar, aku tak banyak berbicara. Aku hanya menuruti apa yang ibu inginkan. Setelah semuanya selesai, aku dan ibuku segera pulang, membawa belanjaan yang sudah semakin berat saja rasanya. Angkutan umum saat itu tak terlalu ramai penumpangnya. Aku dan ibuku memilih angkutan umum yang kosong saja. Sesampainya di rumah, aku menurunkan semua belanjaan yang kubawa.
“Nad, tolong belikan bumbu-bumbu ini, ya. Ibu masih harus membereskan ini. Boleh, ya?”
“Iya, bu. Uangnya?”
Ibu menyerahkan uang sebesar 50000 kepadaku. Aku menerimanya lalu pergi menuju warung tempat menjual bumbu-bumbuan. Aku membeli semua yang ibu pesan di kertas bon. Sepanjang perjalanan pulang dari warung, aku terus mengingat kenangan bersama Adelia. Senyumnya, canda tawanya, kebaikannya, ekspresinya saat marah, dan sikap jahilnya yang bukan main. Hingga akhirnya tiba-tiba aku menabrak seseorang. Orang itu menahanku sambil berkata:
“Ya ampun, Nadia. Kalau berjalan itu harus hati-hati dong. Tidak boleh sambil melamun. Untung saja belanjaanmu tak tumpah berserakan kesana-kemari.”
Jelas sekali kudengar suara itu. Itu adalah suara laki-laki yang tak asing lagi bagiku. Peter. Ya, itu suara Peter. Sudah sekian lama aku tak mendengar suaranya.
“M ma maafkan aku, Peter.” Kataku gugup. “Aku tidak sengaja menabrakmu.”
“Tidak apa-apa,” kata Peter kalem. “Apa kabarmu? Sudah lama aku tak melihatmu.”
“Aku, aku baik. Bagaimana denganmu?”
“Aku juga baik. Ah, sudahlah. Pulanglah dulu. Nanti ibumu mengkhawatirkanmu.”
“Tunggu. Kau mau pergi kemana?”
“Aku akan pergi ke kantor tempatku bekerja. Kau tak ada niat untuk bekerja disini, Nadia?”
“Er, sebenarnya aku ingin bekerja disini. Tapi, entahlah. Bagaimana nanti saja.”
“Ya sudah, sampai jumpa nanti. Aku harus segera sampai di kantor. Nanti aku terlambat. Kau, lekaslah berikan barang belanjaanmu pada ibumu.”
“Baiklah, Peter, sampai jumpa. Kau juga, hati-hati di jalan.”
Peter mengangguk dan tersenyum. Dia melangkah semakin jauh. Kupandangi punggungnya yang semakin tak terlihat. Jujur, aku sudah sangat menyukainya dari sejak aku pertama kali berjumpa dengannya. Dia bagaikan malaikat tak bersayap bagiku. Saat itu, aku baru saja pulang sekolah. Aku memutuskan untuk berjalan kaki saja menuju rumahku karena aku sedang malas untuk berdesak-desakan dalam angkutan umum. Dan sebuah motor tiba-tiba menyerempetku dengan kasar. Tubuhku limbung dan akhirnya terjatuh. Aku menahan sakit dibagian kaki dan tanganku. Tas yang kugendongpun terlepas dari punndakku. Lalu tas itu robek di bagian bawah, membuat isinya bertebaran kemana-mana, semua alat tulis, buku-buku, dan kacamata yang biasa kugunakan untuk membaca. Saat itulah, Peter datang menolongku.
Dia membangunkanku, mengumpulkan barang-barangku, mengembalikan tas gendongku, lalu ia mengobati luka dikaki dan tanganku. Bahkan dia rela sampai mengantarku pulang bersamanya. Kebetulan saat itu dia membawa motornya, dia memboncengku hingga sampai rumah. Aku mengucap terima kasih berkali-kali padanya. Begitu pula ibu dan kakakku. Mereka tampak cemas melihat baju sekolah putih abu-abuku kotor dibagian belakang. Peter-lah yang menjelaskan semuanya pada keluargaku.
“Nadia, sudah selesai belanjanya?”
Suara ibu tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Aku menatap sekeliling, rupanya aku sudah sampai di dalam rumah.
“Ada apa? Kenapa kau melamun begitu?” tanya ibu.
“Er, tidak apa-apa, bu. Aku hanya sedang mengingat kenangan bersama Adelia.”
“Benarkah? Kenapa kau nampak tersenyum-senyum sendiri begitu? Seperti orang yang sedang jatuh cinta saja?”
Ibu memang pandai menebak perasaan anaknya. Dulu saat kakakku mempunyai rasa suka kepada kak Harris, teman kuliahnya, ibu sudah bisa menebaknya. Padahal kak Vina hanya menunjukkan kalau dia bahagia karena telah dibantu mengerjakan tugas kuliah oleh kak Harris. Namun ibu tetap mampu membaca fikiran kak Vina, sehingga mau tak mau kak Vina harus membuka rahasia hatinya.
“Kenapa kau malah terdiam?” tanya ibu lagi.
“Benar bukan? Kau sedang jatuh cinta? Jujurlah, Nad. Ibu tidak akan marah kalau kamu sudah merasakan jatuh cinta. Ayolah, kau sedang jatuh cinta pada siapa?”
“Er, aku, aku kagum pada Peter, bu.” Kataku dengan wajah merona merah.
“Oh, Peter, adiknya Anna kah?”
“Eh–ya.”
Ibu mencubit pipiku yang semakin memerah karena malu.
“Wah, wah, wah, ternyata anak ibu yang satu ini sudah mengalami jatuh cinta juga rupanya. Nanti ibu akan sampaikan salam untuknya darimu.”
“Ya ampun, ibu. Tolonglah, bu. Jangan lakukan itu.”
“Memangnya kenapa?”
“Aku malu, bu. Bahaya kalau Peter tahu tentang perasaanku. Nanti kalau dia benci padaku bagaimana? Nanti justru aku jauh darinya.”
“Tidak, ibu yang akan membujuknya.”
“Kalau dia tidak mau?”
“Tidak mungkin. Dia pasti mau.”
“Tapi aku tak mau cinta karena terpaksa. Aku ingin Peter sendiri yang mengungkapkan rasa cintanya padaku. Dan itu tanpa ibu memberitahunya kalau aku ada perasaan lebih padanya. Aku ingin cinta yang murni, tulus dari hatinya.”
“Ya, ya, ya, baiklah. Itu terserahmu. Yang penting, kau jangan pernah menyatakan perasaanmu lebih dulu padanya. Harga dirimu sebagai perempuan harus kau lindungi baik-baik. Jangan sampai kau menjatuhkannya dihadapan laki-laki.”

Aku mengangguk, lalu aku bergegas menuju dapur untuk menyimpan barang belanjaanku. Ibu selalu saja memaksa anaknya bercerita kalau sedang jatuh cinta, entah apa yang diinginkannya.

Selama beberapa hari aku berada di rumah. Dan Kamis nanti aku harus pergi ke Oxford, karena aku mendapat beasiswa untuk kuliah disana. Ibupun sangat bangga karena akhirnya aku bisa mencapai cita-citaku untuk kuliah di Ingris. Aku masih tetap mengambil fakultas sejarah. Entah kenapa, aku begitu menyukai sejarah. Dari sejak kecil, ayah yang selalu menceritakan sejarah apapun. Bahkan sejarah kemerdekaan Indonesia, sejarah kerajaan di Indonesia, cerita kehidupan manusia di zaman prasejarah pun masih melekat dibenakku. Aku juga sudah diajarkan belajar Bahasa Inggris dari sejak kecil. Berhubung ayah dan ibuku pernah tinggal di Belgia selama 5 tahun, jadi sedikit banyaknya aku tahu Bahasa Inggris. Aku bukan murni lahir di Indonesia, aku lahir di Belgia, tapi saat usiaku beranjak 4 tahun, aku dibawa ke Indonesia dan dibesarkan di tanah Sunda.

Siang itu, aku dan ibu sudah siap di Bandara. Ayah dan kak Vina akan segera menyusul. Berhubung mereka masih bekerja di tempat masing-masing, jadi mereka terpaksa harus menyusul. Tak kusangka, ternyata Peter ada disana. Dia menarik tanganku dan membawaku ke tempat yang tersembunyi dari kerumunan orang. Dia merangkulku erat dan meneteskan air mata. Tatapannya lembut penuh cinta dan penuh makna. Aku tak mengerti apa maksud Peter mengajakku ke tempat ini.

“Peter, apa yang terjadi padamu?” tanyaku lembut sembari mengusap kepalanya.
“Nadia, sekarang kau akan pergi dari Indonesia, pergi dari Kota Bandung untuk yang kesekian kalinya. Kau membiarkanku merindu begitu berat. Nadia, sampai saat ini, aku belum pernah sama sekali menemukan sosok wanita yang menarik bagiku. Dan kini, kaulah yang menyentuh hatiku, kau yang meluluhkan kerasnya hatiku, kau yang membukakan pintu hatiku. Maukah kau menjadi kekasihku? Agar aku bisa menatap wajahmu bebas, agar aku bisa mengungkapkan rasa rinduku padamu, walaupun kita berjauhan. Agar aku bisa terus memberi semangat untukmu, dan agar aku tak merasakan cemburu ketika kau dekat dengan laki-laki lain.”

Peter berbicara dengan suara bergetar. Jantungku berdebar keras, dadaku berdesir saat mendengar kata-kata yang diucapkan Peter. Aku tak menyangka kalau ternyata Peter memiliki rasa yang sama denganku. Aku terdiam seribu bahasa, tak tahu harus menjawab iya atau tidak. Sebenarnya kalau aku ikuti kata hati, aku ingin menerimanya. Aku benar-benar bimbang. Dan pada akhirnya, kuanggukan juga kepalaku.

