Serunya Jalan-Jalan Bareng Disabilitas

Jakarta – “Kumpulnya di sebelah mana sih, Mas?” Kulekatkan ponselku ke ditelinga seraya menoleh ke sekeliling. Aku berdiri di dekat tangga jembatan penyeberangan menuju halte TransJakarta. Di belakangku berdiri bangunan yang merupakan McDonald’s Pasar Festival. Seharusnya mereka ada di sekitar sini, tapi aku yang low vision tak bisa menemukan di mana posisi mereka.

“Di sini, Dhan. Kami di dekat tikungan, di sini udah ada beberapa teman-teman berkursi roda kok,” sahut Jaka di seberang telepon. Aku mencari tempat yang dimaksud, tak kusangka ternyata dekat sekali. Mungkin hanya berjarak 20 meter dari tempatku berdiri. Dasar, low vision, sudah dekat masih saja mencari-cari.

“Wah, buang-buang pulsaku aja kamu ini!” sambut Jaka yang kubalas dengan seringai geli. Beberapa pengguna kursi roda sudah ada di sana, di antaranya Ridwan dan Frida. Ada juga Yanni, istri Ridwan yang bertugas sebagai pendamping, dan Revita yang tunarungu. Aku pun menjabat tangan mereka.

Pagi itu, kami akan menjalankan sebuah perjalanan wisata. Jakarta Barrier Tourism yang diselenggarakan pada hari Minggu, 4 Maret lalu, agaknya cukup menarik simpati masyarakat. Bagaimana tidak, beberapa pengguna kursi roda serta para tunanetra yang menggunakan tongkat putih telah berkumpul di depan McDonald’s, Pasar Festival sejak pukul 08:00 WIB. Setelah satu jam menunggu kehadiran para penyandang disabilitas yang akan ikut meramaikan, akhirnya kami pun menjalankan aksi.

Dengan dibagi ke dalam 3 kelompok pemberangkatan, pandangan heran masyarakat pun mengiringi kepergian kami menuju halte TransJakarta. Selain para pendamping, kamera-kamera wartawan dari berbagai media pun turut mengikuti perjalanan kami. Wah, wah, udah kayak artis aja,  nih!

 

Berbekal sebuah misi, yakni mengedukasi masyarakat dalam berinteraksi dengan penyandang disabilitas, hujan yang sempat mengguyur tak lantas meluluhkan semangat. Para penyandang disabilitas yang terdiri dari tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa itu diminta berinteraksi langsung dengan para petugas TransJakarta, misalnya ketika membeli karcis, atau ketika hendak memasuki bus.

“Ajarkan pada para petugas itu bagaimana memberikan uang kembalian pada tunanetra, atau bagaimana mendorong kursi roda yang baik dan aman!” Demikian Jaka Ahmad, seorang tunanetra,  berpesan dengan begitu bersemangat pada 22 penyandang disabilitas yang ikut serta.

Aku memilih untuk ikut serta dalam kelompok kedua. Di antaranya terdiri dari Frida, pengguna kursi roda, dan Wilma, penyandang tunarungu. Selain itu ada seorang pendamping dari GERKATIN (Gerakan Kesajahteraan Tunarungu Indonesia), bernama Pingky Waro yang kemudian berinsiatif menjadi juru bicara bagi penyandang disabilitas.

“Selamat pagi semuanya. Teman-teman penyandang disabilitas lagi jalan-jalan nih. Lain kali kalau ketemu penyandang disabilitas tolong dibantu, ya?” ujar wanita 60 tahun itu dengan luar biasa bersemangat, tanpa malu sedikit pun. 

Selama perjalanan di atas Trans Jakarta, maupun ketika menunggu di halte yang sangat ramai, ia terus bercerita mengenai Jakarta Barrier Tourism yang sedang berlangsung saat itu. Baik petugas maupun penumpang dibuat terkesima oleh wanita satu ini. Ada yang terpaku, tersenyum, bahkan terlongo melihat semangat Pingky yang berkobar-kobar menyuarakan kebutuhan penyandang disabilitas akan aksesibilitas transportasi. Aku sendiri tak ubahnya dengan orang-orang itu. Tidak kusangka ada wanita paruh baya yang nondisabilitas bisa begitu membela kaum disabilitas. Aku saja sebagai penyandang disabilitas, belum tentu bisa memiliki kepercayaan diri sebesar itu. Rasa kagum membuatku tak bisa berhenti tersenyum saat memperhatikan Pingky berorasi.

Pada bus TransJakarta yang kami naiki, monitor petunjuk serta rekaman suara yang menginformasikan nama halte tidak aktif. Tanpa segan, Pingky pun berpesan pada sopir dan kondektur untuk menyampaikan kepada atasan mereka agar memperhatikan masalah tersebut. Hal ini dirasa penting, karena ketiadaan petunjuk-petunjuk seperti itu tentu akan menyulitkan tunanetra dan tunarungu.

Tiba di halte Monas, rombongan pun turun. Jarak antara lantai bus dengan halte sekitar setengah meter, membuat Frida terhambat untuk meluncurkan kursi rodanya. Walhasil, dua orang pria petugas TransJakarta mengangkat kursi roda itu.

“Sebenarnya nggak nyaman kalau diangkat-angkat begitu, takut jatuh juga,” ungkap Frida saat aku bertanya saking penasaran. Kursi roda Frida pun tidak permanen, sehingga jika petugas itu salah mengangkat, bisa jadi ada sambungan dari kursi roda itu yang lepas. Hal semacam ini tentu menjadi sesuatu yang mendebarkan bagi pengguna kursi roda seperti Frida. Ia berharap agar jarak antara halte dan lantai bus tak terpaut jauh, atau diberikan semacam jembatan untuk dapat meluncurkan kursi rodanya dengan aman.

Keluar dari halte Trans Jakarta, rombongan menyebrang ke depan area Monas. Setelah semua kelompok berkumpul, perjalanan pun dilanjutkan. Para penyandang disabilitas menyusuri trotoar menuju bagian dalam area  Monas.

Jarak yang harus ditempuh tak terlampau jauh. Berjajar wartawan di kanan-kiri, memotret atau merekam perjalanan kami. Para pengguna kursi roda yang dengan cekatan meluncur tanpa dibantu, membuat siapa pun mengalihkan pandang pada mereka. Aku sempat terkesima ketika melihat Ridwan dan Fariz yang mengayuh kursi roda mereka nyaris ngebut, seperti pengendara sepeda saja. Mulai dari pedagang asongan, sampai para pengunjung Monas, tak satu pun yang tidak menatap rombongan itu. Hatiku menghangat ketika melihat mereka yang bersemangat, bercanda tawa tanpa beban, tak peduli dengan pandangan bingung orang-orang di sekeliling. Diam-diam aku bangga juga menjadi penyandang disabilitas.

Para penyandang disabilitas telah memasuki area tugu monas. Setiap orang yang berjalan kaki, bersepeda, atau pun bermain sepatu roda, menyempatkan diri untuk memandang rombongan yang tak biasa itu. Prima, ibunda Balqiez, tunanetra yang berusia 6 tahun, mendeskripsikan keramaian monas pada putrinya. “Tuh, di dekat Balqiez ada kakak yang lagi main sepatu roda.”

Tidak terasa, tibalah di pengunjung perjalanan. Setelah menepi di bawah pepohonan, semua peserta berkumpul untuk mengevaluasi kegiatan mereka hari itu

“Waktu aku kasih penjelasan di dalam busway tadi, memang orang-orang pada memperhatikan, tapi aku rasa mereka belum benar-benar memahami, masih sepintas lalu saja,” ungkap Pinky mengingat kembali respon para penumpang TransJakarta yang ditumpanginya. Meski demikian, Pinky cukup senang karena orang-orang yang ditemuinya di halte sudah bersedia memandang penyandang disabilitas, tak lagi acuh atau membuang muka. Menurut wanita yang telah 13 tahun menjadi interpreter bahasa isyarat itu, dengan semakin banyak penyandang disabilitas berinteraksi di dalam masyarakat, orang awam pun akan terbiasa dengan kehadiran mereka. Perlahan akan tumbuh kepedulian dalam diri mereka kembali sehingga yang “cacat” dapat menjadi “normal” kembali.

Kendala lain yang sempat dirasakan adalah bahwa ram pada jembatan penyebrangan terlalu curam. Bagi laki-laki pengguna kursi roda mungkin masih bisa dilewati, tapi bagi perempuan, belum tentu memiliki tenaga yang sama untuk mendaki ram itu. Selain itu, tidak semua tunadaksa memiliki lengan yang cukup kuat untuk dapat mengayuh kursi roda mereka sendiri. Belum lagi jalur untuk berlalu lalang masih tergolong sempit, sehingga orang-orang harus menyingkir saat kursi roda akan lewat. Hal ini mungkin juga dapat mengganggu kenyamanan pengguna TransJakarta yang nondisabilitas.

“Teman-teman disabilitas sendiri sepertinya masih kurang proaktif untuk menyuarakan kebutuhannya,” ujar Jaka. Penyandang disabilitas yang ikut serta kali ini agaknya masih belum berani berinteraksi langsung dengan petugas TransJakarta maupun masyarakat awam lainnya. Segala kesulitan yang dihadapi lebih banyak dibantu oleh para pendamping yang memang sudah memahami disabilitas.

Berbekal pengalaman yang diperoleh hari itu, para penyandang disabilitas pun akan merencanakan lebih matang kegiatan Jakarta Barrier Tourism berikutnya. Selain sarana transportasi seperti KRL, sarana lain yang ingin kami kunjungi seperti pusat perbelanjaan, tempat ibadah, maupun akses menuju sarana pendidikan. Tempat-tempat tersebut dianggap sebagai kawasan vital yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah untuk dapat melakukan kajian dan perbaikan. Dengan segala upaya tak kenal lelah yang dilakukan oleh penyandang disabilitas, dukungan dari para relawan, serta partisipasi media massa, diharapkan gerbang menuju aksesibilitas fasilitas umum dapat semakin terbuka lebar.

“Nggak nyesal deh aku ikutan acara ini,” pikirku ketika beranjak pulang. Kapan lagi bisa jalan-jalan seru bersama orang-orang istimewa ini. Sebuah perjalanan singkat yang penuh makna luar biasa. Pengalaman baru dan semangat yang berkobar tentu dirasakan oleh setiap orang yang turut berpartisipasi dalam acara tersebut. Perjuangan masih harus berlanjut. Karena itu, tour berikutnya akan segera dilaksanakan beberapa waktu mendatang. Wah, tidak sabar rasanya aku menunggu hari itu tiba.(RR) 

Editor: Isti

Last Updated on 10 tahun by Redaksi

Oleh Ramadhani Ray

Literature lover, disability issues campaigner, Interest to learn something new through reading, training, and traveling.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *