Nasib Berada di Telapak Tangan Sendiri!

Batik with love!
Melihat kembali jejak beberapa tahun belakang, aku tidak henti-hentinya bersyukur dengan apa yang telah aku peroleh hari ini. Hasil bagi aku adalah hadiah dari kerja keras yang telah kita lalui, dimana hal yang paling penting adalah proses itu sendiri. Berangkat dari lingkup keterbatasan untuk melanjutkan pendidikan selepas SMA, aku percaya bahwa tidak ada hal positif yang tidak mungkin terjadi apabila Tuhan menghendaki. Keinginan kuat untuk melanjutkan ke jenjang kuliah jurusan komunikasi dan selentingan ramalan dari Paman bahwa aku tidak mungkin diizinkan untuk impian tersebut, justru menguatkan aku untuk mencari cara bagaimana berperang melawan persepsi keluarga yang masih cenderung menganggap bahwa “perempuan cukup lulus SMA saja”.

aku yakin setiap orangtua memiliki alasan tersendiri untuk melarang keinginan anaknya demi suatu alasan yang baik, akan tetapi dipikir-pikir kita akan menjalani dan bertanggung jawab terhadap hidup masing-masing, sehingga semua keputusan yang dibuat hari ini akan mempengaruhi masa depan seperti apa yang kita hadapi. Oleh karena itu, aku meyakinkan diri bahwa dengan menempuh perkuliahan di ibukota akan mempertajam talenta komunikasi yang nantinya dapat membuka pintu berbagai karier cemerlang. Meski dilandasi kecemasan wajarnya orangtua pada umumnya, akhirnya aku diizinkan bersekolah ke pulau seberang. Berbekal kepercayaan yang telah diberikan, aku berhasil menyelesaikan pendidikan sesuai dengan target yang diinginkan. Akan tetapi, bukan poin itu yang ingin dikemukakan.

Lika liku proses yang dihadapi tergolong cukup mencengangkan dan seru. aku menemui berbagai kondisi yang sangat menentukan, dimulai dari pilihan untuk bergabung dengan kegiatan organisasi hingga menemukan pekerjaan impian yang hingga kini dijalani. Tidak pernah terpikirkan untuk seorang anak perantauan yang sedari mula tidak aktif bergabung dengan kegiatan intra sekolah untuk dapat mau menyibukkan diri ke dalam kegiatan organisasi. Bermula dari ketidaksengajaan untuk menemani teman yang ingin mendaftar ke sebuah organisasi, aku terjun ke komunitas baru yang terasa asing.

Baca:  SHARING : PEREMPUAN TUNANETRA DAN KRIMINALITAS PART I

Didasari dengan kesungguhan kerja keras, proses belajar di kegiatan organisasi membuahkan hasil dimana aku menemukan keluarga kedua yang saling memotivasi dan juga relasi profesional yang menawarkan berbagai pekerjaan sampingan mulai dari SPG koran internasional hingga pengajar les privat. Berbicara tentang tantangan yang dihadapi tentunya banyak, mulai dari cemoohan yang meyakini bahwa kegiatan berorganisasi hanya membuang waktu dan energi saja, hingga tantangan terpotongnya waktu liburan karena hampir semua event besar organisasi diselenggarakan ketika liburan perkuliahan berlangsung yang notabenenya menjadi waktu terbaik untuk pulang kampung bagi mahasiswa perantau. Saat itu, keterbatasan aku yang masih memikul tanggung jawab sebagai mahasiswi regular untuk menjalankan kegiatan perkuliahan dan sebagai anak yang harus pulang bersilahturami dengan keluarga, disikapi dengan menantang diri sendiri sejauh mana pendewasaan diri berlangsung.

Untuk batasan tanggung jawab sebagai mahasiswi, aku berusaha membagi waktu sebaik mungkin dengan cara pembelajaraan seefektif mungkin yakni melalui metode mindmapping. Sedangkan solusi tanggung jawab sebagai anak, aku tidak lupa menjalin komunikasi melalui telepon dan memberikan pengertian apa yang sedang dijalani serta implikasi bahwa waktu liburan akan terpotong yang selaras dengan pengertian masa balik kampung akan berkurang. Wonderful things happened for good reason, right?

Berhasil melewati keterbatasan itu, aku sempat dihadapkan dengan tantangan mendapatkan kesempatan magang di perusahaan multinasional idaman. Satu momen yang tidak pernah terlupakan adalah ketika aku melamar posisi magang di salah satu perusahaan Information Technology (IT). Dimulai dari ketidaksengajaan melihat di portal mahasiswa, aku mengirimkan esai dan CV yang kemudian direspon baik sebagai shortlisted candidates untuk mengikuti round table business case. Tantangan dimulai ketika berhasil lolos dari sesi business case dimana aku diundang ke kantor pusat untuk mengikuti sesi berikutnya yakni presentasi konsep pemasaran.

Slot jadwal presentasi dipatok pukul 15:00 WIB, dan dengan perkiraan Google Maps bahwa jarak dapat ditempuh dengan waktu sekitar kurang lebih 1 jam. Berangkat pukul 13:00 WIB dengan menggunakan transportasi umum ternyata dihalau dengan kondisi cuaca yang kurang bersahabat. Selepas dari angkutan pertama dengan kucuran air hujan yang dahsyat, sepatu aku sudah lumayan sama dengan basahnya jalanan yang dipijak. Menyambung perjalanan menggunakan armada tidak kunjung datang cukup menekan adrenalin yang pada akhirnya berhasil mengantarkan jejak kaki ke halte Semanggi yang harus dilanjutkan dengan langkah kaki menyusuri lorong halte Transjakarta yang diyakini terpanjang di Jakarta hingga menuju halte Bendungan Hilir (BenHil).

Sesampainya di halte tersebut, aku melihat keterbatasan armada yang lagi-lagi dipicu dengan cuaca dan ramainya kondisi penumpang yang berjubel antri. Putaran otak dan himpitan waktu yang menunjukkan pukul 14:50 WIB akhirnya memindahkan posisi aku ke arah luar halte BenHil, niat hendak mengambil armada alternatif tidak kunjung memberikan pencerahan seiring dengan kemacetan total yang diperlihatkan. Buta arah menuju lokasi kantor pusat, membuat aku bertahan 5 menit untuk melihat kemungkinan ada armada taksi kosong ataupun solusi ojek yang tidak tampak memberikan solusi. Kondisi yang dihadapi cukup dramatis tetapi realistis dimana payung aku berhasil mengucurkan air hujan yang membasahkan blazer serta kemeja yang dikenakan.

Dalam sepersekian detik, aku berpikir mengapa banyak rintangan dan batasan yang dihadapi untuk menjalani proses seleksi ini? Apakah memang ini bukan rezeki aku? Jam menunjukkan pukul 14:55 WIB sebelum pada akhirnya aku hampir saja memutuskan untuk balik dan melupakan jadwal tersebut. Satu hal yang tersirat dalam benak aku bahwa “Lita, sudah kadung sampai. Nothing to lose untuk mencaritahu, daripada pulang dengan tangan kosong dan sia-sia.” Akhirnya aku berjalan tanpa adanya gambaran dan arah pasti, sambil bertanya ke beberapa orang di jalan terkait kantor dan jalan yang dituju.

Baca:  Lagi-lagi karena Ibu

“Oh masih jauh non. Bisa sekitar setengah jam kesana”

“Waduh, cukup jauh kalau berjalan kaki kesana”

Beberapa opini yang menciptakan keterbatasan peluang tersebut kian memperkecil niat aku untuk melanjutkan langkah kaki. Sekali lagi, semangat seorang perantau yang tidak ingin pulang dengan tangan kosong kembali menguasai kesadaran aku. Sambil terus berjalan hingga dekat di Halte Karet, aku melihat adanya bayang bangunan di seberang jalan yang mirip dengan hasil browsing terkait kantor pusat tujuan. Semangat berkobar melihat adanya titik terang yang kemudian dilanjutkan dengan serbuan pertanyaan ke beberapa pejalan kaki yang akhirnya mengiyakan nama gedung tersebut. Meski kaki sudah lumayan letih dengan bertambahnya berat pakaian berkat sumbangsih air hujan, aku menghampiri gedung tersebut dengan tergesa-gesa.

Jam sudah menunjukkan pukul 15.10 WIB. Logika aku mengatakan bahwa impresi pertama sangat penting dan keterlambatan ini jelas tidak akan membuahkan hasil baik. Again, nothing to lose. Dengan sedikit kejenakaan masuk ke lift VIP yang jelas-jelas tidak akan diberikan akses, aku dengan basahnya menyusuri lantai kantor pusat diiringi tatapan miris dari para masyarakat kantor tersebut. Sesampainya di depan resepsionis, aku masih berdebar-debar kencang menebak kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya. Batasan apalagi yang akan datang?

“Mba, saya ingin mengikuti sesi presentasi atas nama Zukarlita”

“Oh, terlambat ya Mba? Oke sebentar ya”

Belum genap semenit, dari salah satu ruang meeting, sebuah wajah familiar melihat ke luar melalui jendela pintu kecil dan membuka sambil berseru “Oh, she is here!” Ya, itu wajah direktur yang ditemui saat sesi penjurian sebelumnya.

Masuk ke dalam ruangan yang cukup gelap guna mendukung atmosfir presentasi dengan dikelilingi panelis belasan orang, sempat membatasi keberanian aku yang notabene sudah kepalang basah terlambat dan basah kuyup dalam pengertian sebenarnya. Sambilan mencolok laptop pribadi ke konektor, sebuah percakapan terjadi.

Baca:  Menulis Berfilsafat, Menulis dari Hati

“Tadi bagaimana jalanan?”

“Macet sekali Pak, saya 2 jam lebih stuck di jalan.”

“Oh, tadi pakai apa memangnya?”

“Dari kos pakai angkutan umum, kemudian sempat jalan dari Semanggi”

“Jalan? Maksudnya?”

“Jalan kaki Pak, maaf sekali hingga terjadi keterlambatan ini”

“Hah? Yang benar saja? Jalan dari Semanggi kan lumayan itu, pantas saja basah kuyup,take your time first, perlu teh?”

“Tidak perlu Pak, saya siap presentasi koq sekarang”

Panelis itu kemudian berbicara dalam bahasa Inggris ke seorang panelis bule lain.

Akhirnya aku ‘dipaksa’ untuk ke toilet mengambil kesadaran sejenak selama 3 menit.

Di toilet, aku tidak berhenti berseru dalam hati “Lita, kamu masih diberikan kesempatan, ayo break a leg! Doing your best, nothing to lose!

Sesampainya di ruang presentasi, dilingkupi dengan kekebalan menghadapi batasan-batasan sebelumnya, aku akhirnya membawakan presentasi dan menangkis pertanyaan-pertanyaan dengan lancar, meski tidak sepenuhnya yakin dengan tingkat kepuasan jawaban yang diberikan. Berakhirnya sesi tersebut dilanjutkan dengan obrolan singkat dengan sesama peserta lainnya yang jauh lebih beruntung karena tidak perlu menghadapi kondisi miris penuh basah kuyup karena sudah dibekali dengan transportasi pribadi.

Dengan perut keroncongan, aku melahap donat di salah satu kafe dengan peserta lainnya yang bersemangat menceritakan proses presentasinya dengan para panelis. Sepulangnya ke kosan, aku menyerahkan semua hasil ke tangan panelis dengan keyakinan kerja keras terbaik telah diberikan. Beberapa pekan kemudian, aku diberikan kesempatan untuk user interview yang pada akhirnya menghantarkan aku memperoleh kesempatan internship dilanjutkan dengan perekrutan sebagai pegawai melihat hasil yang telah ditorehkan semasa periode internship.

Melihat balik semua kilasan pengalaman tersebut, aku semakin bersemangat mengiris batasan-batasan yang seringkali menghampiri baik di semua celah kehidupan. Kita semua diberikan waktu yang sama oleh Sang Pencipta, tidak ada hal yang mustahil bagi siapapun selama kerja keras dan pantang menyerah dikerahkan. aku percaya bahwa kehidupan ini sangat adil, semua manusia diberikan kesempatan yang sama untuk menorehkan akal budi yang semua pada akhirnya berbalik lagi ke seberapa jauh kita mau berusaha.

Nasib benar-benar ada di tangan sendiri, bukan di tangan orangtua ataupun kondisi yang kita anggap sebagai batasan-batasan. Semoga sepenggal kisah di atas dapat menjadi secercah penyegaran pemikiran bagi kita semua bahwa semua orang memiliki tantangan tersendiri dan hasil yang hari ini dicapai merupakan kelanjutan dari benih yang ditanam di hari kemarin. Mari menjalani kehidupan dengan semangat tanpa batas!

Bagikan artikel ini
Charleeta
Charleeta

a girl with passion to read and share for enabling better education.

Articles: 1

4 Comments

  1. Sekarang malah jarang dengan vemeo “perempuan cukup sampai sma” malah banyak orang tua mendukung untuk melanjutkan kuliah sampai master dan memiliki pekerjaan terhormat, guru, guru privat, teller bank dll.

  2. halo, terima kasih sudah ikut partisipasi di Lomba Artikel Inspiratif 2015. Silakan share ke social media dan ajak teman2 untuk like atau retweet untuk mendukung tulisanmu jadi artikel terfavorit ya. semangat! 🙂

Leave a Reply