“Ya, baiklah, Peter. Aku mau menjadi kekasihmu. Karena sejujurnya, aku juga merasakan hal yang sama denganmu. Kau ingat, ketika kau menolongku, kau mengobati lukaku, kau mengembalikan barang-barangku, kau membawaku pulang ke rumah dengan motormu. Disanalah benih cintaku mulai tumbuh untukmu. Tapi aku tak bisa mengungkapkannya. Karena aku sadar kalau aku adalah seorang perempuan. Tak mungkin aku mendahuluimu. Biarlah aku mencintaimu dalam diam. Tapi siapa sangka, ternyata Tuhan begitu baik dan sayang padaku. Dia mendatangkan kau dalam hidupku sekarang, tepat saat aku membutuhkan semangat darimu.”
“Terima kasih, Nadia. Kukira, kau akan menolakku mentah-mentah. Karena sebetulnya aku adalah kriteria laki-laki yang tak banyak diinginkan semua perempuan. Aku adalah seorang laki-laki yang sok bijak padahal tidak, aku adalah laki-laki yang egois, pemarah, dan tubuhkupun tak sekuat laki-laki lain.”
“Tidak apa-apa, Peter. Aku bangga memiliki kekasih sepertimu. Aku juga bukan wanita sempurna seperti yang diinginkan semua orang. Aku punya kekurangan, kau juga punya kekurangan. Namun tahukah kau, Peter? Aku mencintaimu apa adanya, tanpa memandang kekuranganmu sedikitpun. Kalau kau sedang marah, biarkan aku untuk meredam amarahmu. Kalau kau sedang bersedih, biarkan aku yang menghapus sedihmu. Kalau kau sedang menangis, biarkan aku yang mengusap air matamu.”
“Benarkah, Nadia? Kau yakin?”
Aku menganggukan kepalaku keras, tanda meyakinkan Peter bahwa aku bersungguh-sungguh. Peter tersenyum saat melihat kesungguhanku. Dia memelukku dan mencium pipi kiri dan kananku. Dia juga mengelus rambutku, membuatku terlena sesaat. Baru kali ini aku merasakan keromantisan dalam berpacaran. Dulu saat aku berpacaran dengan Arga, dia terkesan angkuh dan egois. Lalu ketika aku berpacaran dengan Daniel, dia terkesan pendiam dan jarang berbicara. Mereka tak pernah memperlakukanku seperti ini. Dan cara mereka menyatakan cintanyapun tak sehalus Peter.

“Sudahlah, Peter. Aku harus segera berangkat.”
Aku dan Peter berjalan dengan bergandengan tangan. Senyum terlukis dibibir kami berdua. Ibu, ayah, dan kak Vina terkejut melihat pemandangan itu.
“Nadia, kau?”
“Tenang, kak Vina. Nadia sudah menjadi kekasihku. Tak akan kubiarkan laki-laki jahat yang menyentuhnya sembarangan.” Ujar Peter sambil mengeratkan gandengannya ditanganku.
“Benarkah? Apakah ibu tidak salah dengar? Apakah mata ibu tidak rusak?”
“Tidak, bu. Nadia benar-benar telah resmi menjadi kekasih Peter.” Kataku meyakinkan.
“Syukurlah. Peter, jaga Nadia baik-baik ya.”
“Baik, bu. Peter pasti akan menjaganya.”
“Tunggu. Kau akan ikut ke Oxford juga, Peter?”
“Ya, ibuku juga ada pekerjaan disana. Jadi, aku bisa berangkat bersamamu.”
“Syukurlah. Jadi aku tak usah merindu terlalu lama.”
“Dasar manusia yang sedang dilanda asmara!” ujar kak Vina sambil mencubit pipiku.
Aku menjerit kesakitan, lalu kuelus pipiku yang masih terasa sakit bekas cubitan kak Vina.

Pesawat yang menuju Oxford telah siap untuk dinaiki. Aku memilih kursi paling belakang. Tak kusangka, Peter ternyata memilih bangku yang sama denganku. Dia duduk disampingku sambil mengatur posisinya. Aku duduk bersandar sambil mengambil ponselku untuk dimatikan. Setelah itu, kumasukan kembali ponselku ke dalam tas. Aku merasa pesawat ini bergerak-gerak, sepertinya pesawat ini akan segera terbang menuju tujuan. Aku memeluk diri sendiri karena terlalu gemetar. Hal yang paling membuatku mual dan bergetar adalah ketika merasakan pesawat yang mulai terbang, dan ketika pesawat meluncur ke daratan. Rasanya aku ingin muntah saja. Peter menyadari perubahan ekspresiku. Dia memegangi tubuhku agar tak terlalu gemetaran. Aku meringis, perutku sudah mual, rasanya aku ingin memuntahkan semua yang telah kumakan. Namun kehangatan tangan Peter mampu mengaburkan semua rasa itu. Aku menoleh, tampak wajahnya yang begitu cemas menatapku.

“Nadia, kau baik-baik saja?” tanyanya pelan.
“Aku… aku mual, Peter.” Kataku sambil menahan tenggorokan agar tak memuntahkan sedikitpun makanan dari perutku.
“Aku akan melindungimu.” Katanya lembut.
“Terima kasih, Peter.”
Aku menutup mulutku kuat-kuat dengan kedua tanganku. Kupaksa tenggorokanku untuk menahan muntahanku. Wajahkupun semakin pucat. Tangan peter masih menahan punggungku dengan sangat kuat. Wajahnya semakin cemas.
“Kau sudah minum obat?” tanyanya lagi.
Aku menggelengkan kepalaku, karena kalau kubuka mulutku, aku takut muntahan itu akan keluar dengan bebas. Peter membuka tasnya dan kulihat dia mencari sesuatu di dalamnya.
“Ini. Minumlah. Supaya kau tak mual lagi.”
Peter menyerahkan obat anti angin dan sebotol air aqua kepadaku. Aku tetap menggeleng. Percuma saja kuminum obat itu, karena tetap saja aku akan muntah.
“Ayolah, Nadia. Minum ini. Aku takut kau sakit.”
Aku masih terus menggeleng. Ingin rasanya aku membuka mulut dan menjawab perkataannya, namun muntahan yang sudah berada di pangkal tenggorokan tak mampu kutahan untuk keluar. Aku berdiri dan berlari menuju toilet pesawat. Syukurlah, ternyata fasilitas dalam pesawat ini cukup lengkap. Kumuntahkan semua yang ada dalam perutku.
“Fyuh, akhirnya, aku bisa mengeluarkanmu, muntahan-muntahan menjijikan!” gumamku dalam hati.

Setelah selesai memuntahkan semuanya, akupun keluar dari toilet dan lekas menuju tempat asalku duduk bersama Peter. Kulihat wajahnya semakin pucat dan cemas.
“Nadia, kau baik-baik saja?” tanyanya.
“Aku baik-baik saja, Peter. Kau tak usah khawatir. Ini sudah biasa bagiku.”
“Syukurlah. Minumlah ini. Ayolah, aku takut kau muntah lagi.”
“Baiklah, Peter. Maafkan aku. Tadi aku ingin menjawab semua perkataanmu. Tapi muntahan ini sudah nyaris keluar. Aku tak ingin menjadi tambah merepotkan.”
“Tak apa, Nadia, aku mengerti.”

Aku meminum air aqua pemberian Peter, dan kuminum obat itu sampai tenggorokanku terasa sejuk. Lalu kuminum lagi air beberapa teguk, dan kusandarkan tubuhku. Peter mengusap-usap kepalaku, dan meletakkan kepalaku dipundaknya.
“Tidurlah, kekasihku. Aku akan menjagamu.” Ujarnya lembut.
Sudah kucoba memejamkan mataku, namun suara pesawat ini terlalu bising. Gerakannya juga kasar. Aku tak bisa tertidur. Namun kini tak kurasakan lagi mual yang sedari tadi mendera perutku. Tangan Peter masih menahan tubuhku agar tidak terjatuh.
“Peter,” panggilku lirih.
“Ya, Nadia.”
“Aku tak bisa tidur. Gerakan pesawat ini kasar sekali, suaranya juga bising.”
“Tidak apa-apa, yang penting rasa mual itu sudah hilang.”
Selama beberapa jam aku berada dalam pesawat. Dan sekarang pesawat itu tengah meluncur ke daratan. Peter memegangi tubuhku yang sudah tak karuhan.
“Bertahanlah, sayang.”
Aku hanya mengangguk pelan. Akhirnya, pesawat yang kutumpangi pun mendarat dengan selamat. Aku membawa semua barang-barangku dan menggendongnya. Awalnya Peter memaksaku agar semua barang-barangku agar dia saja yang membawanya, tapi aku menolaknya. Tenagaku masih cukup kuat untuk membawa barang-barangku sendiri.

Aku memilih menginap di Stonehill Grouf, karena disana banyak bunga Sakura yang sedang bermekaran. Berhubung sekarang sedang musim semi. Aku menyukai pandangan ini. Peter dan keluarganya tinggal disebelah rumahku. Aku meregangkan ototku yang sudah sangat pegal. Karena sepanjang perjalanan dari Bandara hingga sampai rumah, aku menggendong barang-barangku yang begitu berat. Aku sengaja membeli rumah, bukan menyewa rumah, karena aku akan tinggal cukup lama di Edinburgh. Selain melanjutkan S.2 di Oxford University, aku juga akan meneruskan s.3 di Reading University. Lalu aku akan mencari pekerjaan disini selama beberapa tahun lamanya, untuk mengumpulkan uang ponsterling, dan akan kubawa kehadapan ayah, ibu, dan kak Vina. Aku sudah menyusun semuanya, bahkan aku sudah menuliskannya diatas secarik kertas, dan kusimpan dibawah tempat tidurku. Kemungkinan, sekitar 7 atau 8 tahun-an aku ada disini.

Baca:  Sepasang Rembulan Pasi

Aku tidak peduli. Ini adalah cita-citaku. Aku akan menggali sejarah Dunia, dan akan mempelajarinya bersama para guru yang juga pakar sejarah. Setiap kali aku sedang menulis naskah tesis, selalu kuluangkan waktuku untuk membaca di ruangan provesor Rowling. Beliau selalu mengajarkanku betapa pentingnya sejarah bagi kehidupan di masa yang akan datang. Aku banyak belajar dari Beliau. Seorang wanita dengan wibawa tegas, dan penuh pengetahuan tentang sejarah dihidupnya. Aku menyukai cara hidupnya yang selalu terlihat seperti wanita perkasa, karena pada kenyataannyapun Beliau adalah wanita perkasa. Selain cantik, ramah, dan murah senyum, kepintarannyapun begitu dikagumi banyak orang, dan, termasuk aku.

6 bulan sudah aku kuliah di Oxford University. Aku sengaja tak meminta Peter agar terus mengantar jemputku, karena aku tak suka dimanjakan. Aku ingin hafal betul lokasi Britania Raya ini. Diapun tak mengekangku, dan membebaskanku pergi kemana-mana sendirian. Aku berkenalan dengan seorang wanita seumuranku bernama Any. Penampilannya begitu mencolok, feminim, dan tampak seksi sekali. Berbeda jauh denganku yang tak terbiasa dengan cuaca dingin disini. Aku mengenakan baju kaus berlengan panjang, celana jeans tebal, dan mengenakan syal serta mantel musim dingin. Selain itu, aku hanya memakai kalung pemberian ayahku yang dari sejak kecil kupakai. Kalung bermodel klasik yang katanya itu adalah kalung warisan. Aku dan kak Vina memakai kalung yang sama. Di kalung itu terdapat foto salah seorang leluhurku, pemilik kalung ini.

“Your appearance is simple, girl.” Ujarnya saat melihatku.
“Yes, because I’m still unfamiliar with the weather in here.” Jawabku santai.
“Oh, so? All right.”

Ternyata orang-orang disini tak seramah orang-orang di Indonesia. Mereka terkesan cuek, acuh tak acuh, dan bersifat dingin. Memang ada saja orang yang ramah dan peduli pada sesama, tapi kurasa aku jarang menemukannya.

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 22.45. Aku bergegas beranjak dari ruangan Provesor Rowling dan segera pulang ke rumah. Kulihat jalanan sudah sangat sepi sekali. Udara pun sangat dingin kurasa. Handphone-ku tak bisa kunyalakan karena habis baterai. Suara yang terdengar hanyalah suara musik di Greja dikejauhan. Aku agak ketakutan melewati jalanan sepi dan gelap seperti itu. Tapi ini bukan Indonesia yang masih penuh hal-hal mistis. Inggris adalah negara modern, sangat mustahil jika banyak hantu-hantu menyeramkan yang sering dikatakan banyak orang. Kulangkahkan kakiku semakin jauh, akhirnya aku sampai di rumah.

Tapi sebelum aku melangkah lebih jauh ke dalam rumah, sudut kanan mataku menangkap sebuah bungkusan berwarna merah yang tergeletak tak jauh dari rumahku, dan sebuah benda kotak berwarna cokelat berada tak jauh dari sampingnya. Kudekati dua benda itu dan mencoba memeriksanya. Berhubung kini penerangan lebih banyak, jadi aku bisa melihat apa saja yang ada disekitarku. Kuhampiri bungkusan berwarna merah itu terlebih dahulu. Kusentuh dan kucoba membukanya dengan tangan yang gemetar. Keringatku bercucuran, karena ternyata bungkusan itu begitu hangat. Dan setelah bungkusan itu terbuka, betapa terkejutnya aku, hingga aku hampir berteriak. Tapi pfikiranku mencegahnya.

Sesosok bayi mungil perempuan sedang tertidur pulas di dalam bungkusan itu. Kugendong bayi itu, dan kulilitkan bungkusan berwarna merah itu yang ternyata aisan bayi keleherku. Kukecup pipi bayi itu yang sepertinya baru berusia beberapa bulan. Lalu kudekati kotak berwarna cokelat itu yang ternyata kardus kecil. Kubuka kardus itu. Dan isinya ternyata semua peralatan bayi dan sebuah surat terselip di dalamnya. Surat itu berbahasa Inggris, kalau diartikan ke dalam Bahasa Indonesia kurang lebih begini:

“Kepada siapapun yang menemukan anakku, tolong rawat baik-baik. Kupinta, jangan lukai anakku. Kutitipkan anak itu padamu, karena saat ini aku sedang mengalami ancaman besar. Seseorang sedang mengincarku dan anakku. Sebagai seorang ibu aku tak kan pernah membiarkan anaknya disakiti orang lain. Jadi tolong jaga anakku, biarlah aku yang dibunuh dan disiksa oleh mereka.

Kalau dia menanyakan soal ibu dan ayahnya, berikan saja foto yang ada di dalam kotak kecil ini. Itu adalah fotoku bersama suamiku yang telah dibunuh saat tengah menjemputku yang masih berada di Rumah Sakit bersama anakku. Kau yang menemukan anakku boleh memberi namanya apa saja, asalkan tak jauh dari nama perempuan. Jika kau yang menemukan anakku adalah orang Indonesia, maka berilah nama yang berasal dari Indonesia. Namun jika kau asli orang Inggris, terserahmu mau memberikan nama apapun dan dari daerah manapun.

Oh ya, usianya baru 4 bulan. Aku tak sempat memberinya nama apapun, karena aku terlalu disibukan dengan pikiranku. Aku sibuk mencari cara agar anakku terselamatkan. Jika kau yang menemukan anakku ingin merayakan hari ulang tahunnya, dia lahir pada tanggal 9 bulan Maret. Berikanlah yang terbaik untuknya. Kalau usiaku tak panjang lagi, tolong jaga anak itu baik-baik. Anggaplah dia anakmu. Kuucapkan terima kasih padamu yang telah merawat anakku hingga ia tumbuh menjadi dewasa. Jika aku tak sempat menjumpai anakku lagi, biarkan aku yang akan mendatangi mimpinya ketika aku mati. Semoga Tuhan selalu memberikanmu cahaya.”

Begitulah isi suratnya. Aku tak tahu pasti siapa yang mengirimnya, namun dari foto yang kutemukan jauh di dalam kardus, aku dapat mengetahui siapa pemilik bayi itu. Mereka adalah orang Indonesia. Aku bisa tahu dari wajahnya. Ini adalah wajah orang-orang Jakarta. Nama mereka adalah Arina Putri dan Candra Wirawan.

Aku menyimpan kembali surat itu ke dalam amplop berwarna biru langit, tempat surat itu disimpan, lalu kumasukan pula foto ibu dan ayah bayi ini. Kuambil peralatan bayi itu dan kubawa serta dengan bayi yang ada dipangkuanku. Tak sadar, air mataku meleleh saat melihat bayi tak berdosa ini. Bayi itu menggeliat. Kucoba menenangkannya lagi, dan akhirnya diapun kembali tertidur dipangkuanku. Kubawa dia kekamarku, dan menidurkannya dipojok ranjang. Kusimpan guling disisi bayi itu, agar tak berbenturan dengan dinding yang dingin. Saat aku mulai membaringkan tubuhku, tiba-tiba ponselku berdering.

“Hello, sayang.”
Suara itu sudah tak asing lagi bagiku.
“Ya, sayang. Kau belum tidur?”
“Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu. Kenapa kau belum tidur?”
“Aku tak bisa tidur malam ini, sayang.”
“Begitu ya. Ya sudah, aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja atau tidak. Selamat malam, sayang.”
“Ya, selamat malam kembali, sayang.”

Semalaman ini aku tak bisa tidur. Air mataku terus meleleh melihat bayi mungil yang tertidur lelap disampingku. Rupanya dugaanku akan tinggal disini lebih lama itu ternyata benar. Aku harus tinggal disini selama bayi ini masih ada ditanganku. Kecuali ketika ibunya sudah mau mengambilnya, barulah aku bisa kembali ke Indonesia, tanpa membawa beban apapun.

Ketika pagi mulai menyapa, aku segera membereskan rumahku dan bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Kumandikan bayi mungil itu dengan air hangat yang kusiapkan sengaja untuknya. Akan kubawa bayi ini kemanapun aku pergi. Entah kenapa, walaupun baru semalaman aku tidur disamping bayi itu, tapi rasa sayang itu tumbuh begitu cepat dalam hatiku. Akan kuberi nama bayi ini Maharani Wirawan, dan akan kupanggil dia Rani. Sepertinya itu nama yang bagus. Sangat sesuai dengan wajahnya yang cantik.

Kubawa Rani ke kampusku. Semua orang terheran melihatku membawa bayi dipangkuanku, bahkan Provesor Rowling pun menanyakan bayi siapakah yang ada digendonganku. Aku menjawab ini adalah anak tetanggaku yang dijual padaku. Semua orang hanya menganggukan kepala. Tak ada yang menganggap aneh dengan bayi ini, bahkan tak ada yang menuduhku sebagai remaja yang selalu melacurkan diri pada laki-laki mata keranjang. Karena tak ada kemiripan diwajahku dan diwajah Rani. Tak seperti di Indonesia. Sedikit saja membawa bayi ke kampus atau sekolah, sudah dituduh yang bukan-bukan. Rani begitu pengertian. Dia tak merepotkan baik saat aku sedang menyimak materi dari para Provesor yang sedang menerangkan. Justru nampaknya dia sangat memerhatikan apa yang para Provesor jelaskan kepada Mahasiswa dikelas.

Jika biasanya aku selalu pulang agak larut, kali ini kuputuskan pukul 17.30 pun aku sudah pulang. Karena sekarang ada Rani ditanganku yang harus kurawat dengan baik. Aku membeli stok makanan untuk makan malamku dan sarapan pagiku nanti. Sekaligus membeli susu bayi untuk persediaan.

Dan setelah sampai di gerbang rumah, tiba-tiba Peter menegurku dengan gaya khasnya. Tepukan tangannya dipundakku sudah tak asing lagi bagiku.

“Nadia, kau membawa anak siapa?” tanyanya keheranan.
“Nanti saja akan kujelaskan.” Jawabku singkat.
“Namanya siapa?”
“Maharani Wirawan, panggil saja dia Rani.”
“Nama yang bagus, sesuai dengan wajahnya yang cantik. Sama seperti dirimu.”
Aku tersenyum mendengar pujian itu.
“Jika dibandingkan dengan perempuan-perempuan Britania Raya, lebih cantik siapa?”
“Bagiku, kaulah yang paling cantik, Nadia. Walaupun penampilan mereka tampak mencolok, tapi kaulah bidadariku. Kau tak kan pernah tergantikan dimataku. Kau adalah gemintang hatiku.” Lagi-lagi Peter membuatku tersenyum.
“Bisa saja kau, Peter. Ya sudah, aku harus memandikan Rani dan mengganti popoknya. Kau mau ikut masuk?”
“Lain kali saja, Nad. Aku takut merepotkanmu.”
“Tidak sama sekali. Tapi mungkin kau harus menunggu lama di ruang tamu.”
“Tidak usah, Nad. Aku mau segera pulang saja.”
“Baiklah, itu terserahmu. Sampai jumpa nanti.”
“Ya, sampai jumpa nanti.”

Rani sudah cantik sekarang. Bibirnya tersenyum saat aku mencium pipinya yang menggemaskan itu. Besok aku berniat untuk berjalan-jalan ke toko mainan. Aku akan membelikannya boneka dan mainan seperti untuk anak perempuan lainnya.

“Rani yang cantik, hari ini kau sudah banyak diajak jalan-jalan bersama bunda. Nah, esok, bunda akan membawamu pergi ke toko mainan. Bunda akan membelikanmu boneka yang cantik, sama sepertimu yang cantik dan menggemaskan.” Ujarku saat tengah mendandaninya.

Keesokan harinya, aku pergi ke sebuah toko mainan di Edinburgh ini. Kubelikan Rani beberapa boneka yang lucu dan mungil. Rani nampak senang melihat boneka yang kubelikan. Terkadang dia menunjuk boneka-boneka yang dia inginkan. Aku hanya mengikuti kemauannya saja. Beruntung dia tak banyak maunya. Anak ini sangat baik dan pendiam. Aku yakin salah satu dari kedua Orangtuanya ada yang bersifat seperti ini. Entah ayah atau ibunya, yang jelas pasti ada diantara keduanya.

Kubawa Rani ke toko mainan yang lain, namun dia nampak tak suka dengan mainan yang ada disana. Sorot matanya seperti mengatakan sudah cukup. Akupun menuruti kemauannya. Dan sesampainya di rumah, kusimpan boneka itu di dalam kotak kaca kecil yang kubeli untuk menyimpan boneka-boneka itu. Setelah lelah seharian aku berjalan-jalan di toko mainan, akhirnya aku bisa beristirahat. Kurebahkan tubuhku disamping Rani. Diapun nampak terlelap. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 21.30, sudah waktunya untuk tidur bagiku. Akupun ikut terlelap bersama Rani yang mungkin sudah terbang jauh ke dalam mimpinya.

Semenjak ada Rani, beberapa bulan ini aku jadi jarang ke kampus. Kecuali kalau ada materi yang harus kusimak. Aku mengerjakan naskah tesisku di rumah saja. Hari itu, Peter menjumpaiku yang tengah menjemur baju Rani di halaman rumahku.

“Hi, Nadia.”
“Hi, Peter. Sudah lama?”
“Tidak, baru saja aku datang.”
“Oh, begitu ya? Sebentar ya, aku masih harus menjemur baju Rani.”
“Santai saja, Nad. Oh iya, siapa Rani itu sebenarnya?”
“Aku lupa menceritakannya padamu, Peter. Rani bukan anak kandungku, aku menemukannya disamping rumahku. Awalnya aku acuh pada apa yang kulihat, tapi aku penasaran. Aku menemukan bungkusan berwarna merah, dan sebuah kotak kecil berwarna cokelat. Karena penasaran, aku hampiri saja dua benda itu. Rupanya, isi dari bungkusan itu adalah seorang bayi perempuan, dan kotak itu berisi peralatan bayi beserta surat dan foto kedua Orangtua Rani. Karena aku sangat kasihan melihat bayi yang diletakkan begitu saja diatas tanah yang kotor, jadi kuputuskan untuk merawatnya saja. Bagiku sekarang, Rani adalah belahan jiwaku.”
“Belahan jiwamu? Jadi bukan aku belahan jiwamu?”
“Kau masih belum sah untuk kusebut sebagai belahan jiwaku. Kau masih belum menjadi suamiku. Tapi kalau belahan hati, kaulah belahan hatiku.”
“Dasar kau ini. Bisa saja. Oh iya, dimana Rani sekarang?”
“Dia ada di dalam, sedang memainkan bonekanya. Kau ingin melihatnya?”
“Oh ya, rasanya aku juga ingin menjadikannya anakku.”
“Silakan saja kalau kau mau, Peter.”

Kulihat Peter memasuki rumahku, nampaknya dia benar-benar menghampiri Rani. Kudengar suara tawa ciri khas Rani. Ah, Peter, dia selalu saja membuat orang lain tertawa dengan tingkahnya. Yah, walaupun aku tahu, dia adalah sosok yang mudah marah dan egois. Tapi dibalik semua itu, dia memiliki sisi baik yang kukagumi.

Rani sudah tumbuh semakin tinggi dan cantik sekarang. Usianya sudah 2 tahun. Dia sudah mulai bisa berbicara Bahasa Indonesia, dan dia juga sudah mampu berdiri, berjalan, berlari, walau kadang masih sering terjatuh. Dia sering menangis jika dibagian tubuhnya merasa sakit. Sebentar lagi, naskah tesisku akan segera selesai. Besok hanya tinggal menyerahkannya kepada pihak kampus, dan menunggu proposal itu di ACC.

Sudah hampir 2 tahun aku di Edinburgh. Aku sudah mempersiapkan diri untuk meneruskan program siddang doktoral di Reading University. Dan tanpa menunggu waktu lama, akhirnya aku lulus menyandang predikat terbaik dikampusku. Provesor Rowling menyuruhku untuk mendaftarkan diri ke Universitas ternama setelah Oxford. Ya, menurutku, hanya itu satu-satunya, Reading University. Aku sudah mendaftarkan diri di Reading University, dan ternyata aku diterima disana.

Uang beasiswaku sudah habis, jadi sekarang aku mengandalkan uangku sendiri. Aku bekerja sebagai pelayan disebuah restaurants termewah di Kota ini. Juga bekerja sebagai cooky disebuah cafe. Jika waktu pagi dari pukul 03.30 aku bekerja di cafe, sedangkan sore sampai malam aku bekerja di restaurants. Penghasilanku cukup lumayan, jadi kugunakan untuk mendaftarkan diri di Universitas ternama di Edinburgh.

Hanya cukup beberapa bulan untukku menyimak semua materi dari para dosen, setelah itu aku disibukan menulis desertasi. Sekitar beberapa bulan, desertasiku sudah hampir setengah jadi. Beruntungnya, Rani tidak terlalu banyak keinginan seperti anak pada umumnya. Dia terlalu asyik bermain dengan boneka-bonekanya. Dan kali ini aku bebas mengajaknya pergi ke kampus untuk menemaniku membuat naskah desertasi di ruang perpustakaan atau kantor Profesor Rowling. Bahkan Rani selalu menyemangatiku ketika aku mulai malas mengerjakan tugasku. Aku terkadang malu padanya. Seharusnya anak sekecil itu masih harus dinasehati, bukan menasehati.

Hubunganku dengan Peter masih baik-baik saja, bahkan semakin lama Peter semakin romantis padaku. Begitu pula sebaliknya. Rani tak pernah menanyakan siapa ibu dan ayahnya. Ya, mungkin dia masih belum mengerti.

Tak terasa, hubunganku dengan Peter sudah beranjak 4 tahun. Aku sangat senang, karena akhirnya aku bisa benar-benar menjalin hubungan asmara selama ini. Dulu saat bersama Arga, aku hanya bertahan 1 tahun kurang. Dan saat bersama Daniel aku hanya bertahan 5 bulan.

Rani sedang sakit beberapa hari ini. Aku sudah membawanya ke klinik terdekat, dan ternyata Rani demam tinggi. Mungkin karena tubuhnya masih rapuh. Aku seringkali membawanya ke jalanan yang penuh dengan polusi dan angin-angin yang galak. Jadi Rani dengan mudah terserang penyakit. Rani yang pada awalnya tak pernah menangis, kini kulihat dia sering meringis kesakitan sembari memegangi kepalanya. Aku sengaja menidurkannya jauh dari laptop-ku, supaya Rani tak terkena radiasi cukup besar. Layar laptop-kupun sengaja aku kurangi cahaya terangnya, supaya penglihatan Rani tak terganggu.

Akhir-akhir ini aku jarang tertidur, karena aku khawatir pada Rani yang terus-menerus meringis kesakitan. Peter pun merasa sekarang aku menjadi acuh padanya. Sebenarnya aku tak bermaksud begitu. Hari ini, dia bermain ke rumahku. Katanya, dia ingin membicarakan sesuatu denganku. Aku sedikit takut, aku takut dia akan mengakhiri hubunganku dengannya.

“Nadia, tadi malam aku mendapat telepon dari Adelia, sahabatmu.”
“Apa yang dia katakan padamu?”
“Nadia, aku tak bermaksud untuk menyakiti hatimu. Akupun tak bermaksud untuk meninggalkanmu.”
“Apa maksudmu, Peter?” suaraku agak sedikit meninggi.
“Tenanglah, Nadia. Aku tahu kau pasti terkejut mendengar berita ini. Adelia memaksaku untuk menikahinya. Akupun tak tahu apa sebabnya. Yang jelas, dia tak peduli kalau sekarang aku mempunyai kekasih, yaitu dirimu.”
“Jadi maksudmu, hubungan kita akan berakhir sampai disini? Iya?”
“Maafkan aku, Nadia. Aku tak bermaksud untuk menyakitimu. Dan sebenarnya akupun terpaksa melakukan ini.”
“Kau jahat! Kau benar-benar jahat!”
“Nadia, maafkan aku. Akupun tak ingin melakukan ini. Aku tak ingin kau menangis dan tersakiti oleh laki-laki sepertiku. Tapi keadaan yang memaksaku untuk berbuat seperti ini.”

Air mataku berjatuhan sedikit demi sedikit. Begitu pula Peter. Kulihat sorot matanya memancarkan kepedihan yang amat dalam.

“Nadia, kau jangan menangis. Air matamu terlalu berharga untuk menangisi semua ini.”
Suara Peter agak bergetar. Sepertinya diapun menangis, sama denganku.
“Pergilah, Peter. Menikahlah dengan sahabatku Adelia. Biarkan aku disini sendirian, biarkan aku yang terluka. Aku rela jika kau menikah dengan sahabatku sendiri.”
Kuhapus air mataku dengan punggung tanganku. Kutegarkan diri dan hatiku, kucoba menerima kenyataan dan keadaan, walau sebenarnya terasa sakit sekali. Peter meraih tubuhku dan memelukku erat sekali.
“Aku tak ingin kehilanganmu, Nadia.”
“Cukup! Lepaskan aku! Jangan peluk aku lagi!”
Aku menepiskan tangan Peter yang lagi-lagi mencoba meraih tubuhku.
“Nadia, tolonglah. Izinkan aku memelukmu sekali ini saja.”
“Tidak, Peter! Peluklah Adelia! Jangan aku!”
“Rupanya kau lebih mementingkan perasaan Adelia daripada perasaanku, Nadia.”
“Aku tidak peduli! Kita sudah sama-sama sakit sekarang.”
Kuhapus lagi air mata yang hampir menetes di pelupuk mataku.
Aku harus kuat, aku harus tegar, aku harus bisa berdiri tegap.
“Nadia, aku tahu bahwa kau sebenarnya menangis. Tapi kau pura-pura tegar, kau pura-pura kuat dihadapanku. Aku tahu itu.”
“Sudah cukup! Pergi kau dari rumahku! Aku tak mau Rani juga ikut terbangun dan menangis hanya karena hal ini!”
“Hanya karena hal ini katamu? Kau menganggap ini hal sepele? Begitu?”
“Sudahlah, Peter! Pergilah! Jangan temui aku lagi!”
“Nadia, aku masih ingin bersamamu.”
“Cukup! Jangan keluarkan kata-kata apa-apa lagi! Aku akan mengurus Rani! Permisi!”
Aku beranjak dari dudukku dan melangkah menuju kamar tempat Rani tertidur.
Peter masih tetap mengejarku, namun sebelum dia masuk lebih jauh, aku sudah menutup pintu kamar ini dan menguncinya rapat-rapat.
Kupeluk Rani, dan kutumpahkan tangisku diatas perutnya yang masih harum oleh minyak bayi.
Sejenak, Rani menggeliat dan meringis lagi.
Wajahnya masih pucat, tubuhnyapun masih panas, namun kali ini tak terlalu panas seperti hari sebelumnya.
Kudengar suara ketukan di pintu kamarku.
Aku tahu itu pasti Peter.
Aku tak menggubrisnya, meskipun Peter sudah memanggilku berkali-kali.
“Nadia, tolong buka pintunya sebentar saja.”
Lama-lama aku risih juga mendengarnya.
Kubuka pintu itu dengan tangan bergetar dan posisi seperti bayi yang masih belum bisa berjalan.
Dan ketika pintu terbuka, aku mencoba tersenyum, namun ternyata aku gagal. Yang kutunjukkan padanya adalah senyum pahit.
Peter langsung terduduk dihadapanku dan memelukku erat.
Aku tak mempunyai tenaga lagi untuk melepaskan diri.
“Lepaskan aku, Peter!”
Namun teriakan itu tak juga melonggarkan pelukannya.
Justru dia semakin terisak dan pelukannya semakin keras.
Kurasakan detak jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya.
Air mata Peter membasahi pundakku, dia benar-benar menangis.
Akupun tak mampu menahan lagi bulir putih yang keluar dari pelupuk mataku.
Bulir putih itu meluncur begitu saja.
Bibirkupun tak sanggup lagi kutahan agar tak bergetar dan terisak.
“Nadia, aku mencintaimu.” Kata Peter sambil terisak.
“Aku membencimu, Peter!”
Sepertinya Peter terkejut mendengar ucapanku.
Dia mengangkat kepalanya dari pundakku dan beralih menatap wajahku.
“Kalau kau membenciku, untuk apa kau menangis?”
“Aku menangisi Rani, bukan menangisi kisahku denganmu.” Tegasku.
Peter menatap mataku tajam, menyelidik ke dalamnya.
memastikan apakah aku bersungguh-sungguh atau tidak.
Rupanya dia tahu kalau aku berbohong.
Dia tersenyum kecut.
“Aku tahu, Nadia. Walaupun kau berkata begitu dibibirmu, tapi dihatimu masih ada rasa untukku. Aku tahu, sorot matamu menandakan kau tak bersungguh-sungguh mengatakan hal itu. Dan aku tahu sebenarnya kau bukan menangisi Rani.”
“Cukup! Jangan katakan apa-apa lagi! Sekarang, lepaskan aku dari pelukanmu, lalu kau pergi dari rumah ini! Jangan pernah kau temui aku lagi! Kita sudah bukan apa-apa lagi sekarang!”
Namun perkataanku justru semakin membuat Peter menangis dan mengeraskan pelukannya.
“Untuk apa kau memeluk orang yang membencimu, Peter?”
“Kau tidak membenciku, kau mencintaiku. Katakan, Nadia! Katakan! Katakanlah kalau kau juga mencintaiku!”
Aku mendorong tubuh Peter keras sekali, hingga laki-laki itu akhirnya melepaskan pelukannya dari tubuhku.
Dia menatapku dengan pedih.
“Baiklah, Nadia. Kalau kau membenciku, aku akan pergi dari hadapanmu. Tapi harus selalu kau ingat, aku akan selalu mencintaimu, dan aku berharap, Adelia mengurungkan niatnya. Karena kalau aku menikah dengannyapun, aku sama sekali tak kan pernah menyentuhnya, walau sedikitpun. Dan harus kau tahu, hatiku hanya untukmu, Nadia. Tapi, tolong izinkan aku membelai rambutmu, menciummu, dan memelukmu untuk yang terakhir kalinya sebelum kita berpisah. Untuk kukenang selalu dalam benakku selamanya.”
Aku terdiam sejenak.
Kutatap mata Peter yang semakin berkaca-kaca.
Mau tak mau, si bulir putih itu menerobos benteng pertahanan di pelupuk mataku.
Lagi-lagi bulir putih itu berjatuhan dipipiku.
“Peter,” panggilku lirih.
“Ya, Nadia. Apa yang ingin kau katakan?”
“Aku, aku…”
“Katakanlah, Nadia. Tidak usah tersendat-sendat begitu.”
“Aku, aku mencintaimu, Peter.”
Bibirku bergetar saat mengucap kata itu.
Dengan spontan, Peter memelukku dan kami sama-sama terisak di dalam pelukan yang mungkin adalah pelukan terakhir.
“Nadia, aku juga sangat mencintaimu. Jujur, aku tak ingin kita berpisah. Aku hanya ingin hidup berdampingan denganmu, Nadia.”
“Tapi kasihan Adelia. Aku takut dia cemburu melihatmu berdampingan denganku.”
“Nadia, kau itu selalu saja mementingkan orang lain daripada dirimu sendiri. Kau tak memikirkan bagaimana sakitnya perasaanku yang harus menikah dengan wanita yang sama sekali tak kucintai, kau tak memikirkan betapa sakitnya dirimu saat harus melihatku duduk berdampingan dengan wanita yang tak lain dan tak bukan adalah sahabatmu sendiri.”
“Aku rela, Peter. Aku rela. Tidak apa-apa. Sudah kukatakan ketika kita masih duduk di halaman rumah bukan?”
Peter menggerakan tangannya dirambutku.
Dia membelaiku dengan penuh kelembutan.
Tubuhnya nampak bergetar.
Kuusap punggungnya pelan-pelan sampai akhirnya isaknyapun terhenti.
Dia mencium kedua pipiku kemudian beranjak pergi meninggalkanku yang masih meneteskan air mata dengan begitu derasnya.
“Selamat tinggal, Nadia.”
“Ya, selamat tinggal juga, Peter. Buanglah perasaan cintamu untukku. Gantilah dengan perasaan cinta untuk Adelia.”
“Tidak bisa, Nadia. Sesering apapun kau mengatakan itu, tak kan pernah meluluhkan perasaanku padamu.”
“Terserah kaulah, Peter.”
Kuhantarkan Peter dengan air mata berlinang dipipiku
Kutatap tubuhnya yang semakin lama semakin menjauh.
Lagi-lagi air mataku mengucur deras.
Kututup pintu keras-keras, dan bergegas berlari ke kamar.
Aku tak kuat menahan isak tangisku ketika kuhirup udara di kamarku.
Wangi parfum Peter masih membekas di kamar ini.
Tak kusangka, dengan berawalnya musim dingin di Kota ini, berakhir pula hubunganku dengan Peter.
Kuhampiri Rani yang rupanya sudah terbangun.
“Bunda, bunda kenapa?” tanyanya sambil menggeliat.
“Bunda tidak apa-apa, sayang.”
“Bunda, aku ingin sekolah.”
“Nanti ya, Rani sayang. Usiamu masih belum cukup untuk sekolah.”
“Iya, bunda. Tapi aku pasti akan sekolah kan?”
“Iya, Raniku sayang. Nanti bunda akan sekolahkan kamu di tempat yang berbeda.”
“Asyiiiik! Bunda memang baik sekali.”
Rani teramat bahagia mendengar jawabanku.
Senyum Rani memang selalu menghilangkan rasa gundahku.
Walaupun dia sedang sakit, dia masih bisa tersenyum.
“Bunda, kepala Rani sakit sekali.”
“Disebelah mana yang sakitnya, sayang?”
Rani menunjukkan bagian kepalanya yang sakit.
Aku mengelus kepalanya dengan penuh kelembutan, agar dia bisa lebih tenang.
“Bunda, apa aku boleh jalan-jalan?”
“Rani sayang, kau masih sakit. Kau masih harus banyak beristirahat. Kau bermain saja dengan bonekamu ya. Sebentar, bunda harus masak dulu. Kau jangan kemana-mana ya.”
Rani mengangguk.
Diapun meraih bonekanya yang terletak di dalam kotak kaca kecil itu.
Aku memerhatikannya sejenak, lalu bergegas menuju dapur.
Namun, suara deringan WhatsApp terdengar dari handphone-ku.
Kubaca WhatsApp itu, rupanya dari Adelia.
“Hi, Nadia. Sudah lama aku tak menghubungimu. Maafkan aku ya, aku harus merebut kekasihmu yang sudah sangat kau sayangi itu. Tanggal pernikahan kami akan berlangsung pada tanggal 28 Juni nanti. Kau, terserah kau mau datang atau tidak. Yang penting aku sudah mengundangmu. Terima kasih karena sudah membaca pesanku, selamat terluka ya, wahai Nadia yang malang.”
Sakit sekali rasanya membaca pesan itu.
Tanggal 28 Juni adalah hari dimana aku harus pulang ke rumah, karena harus menjumpai keluarga yang telah lama kutinggalkan.
Mengapa harus hari itu?
Mengapa tak hari lain saja?
Mengapa hari pernikahan mantan pacarku harus bertepatan ketika aku berada di rumah?
Oh, sakit rasanya melihat pemandangan itu.
Tapi tidak!
Aku harus kuat.
Kuletakan kembali handphone-ku diatas meja kamarku, dan kubiarkan WHATSAPP Adelia itu, aku tak ingin membalasnya sedikitpun, bahkan pesannya sudah kuhapus dari daftar chat.
Aku kembali lagi ke dapur untuk melanjutkan aktivitas masak-memasakku.
Hari ini aku ingin mencoba memasak ayam goreng.
Aku benar-benar merindukan masakan orang Indonesia.
Aku sudah menyiapkannya sedari kemarin, dan hari ini aku tinggal menggoreng ayam itu.
Namun saat aku tengah menggoreng ayam tersebut, sebuah cipratan minyak mengenai punggung tangan kananku.
Perih rasanya, namun tak terlalu kuhiraukan.
Perih dihatiku masih jauh lebih sakit jika dibandingkan dengan perih ditanganku.
Aku hampir berteriak ketika minyak itu berhamburan, namun fikiranku menahannya.
Cukup banyak luka karena minyak panas itu ditanganku.
Aku tak sempat mengobatinya, karena terlalu terfokus pada ayam yang sedang kugoreng.
Setelah selesai, aku mengangkatnya dari penggorengan.
Dan dalam sekejap, ayam itu sudah hangat, padahal belum kudinginkan sama sekali.
Ah, mungkin sekarang sedang musim dingin.
Kupanggil Rani untuk makan bersamaku.
Aku memutuskan untuk makan sepiring berdua saja dengan Rani, karena kalau makan sendirian, aku takut tak habis, berhubung aku sedang tak selera makan.
“Bunda, tangan bunda kenapa?” tanya Rani yang keheranan saat melihat tanganku yang penuh dengan luka.
“Tangan bunda tidak apa-apa, sayang. Ini hanya terkena minyak sedikit saja.”
“Rani ambil obat dulu ya, bunda.”
“Tidak usah, sayang. Sebentar lagipun akan sembuh.”
Rani kembali terduduk dan melanjutkan makannya.
Tanggal 28 Juni itu sudah hampir dekat.
Aku tak sempat menghadiri pernikahan Peter dan Adelia, karena aku masih ada kegiatan di Reading University.
Hari itu, ada beberapa orang dari Universitas di Inggris dan Amerika yang mengadakan seminar bersamaku.
Aku harus menghadirinya, karena aku adalah lulusan dari Oxford University.
Mau tak mau aku harus menghadiri seminar itu.
Sementara Rani, kubiarkan dia bermain bersama anak-anak anggota KBRI.
Karena jika kubiarkan dia bermain dengan anak-anak lain, dia tak terlalu faham Bahasa Inggris.
Acara seminar itu diadakan pada tanggal 5 Juli, dan disiarkan secara langsung diseluruh Dunia.
Jika di daerah Edinburgh saat ini adalah pukul 07.00, maka di Indonesia saat ini adalah pukul 14.00.
Kuharap, kak Vina, ibu, dan juga ayah menonton acara ini.
Semua orang melemparkan pandangannya kearahku dengan tatapan kasihan.
“What happened to your hand, Miss Nadia?”
“Emm, oh, no, I’m fine.” Jawabku tergagap.
Lalu aku melanjutkan perkataanku yang sempat tertunda.
Setelah acara seminar itu selesai, aku dikerumuni banyak orang.
Banyak yang ingin meminta berfoto bersamaku.
Dan kamera masih menyorot apa yang terjadi disekitar tempat itu.
Aku jadi malu sendiri.
“Sorry, I don’t have a time for take a photo with you.” Ujarku dengan bahasa yang lebih sopan.
Setelah aku berhasil melarikan diri dari orang-orang yang tetap memaksaku untuk berfoto dengan mereka, akupun menghampiri Rani yang masih asyik bermain dengan anak-anak dari anggota KBRI.
Rani tampak antusias melihatku datang menjemputnya.
Dia berhambur kearahku dan memelukku.
Tubuhnya masih terlalu kecil untuk mencapai pinggangku, jadi dia hanya sebatas memeluk betisku.
Kujongkokan tubuhku, dan aku balas memeluknya.
Kugendong tubuh Rani dan kubawa pulang.
Aku berpamitan sejenak kepada bapak-bapak dan ibu-ibu di KBRI, lalu segera pulang ke rumah.
Aku benar-benar puas hari ini, karena aku tak menghadiri acara pernikahan Peter dan Adelia.
Namun saat kubuka handphone-ku, ada beberapa pesan yang belum dibaca dari WhatsApp.
Ada dari kak Vina, dari ayah, dari ibu, dan, oh ya Tuhan, ada dari Peter.
Kak Vina: “Nadia, aku tak menyangka kalau kau bisa sampai terkenal hingga Amerika. Kau dikelilingi oleh para Provesor yang berilmu tinggi. Tapi, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu. Ada apa dengan tanganmu itu?”
Ibu: “Nadia, ibu bangga karena kau telah meraih prestasi yang gemilang di Negeri orang lain. Semoga kau terus mengingat kami ya, nak. Selamat atas kesuksesanmu. Tapi, satu yang ingin ibu tanyakan, ada apa dengan tanganmu itu?”
Ayah: “Nadia, ayah benar-benar tak menyangka dengan prestasimu yang sangat gemilang itu. Ayah bangga sekali padamu, nak. Pesan ayah, meskipun kau telah mencapai kesuksesan, kau jangan melupakan Negara Indonesia, jangan lupakan kami. Karena sebenarnya Indonesia-lah tanah airmu. Tapi, ayah ingin bertanya sesuatu padamu. Ada apa dengan tanganmu itu?”
Peter: “Nadia gemintang hatiku, aku sungguh bahagia bisa melihatmu di televisi. Dan tayangan itu disiarkan diseluruh Dunia. Selamat atas kesuksesanmu, Nadia. Teruslah gapai cita-citamu setinggi langit. Semoga kau bahagia disana. Aku bangga padamu. Tapi tunggu. Apa yang terjadi dengan tanganmu? Hatiku sakit melihat tanganmu yang penuh dengan luka, sepertinya itu luka bakar. Apakah kau mengalami kecelakaan?”
“Haaah! Semua orang menanyakan hal yang sama diakhir pesan. Baiklah akan kujawab semuanya dengan jawaban yang sama.”
Aku: “Terima kasih atas ucapannya. Tanganku hanyalah terkena cipratan minyak saat memasak, aku lupa tak mengobatinya.”
Hanya itu yang kutuliskan untuk mereka yang menanyakan prihal tanganku.
Yang lainnya kujawab dengan ucapan terima kasih saja.
Setelah lulus dari Reading University, aku memutuskan untuk mengajar disebuah sekolah dasar di Edinburgh.
Rani pun kusekolahkan disana.
Penghasilanku setidaknya bertambah, dari café, dari restaurants, dan dari hasilku mengajar.
Uang tabunganku semakin penuh, bahkan sekarang sudah mencapai 45000$ US.
Aku memutuskan untuk menunggu Rani sampai lulus sekolah dasar terlebih dahulu, lalu setelah itu aku akan pulang ke Indonesia.
“Bunda, tadi disekolahku aku juara menggambar.”
“Waaah, anak bunda memang pintar sekali ya.”
Kukecup dahi dan pipi Rani, dan tersenyum bangga menatapnya telah berhasil meraih prestasi yang menurut anak kecil itu sangat gemilang.
Rani kini sudah berhasil menguasai dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris.
Ibu dari anak ini tak pernah kulihat menampakan wajahnya.
Bahkan mengirim suratpun tak pernah.
Namun, beberapa hari yang lalu, aku mendengar kabar dari para anggota KBRI bahwa ada seorang perempuan bernama Arina Putri yang berasal dari Jakarta telah dibunuh oleh seorang laki-laki berinisial AH.
Aku benar-benar terkejut bukan kepalang saat itu.
Air mataku tak terasa mulai bercucuran.
Namun rasa tak tegaku pada Rani membuatku menghentikan tangisku.
“Bunda, kenapa bunda menangis?”
“Oh, tidak, Raniku sayang. Bunda tidak apa-apa. Ini hanya terkena debu saja.”
“Oh, Rani usap ya, boleh?”
“Iya, Rani sayang. Boleh.”
Kupeluk tubuh Rani, kucium keningnya dengan penuh rasa sayang.
Aku terharu melihatnya mencurahkan kasih sayangnya padaku.
Apakah aku akan memiliki seorang anak seperti Rani?
Kurebahkan tubuhku disampingnya, dan menyusulnya yang sudah terlelap, terbang menari menuju alam mimpinya yang semoga saja indah.
Beberapa hari kemudian, aku mendapat WhatsApp dari ibunya Peter.
Awalnya Beliau hanya menanyakan kabarku dan pekerjaanku setelah kuliah, dan ketika Beliau mulai menanyakan soal Peter, aku tak ingin menjawabnya lagi.
Sudah malas rasanya untuk mengungkit masalalu yang pahit itu.
“Bunda, apakah Rani tidak mempunyai ayah?”
“Kenapa kau bertanya seperti itu, Rani?”
“Karena semua orang di sekolah dihantar ayahnya, sedangkan aku, aku tak pernah dihantarkan ayahku. Terkadang mereka membawa kedua Orangtuanya, bahkan mereka seringkali membawa saudara seperti kakak, adik, dan lain sebagainya. Apakah aku ini anak yatim?”
“Rani sayang, kau bukan anak yatim, ayahmu masih ada, tapi dia masih perlu waktu untuk hidup bersama kita. Nanti bunda akan menceritakan semuanya ketika usiamu telah beranjak dewasa. Kau, bersabar ya. Semua itu ada waktunya.”
“Baiklah, bunda. Rani akan tunggu sampai usia Rani beranjak dewasa.”
Rani masih 7 tahun, wajar saja jika fikirannya masih polos.
Terkadang aku menangis jika melihat perihnya nasib Rani.
Namun aku tak mau mengungkapkan itu sekarang, aku ingin ia faham terlebih dahulu, apa arti kedua Orangtua, lalu aku akan menjelaskan semuanya padanya.
Memang agak sulit, apalagi ketika aku harus berbohong mengenai kedua Orangtuanya yang sebenarnya telah tiada.
Tapi aku harus melakukannya, karena ini adalah sebuah cara agar ia bisa lebih tenang, dan aku masih bisa mengulur waktu untuk menjelaskan yang sebenarnya.
Hari ini, kulihat Rani menangis terisak sambil berhambur kearahku.
Dia berteriak memanggil namaku.
Kuraih tubuhnya, dan kuletakkan ia dipangkuanku, lalu kuusap kepalanya.
“Rani sayang, apa yang terjadi? Kenapa kau menangis?”
“Bunda, semua orang membuliku, mereka mengatakan kalau aku anak haram. Mereka tak pernah melihat ayahku, mereka juga tak melihat kemiripan diwajahku dengan wajah bunda. Jelaskan sekarang juga, bunda! Jelaskan!”
“Rani sayang, tenanglah, nak. Nanti kau akan mengerti, begitu pula mereka. Mereka belum tahu ceritamu yang sebenarnya.”
“Tapi Rani bosan, bunda! Rani bosan mendengar celotehan semua orang! Kalau begini, Rani ingin mati saja!”
“Rani, Raniku, Raniku sayang, kau jangan berkata begitu. Kau tidak boleh mati. Kalau kau mati, siapa yang akan menemani bunda mengerjakan tugas? Siapa yang akan menemani bunda membuat kue? Siapa yang akan menemani bunda ketika bunda tidur? Kau mau bunda menangis karena kau mati? Kau mau bunda sakit karena kau telah pergi meninggalkan bunda?”
“Maafkan Rani, bunda. Rani terlalu marah, jadinya seperti ini. Maafkan Rani ya, bunda.”
“Tidak apa-apa, sayang. Ayo kita pulang. Bunda sudah menyiapkan sesuatu untukmu.”
Kugandeng lengan Rani, dan kubawa menuju rumahku.
Dari hasilku bekerja, aku membeli sebuah mobil SUV BMW putih.
Yah, sekedar untuk mengantar jemput Rani, dan untuk pulang pergiku ke tempat kerja.
Kunyalakan musik dalam mobilku, kucari lagu-lagu anak yang sesuai dengan usia Rani yang masih kanak-kanak.
Aku tidak mau mengajarkan lagu-lagu yang masih belum waktunya para anak-anak mendengarnya.
Rani terlihat girang saat mendengar lagu London Breach, dia menatapku sambil berkata:
“Bunda, aku ingin menjadi seorang penari, boleh?”
“Boleh, sayang. Asalkan kau bersungguh-sungguh untuk belajar.”
“Iya, bunda, itu pasti.”
“Anak bunda memang pintar dan hebat.”
Rani tersenyum dan memintaku mengulang lagu itu.
Lagu yang terkesan klasik, namun cukup bagus untuk anak-anak seusia Rani.
Akupun mengulang kembali lagu itu.
Mata Rani terlihat berbinar bahagia, senyumnya mengembang, sekilas kulihat dia memutar tangan dan kepalanya.
Anak ini memang berbakat dalam menari.
Kuperhatikan lenggak-lenggoknya yang lemah gemulai, terbukti bahwa ia bakat dalam bidang itu.
Akhirnya aku memutuskan untuk menuju rumah Wina, seorang penari asal Kota Bandung yang juga tinggal di Britania Raya.
Wina menyambutku dan Rani dengan senyuman cirikhasnya yang begitu manis.
Wajahnya masih seperti dulu, tak ada perubahan yang nampak darinya.
“Win, anakku ingin belajar menari denganmu. Maukah kau mengajarinya?”
“Oh, Nadia. Kau sudah menikah?”
Aku menarik Wina agar mendekat. “Sy sy sy, jangan kencang-kencang. Rani itu bukan anak kandungku. Dia kutemukan di dalam sebuah bungkusan berwarna merah ketika aku pulang kuliah. Kau jangan menanyakan soal itu sekarang. Nanti dia semakin bertanya-tanya.”
“Oh, iya, iya. Maafkan aku. Boleh-boleh. Kalau dia bersungguh-sungguh ingin belajar, pasti aku juga bersungguh-sungguh mengajarinya. Mari masuk.”
“Kira-kira, kapan dimulai belajar menarinya, Win?”
“Mungkin besok. Dari sepulang sekolah hingga pukul 14.30 kurang lebih. Atau bahkan sampai sore.”
“Nah, Rani sayang, bagaimana? Kau mau?”
“Tentu saja, aku sangat ingin belajar menari kepada bibi Wina.”
“Syukurlah, kalau Rani sedang belajar disini, kutitipkan dia padamu ya.”
“Serahkan saja padaku.”
Tak cukup waktu lama untuk mengajari Rani.
Dalam waktu beberapa bulan, Rani sudah pandai menari ala Sunda dan ala modern.
Bahkan dia seringkali tampil di sekolahnya.
Aku sebagai orang yang telah mengurus dan mendidiknya, merasa bangga karena akhirnya anak didikanku bisa sepintar dan sesemangat ini.
Bulian-bulian yang seringkali kudengar kini mulai berkurang.
Begitulah, seiring berjalannya waktu, pasti semua itu akan ada masa dimana semua akan terhenti sampai disitu saja.
Seperti bulian itu.
Akhirnya mereka lelah juga ya?
Setelah bertahun-tahun membuli Rani.
Kini aku tak lagi mendengar dia menangis saat pulang sekolah, aku tak lagi mendengar dia melempar barang kesana-kemari, aku tak lagi melihat dia menjambak rambutnya sendiri, dan semua yang dilakukannya kini penuh dengan seni.
Cara dia mandi, memakai baju, bercermin, berdandan, semuanya penuh dengan seni.
Aku benar-benar bangga padanya.
Dalam waktu beberapa tahun, aku tak lagi terfikirkan soal Peter.
Ya, walaupun terkadang aku teringat saat dia memelukku dikamarku untuk yang terakhir kalinya, wangi cirikhasnya, dan semuanya, tapi kucoba menghapus semua itu dari dalam benakku.
Aku tak boleh berharap pada laki-laki yang kini menjadi suami sahabatku sendiri.
Hari ini aku tak masuk kerja, karena kondisi tubuhku sedang kurang fit.
Ini mungkin efek dari kurang tidur, atau kurang darah, entahlah.
Yang jelas, kepalaku pusing sekali kalau kubawa berdiri.
Rasanya aku seperti orang mabuk.
Aku dan Rani sedang asyik menonton televisi di ruang tengah.
Tak sengaja aku menemukan tayangan ulang film Home Alone, film kesukaanku.
Kulihat Rani benar-benar serius memperhatikan film itu.
“Bunda, apa bunda akan meninggalkan Rani sendirian di rumah? Sama seperti ibunya Kevin?”
“Tidak, Raniku sayang. Bunda tidak akan melakukan itu.”
“Tapi Rani takut, kalau nasib Rani akan sama seperti Kevin.”
“Kau jangan takut, sayang. Kau tahu sendiri bukan? Kalau bunda bekerja, bunda selalu membawamu ke tempat kerja. Kalau bunda kuliah, bunda selalu membawamu menemani bunda mengerjakan tugas kuliah di kampus. Jadi, sesibuk apapun bunda, bunda pasti akan selalu menemanimu.”
Rani menghambur kearahku dan memelukku.
Tanpa diduga, air mataku menetes haru.
Begitu pula Rani, dia tersedu-sedu dipangkuanku.
“Bunda, dimana ayah?” tanyanya sambil terisak didadaku.
“Ayah sedang bekerja di Negeri kita berasal, sayang. Di Indonesia. Kau jangan khawatir, ayah pasti baik-baik saja.”
“Benarkah itu, bunda?”
“Iya, sayang. Nanti ayahmu akan menjemput kita disini.”
11 tahun sudah aku berada di Edinburgh.
Aku harus segera pulang ke Indonesia.
Rasa rinduku yang membuncah kepada keluargaku tak mampu terbendung lagi.
Rani sekarang sudah tumbuh besar menjadi seorang gadis kecil berusia 11 tahun.
Aku sudah boleh membawanya pulang ke Indonesia.
Kuputuskan untuk pulang seminggu lagi.
Karena aku masih harus membereskan segala pekerjaanku.
Aku harus mengundurkan diri dari beberapa tempat kerjaku.
Aku juga harus menjual sebagian barang-barangku termasuk rumah yang kutinggali selama ini.
Sambil memikirkan semua itu, aku mencoba membuka WhatsApp yang telah lama kuabaikan.
Pesan-pesan yang kubuka hanyalah dari orang-orang yang mengundangku saja, tanpa kupedulikan pesan-pesan yang lain.
Dan kali ini, kurasa aku ingin membukanya.
Yang kubuka sebelum pesan-pesan yang lain adalah pesan dari Adelia.
Aku hanya penasaran dengan isi pesannya.
Ada 30 pesan belum terbaca.
Aku terhenyak melihatnya.
Kubuka pesan-pesan itu dengan tangan gemetar.
28 Juni: “Nadia, kau tak datang ke acara pernikahanku dan Peter rupanya. Kenapa? Karena kau cemburu? Oh, sungguh malang sekali nasibmu.”
5 Juli: “Nadia, aku tak sangka kau akan sesukses itu. Kau tahu, betapa Peter semakin mengagumimu. Dia sampai tak mau menyentuhku sama sekali selama aku menjadi istrinya. Dia tak pernah memenuhi keinginanku untuk berbulan madu bersamanya. Semua ini karena dirimu!”
10 Juli: “Tega sekali kau tak membuka pesan dariku, Nadia!”
22 Juli: “Nadia, tolonglah aku. Tolong bujuk Peter agar mau menyentuhku. Sekali ini saja kumohon padamu.”
31 Juli: “Hi, Nadia, hari ini aku bertengkar lagi dengan Peter. Dia tak pernah mau tidur seranjang denganku selama aku menjadi istrinya. Tolonglah aku, Nadia.”
6 Agustus: “Nadia, kau benar-benar membenciku rupanya. Sampai terakhir dilihatmu kau sembunyikan.”
14 Agustus: “Selamat hari kepramukaan, Nadia. Semoga kau selalu mengingat momentum saat kita menjalan pramuka di Indonesia.”
17 Agustus: “Nadia, apakah kau lupa hari ini adalah hari istimewa bagi rakyat Indonesia? Selamat hari kemerdekaan ya.”
23 Agustus: “Nadia, aku sudah tak tahan lagi. Keluargaku sudah menyindir soal kehamilan, tapi aku tak mampu menjawab apa-apa. Jangankan menghamiliku, menyentuhku saja tak pernah. Tolonglah aku, Nadia.”
30 Agustus: “Nadia, apakah kau membaca pesan dariku? Ah, sepertinya tidak. Beberapa kali ku chat dirimupun tak pernah kau baca.”
5 September: “Nadia, aku benar-benar tak tahan lagi menghadapi Peter. Dia sudah benar-benar keterlaluan. Nadia, hanya kau yang mampu membujuknya. Tolonglah, Nadia. Sekali ini saja kumohon bukalah pesan dariku.”
11 September: “Nadia, aku akan mencoba untuk bunuh diri sekarang. Aku sudah tak tahan lagi. Dan aku bersumpah, jika aku mati nanti, akan kubunuh juga Peter! Agar dia bisa bersama denganku.”
12 September: “Nadia, ternyata percobaanku tak membuahkan hasil. Walaupun aku mengancam akan bunuh diri, Peter masih tetap acuh padaku. Nadia, tolonglah aku.”
16 September: “Nadia, kau sedang apa sekarang?”
3 Oktober: Nadia, apa kabarmu disana? Apakah kau sudah lulus kuliah? Bagaimana dengan pekerjaanmu. Peter selalu menanyakanmu, mengkhawatirkanmu, dan melamunkanmu.”
Dan seterusnya hanyalah tulisan huruf P saja. Dan pesan yang terakhir yang paling membuatku terkejut bukan kepalang.
29 Juni 2 tahun kemudian setelah pesan-pesan diatas: “Nadia, hari ini aku baru saja bercerai dengan Peter. Kedua Orangtuanya yang memintaku menceraikan Peter. Dengan berat hati, kuceraikan saja dia. Diapun menanggapinya dengan senyum kecut. Nadia, mungkin cinta Peter hanyalah untukmu. Walaupun kupaksa dengan berbagai cara, dia tetap mencintaimu. Maafkan aku yang telah tega merebutnya darimu. Aku benar-benar sahabat yang kejam. Semoga kali ini kau mau membaca chat-ku. Bukalah, Nadia! Bukalah pesan-pesanku! Kumohon. Sekarang, Peter sudah bebas, tak ada yang menghalangimu dan dia untuk melanjutkan hubungan sebagai sepasang kekasih. Bahkan kalian sudah bisa menikah.”
Entah bahagia atau sedih yang harus kuekspresikan saat ini.
Yang jelas, aku merasa puas.
Akhirnya rasa sakitku terbalas sudah.
Aku tersenyum kecut saat menatap layar handphone yang kini telah padam.
Aku tak ingin membalas chat Adelia, cukup dia yang merasakan sakit itu.
Karena dulupun, aku merasakan demikian sakitnya.
Bahkan kalau boleh dikatakan, aku yang lebih pedih darinya.
Aku harus melihat seseorang yang kucintai menjadi milik orang lain, aku harus melihat orang yang kucintai meneteskan air mata saat berpisah denganku, aku harus melihat seseorang yang kucintai menderita karena menikah dengan orang yang tak dicintainya, dan lain sebagainya.
Aku cukup puas saat mendengar kabar itu.
