Antimainstream, Jangan Takut!

SDN Lebak Bulus 02 Pagi, di sanalah aku menghabiskan dua tahun terakhirku di bangku sekolah dasar. Ya, sejak kelas 5, aku memang memutuskan untuk pindah dari SLB ke sekolah inklusi (sekolah yang menggabungkan anak yang menyandang predikat disabilitas sepertiku dengan anak-anak lain yang non disabilitas). Sedikit cerita, aku mengalami tunanetra jenis low vision (hanya dapat melihat bayangan) sejak lahir, dengan penyebab yang tidak diketahui oleh siapa pun termasuk aku dan orang tuaku.

 

Alasanku untuk pindah ke sekolah inklusi sangat sederhana; ingin mencari dunia baru. Ketika aku bersekolah di SLB, satu kelas paling banyak hanya dihuni oleh tujuh orang murid. Bahkan ketika aku di kelas 4, kelasku hanya berisi tiga murid. Aku ingin merasakan suasana baru; kelas yang ramai dengan riuh tawa canda anak-anak, guru yang mengajar dengan suara keras di depan kelas, bermain dan berlarian di lapangan sekolah, sampai bermain sepeda dan PlayStation bersama teman-teman di kala liburan.

 

Dan benarlah, di SDN Lebak Bulus 02 Pagi aku merasakan suasana baru yang kuharapkan itu. Teman-teman yang seru, guru-guru yang menyenangkan *walaupun terkadang sedikit galak*, dan suasana belajar yang berbeda dibanding ketika waktu bersekolah di SLB. Dan ternyata tidak terlalu sulit bagiku untuk bergaul di linkungan anak-anak non disabilitas. Kami bermain bersama, belajar bersama, hingga akhirnya ketika kelas 6 kami mencoba untuk membentuk sebuah grup band. Ya, memang terlihat lucu ketika anak-anak SD masuk ke studio band dan bergaya seperti musisi yang sedang top saat itu. Tetapi, itulah pertama kalinya aku *dan mungkin juga teman-temanku* berkecimpung di dunia musik.

 

Dua tahun berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya pengumuman itu pun tiba; pengumuman kelulusan SD. Dan tanpa kusangka, aku meraih peringkat tiga nilai ujian tertinggi di sekolah, Alhamdulillah. Dan hal berikutnya yang harus aku dan orang tuaku pikirkan adalah masuk SMP; SMP mana yang nantinya akan kupilih? Saat itu, SMP yang paling dekat dengan rumahku yang bisa menerima penyandang disabilitas adalah SMPN 226 Jakarta. Namun, sekali lagi aku ingin mendapatkan sesuatu yang berbeda. Dengan nada polos, aku berkata kepada orang tuaku, “Aku maunya masuk 85,”

“Tapi kan 85 bukan sekolah inklusi,” orang tuaku mencoba menjelaskan.

“Ya terus kenapa? Kalau nilai tesnya bisa masuk, kenapa enggak?” aku tetap berkeras dengan keinginanku.

 

Ya, sejak kecil aku memang menyukai sesuatu yang antimainstream. Aku selalu ingin mencoba sesuatu yang baru, termasuk dalam hal sekolah. Ketika memilih SMP, aku sangat berkeinginan untuk masuk SMPN 85 Jakarta yang merupakan salah satu sekolah favorit di Jakarta Selatan. Saat itu, untuk memilih SMP tidak menggunakan nilai ujian SD, tetapi harus mengikuti tes yang disebut General Test. General Test adalah tes gabungan beberapa mata pelajaran yang berisi 50 soal. Jadi, 50 soal tersebut sudah mencakup beberapa mata pelajaran sekaligus.

 

General Test, Alhamdulillah dapat aku lewati dengan lancar. Memang, sebelum menghadapi General Test, biasanya murid-murid SD sudah dibekali denghan beberapa Try Out dari sekolah. Itulah salah satu hal yang membuat tes tersebut terasa tidak terlalu sulit.

 

Yeah, setelah menunggu beberapa hari, akhirnya pengumuman nilai General Test pun keluar. Dan, sekali lagi tanpa disangka-sangka, aku berhasil masuk di SMPN 85 Jakarta dengan peringkat tiga. Rasa syukur yang tak terhingga saat itu kupanjatkan kehadirat Allah, Tuhan Semesta Alam.

 

Namun, masalah baru pun menghadang. Ketika mendaftar ulang di SMP, sebenarnya Kepala Sekolah bisa menerimaku dengan senang hati. Namun, pihak Wakil Kepala Sekolah merasa tidak sanggup untuk menerima siswa disabilitas.

 

“Kami bukan sekolah inklusi, jadi kami tidak punya sarana yang memadai untuk menangani siswa seperti ini,” kurang lebih seperti itu kalimat yang meluncur dari sang Wakil Kepala Sekolah.

 

Mendapatkan tanggapan seperti itu, aku tak patah arang. Orang tuaku, GPK (Guru Pembimbing Khusus) dari SLB, dan beberapa pihak lain turut membantu untuk menjelaskan ke pihak sekolah bahwa siswa disabilitas bukanlah siswa yang merepotkan. Mereka dapat belajar seperti siswa-siswa non disabilitas pada umumnya. Setelah melalui jalan yang cukup rumit, akhirnya pihak sekolah bisa menerimaku untuk bersekolah di sana.

 

Hari pertama bersekolah di SMP adalah hari yang sangat menyenangkan bagiku. Aku mengenal lingkungan baru, teman baru, dan pastinya guru baru yang tentu saja berbeda dengan guru ketika di SD. Tiga hari pertama bersekolah di SMP adalah Masa Orientasi Sekolah (MOS). Di waktu ini siswa-siswi dikenalkan dengan bagaimana belajar di SMP, bagaimana sistem dan peraturan yang berlaku di sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah. Pada saat itu pula para siswa diminta untuk memilih ekskul (ekstrakurikuler) apa yang akan mereka ikuti. Aku yang senang bermain musik, tanpa berpikir panjang langsung memilih ekskul band.

Baca:  Mengekang Anak Tunanetra, Awal Mula Ketidakmandirian

 

Untuk bergaul dengan teman-teman di SMP, lagi-lagi bukan hal yang menyulitkanku. Aku berusaha menghafalkan suara-suara yang ada di kelasku, sambil menghafalkan nama mereka. Audi, Kevin, Mukhlis, Miftah, Jessica, Aura, Desya, Gatti, dan banyak nama-nama lainnya. Selain itu, aku juga mengenal teman-teman baru di ekskul band. Saat pertama kali masuk ekskul band, aku memilih posisi sebagai keyboardist, karena hanya alat musik itulah yang aku kuasai saat itu. Sebenarnya aku berkeinginan untuk menjadi drummer, tetapi saat itu kemampuanku bermain drum masih sangat minim.

 

Suatu pagi, beberapa hari setelah kegiatan belajar mengajar di SMP dimulai. Entah saat itu mata pelajaran apa, aku pun sudah agak lupa. Saat itu, guru sedang menjelaskan sesuatu dan aku pun mencatat penjelasannya dengan tulisan Braille.

“Kamu ngapain, Ry? Nggak dengerin penjelasan saya ya?” tanya guru tersebut kepadaku.

“Ini lagi nyatat, Pak,” jawabku.

“Oh, lagi nyatat. Coba Bapak lihat tulisan kamu,” pinta guru tersebut.

Aku pun membuka rigletku dan menunjukkan hasil catatanku.

“Loh, ini tulisan apa, Ry? Kok Bapak nggak bisa bacanya?” tanya guru tersebut.

“Ini huruf Braille, Pak. Bentuknya titik-titik. Huruf Braille tersusun dari pola enam titik, jadi kita harus tau polanya dulu,” aku menjelaskan.

“Oh, gitu ya? Baru tau Bapak,” jawab guru tersebut. “Ya udah, lanjutin lagi nyatatnya,” tambahnya.

 

Di hari lain, ketika pelajaran IPS. Hari itu Pak Dahlan, guru IPS, mengadakan ulangan tentang materi Kerajaan Hindu-Buddha. Aku yang memang sangat menyukai pelajaran Sejarah, tidak terlalu bermasalah dengan adanya ulangan tersebut. Namun, anak-anak lain yang tidak terlalu tertarik dengan pelajaran Sejarah langsung ketar-ketir.

