Rina, Kala Gempa Dahsyat Menimpa

Jakarta, Kartunet.com – Jika kita menoleh ke dua tahun silam, mungkin kita semua akan teringat bahwa negri kita pernah dilanda gempa besar berkekuatan 7,6 skala richter. Gempa yang terjadi di lepas pantai Sumatera Barat tersebut merupakan salah satu bencana alam terbesar yang terjadi di Indonesia. Ribuan orang menjadi korban, ratusan ribu rumah pun mengalami kerusakan. Namun demikian, jika Tuhan berkehendak, maka siapapun dapat selamat dari bencana, meski orang tersebut adalah tunanetra.

Rinawati, tunanetra yang berdomisili di Kecematan Lubuk Kilangan, Padang, merupakan salah satu korban selamat dari gempa tersebut. Saat itu, pukul 5 sore, Rina yang baru saja selesai memandikan anak bungsunya, keluar dari kamar mandi. Ia menuju ruang tengah untuk memakaikan baju anaknya. Akan tetapi, tiba-tiba terjadi goncangan yang sangat kencang, diiringi teriakan-teriakan penduduk sekitar. Hani, putri sulung Rina, yang baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu selepas pulang sekolah, sangat terkejut. Ia segera menarik ayahnya yang juga tunanetra, yang sedang duduk di teras. Sedangkan Rina yang berada di ruang tamu bersama si bungsu, segera meraba-raba dinding mencari pintu keluar, sambil menggendong si bungsu dengan eratnya. Mereka berempat buru-buru meninggalkan ruang tamu, hingga keempatnya tersungkur bersamaan di hadapan pagar rumah.

Meski pada tahun 2007 Rina beserta keluarga sudah pernah merasakan goncangan gempa, apa yang mereka alami di tahun 2009, merupakan gempa paling mengerikan. Langit-langit kamar mandi rumahnya runtuh. Kalau ia terlambat keluar kamar mandi satu menit saja, entah apa yang akan terjadi pada Rina dan si bungsu, Debby. Tak ada kerusakan berarti pada bagian rumah Rina yang lain. Akan tetapi, goncangan dahsyat tersebut tentu membuat aliran listrik dan air terhenti seketika.

Kekhawatiran akan gempa susulan, membuat tak seorang pun berani masuk ke dalam rumah. Walhasil, malam itu Rina serta sejumlah penduduk sekitar memilih untuk bermalam di teras rumah masing-masing. Beruntung, masih ada beberapa toko yang tak rubuh, sehingga wanita kelahiran 3 November 1968 tersebut masih dapat membeli makanan dan minuman.

Anak ke 4 dari 4 bersaudara ini sebenarnya sudah mempersiapkan diri dengan membeli tenda serta perlengkapan darurat lainnya, namun ternyata semua itu tak dibutuhkan. Pukul 10 pagi esok harinya, Rina dijemput familinya untuk kembali ke kampung halaman, Bukitinggi. Tentu saja, Rina, beserta suami dan kedua anaknya segera meninggalkan rumah kontrakan tersebut dan mengungsi ke Bukitinggi. Saat meninggalkan rumah, tak satu pun harta benda yang mereka bawa, kecuali pakaian yang melekat di badan. Mereka pergi dengan begitu terburu-buru, bahkan mengunci pintu rumah pun sampai terlupakan. Beruntung, perabot elektronik dan barang berharga di rumah Rina telah diamankan oleh tetangga sekitar. Dua minggu pasca gempa, Rina baru berani pulang ke Padang untuk membereskan barang-barang, kemudian langsung kembali ke Bukitinggi. Sampai saat ini Rina terus menetap di kampung halamannya tersebut.

Alumnus S1 Sastra Inggris ini mungkin memang salah seorang yang cukup beruntung dalam kejadian dahsyat tanggal 30 September 2009 tersebut. Pasca gempa, walikota mengumumkan kepada penduduk untuk menghentikan berbagai aktivitas dikarenakan sebagian besar aliran listrik kota lumpuh. Tentu saja, hal tersebut  membuat aktivitas sehari-hari para penduduk terganggu dalam jangka waktu yang cukup lama. Tetapi wilayah rumah Rina yang terbilang agak jauh dari pusat gempa membuat penduduk di sekitar rumah Rina tak ada yang menjadi korban serius. Karena ia segera dijemput keluarga untuk pulang ke Bukitinggi, maka aktivitas kehidupannya tak terlalu terganggu, kedua anaknya tak merasakan trauma berarti, putri sulungnya pun dapat segera kembali meneruskan sekolah di Bukitinggi. Akibat kejadian tersebut, Rina memperoleh bantuan dana dari Pertuni sebesar Rp. 600.000,00. Sedangkan bantuan lain dari pemerintah tak pernah dirasakannya, meski hanya sekedar bantuan bahan makanan.

Bencana alam adalah sesuatu di luar kuasa manusia. Saat bencana terjadi, tak ada yang dapat dilakukan manusia selain berdoa dan memohon keselamatan pada Yang Maha Kuasa. Sekalipun ia penyandang disabilitas yang cenderung terhambat dalam mobilitas, Tuhan akan selalu memiliki cara untuk menyelamatkan setiap hamba-Nya. (RR)
Editor: Herisma Yanti

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Ramadhani Ray

Literature lover, disability issues campaigner, Interest to learn something new through reading, training, and traveling.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *