MENGATASI KETERBATASAN TANPA BATAS

Benarkah Berbuat Baik itu Sulit?

Terakhir diperbaharui 8 tahun oleh Redaksi

Dua hari terakhir ini publik Twitter sedang ramai membicarakan upload foto seseorang yang cukup ironis. Dari Merdeka.com, foto menggambarkan seorang laki-laki yang memegang tongkat duduk di lantai kereta, sedangkan kursi prioritas di dekatnya diduduki tiga orang pria non-disabilitas yang sedang membaca koran. Sontak ketika foto ini diupload ke Twitter, banyak yang menanggapi dengan ikut retwit dan pakai hashtag #BerbuatBaikItuSulit. Namun, apa benar berbuat baik itu sulit?

Sebelumnya, ada satu hal yang perlu dikritisi yaitu soal penerbitan foto. Dalam foto tersebut ada seorang penyandang disabilitas yang sedang duduk di atas kereta. Apakah si pengambil foto yang kemudian menguploadnya ke Twitter sudah mendapat izin dari orang tersebut? Sebab, jangan sampai pandangan bahwa penyandang disabilitas hanyalah sebuah objek masih berlaku. Apalagi di era modern dan digital ini. Ia hanya dijadikan bahan contoh, tanpa dia tahu bahwa foto dirinya tersebar di Twitter. Ada kemungkinan pula, ia tidak tahu apa itu Twitter apalagi cara menggunakannya. Belum tentu niat pengunggah yang ingin ikut menyadarkan masyarakat itu disenangi oleh tokoh dalam foto tersebut. Ini hanya persoalan etika. Karena selain orang itu, masih ada keluarga dan sahabat-sahabat yang tentu mengenalinya.

Lantas, apakah berbuat baik itu sulit? Seberat apa untuk berbuat baik itu sesungguhnya? Ketika Anda melihat foto tersebut, sebelum ikut retwit, harusnya pertanyaan ini terlontar “apa yang dilakukan si pengunggah foto untuk membantu laki-laki yang duduk di atas lantai kereta dan memegangi tongkat itu?”. Menurut perkiraan penulis, orang itu ada kemungkinan tetap duduk di kursinya atau berdiri di lantai kereta dan sibuk dengan gadget miliknya. Padahal tak perlu seperti itu, jika ia sedang duduk, ia dapat jadi orang pertama yang berdiri lalu mempersilakan orang itu duduk, meski ia bukan di kursi prioritas. Atau jika ia sedang berdiri, ia juga dapat jadi orang pertama yang membantu mencarikan posisi lebih baik untuk lelaki tersebut, atau meminta seorang non-disabilitas yang sedang duduk untuk berdiri. Sekali lagi ini hanya asumsi, dan ditujukan untuk kita semua.

Baca juga:  Simpang Siur Populasi Disabilitas di Indonesia

Ini budaya yang sayangnya masih ada di masyarakat yang katanya modern. Budaya menonton tanpa melakukan tindakan solutif. Seperti orang-orang yang ketika ada bencana, mereka berduyun datang hanya untuk menonton dan berfoto ria, tanpa ada aksi nyata. Sama juga dengan seseorang yang ketika melihat tunanetra ingin menyeberang jalan, bukannya dibantu, tapi malah membuat twit “Ada tunanetra mau menyeberang, kasihan deh”. That’s it, tak ada langkah solutif.

Selain itu, masalah berbuat baik itu berbeda dengan kesadaran atau awareness. Berbuat baik itu asalnya dari hati dan yakinlah bahwa tidak semua orang mau menggunakan hatinya. Jadi, tak ada yang dapat memaksa orang lain untuk berbuat baik. Tapi kesadaran, itu timbul dari nalar dan fikiran jernih serta didukung oleh aturan-aturan yang berlaku. Kesadaran ini dapat ditumbuhkan dan dipupuk.

Pada peristiwa dalam foto tersebut, yang dibutuhkan adalah kesadaran masyarakat bahwa tiap orang memiliki hak, dan hak Anda dibatasi oleh hak orang lain. Sebagai pengguna kereta api, Anda memang punya hak untuk duduk di semua kursi yang ada karena Anda sudah membayar. Akan tetapi, ada aturan yang mengatur hak beberapa kursi tertentu yang memang dialokasikan bagi anak-anak, ibu hamil, lansia, dan penyandang disabilitas. Apabila Anda tidak tergolong kategori tersebut, maka kursi itu bukan hak Anda. Merasa tidak adil karena sudah sama-sama membayar? Coba lihat lagi lebih banyak mana kursi yang disediakan untuk umum atau yang kursi khusus tersebut?

Sesungguhnya itu juga wujud pemenuhan hak. Penyandang disabilitas juga membayar tiket secara penuh, maka dia juga dapat hak untuk memperoleh nilai dari naik kereta api yang setara dengan penumpang umum. Disebabkan oleh perbedaan fisik, maka tidak memungkinkan seperti penumpang umum yang dapat berlari-lari untuk menuju pintu kereta dan turun dengan mudah. Kursi prioritas dibuat di dekat pintu agar memudahkan penyandang disabilitas naik dan turun dari gerbong. Itu dia salah satu bentuk keadilan, karena sudah sama-sama membayar.

Baca juga:  Pilkada DKI Belum Cermin Pemilu Akses

Lebih lanjut, pemerintah juga turut andil dalam menciptakan keadaan yang adil. Dalam kondisi yang berdesak-desakan dan lelah, manusia punya kecenderungan buruk untuk jadi lebih individualistis. Akal sehat bahwa kursi prioritas bukan hak penumpang umum dapat seketika buyar ketika sudah dalam keadaan tersebut. Maka, jadi tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan sarana transportasi umum yang memadai. Yakinlah apabila situasi menjadi lebih nyaman, maka manusia juga akan lebih manusiawi lagi.

Oleh karena itu, adalah kesadaran yang perlu dipupuk dalam diri tiap orang. Sadar bahwa tak etis jika merasa bukan dalam kategori dimaksud lalu menggunakan hak orang lain tersebut. Meski orang yang berhak sedang tidak ada, etika itu seharusnya tetap dijunjung. Sikap mau menang dan enak sendiri itu yang mematikan logika kita. Ketika kesadaran sudah tumbuh, maka berbuat baik itu tinggal menyusul saja. Sebab tak ada perbuatan baik yang ikhlas diperbuat tanpa ada kesadaran lebih dulu, Jadi, apakah berbuat baik itu sulit?(DPM)

Beri Pendapatmu di Sini