 

Soal pun dibagikan ke seluruh anak-anak yang ada di kelas.

“Mukhlis, tolong bacakan buat Fakhry ya,” kata Pak Dahlan.

“Iya Pak,” jawab Mukhlis, teman sebangkuku.

“Ry, ini soalnya menjodohkan pertanyaan dengan jawaban,” kata Mukhlis menjelaskan.

“Oh gitu. Ya udah, lo bacain gue soalnya aja, ntar gue jawab, terus lo cari deh di kolom jawaban, ada atau nggak jawaban gue?” jawabku.

“Lah, ntar gue tau dong jawaban lo?” tanya Mukhlis.

“Oh iya ya? Tapi… Nggak apa-apa deh, kalau lo mau ngikutin gue silahkan, kalo nggak juga nggak apa-apa. Toh jawaban gue juga belum tentu bener kok,” jawabku santai.

“Beneran nih? Ya udah, gue ngikutin lo ya, gue mentok nih Sejarah,” kata Mukhlis.

“Ya udah, santai aja. Tapi jangan disamain semua ya, ntar ketauan banget lo ngikutin gue, hahahahahaha,” jawabku sambil tertawa.

 

Aku pun mengerjakan soal dengan tenang. Ketika mengoreksi jawaban, Pak Dahlan mengacak jawaban yang dikoreksi, sehingga tidak ada satu pun murid yang mengoreksi jawabannya sendiri. Aku tentu saja tidak bisa mengorekksi jawaban siapa pun karena aku tidak bisa membaca tulisan biasa. Walhasil, sudah pasti ada seorang anak yang mengoreksi dua jawaban.

Setelah semua jawaban di koreksi, Pak Dahlan pun memasukkan nilai ke buku daftar nilai.

“Fakhry,” panggil Pak Dahlan.

“92 Pak,” jawab seorang murid yang mengoreksi pekerjaanku.

“Gatti,” panggil Pak Dahlan Lagi.

“78 Pak,” jawab seorang murid lainnya. Gatti adalah murid terpintar di kelasku saat itu.

“Mukhlis,” panggil Pak Dahlan lagi.

“90 Pak,” jawab seorang anak yang mengoreksi pekerjaan Mukhlis.

“Mukhlis, kamu ngerjain murni berapa persen? Bahkan nilainya Gatti kalah sama nilai kamu,” canda Pak Dahlan.

“60% Pak,” jawab Mukhlis sambil nyengir. Pak Dahlan pun nyengir.

“Apaan 60%? Orang Cuma satu jawaban doang yang beda sama gue,” kataku sambil tertawa setelah Pak Dahlan keluar kelas. “Yaa, nggak apa-apa lah, Mukhlis kan udah sering banget bantuin gue, sekarang giliran gue bantuin dia,” pikirku santai.

 

Kelas 1 SMP adalah permulaan yang sangat menyenangkan bagiku. Aku mulai mengenal bagaimana kehidupan di SMP, bagaimana susahnya belajar Fisika, bagaimana menjalin pertemanan dengan begitu banyak orang, termasuk pada kelas 1 SMP inilah aku mulai mengenal “monkey love” alias cinta monyet. Aku pun tidak tahu apa alasan orang menyebut kisah percintaan anak kecil sebagai “cinta monyet”.

 

Ngomong-ngomong soal cinta-cintaan, ketika kelas 1 SMP aku pernah naksir dengan teman sekelasku. “Boleh nyebut nama nggak nih? Ya udah, sebut aja deh, namanya Desya.” Awalnya aku naksir karena ocehan salah satu temanku, “Ry, lo disalamin tuh sama Desya,” dan tiba-tiba ada perasaan aneh yang menjalar di hatiku. Saat aku menulis cerita ini, aku hanya bisa berpikir, “Yaelah RY, baru disalamin aja lo udah klepek-klepek, dasar bocah.”

 

Singkat cerita, akhirnya aku melaksanakan aksi “penembakan” setelah upacara 17 Agustus. Itu pun gara-gara aku dipancing oleh teman-temanku sehari sebelumnya. “Udah Ry, kalau nggak sekarang kapan lagi?” begitulah kurang lebih ocehan mereka.

 

“Udah Ry, ngomong sekarang,” kata salah satu teman sekelasku ketika aku tiba di kelas setelah upacara.

“Ngomong apaan?” tanyaku polos.

“Lah, kemaren katanya lo mau nembak Desya?” kata temanku yang lain.

“Iya, tapi emang nembak gimana caranya?” aku bertanya dengan polos.

“Ya udah, tinggal lo nyatain perasaan lo, terus tanyain mau gak jadi pacar lo. Selesai,” kata temanku agak gregetan dengan kepolosanku.

“Ya udah, orangnya mana? Masa iya gue teriak-teriak dari sini?” tanyaku.

“Tuh, bocahnya di dekat papan tulis,” jawab temanku yang lain.

 

Aku pun diantarkan oleh temanku ke arah papan tulis. Dan aku melakukan segala saran-saran konyol yang dilontarkan teman-temanku tadi.

 

“Des, gue mau ngomong sesuatu. Sebenernya gue suka sama lo. Lo mau gak jadi pacar gue?”

 

Setelah aku berkata seperti itu, tiba-tiba terdengar suara sangat ramai, “terima, terima, terima, terima,”

Baca:  Kerap Ditilang, Puluhan Penyandang Disabilitas Tuntut SIM D

 

Aku pun penasaran suara siapa sajakah itu. Dengan sisa-sisa penglihatan yang aku miliki, aku mencoba melihat ke sekeliling. Ternyata, sangat banyak anak-anak yang berkumpul, sepertinya bukan hanya dari kelasku saja. Entahlah ide gila siapa ini yang mengumpulkan begitu banyak anak-anak di kelasku. Kontan aku merasa malu berat pada saat itu.

 

“Sorry, gue gak bisa Ry,” jawab Desya.

“Oh, ya udah, nggak apa-apa kok. Thanks yaa,” jawabku datar.

 

Lalu terdengar teriakan, “yaaaaaa,” dan aku langsung mencari teman-teman yang biasa berkumpul denganku.

 

“Woy, kantin nyok, gue laper nih,” ajakku.

“Laper ape laper Ry?” tanya temanku iseng.

“Serius, ini uda jam berapa? Setengah 10 woy. Waktunya gue makan nih hahahaha. Gue tau lo pasti laper juga kan?” jawabku sambil berjalan ke arah kantin.

 

Yaa, begitulah kira-kira kisah cinta yang sangat konyol ketikaa aku kelas 1 SMP. Sebenarnya masih banyak cerita-cerita seru saat aku kelas 1 SMP, tapi akan sangat panjang jika kuceritakan semuanya.

 

Naik ke kelas 2, aku semakin betah dengan suasana di SMP. Semakin banyak orang yang kukenal, semakin banyak pula karakter orang yang kuketahui. Dan satu lagi, inilah pertama kalinya aku punya adik kelas di SMP.

 

Kelas 2 SMP terasa lebih menyenangkan dibandingkan kelas 1, salah satu faktornya karena ada beberapa anak yang mengikuti ekskul band yang sekelas denganku. Walhasil, ketika istirahat atau ketika tidak ada guru, kelas akan berubah menjadi mini konser. Gitar, pianika, tamtam, dan beberapa vokalis dadakan siap meramaikan suasana kelas.

 

Pernah suatu ketika, kebetulan di kelas sedang tidak ada guru. Dan seperti biasa kelas akan ramai dengan anak-anak yang mengadakan mini konser iseng-iseng. Tiba-tiba, tanpa diduga-duga guru yang bersangkutan pun masuk. Ketika melihat anak-anak yang sedang bermain musik, guru itu berkata, “OK, hari ini kita santai aja ya, kita nyanyi-nyanyi aja di kelas, kebetulan Ibu juga lagi suntuk.”

 

Mengenai guru-guru yang mengajar, setelah beberapa lama mengajarku di SMP, guru-guru tersebut tidak menemukan kendala lagi ketika menghadapi murid disabilitas tunanetra sepertiku. Contohnya, ketika pelajaran Matematika, guru akan menyebutkan semua angka yang ada di papan tulis. Jika tidak ada murid tunanetra, biasanya guru hanya akan menunjuk-nunjuk papan tulis dan berkata, “ini ditambah dengan ini, lalu dikalikan dengan yang ono, maka hasilnya itu.” Ketika ada gambar pun, guru tersebut akan menjelaskannya dengan detail kepadaku.

 

Selain kegiatan belajar mengajar yang seru, aku pun tetap aktif di ekskul band. Pak Dahlan, guru IPS, juga sering mengajakku untuk mengiringi vokal grup dan menyanyi solo. Biasanya vokal grup dan menyanyi solo ini sering diminta tampil di berbagai acara, misalnya rapat guru, rapat kepala sekolah, lomba-lomba, dan acara-acara lainnya. Di sinilah aku semakin memperdalam kemampuanku bermain keyboard. Dan ketika mengiringi menyanyi solo inilah aku mengenal Talitha, adik kelasku yang saat itu sangat menarik perhatianku. Singkat cerita, aku dan Talitha menjalin sebuah kisah selama beberapa bulan.

 

Di ekskul band, aku mempunyai seorang kakak kelas yang sampai sekarang masih tetap aktif ngeband denganku, namanya Nauval. Dari dulu sampai sekarang posisinya di band tetap itu-itu saja; sebagai drummer. Sejak SMP Nauval memang sudah akrab denganku. Katanya, dia bisa akrab dengan tunanetra karena ibunya bekerja di Dinas Pendidikan bagian PLB (Pendidikan Luar Biasa). Itulah sebabnya mengapa dia sudah terbiasa berteman dengan tunanetra sepertiku. Selain Nauval, ada bebarapa kakak kelas lain yang sering berkumpul dan seru-seruan bersamaku.

 

Naik ke kelas 3, barulah aku menemukan pengalaman yang kurang menyenangkan selama aku bersekolah di SMP *dan mungkin selama aku bersekolah di sekolah inklusi*. Aku mendapatkan teman-teman yang unik di kelas 3. Mengapa kusebut unik? Karena mereka sangat senang berbuat iseng denganku. Entah apa faktornya, aku pun tak tahu. Padahal sebelumnya mereka tak pernah bertindak seperti itu. Tetapi tentu saja tidak semua teman sekelasku iseng seperti itu. Ada pula teman-teman yang baik, terutama kaum hawa. Ada juga teman laki-laki yang sangat baik, misalnya anak yang sangat menguasai Fisika dan Matematika yang bernama Radhian. Ada juga salah satu teman yang memang sudah cukup dekat denganku sejak kelas 2 SMP, namanya Sari. Dengan Sari inilah aku sering berbagi cerita tentang apa pun yang aku alami dan aku rasakan ketika di kelas 3 SMP. Dan biasanya dia akan memberikan saran-saran yang menurutku cukup berhasil.

 

Aku tidak hanya bermain dan bersosialisasi dengan teman sekelasku. Aku pun sering bermain di kelas lain. Farah, Krisna, Hanna, Putri, Andre, Finda, dan masih banyak nama-nama lain yang sering bermain denganku meskipun tidak sekelas.

 

Mengenai teman-temanku yang iseng memang cukup membuat emosiku sering naik. Tetapi, beberapa teman mengingatkanku agar aku tidak terpancing.

“Kalau lo kepancing, mereka malah makin doyan ngisengin lo Ry,” kata Farah, salah satu teman yang sering aku mintai pendapat.

“Terus menurut lo kira-kira apa sih alasan mereka bertindak kaya gitu?” tanyaku penasaran.

“Ya, gue nggak tar Ry. Mungkin mereka iri sama kemampuan yang lo punya. Lo bisa main musik, mereka nggak. Lo bisa ngotak-ngatik komputer, mereka nggak. Gitu deh kira-kira,” jawab Farah mencoba menganalisa.

“Iya kali ya?” jawabku.

 

Jawaban Farah setidaknya membuatku agak sedikit tenang. Tetapi aku menyadari bahwa jawaban seperti itu harus kujadikan motivasi agar aku bisa lebih baik lagi, bukannya sebagai sesuatu yang bisa aku sombongkan. Aku punya prinsip, tidak ada sesuatu yang bisa kita sombongkan karena ujung-ujungnya kita pasti akan mati dan tidak ada sesuatu pun yang bisa menolong kita nanti kecuali amal baik kita.

 

Loh, jadi ngelantur gini tulisannya? Hehehehe, lanjut deh. Kelas 3 SMP berjalan datar-datar saja. Satu prestasi yang bisa membuatku senang di tengah-tengah teman-teman yang iseng pada saat itu adalah ekskul band memenangkan lomba menciptakan lagu tentang lingkungan. Walaupun tidak mendapatkan juara 1, tetap saja hal ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi ekskul band.

Baca:  Musuh berhati malaikat

 

Satu hal penting yang harus kuhadapi di kelas 3 SMP adalah Ujian Nasional. Ujian Nasional yang katanya sangat mengerikan itu, padahal sebenarnya tidak seperti itu kenyataannya. Ujian Nasional sama saja seperti ujian-ujian pada umumnya, tapi skalanya nasional. Sampai sekarang aku masih tidak mengerti, mengapa guru-guru sering sekali menakut-nakuti muridnya dengan ujian nasional. Karena menurut pendapatku, jika ditakut-takuti seperti itu, murid akan lebih susah belajar karena merasa terbebani oleh stigma ketakutan yang diberikan oleh para guru. Yang pasti, ujian nasional itu sama sekali tidak menakutkan, asalkan belajar dengan benar.

 

Ujian praktik, ujian sekolah, dan ujian nasional dapat kulewati dengan cukup lancar. Hingga akhirnya hari kelulusan pun tiba. Pengumuman kelulusan murid-murid SMPN 85 Jakarta dilaksanakan berbarengan dengan acara perpisahan di Lembang, Bandung. Sekitar jam 11 siang, amplop pun dibagikan. Dengan hati berdebar-debar, murid-murid SMPN 85 Jakarta membuka amplop mereka masing-masing.

 

Satu pengalaman lucu kualami saat itu. Ketika murid-murid lain melompat kegirangan mengetahui kelulusan mereka, aku masih bengong memegangi amplop yang sudah kubuka namun isinya tak dapat kubaca. Dengan asal-asalan, kucolek entah siapa yang ada di dekatku saat itu, dan dengan ekspresi datar aku bertanya, “Tolong lihatin dong, nilai gue gimana nih?”

“Lo lulus Ry, nilai lo 35.55,” jawab sebuah suara, yang ternyata itu suara Fay, teman sekelasku . Barulah aku bisa melompat bahagia setelah aku mengetahui nilaiku. *telat banget ya?*

 

Malam perpisahan pun kulewati dengan bahagia. Kebetulan waktu itu aku mengisi acara dengan ngeband bersama para guru. Malam itu aku tidak bermain keyboard seperti biasanya, tetapi bermain drum. Ternyata seru juga ngeband bersama para guru, bisa membuatku tertawa merasakan ekspresi mereka bermain musik.

 

Dengan nilai 35.55, aku memberanikan diri untuk mengikuti jalur pendaftaran SMA secara online. Ketika itu, ada dua jalur pendaftaran SMA, yaitu jalur online dan jalur khusus. Jalur khusus adalah jalur yang diperuntukkan bagi para murid disabilitas yang sudah pasti akan diterima di sekolah-sekolah yang telah ditentukan. Namun, seperti biasa, aku memilih jalur antimainstream. Meskipun aku disabilitas tunanetra, aku memutuskan untuk mencoba jalur online. Dan Alhamdulillah, aku diterima di sekolah yang aku inginkan, SMAN 34 Jakarta, posisi 243 dari 272 kursi yang tersedia.

 

Hampir sama seperti ketika masuk SMP, SMAN 34 Jakarta pun pada awalnya sempat menolakku dengan alasan ketiadaan sarana khusus bagi tunanetra. Dan berbagai pihak pun membantuku lagi untuk menjelaskan kepada pihak sekolah.

 

Satu pengalaman lucu ketika aku mendaftar SMA. Ketika orang tuaku sedang berdebat dengan pihak sekolah mengenai apakah aku bisa diterima di sekolah itu atau tidak, aku mendapat sebuah SMS dari seorang teman. Aku pun dengan santai membalas SMS tersebut. Tiba-tiba, salah satu guru yang berada di ruangan itu bertanya, “Itu kamu lagi ngapain?”

“Lagi balas SMS, Bu,” jawabku.

“Loh, gimana cara kamu baca SMS?” tanya guru tersebut penasaran.

“Jadi HP saya dilengkapi software tambahan, namanya screen reader. Fungsinya untuk menginterpretasi tulisan yang ada di layar dalam bentuk suara. Jadi saya membaca SMS dengan bantuan suara itu, BU,” jawabku.

“Oh gitu ya? Ternyata tunanetra bisa SMSan juga ya?” jawab guru tersebut.

“Komputer juga bisa kok Bu, cara kerjanya hampir mirip dengan HP,” jawabku lagi.

 

Ada juga guru yang penasaran bagaimana caranya seorang tunanetra bermain keyboard. Lalu aku pun disuruh memegang dan memainkan keyboard yang kebetulan ada di ruangan itu.

“Ini keyboard merk apa Bu?” tanyaku.

“Wah, Ibu nggak tau deh,” jawab guru tersebut.

“Coba Ibu tolong lihat tulisan di belakang keyboard ini,” pintaku.

“Oh, ini bukan? Yamaha PSR740?” tanya guru tersebut.

“Nah, itu dia BU. Hmm, PSR740 ya? Pernah mainin sih, tapi agak lupa posisi tombol-tombolnya,” aku pun berorientasi sebentar dengan keyboard tersebut, mengingat-ingat posisi tombol-tombolnya. Kemudian aku memainkan satu buah lagu.

 

“Loh, kok kamu bisa langsung tau posisi tombol-tombolnya?” tanya guru tersebut.

“Yaa, udah sering main keyboard Bu, jadi nggak terlalu susah menghafal tombol-tombolnya,” jawabku.

“Terus gimana cara tau kunci-kuncinya? Kamu kan nggak bisa baca partitur?” tanya guru tersebut masih penasaran.

“Main musik kan nggak harus pakai partitur. Kan bisa pakai feeling juga BU,” jawabku.

 

Akhirnya aku diterima di SMAN 34 Jakarta, salah satu SMA favorit di Jakarta Selatan. Kehidupan yang kujalani di SMA tidak terlalu jauh berbeda dengan kehidupan yang kujalani selama SMP. Semakin banyak teman baru, semakin banyak pelajaran baru, dan semakin banyak pula pengalaman yang aku dapatkan.

 

Setiap orang, apapun kondisinya, berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Kaya atau miskin, tua atau muda, disabilitas maupun non disabilitas, semuanya berhak mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Kuharap ceritaku ini dapat menyadarkan siapapun yang membacanya tentang arti penting pendidikan bagi setiap orang tanpa harus membeda-bedakan kondisi mereka. Dan satu poin penting lagi, seharusnya sekolah tidak boleh menolak setiap murid yang berhasil masuk ke sekolah tersebut dengan jalur yang semestinya. Apapun kondisinya, ketika murid tersebut sudah memenuhi kriteria untuk bersekolah di sekolah yang bersangkutan, sekolah harus menerimanya dan memberikan pelayanan yang semestinya.

 

Dan buat siapa pun yang baru ingin memasuki jenjang pendidikan tertentu, jangan takut menjadi antimainstream. Jika kau ingin mencoba sesuatu yang baru, mencoba sekolah baru yang belum pernah menerima kaum disabilitas, maka cobalah. Jangan pernah menyerah dan jangan pernah takut.

Bagikan artikel ini
Fakhry Muhammad Rosa
Fakhry Muhammad Rosa

Fakhry Muhammad Rosa, seorang tunanetra kelahiran Pontianak, 31 Mei 1994. Alumni jurusan Sastra Jerman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Aktif menjadi pengurus di ITCFB (IT Center For The Blind) sebagai penulis artikel teknologi (silahkan baca di http://www.itcfb.org). Aktif bermusik sebagai drummer di Mitra Netra Band dan bassist di Remikustik.

Articles: 32

12 Comments

  1. Halo halo, baru sempet internet an lagi nih, setelah berkutat dengan UTS Filsafat Bahasa, hahaha.

    Btw, makasih yaa teman2atas masukannya 🙂

    Cerita ini emang rencananya mau aku rombak lagi hehehe, soalnya emang rada kepanjangan, aku sendiri pegel bacanya wkwkwk 😀

  2. intinya semua masukan itu baik bagi penulis, asalkan memang ada dasar ilmu yang jelas. Tidak hanya mengandalkan sisi subjektif dari pembaca. Ditambah lagi poin-poin untuk masuk sleksi sebuah buku juga memang harus tetap diperhatikan. Dunia kepenulisan sama luasnya seperti dunia profesi lain. Tentu ada persaingan yang tidak enteng.

    • yup, terima kasih masukannya. kita akan kombinasikan antara standar yang biak dengan mengakomodasi bakat teman2. maka dalam waktu dua minggu ke depan kita saling berkomentar tulisan satu sama lain agar dapat saling belajar. oia, apabila ada teman2 yang sudah berpengalaman sebagai penulis, dapat diajak gabung agar minimal dapat pula kasih input buat teman2 via komentar 🙂

  3. keren jeng. tapi bener kata mas dimas, mungkin kamu bisa ambil satu kisah yg bisa dikembangin gitu ri. sebenernya ini udah bagus kok jeng, tapi ya itu dia, biar pembaca gak kabur duluan sebelum selesai baca, mending coba tentuin satu kisah yg punya konflik, trus km ulas deh heheeh…overall, u did it well 🙂
    sebenernya sih tiap km nulis, aku berharap kamu nulis dg gaya kocakmu gitu ri, kayak gayamu kalo lg cerita secara langsung lewat ucapan ehhehehe, tapi hbalik lagi sih, kalo km emang nyamannya nulis dg gaya kayak gini, ya gpp. ini aja udah lumayan kocak, tp aku sih berharap lebih kocak dan tentu gak menghilangkan esensi dari tulisanmu jg 🙂 (aduh aku kasih saran apa ini ya, gaje bingits ehheeh)

  4. gaya penulisannya menarik Ri. lugas dan lumayan kocak. soal gaya penulisan juga sebetulnya tak bisa dikritisi sebab tiap penulis punya gayanya sendiri, dan gaya penulisan akan berkembang atau berubah mengikuti pengalaman penulis tersebut. tapi yang mungkin boleh disarankan, lo bisa fokus untuk satu kisah yang dianggap paling menarik. Jadi seperti membuat cerpen. Tak perlu memasukkan semua detail, cukup cari satu konflik dan nanti diselesaikan. Konflik gak harus berantem ya, tapi satu hal yang menjadi tantangan karakter tokoh utama kemudian bagaimana penyelesaiannya. Jadi detail2 lain seperti masa SD atau setelahnya bisa dibuat semacam flashback atau ide pendukung. sepertinya kalo dari tulisan ini yang menarik itu pas masa SMP ya. oia, saya suka tuh bagian lo kasih contekan ke temen sebangku lo. itu keren. biar masyarakat tahu kalo tunet juga bisa kasih bocoran. haha

  5. kl kritik dan saran dari aku yang tadi siang udah dibahas ya! cerita ini masih perlu dipercantik. soal pengembangan sih udah cukup. udah mencakup apa yang dibutuhkan pembaca dalam mengetahui situasi seorng disabilitas netra di sebuah sekolah umum. tinggal penyampaian dari sisi alur, dan gaya penceritraan.

  6. awalnya udah menarik Ri. belum baca sampai habis tapi mau kasih masukkan ini. bagaimana jika istilah2 yang mungkin tidak diketahui oleh masyarakat umum tidak dijelaskan dalam bentuk dalam kurung tapi dalam dialog2 di dalam cerita? Atau unsur2 lain dalam cerita yang dapat menjelaskan itu. tapi jangan jauh2 hingga ke ahir, masih tetap di awal2 cerita agar kesannya lebih alami. mau lanjut baca lagi 🙂

Leave a Reply