Roji’in, Bertahan dari Terjangan Setu Gintung

Jakarta, Kartunet.com – Beberapa tahun terakhir, Indonesia kerap kali ditimpa musibah bencana alam. Banjir, gempa bumi, atau pun tanah longsor telah menelan banyak korban jiwa, maupun harta benda. Salah satu bencana terbesar yang sempat terjadi di negri kita adalah peristiwa jebolnya tanggul Gintung, Tangerang Selatan, Banten. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Maret 2009. Musibah memang dapat dialami kapan saja, di mana saja, dan siapa saja, tak terkecuali para penyandang disabilitas.

Roji’in Faqih, tunanetra yang bertempat tinggal di kawasan Cireundeu, sempat menjadi korban peristiwa Situ Gintung. Hari itu, ia bersama sang istri baru selesai sholat Subuh di lantai dua rumah mereka. “Terdengar suara gemuruh yang amat keras, seperti suara truk tronton”, Tutur Roji’in. Awalnya istri roji’in mengira suara tersebut adalah suara hujan yang amat deras, tetapi tiba-tiba saja terdengar teriakan seseorang dari luar rumah, mengatakan bahwa komplek mulai terendam banjir.

Roji’in terlonjak. Pengalaman di tahun 2002 dan 2007 menjadi pelajaran besar dalam hidupnya. Sekalipun tempat tinggalnya berada di area yang cukup elit, Wilayah tersebut sudah menjadi langganan banjir tiap tahun, tetapi Roji’in tak menyangka bahwa pagi itu akan terjadi bencana yang lebih besar dari sebelumnya. Sehari sebelum kejadian, hujan besar memang sempat turun, Tapi berdasarkan informasi dari petugas pintu air Pesanggrahan, seharusnya tidak terjadi banjir.

Seketika itu Roji’in turun ke lantai bawah rumah, meninggalkan sang istri yang sedang berlindung di lantai dua. Air telah menggenang di telapak kaki. Ia pun panic. Terpikir untuk menurunkan sikring listrik, Roji’in yang pada waktu itu sedang mengenakan kain sarung kembali naik ke lantai dua, untuk mengganti kain sarung dengan celana pendek. Setelah kembali lagi ke lantai dasar, air sudah setinggi betis. Tunanetra satu-satunya yang bertempat tinggal di komplek tersebut teringat dengan keberadaan tiga buah stop contack yang berada di ruang tamu. Stop contack tersebut berada hanya sekitar 10 CM dari lantai. Merasa khawatir aliran listrik sudah menjalar melalui air, Roji’in mengurungkan niatnya untuk menurunkan sikring yang terletak di luar rumah. Ia pun segera kembali naik ke lantai atas. Sambil berlahan naik, Roji’in menyaksikan dengan telinga, suara-suara benturan keras yang menghantam pintu, jendela dan beberapa perabot rumah yang saling bertabrakan. Itu artinya, air yang sudah berhasil menjebol tanggul Setu Gintung, sekarang mulai menerjang rumahnya.

Tak ada yang dapat mereka lakukan selain menunggu banjir surut. Roji’in hanya berlindung di lantai dua rumahnya bersama Dra. Siti Afiah, sang istri yang mulai menangis ketakutan. Meski pada tahun 2002 dan 2007 mereka sudah pernah mengalami bencana banjir, jebolnya tanggul Situ Gintung menjadi peristiwa banjir terbesar yang pernah mereka alami. Bayangkan, dalam waktu beberapa saat, air naik setinggi dua meter. Arus air yang sangat deras mengaduk-aduk perabot rumah di lantai dasar, seolah berada dalam sebuah mesin cuci.

Sekitar jam 6 pagi, arus air mulai berhenti, dan surut sekitar jam 8. Roji’in memberanikan diri untuk memeriksa keadaan rumah di lantai bawah. Sesampainya di lantai dasar, Rumah itu kacau balau. Dipegangnya Pintu-pintu telah lepas dari engselnya dalam kondisi rubuh, kaca-kaca jendela pecah, perabot elektronik hancur berantakan. Bahkan Roji’in sempat memegang televisi yang posisinya sudah tertelungkup. Hampir tidak ada yang tersisa. Jangankan perabot rumah tangga, bahan makanan pun tak punya. Seteguk air yang pertama ia minum adalah pada jam 11 siang, ketika seorang wartawan datang membawa bahan makanan. “Untung saja ada seorang teman yang bekerja di salah satu stasiun televisi menitipkan bantuan melalui wartawan tempatnya bekerja” Ujar Roji’in.

Pasca kejadian tersebut, Ketua I PERTUNI DKI Jakarta ini banyak memperoleh bantuan dana serta bahan makanan dari rekan-rekan tunanetra. Bantuan tersebut mengalir dari PERTUNI, ITMI, serta organisasi ketunanetraan lainnya. Ada Tetangga sebelah rumah Roji’in, seorang dosen di salah satu perguruan tinggi yang memperoleh dana bantuan cukup besar dari instansi tempatnya bekerja, secara pribadi membagi sedikit dana tersebut untuk membenahi rumah Roji’in. Beliaulah yang selalu menggambarkan kondisi air di lantai dasar dari jendela lantai atas rumahnya, sejak air menerjang komplek sampai air surut. Sehingga sekitar pukul delapan pagi, Roji’in memberanikan diri turun ke lantai dasar rumahnya. Ada juga orang-orang yang datang untuk membantu mengecat dinding rumahnya yang kotor karena Lumpur. Tentu saja pria kelahiran Pasuruan, 1 April 1968 ini sangat berterima kasih atas setiap kebaikan orang-orang terhadapnya. Khususnya para tetangga dan kawan-kawan seorganisasi yang jauh lebih pekak terhadap kondisinya waktu itu.

Selama masa renovasi, Roji’in dan istrinya yang juga seorang tunanetra, hanya tinggal di lantai dua rumah. Mereka hanya bisa bersabar menempati sebuah rumah dengan pintu-pintu yang tak bisa terkunci, perabotan seadanya, serta binatang-binatang malam yang keluar masuk rumah seenaknya. Dua bulan kemudian, akhirnya renovasi rumah Roji’in selesai. Ironisnya, dana bantuan dari pemerintah baru diterima sekitar satu tahun kemudian. Rumah Roji’in yang digolongkan rusak ringan menurut pemerintah, hanya menerima bantuan dana sebesar 7,5 juta rupiah. Meski demikian, Roji’in tetap bersyukur karena dana tersebut dapat dipergunakannya untuk membeli perabot elektronik yang hancur akibat terjangan arus Situ Gintung.

Istri Roji’in yang bekerja di Dinas Sosial DKI Jakarta, telah tinggal di rumah tersebut sejak tahun 1989. Rumah orang tua angkat dari Dra. Siti Afiah akhirnya ditempati oleh mereka berdua sejak menikah12 tahun yang lalu, mereka berdua menempati rumah yang berjarak sekitar 500 meter dari tanggul Situ Gintung. “Seandainya memiliki tempat lain, ingin sekali meninggalkan rumah ini dan menempati rumah yang lebih aman”, Ungkap Roji’in. Meski bukan pertama kalinya diserang banjir, tetap saja peristiwa Situ Gintung menyisakan trauma tersendiri.

Sampai saat ini, Roji’in dan Siti masih memiliki traumatic tersendiri. Contohnya ketika beberapa hari yang lalu, sewaktu Roji’in ingin menjemput seorang teman di masjid dekat rumah, kebetulan kondisi cuaca pada waktu itu sedang hujan lebat. Ia sangat terkejut ketika mendengar gemuruh air yang datang dari arah berlawanan. Hampir saja ia pingsan, namun segera tersadar bahwa gemuruh air hanya ada di dalam selokan. Jadi ketika Roji’in mendengar suara gemuruh air seperti itu, masih sangat jelas teringat adalah gemuruh air Setu Gintung yang berhasil meluluhlantahkan lantai dasar rumahnya.

Lain halnya dengan Dra. Siti Afiah, istri Roji’in. Sewaktu Siti berada di dalam kamar mandi, tiba-tiba selang yang menyalurkan aliran air dari mulut keran menuju bak mandi terlepas. Akibatnya air keluar dengan sangat deras dari keran. Ditambah dengan suaranya yang kencang. Spontan Siti menjerit. Roji’in segera menghampiri dan menenangkan sang istri. Seperti itulah traumatic yang sering dialami oleh Siti.

Menurut Roji’in, sejak peristiwa besar tersebut, tak pernah lagi terjadi banjir di lingkungan rumahnya. Mudah-mudahan saja, jebolnya tanggul Situ Gintung menjadi bencana terakhir yang dialami oleh Roji’in dan istri.

Pasca bencana, Roji’in sedikit berbagi cerita tentang kurang perhatiannya pemerintah terhadap keluarganya. Memang hanya Roji’in dan Siti, tunanetra yang tinggal di dalam komplek elit tersebut. Namun ketika bencana berlalu, para tetangga yang mayoritas adalah pengusaha dan karyawan bank sangat cepat mendapat bantuan dari para koleganya. Sedangkan Roji’in dan istri hanya menunggu bantuan dari sanak keluarganya. Termasuk para tunanetra seorganisasi dengannya.

Kekecewaan Roji’in memuncak. Ketika ia dihubungkan kepada Wali Kota Tanggerang Selatan melalui sebuah stasiun radio swasta, dalam perbincangannya di telfon, Bapak Wali Kota berjanji akan memberikan bantuan seperti bahan makanan, minuman, sandang dan lain sebagainya ke rumah Roji’in. Namun sampai sebulan lamanya bantuan tersebut tak kunjung dating. “Memang kami bertempat tinggal di area yang cukup elit, tapi kalau tetangga-tetangga saya keluar masuk komplek dengan menggunakan mobil, saya dan istri keluar masuk komplek dengan menggunakan tongkat” Ujar Roji’in ketika berbicara dengan Bapak Wali Kota di telpon.

Roji’in juga berpesan bahwa bencana alam yang terjadi tidak akan memandang siapapun orangnya. Baik itu tergolong kaya atau miskin, kuat atau lemah bahkan disabilitas atau nondisabilitas, sudah seharusnya diperlakukan sama. Terutama dalam hal evakuasi. Sekalipun bencana itu terjadi di dalam area yang elit, apa salahnya melakukan pendataan ulang, apakah ada salah satu keluarga yang lebih membutuhkan pertolongan lebih awal seperti keluarga Roji’in dan Siti.

“Banyak hikmah yang terkandung dalam setiap bencana. Baik itu bencana besar ataupun kecil. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana kita menyikapi bencana tersebut. Bila kita memandangnya sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri, maka hidup ini akan jauh lebih berarti. Tetapi bila sebaliknya, maka kita akan terus terpuruk dalam kesedihan” Lugas Roji’in, mengakhiri perbincangannya dengan redaksi. (RR)
Editor: Harisma Yanti

Last Updated on 11 tahun by Redaksi

Oleh Ramadhani Ray

Literature lover, disability issues campaigner, Interest to learn something new through reading, training, and traveling.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *