Depok, Kartunet – “Kemandirian yang seutuhnya itu bukan berarti kita harus melakukan apapun dengan anggota tubuh kita sendiri. Ada fungsi-fungsi tertentu yang bisa dialihkan, misalnya dengan penggunaan alat bantu atau personal assistant.”
Demikianlah Cucu Saidah mengutarakan pandangannya tentang makna kemandirian bagi penyandang disabilitas. Filosofi Independent Living yang ia pelajari ketika mengikuti program Leadership Training di Jepang, yang kini membuka matanya lebar-lebar tentang pentingnya kesetaraan hak disabilitas. Berbekal pandangan itulah akhirnya ia memutuskan untuk menceburkan diri ke dalam ranah advokasi disabilitas.
Menjadi aktivis dan pembela hak disabilitas di Indonesia bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani. Bagaimana tidak, masih terlalu banyak hal yang perlu dibenahi di tanah air kita untuk dapat menciptakan kesetaraan dan lingkungan inklusif. Mulai dari fasilitas umum yang tidak aksesibel, pelayanan publik yang kurang ramah disabilitas, hingga minimnya kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan serta hak-hak mendasar lainnya. Namun toh nyatanya Cucu telah tenggelam dalam ranah advokasi hampir 11 tahun lamanya.
Agustus 2001, Cucu mendarat di Bandara Narita, Jepang. Ia hampir tidak bisa mempercayai hal itu. Bagaimanapun, saat itu merupakan kali pertama bagi wanita kelahiran Garut, Jawa Barat itu untuk merantau ke negara orang. Impiannya terwujud setelah ia mencoba mengirimkan formulir aplikasi di tahun 1999 dan 2000, dan akhirnya lolos juga pada 2001 untuk mengikuti Duskin Leadership Training in Japan—sebuah program pengembangan diri bagi penyandang disabilitas di seluruh Asia Pasifik. Bersama kesembilan rekannya dari berbagai negara, Cucu mengikuti program tersebut selama 10 bulan.
“Waktu itu motivasi saya hanya ingin ke Jepang dan mempelajari cara mengajar anak disabilitas ganda,” ungkap Cucu. Ia memang berlatar belakang S1 Pendidikan Luar Biasa (PLB) di UPI, Bandung. Sejak lulus kuliah, ia pun mengajar di SLB-D YPAC (Yayasan Pembinaan Anak Cacat), Bandung. Meski program yang ia ikuti di Jepang mengarah pada pengembangan disabilitas, Cucu mengaku saat itu sama sekali tidak berpikir tentang pengembangan disabilitas, apalagi untuk beradvokasi bagi kemajuan disabilitas.
Sebuah konsep yang diterapkan bagi penyandang disabilitas di Jepang adalah filosofi Independent Living (IL). Awalnya, alumnus SMP 29 dan SMA 15 Bandung itu berpikir bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk beraktivitas sehari-hari tanpa dibantu orang lain, serta memiliki kebebbasan finansial. Ia tak terlalu peduli dengan IL karena merasa sudah cukup mandiri selama tinggal di Indonesia. Namun, seorang kawannya berkebangsaan Korea memaksanya mempelajari IL selama di Jepang. Menuruti paksaan itu, Cucu pun berkunjung ke beberapa pusat IL di Jepang, yang kemudian mengubah pandangannya tentang makna kemandirian itu hingga kini.
Nilai-nilai kemanusiaan Cucu dapatkan lewat filosofi IL. Tidak hanya dari segi aksesibilitas fasilitas umum, tetapi juga pemahaman dan perlakuan ramah masyarakat Jepang terhadap disabilitas. Selain mengenai pendidikan inklusif, ia juga mengikuti berbagai forum diskusi internasional, menjalani homestay di rumah keluarga Jepang, bahkan belajar bermain ski sebagaimana orang-orang nondisabilitas. Untuk pertama kalinya, ia juga merasakan betapa menyenangkan menggunakan kursi roda listrik—sesuatu yang tak pernah dijumpainya di Indonesia—yang membuat dia dapat lebih bebas pergi ke mana pun tanpa hambatan. Semua itu membuat Cucu sadar bahwa Jepang dan Indonesia memiliki pandangan yang sangat berbeda dalam memaknai kemandirian. Kondisi disabilitas bukan berarti seseorang harus diatur dan diarahkan oleh orang lain.
“Kemandirian dalam filosofi IL adalah kemandirian dalam arti sesungguhnya. Saya sebagai seorang manusia, yang lahir, tumbuh, berkembang, bisa menjadi diri sendiri, bisa mengambil keputusan sendiri, serta berani bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambil,” katanya.
Cucu baru menyadari ternyata selama ini ia telah banyak menerima diskriminasi selama di Indonesia. Cucu memang terlahir dengan menyandang amniotic band syndrome—ketidaksempurnaan janin saat dalam kandungan—yang membuat kaki kanannya lebih panjang dari kaki kirinya. Ketika kuliah misalnya, ia harus naik tangga untuk mencapai ruang kuliah di lantai tiga atau empat setiap harinya. Ia menaiki tangga dengan kruk karena tidak ada lift, tetapi ia tidak protes saat itu karena sama sekali tidak paham tentang hak disabilitas. Sebelumnya, bahkan Cucu tak pernah berbaur dengan organisasi-organisasi disabilitas. Namun, pengetahuan yang diperoleh tentang IL membuat Cucu segera bertransformasi menjadi sosok pemimpin gerakan-gerakan disabilitas.
I have many hopes and desires for the future achievements of persons with disabilities. I would like to put my energies into raising awareness and understanding about persons with disabilities in my country.
Itulah sepenggal kalimat yang ditulis Cucu pada halaman testimoni alumni di website Duskin Ledership Training in Japan. Ia tak hanya asal bicara, melainkan juga mewujudkan kata-katanya. Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 2002, wanita kelahiran 14 Januari 1975 itu segera melakukan berbagai pendekatan pada rekan-rekan disabilitas serta para mahasiswa. Ia sangat ingin mengembangkan konsep IL di Indonesia. Meski filosofi tersebut sempat banyak ditentang karena dianggap arogan, toh akhirnya Cucu tetap menjalankan misinya.
Tahun 2003, Cucu mendirikan Bandung Independent Living Center (BILiC). BILiC adalah lembaga swadaya yang bergerak di bidang penguatan kaum disabilitas dengan filosofi independent living. Dalam filosofi ini penyandang disabilitas diajak untuk menyadari kondisi dan mengetahui kebutuhannya. Dengan demikian mereka menjadi percaya diri dan mandiri sesuai kondisi masing-masing. Bersama rekan-rekannya, Cucu terus berupaya mempertahankan nyawa BILiC, sejalan waktu dan sesuai kemampuan. Cucu percaya, bahwa setiap perubahan membutuhkan proses.
Usaha yang dirintis Cucu dan teman-temannya akhirnya membuahkan hasil. BILiC dinilai sebagai motor dan sumber kekuatan bagi ratusan kaum disabilitas yang pernah diadvokasi. BILiC juga menjadi mitra dan rujukan pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang lain dalam penguatan disabilitas di sekitar Bandung.
Jejaring yang dibentuknya membuat karier Cucu di bidang advokasi terus menanjak. Tahun 2004, ia berhenti mengajar karena menerima tawaran kerja di Washington, Amerika Serikat selama 1 tahun. Ia bekerja di Bank Dunia sebagai konsultan untuk study-based line anak berkebutuhan khusus. Pasca mengikuti program Summer School di Universitas Oslo, Norwegia selama dua bulan pada 2006, tawaran kerja di berbagai NGO internasional terus membanjir. Mulai dari Hellen Keller Internasional, Handicap International, hingga menjadi Koordinator Hak-hak Disabilitas di Australia Indonesia Leadership for Justice (AIPJ) sejak Juni 2011 sampai sekarang. Pekerjaannya itulah yang akhirnya menuntut Cucu berkeliling Indonesia untuk menjalankan program-program dan workshop terkait pengembangan disabilitas.
Agaknya bungsu dari tujuh bersaudara ini memang tak pernah letih untuk berjuang. Bersama suaminya Faisal Rusdi, dan kedua rekannya, Cucu pun mempelopori sebuah gerakan bertajuk Barrier Free Tourism (BFT). Sejak Maret 2012 lalu, secara rutin tiap bulannya BFT mengajak sejumlah penyandang disabilitas dan nondisabilitas untuk berjalan-jalan ke berbagai tempat di Jakarta dengan menggunakan fasilitas umum seperti kereta dan busway. Harapannya, gerakan ini dapat membangun kesadaran masyarakat, khususnya para pengelola fasilitas umum mengenai betapa pentingnya pengadaan fasilitas yang aksesibel bagi semua orang, termasuk penyandang disabilitas.
“Nggak muluk-muluk, saya hanya ingin Indonesia bisa aksesibel, baik dari segi infrastruktur maupun sikap,” jawab Cucu ketika ditanya apa harapannya tentang masa depan disabilitas. Cucu optimis, bahwa Indonesia bisa berubah. Sekecil apapun perubahan itu, harus diakui. Merujuk pada petisi yang dilontarkannya pada Garuda Indonesia dalam kasus diskriminasi layanan maskapai yang terjadi baru-baru ini, perubahan bisa terjadi seandainya ada usaha gigih di baliknya.
Cucu terus melangkah dengan kepercayaan akan harapan perubahan di masa depan. Perubahan memang membutuhkan banyak orang, waktu dan media. Menurut Cucu, penyandang disabilitas tidak bisa bergerak sendiri-sendiri ke satu arah, melainkan ke banyak cabang kehidupan. Sejauh ini, Cucu mengapresiasi perubahan positif yang telah terjadi di tanah air. “Sekarang gairahnya sudah mulai meningkat. Sudah banyak organisasi disabilitas yang bermunculan, isu disabilitas sudah mulai dilirik dan diminati oleh lembaga-lembaga donor internasional, bahkan sudah punya kebijakan untuk disability inclusive development. Menurut saya, itu sudah ‘sesuatu’ banget,” tukas Cucu sambil tersenyum. (RR)
fotonya masih ada ga ya? foto-foto hilang semua setelah pindah sistem