Dan ketika aku sedang sibuk membuka pesan WhatsApp yang lainnya, Rani tiba-tiba saja menepuk pundakku hingga handphone-ku hampir terjatuh.
“Rani, mengejutkan saja.”
“Bunda, ada tamu.”
“Siapa?”
“Rani juga tidak tahu.”
Aku beranjak dari tempat tidurku.
Namun, belum sampai aku berdiri, seorang laki-laki bertubuh kurus dan berwajah pucat tiba-tiba menghampiriku dan memelukku keras sekali, membuat tubuhku kembali ambruk ke tempat tidur.
Aku mengenal wangi khas parfum ini.
Ya, aku benar-benar mengenalnya.
Ini adalah cirikhas Peter.
Ya Tuhan, mengapa dia harus datang lagi dalam hidupku?
“Nadia, aku sangat merindukanmu!”
“Peter! Lepaskan aku!”
“Nadia, apakah kau sudah tak lagi mencintaiku?”
“Aaah! Berisik kau! Lepaskan aku!”
“Nadia, izinkan aku untuk kembali mengulang cerita kita dimasalalu.”
“Semuanya sudah berbeda, Peter.”
“Nadia, aku sudah bercerai dengan Adelia 5 tahun yang lalu, jadi kau tenang saja, sekarang tak ada lagi penghalang bagi kita.”
Ya Tuhan, mengapa debar ini masih sama seperti dulu?
Mengapa dadaku harus berdesir ketika mendapat pelukan darinya?
Tidak!
Ini hanyalah jeritan batinku yang masih terluka karena masalalu pahit itu.
“Nadia, pulanglah. Semuanya sudah sangat merindukanmu.”
“Aku tak sudi untuk menemui siapapun di Kota Bandung itu!”
“Nadia, sebegitu jahatnyakah dirimu? Sampai-sampai kau melupakan tempat tinggalmu sendiri?”
“Tempat tinggalku ya disini!”
“Nadia, keluargamu sudah sangat merindukanmu. Keluargaku juga merindukanmu.”
“Berisik! Lepaskan pelukanmu sekarang juga!”
Aku mendorong tubuh Peter kuat-kuat.
Kali ini, ternyata tenagaku lebih kuat dari Peter.
Dengan sekejap, tubuh Peter ambruk.
Dan… Ya Tuhan, dia tak sadarkan diri.
Aku meraih tubuh Peter yang tergeletak di lantai dingin kamar itu dan memindahkannya ke tempat tidurku.
Kuperiksa dahinya, Ya Tuhan, ternyata panas sekali.
Kulihat darah yang mengucur dari hidungnya.
Ya Tuhan, apakah dia menderita penyakit Anemia?
Aku segera membuka laci meja di kamarku dan mencari kotak tisyu di dalamnya.
Kubersihkan darah yang terus mengucur dari hidungnya, dan kupijati bagian pundaknya.
Baru kali ini aku melihat Peter selemah ini. Apakah dia sakit karenaku? Jika iya, betapa teganya diriku karena telah membuat orang yang mencintaiku sakit seperti ini.
“Maafkan aku, Peter. Ini semua salahku.”
Air mataku merembes lagi, aku tak mampu menahan tangisku yang sedari tadi kutahan.
“Peter, bangunlah. Aku ingin mengatakan padamu kalau aku juga mencintaimu. Peter, bangunlah. Maafkan aku. Peter, ayolah. Jangan biarkan rasa bersalah menyelimutiku.”
Aku semakin terisak sembari memeluk tubuh Peter yang kini lemah tak berdaya.
Kuambil handphone-ku yang masih terletak diatas meja.
Aku bertekad untuk menelepon ibunya Peter.
Kudengar suara ibunya Peter sangat ceria ketika menyambut telepon dariku.
“Nak Nadia, lekaslah pulang. Ibu rindu padamu. Ibu ingin kau yang menjadi menantu ibu, bukan Adelia. Nak, tahukah kau? Peter sampai menderita penyakit Anemia karena terlalu memikirkanmu, dia juga jarang sekali tertidur, kalau ibu menyuruhnya makan, dia selalu tak mau. Ibu tak tahu harus bagaimana. Akhirnya, ibu suruh dia menceraikan Adelia, dan menyusulmu yang masih diluar Negeri. Ibu kira, dia tak benar-benar melakukannya, rupanya dia bertekad menyusulmu kesana. Oh iya, Peter sudah sampai disana?”
“Sudah, bu. Tapi, keadaannya begitu mengkhawatirkan.” Jawabku dengan bibir bergetar.
“Maksudmu, Peter sakit lagi?”
“Iya, bu. Ini juga karena salah Nadia. Nadia, Nadia yang membuat dia terjatuh dan tak sadarkan diri, Nadia yang membuat dia tersiksa lahir batin. Bu, apa yang harus Nadia lakukan sekarang? Peter masih tak sadarkan diri, sedangkan tenagaku tak cukup kuat untuk membawanya ke klinik terdekat. Nadia hanya bisa merawatnya dengan seadanya. Maafkan Nadia, bu, semua ini salah Nadia.”
“Tidak, nak. Jangan terlalu menyalahkan dirimu. Kesalahan yang paling utama itu terletak pada Adelia, karena dia yang memaksa Peter untuk menikahinya.”
“Sudahlah, bu, jangan salahkan orang lain.”
“Nak, jaga Peter ya disana. Ibu doakan, semoga kalian bisa pulang dengan selamat.”
“Iya, bu. Terima kasih.”
Kuletakkan kembali handphone-ku diatas meja.
Kupeluk lagi tubuh Peter yang masih tak sadarkan diri.
Kutatap wajahnya, dia nampak pucat sekali.
“Peter, kalau kau sakit, kenapa kau paksakan dirimu untuk datang kesini? Peter, jika kau datang kesini hanya untuk menemuiku, seharusnya kau menungguku pulang. Kau sampaikan rindumu pada ibu atau ayahku, aku pasti akan membuka chat mereka. Peter, ayo bangunlah. Peter, baiklah, aku tak kan melakukan hal jahat lagi padamu. Peter, bangunlah. Aku juga mencintaimu. Peter, kau adalah laki-laki yang kuat. Ayolah, kau harus bangkit. Ayolah, Peter.”
Air mataku mulai membasahi tangan Peter, isak tangiskupun tak mampu kubendung lagi.
Kupeluk erat tubuhnya, kurasakan dia menggeliat pelan.
Jemarinya bergerak seolah menggapai sesuatu.
Kulihat matanya mulai terbuka, dia menatapku lemah.
“Nadia, benarkah ini engkau?”
“Iya, Peter. Ini aku. Kau baik-baik saja? Peter, dengarkan aku. Aku berjanji, aku akan menjagamu selamanya. Aku tak kan pernah melakukan hal-hal jahat lagi padamu. Aku sadar betapa tulusnya rasa cintamu padaku. Peter, kalau kau ingin bertemu denganku, seharusnya kau tak perlu datang kesini, seharusnya kau menungguku pulang, seharusnya kau sampaikan saja rindumu pada kedua Orangtuaku atau kakakku, mereka pasti mau membantumu.”
“Aku terlalu merindukanmu, Nadia. Jadi aku bertekad untuk menyusulmu kesini. Aku juga tahu kalau keadaanku kurang fit. Tapi rasa rinduku padamu mengalahkan rasa sakit yang kurasakan ditubuhku. Nadia, katakan sekali lagi dengan setulus hatimu, apa yang kau rasakan sekarang? Apakah kau masih mencintaiku seperti dulu?”
“Ya, Peter, aku masih sangat mencintaimu, sama seperti dulu ketika cinta kita bersemi.”
Kulihat Peter yang mencoba bangkit dari tidurnya, namun kutahan tubuhnya agar dia tak banyak bergerak.
Aku takut dia tak sadarkan diri untuk yang kedua kalinya hanya karenaku.
“Kau jangan banyak bergerak dulu, Peter. Kau masih harus istirahat.”
“Nadia, aku ingin kita kembali menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Kau ingat, tanggal 12 Oktober? Itu adalah hari pertama kita resmi menjadi sepasang kekasih belasan tahun yang lalu. Aku ingin kita mengulang semuanya dari awal. Aku ingin kau menjadi istriku, aku ingin Rani juga menjadi anakku.”
Kuatur kembali degup jantungku, lalu kuanggukan kepalaku dengan mantap.
“Baiklah, Peter, jika itu yang mampu menyembuhkan sakitmu, maka akan kuterima cintamu lagi. Aku juga bersedia menjadi istrimu, kau juga boleh menganggap Rani sebagai anakmu.”
“Terima kasih, Nadia. Sekarang juga, aku ingin kau pulang ke Indonesia bersamaku.”
“Peter, kau masih sakit, kau masih perlu istirahat, kau tidak boleh banyak bergerak, apalagi terkena AC pesawat. Aku khawatir sakitmu kambuh lagi. Sedangkan aku sekarang sudah mempunyai Rani, Rani juga harus kujaga dengan baik. Bagaimana kalau sakitmu kambuh? Lalu siapa yang akan menjaga Rani? Kalau aku terfokus padamu, Rani tidak akan ada yang menjaga. Kalau aku terfokus pada Rani, kau tidak akan ada yang menjaga. Mengertilah, Peter. Aku bukan lagi Nadia yang dulu, yang masih belum mempunyai beban apa-apa.”
“Yah, baiklah, Nadia. Aku menurut saja pada calon ibu dari anak-anakku kelak.”
Aku tersenyum simpul mendengar kata-kata Peter.
“Nadia, jika tak ada penyakit ini, mungkin sudah kucium dirimu sekarang juga.”
“Bersabarlah, sayang. Nanti kalau kau sudah sah menjadi suamiku, baru kau boleh memuaskan nafsumu.”
Peter meraih jemariku dan meremasnya dengan penuh kelembutan.
Selama satu minggu ini, aku tak tertidur sama sekali.
Aku terlalu sibuk menata barang, menjaga Rani yang juga ikut sakit, menjaga Peter, dan mengurus-urus pekerjaanku.
Lumayan, mataku sudah mulai bengkak karenanya, penglihatankupun sedikit terganggu, dan terkadang aku tak terlalu konsentrasi pada beberapa hal.
Peter dan Rani seringkali memintaku untuk segera beristirahat dari aktivitasku, tapi kutolak mereka dengan halus.
Akhirnya, aku sudah bisa pulang ke Indonesia.
Uang dari hasil menjual rumahku kumasukkan ke dalam tabunganku.
Peter dan Rani sudah terlihat sekarang, namun tetap saja, rasa khawatir tetap melandaku.
Kali ini, aku tak duduk berdampingan dengan Peter lagi.
Aku duduk bersama Rani yang sudah kutasbihkan sebagai anakku.
Dan ketika sampai di Indonesia, semua orang bertanya-tanya tentang Rani.
Namun aku selalu menjawab:
“Nanti saja, akan kuceritakan jika sudah sampai rumah. Aku lelah sekali.”
Merekapun hanya mengangguk tanda mengerti.
Tanggal 12 Oktober adalah hari pernikahanku dengan Peter.
Kali ini, wajah Peter tak lagi terlihat lebih tua, dia nampak tersenyum lebar, dan dia begitu tampan dengan setelan cokelat yang dikenakannya yang juga selaras denganku.
Aku benar-benar bahagia.
Kisah Rani dan semuanyapun terungkap sudah.
Tentang awal kutemukan Rani dalam bungkusan berwarna merah yang ternyata aisan bayi, tentang surat dan foto dari Orangtua Rani yang asli, dan tentang semuanya.

Baca:  Anak Angkat Ayah
Bagikan artikel ini
Nurul Rahmah
Nurul Rahmah

Penulis asal Ciamis, kelahiran 2003, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sukabumi.
Follow Instagram: @nur.alrahmah
Follow Twitter/X: @NRGaza
follow channel telegram: t.me/nrgaza

Articles: 8

One comment

Leave a Reply