Tunanetra dan kegiatan literasi

Literasi adalah kegiatan baca tulis.  Baca tulis adalah proses menuju sebuah pencerahan dan membangun peradaban umat manusia di muka bumi ini. Membaca dapat memperluas paradigma pribadi, dan menulis dapat memperluas paradigma masyarakat. Aplikasi nyata dunia baca tulis yaitu melalui buku, dan buku adalah jendela ilmu bagi manusia.

 

Sejak dahulu, tunanetra telah melakukan usaha-usaha untuk mengakses informasi dalam rangka mengembangkan diri mereka untuk menjadi sosok yang diperhitungkan. Meskipun di masa lalu, diskriminasi, baik dari segi paradigma maupun tindakan, kerap dilakukan masyarakat. Hal ini terjadi disebabkan sempitnya pola pikir terhadap disabilitas netra. Ternyata, tunanetra tetap mampu melakukan kegiatan literasi meskipun dengan metode-metode tradisional, baik itu membaca dengan dampingan orang awas serta menulis dengan mesin tik. Sekejam-kejamnya praktik diskriminasi di masa lalu, tunanetra tetap mendapat support.

 

Namun ternyata, untuk proses ini tidak semulus yang dibayangkan. Apalagi ketika penyandang tunanetra sangat butuh mengupdate informasi, baik mengenai kegiatan research maupun kegiatan akademik di sekolah, bangku kuliah, dan ilmu penunjang profesi. Walau demikian, kualitas tunanetra di masa lalu juga tetap berada dalam posisi tinggi seperti orang pada umumnya. Meskipun mereka harus kerja keras lebih extra dari orang pada umumnya dengan high intelegence.

 

Apakah dengan begitu, masih bisa dikatakan sudah bukan zamannya lagi? Tidak! Justru sebagai tunanetra yang memiliki peluang emas untuk menjadi sosok produktif harus menanamkan prinsip “jika dahulu hanya menggunakan radio tape dengan kaset kosong maupun didampingi orang awas, suatu saat akan tercipta teknologi canggih dengan fasilitas lengkap dan harga terjangkau. Prinsip seperti itulah yang harus tertanam kuat. 

 

Penulis yakin pembaca sepakat dengan sebuah realita yang akan ditampilkan. Digital talking book, ebook, dan lain-lain, adalah kerja kreatif dan imaginatif disabilitas netra yang di masa lalu menjadi kutu buku. Paradigma masyarakat juga berhasil diubah oleh mereka-mereka para pejuang dari tunanetra di masa lalu, utamanya mereka-mereka yang aktif melakukan kegiatan literasi (membaca dan menulis). Sehingga, paling tidak mereka sudah diperhitungkan.

 

Sebagai contoh, ketika ikut dalam sebuah kelompok diskusi terarah (focus group discution), disabilitas netra sudah tak ketinggalan lagi dari orang normal pada umumnya. Bahkan, mereka paling tidak akan meminta tunanetra untuk memberikan pertimbangan pada momen-momen berikutnya.

 

Hal yang paling inti, literasi (membaca dan menulis) adalah salah satu dari sekian banyak modal yang seorang tunanetra haruslah miliki. Ini bertujuan dalam rangka pencerahan bagi penyandang tunanetra dan keluarga serta seluruh masyarakat, tertutama masyarakat Indonesia.

 

Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, izinkan penulis untuk mencurahkan hal-hal berikut, ya! Penulis lagi galau. Jadi mau curah-curahan gitu, bukan curhat. Sebagai seorang yang memiliki bakat menulis, saya masih merasa bahwa teman-teman penulis di Jakarta jauh lebih unggul. Salah satu indikasinya adalah ketika penulis browsing di situs tempat tulisan ini dipublish, utamanya pada rubrik cerpen, penulis terbawa oleh suasana. Semua itu karena mereka giat dalam kegiatan literasi.(Sujono)

Last Updated on 8 tahun by Redaksi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *