Keterwakilan penyandang disabilitas di parlemen adalah isu yang sangat penting dan mendesak. Sebagai kelompok minoritas yang sering kali menghadapi diskriminasi dan marginalisasi, penyandang disabilitas memerlukan suara yang kuat dan representatif dalam proses pembuatan kebijakan. Berikut adalah beberapa alasan mengapa keterwakilan ini sangat penting:
- Pengakuan dan Perlindungan Hak
Keterwakilan di parlemen membantu memperjuangkan pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan hak penyandang disabilitas. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas merupakan langkah awal yang penting, tetapi implementasinya memerlukan pengawasan dan advokasi yang terus-menerus. Dengan adanya perwakilan penyandang disabilitas di parlemen, kebijakan yang lebih inklusif dan adil dapat diusulkan dan diimplementasikan.
- Aksentuasi Isu Disabilitas
Tanpa keterwakilan yang memadai, isu disabilitas sering kali terabaikan dalam agenda politik. Keterwakilan di parlemen memastikan bahwa isu ini menjadi bagian dari diskusi kebijakan utama. Ini penting untuk menghindari situasi di mana kebutuhan dan hak penyandang disabilitas hanya menjadi perhatian sekunder atau bahkan diabaikan sama sekali. Dengan perwakilan yang kuat, isu-isu seperti aksesibilitas, pendidikan inklusif, dan layanan kesehatan yang memadai dapat lebih mudah diangkat dan diperjuangkan.
- Inklusivitas dan Kesetaraan
Keterwakilan di parlemen mendorong inklusivitas dan kesetaraan, memastikan bahwa semua kelompok masyarakat, termasuk penyandang disabilitas, memiliki suara dalam proses legislatif. Ini penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan berkontribusi. Dengan keterwakilan yang memadai, kebijakan yang lebih inklusif dapat diusulkan dan diimplementasikan, sehingga penyandang disabilitas dapat hidup dengan martabat dan kesejahteraan yang layak.
- Penguatan Posisi Tawar
Keterwakilan di parlemen juga memperkuat posisi tawar penyandang disabilitas dalam kontestasi politik. Dalam pemilu, misalnya, isu disabilitas sering kali hanya menjadi “pemanis” dalam kampanye politik. Namun, dengan adanya perwakilan yang kuat, isu ini dapat menjadi bagian integral dari agenda politik dan program kerja kandidat. Ini penting untuk memastikan bahwa kebutuhan dan hak penyandang disabilitas tidak hanya diakui, tetapi juga dipenuhi secara konkret.
Kuota Keterwakilan
Rekan-rekan aktivis telah mengusulkan kuota 10% untuk anggota legislatif penyandang disabilitas. Ini didasarkan pada fakta bahwa sekitar 10% dari populasi Indonesia adalah penyandang disabilitas. Dengan kuota ini, diharapkan suara penyandang disabilitas dapat lebih terwakili dan kebutuhan mereka lebih diperhatikan dalam proses legislatif. Kuota ini juga akan membantu mengurangi stigma dan diskriminasi yang sering kali dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam dunia politik.
Kesimpulan
Keterwakilan penyandang disabilitas di parlemen adalah langkah penting menuju inklusivitas dan kesetaraan di Indonesia. Dengan memiliki perwakilan yang dapat bersuara untuk mereka, penyandang disabilitas dapat lebih mudah memperjuangkan hak-hak mereka dan memastikan bahwa setiap peraturan yang dibuat bersifat inklusif. Hal ini tidak hanya penting untuk mencapai kesetaraan sosial, tetapi juga untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas dapat hidup dengan martabat dan kesejahteraan yang layak. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita semua untuk mendukung keterwakilan penyandang disabilitas di parlemen dan memastikan bahwa suara mereka didengar dan kebutuhan mereka diperhatikan.
Dengan langkah-langkah ini, kita dapat bersama-sama membangun Indonesia yang lebih inklusif dan adil bagi semua warga negara, tanpa memandang kondisi fisik atau mental. Mari kita dukung keterwakilan penyandang disabilitas di parlemen dan berjuang untuk kesetaraan dan inklusivitas bagi semua.
Mungkin banyak dari kita tidak menyadari bahwa demokrasi elektoral yang kita anut saat ini sangat tidak bersahabat dengan kelompok-kelompok minoritas. Sebab keterwakilan ditentukan dengan kuantitas, yang dengan kata lain mayoritas lah yang sangat diuntungkan. sistem kuota 10 persen seperti kuota 20 persen pada caleg perempuan bisa jadis olusi. Namun saya rasa tidak sampai di sana saja. Perlu ada pula aksi afirmasi untuk “menjamin” keterwakilan kelompok minoritas, salah satunya adalah kelompok disabilitas dalam parlemen, baik di tingkat pusat, daerah tingkat 1 dan daerah tingkat 2. Mereka yang mewakili kelompok disabilitas di parlemen bukan berasal dari pemilihan umum, tapi bersifat eksoffisio seperti wakil2 atau utusan dari organisasi disabilitas yang diakui negara. Mungkin agak mirip dengan Utusan Golongan di era orde baru, tapi ini khusus untuk para kelompok minoritas yang memang tidak diuntungkan dengan politik elektoral. Beda dengan era Orde Baru yang di sana ada keterwakilan tentara dan polisi.